Berhubung Mario sibuk dengan urusan mendadak bersama Om Tiyo, Vena mau tidak mau harus beraktifitas seperti biasa. Sebagai istrinya, kebanyakan dia hanya bisa bersantai atau melakukan kegiatan yang dia sukai.Tetapi, karena dia dilarang ke restoran untuk sekarang, jadi dia meminta sopir pribadi untuk mengantarka ke supermarket untuk berbelanja.Begitu sampai, dia segera berkata ke sopirnya, "pak Johan, tolong ditunggu saja di sini, saya sendirian berbelanja di dalam."Pria empat puluh tahunan bernama Johan berkata, "tapi, Nyonya, Tuan bilang saya harus mengikuti Nyonya kalau pergi.""Nggak apa-apa, kok. Ini cuma sebentar."Tanpa menunggu jawaban dari sopirnya, Vena segera membuka pintu mobil, lalu keluar dengan membawa tasnya. Dia berjalan menuju pintu masuk supermarket itu.Meski masih tergolong pagi, tapi bagian dalam supermarket ini sudah ramai. Vena mengambil keranjang, lalu segera menuju ke rak demi rak. Dia sempat melihat beberapa pengunjung wanita yang ditemani oleh suami dan
Setelah menaruh semua belanjaan di rumah, Vena pergi lagi dengan sopir pribadinya menuju ke rumah sakit. Dia menemui dokter kandungan yang dahulu pernah menangani kehamilannya.Selama satu jam lamanya, dia melakukan konsultasi, hingga akhirnya pulang ke rumah.Di rumah, suasana sudah kosong, tak ada pembantu yang biasa menyambutnya. Iya, semua ini wajar karena memang mereka semua terlanjur diberi hari libur oleh Mario selama satu Minggu.Tadinya, Mario memang berencana liburan dengan Vena