Vena terkejut.Janda pelakor? Calon istri yang asli? Siapa orang gila yang menulis pesan ucapan selamat seperti itu?Tetapi, otot wajahnya perlahan menegang saat sadar hanya satu orang yang memenuhi syarat.Dia menatap suaminya. "Mas, kayaknya aku tahu siapa yang iseng mengirim itu, tapi kenapa dia bisa—"Mario tak sempat menunggunya selesai, langsung berjalan menghampiri mobil pick up yang baru saja turun.Beberapa orang mulai menurunkan karangan bunga tersebut. Mario tahu kalau mereka hanya menjalankan pekerjaan, meski tahu kalau pesannya sangat jahat. Dia bertanya ke sopir, "maaf, Pak, ini siapa yang mengirim? Ada apa keterangan dari toko?“Sebenarnya, dia tahu siapa yang mengirim, tapi ingin memastikan dahulu.Sopir itu memeriksa berkas pengiriman, dan hanya berkata, "maaf, Pak, saya tidak tahu, di sini tidak tertera pengirim. Pihak toko hanya meminta untuk mengirimkan pesanan ucapan selamat ke alamat ini.""Oke." Mario tidak mungkin meminta mereka membawa kembali. Dia hanya bisa
Setengah jam sebelum acara dimulai, dan datanglah masalah. Mario langsung malas dengan keadaan ini. Dia sampai heran, tidak bisakah dia dan Vena hidup normal?Pria itu yakin kalau ini adalah permintaan sang bibi. Dia segera menghampiri wanita yang datang itu."Sarah," panggilnya bersuara dingin, "kamu mau apa di sini? Kamu juga bagaimana bisa tahu kalau hari ini ada acara di sini?""Kata Tante kamu pasti butuh pasangan yang nggak memalukan saat acara ini." Sarah menjawab sambil mendekati Mario. Dia terlihat percaya diri saat memamerkan tubuhnya yang terbalut dress semi-formal. Di tangannya telah menggantung tas bermerek mahal. Iya, dia sudah sangat pantas disebut sosialita.Mario tidak mengerti jawaban Sarah. "Hah?"Vena malas juga menanggapi ini. Daripada terjadi pertengkaran di hari penting ini, dia segera menarik lengan sang suami, memaksanya mundur sejenak, alhasil— kini dialah yang menghadang Sarah."Sebenarnya kami bisa saja mengusir kamu soalnya kamu bukan tamu yang diundang,
Beberapa orang mulai berdatangan. Mario sengaja mengundang beberapa wartawan lokal untuk meliput pembukaan Restoran baru Vena ini. Dengan begini, dia berharap bisa membantu dalam hal pemasaran.Beberapa kenalan dekat Mario dalam hal berbinis juga datang. Selain itu, asisten pribadinya, Daffa, lalu sekretarisnya, Erika, juga datang.Vena melakukan acara potong pita, lalu acara syukuran kecil di dalam restoran. Tentu saja, semua tamu undangan, termasuk para wartawan yang diundang bisa merasakan menu andalan dari restoran.Acara tersebut berlangsung cukup meriah dan menyenangkan. Vena sampai heran karena Sarah menghilang— tak lagi datang merusuh. Apakah diminta pergi oleh Tante Ruth?Dia sendiri tidak tahu, tapi cukup bersyukur tak ada gangguan dalam acara ini.Setelah menikmati hidangan, bebetapa tamu sudah beranjak pergi, para wartawan sibuk meliput dan memotret bagian depan restoran— sebelum akhirnya pergi juga. Mario kembali duduk di kursinya bersama Vena, Daffa dan Erika. Dia sempa
Usai menghabiskan setengah hari berada di restoran barunya, Vena akhirnya pulang bersama sang suami.Di rumah, Mario langsung menjatuhkan diri di atas ranjang. Iya, seperti biasa, dia kelihatan seperti anak-anak yang lelah selepas main berjam-jam.Vena terpaksa melepaskan sepatu yang masih dikenakan oleh pria itu. Tak lelah, dia menasehati, "Mas, padahal aku sudah sering bilang lepas sepatu sebelum masuk ke kamar.""Maaf."Vena hanya menghela napas panjangembari melepaskan kaos kaki sang suami pula. Dia tak bisa menyembunyikan senyuman di bibir. Menurutnya, pria ini memang lucu.Usai alas kaki terlepas, Mario merangkak naik, lalu tengkurap, membenamkan wajah di atas tumpukan bantal. Dia memeluk semua bantal empuk itu, menghirup aromanya.Dengan suara yang tertutupi, dia bergumam, "aku paling suka kalau sprei belum dicuci begini, bau rambut kamu masih nempel."Vena tertawa. Dia berkata, "tapi besok sudah jadwalnya mencuci.""Iya nggak apa-apa." Mario berbalik badan, lalu bangun terdudu
Saat malam hari, Daniel masuk ke dalam restoran baru Vena. Dia melihat sekitar dengan pandangan tidak suka.Hari pertama buka, ternyata sudah mengundang banyak pelanggan baru. Yang membuatnya makin tidak suka adalah hampir semua orang yang datang membawa mobil. Ini menandakan kalau banyak kalangan menengah atas yang tertarik.Dia tak heran, bagaimana pun yang membiayai semua ini adalah seorang milyarder. Sekalipun semua diurus oleh Vena, pasti Mario sudah membantu dalam hal pemasaran. Dalam hal berbisnis, koneksi memang yang paling penting.Daniel duduk di meja yang sudah dipesan, meja nomor sembilan yang ada di dekat jendela besar— menghadap langsung ke jalan raya.Suasana tenang, pemandangan malam yang indah— tak lama lagi, restoran ini pasti semakin ramai.Ini membuatnya makin resah dan tidak terima. Kedua telapak tangan tampak mengepal di atas meja. "Pasti dia makin mau pamer sekarang kalau sudah sukses ..."Tiba-tiba, seorang pria yang merupakan manager restoran datang menghampir
Mario kembali ke dalam kamar setelah menelpon sang paman. Tadinya, raut muka pria itu tampak suram, tapi begitu melihat sang istri kembali sumringah.Vena jadi penasaran. "Ada apa? Ada masalah apa sampai kamu ditelpon malam-malam begini? Ada yang serius, ya?""Iya, memang, tapi nggak terlalu serius kok, Sayang. Om Tiyo cuma mau ngomong masalah bisnis.""Malam-malam begini?""Soalnya mendadak, jadi ya maklum saja." Mario seperti menutupi sesuatu. Dia memang tidak terlalu pandai berbohong ketika dengan Vena, jadi kelihatan. Caranya menghindari pandangan pun begitu jelas. Vena merenggut. Dia merasa banyak yang disembunyikan darinya, dan ini membuat ia merasa tidak nyaman.Mario duduk di pinggiran ranjang, lalu berkata, "oh iya, aku tadi sempat ngomong ke kamu kalau mau liburan Minggu ini, maaf ya Sayang, kayaknya nggak bisa— kita liburan dua Minggu lagi saja. Oke?“"Iya nggak apa, tapi kenapa?”"Bisnis. Om Tiyo barusan ngomong masalah bisnis, jadi aku harus rapat Minggu ini sama dia."
Bianka mengajak sang ibu mengunjungi rumah makan milik Vena sehari setelah diberitahu Daniel. Dia sengaja datang pagi, dan menjadi pelanggan pertama yang ada di sana. Sekalipun begitu, ternyata beberapa nomer meja sudah diambil, yang itu berarti bahwa sudah dipesan."Kamu ngapain mengajak Mama pergi ke tempat ini? Apalagi pagi-pagi, nanti saja waktu makan siang," kata mamanya begitu sudah duduk di kursi di meja nomer sebelas.Bianka duduk di hadapannya. Dia melirik ke meja-meja lain. "Ma, sekalipun kelihatan masih sepi, tapi hampir semua meja sudah dipesan. Untuk orang yang mendadak datang seperti kita, harus datang pagi biar dapat meja.“"Ya terus kenapa? Kamu juga tumben banget ingin makan di restoran yang belum pernah kita datangi? Apa karena ini baru buka?”"Mama tahu nggak ini restoran siapa?“"Siapa?”"Sebentar—“ Bianka tak bicara lagi karena seorang pelayan wanita datang menghampiri dengan membawa buku menu.Iya, pelayan itu memberikan buku menu ke mereka berdua, lalu bersiap d
Berhubung Mario sibuk dengan urusan mendadak bersama Om Tiyo, Vena mau tidak mau harus beraktifitas seperti biasa. Sebagai istrinya, kebanyakan dia hanya bisa bersantai atau melakukan kegiatan yang dia sukai.Tetapi, karena dia dilarang ke restoran untuk sekarang, jadi dia meminta sopir pribadi untuk mengantarka ke supermarket untuk berbelanja.Begitu sampai, dia segera berkata ke sopirnya, "pak Johan, tolong ditunggu saja di sini, saya sendirian berbelanja di dalam."Pria empat puluh tahunan bernama Johan berkata, "tapi, Nyonya, Tuan bilang saya harus mengikuti Nyonya kalau pergi.""Nggak apa-apa, kok. Ini cuma sebentar."Tanpa menunggu jawaban dari sopirnya, Vena segera membuka pintu mobil, lalu keluar dengan membawa tasnya. Dia berjalan menuju pintu masuk supermarket itu.Meski masih tergolong pagi, tapi bagian dalam supermarket ini sudah ramai. Vena mengambil keranjang, lalu segera menuju ke rak demi rak. Dia sempat melihat beberapa pengunjung wanita yang ditemani oleh suami dan
Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i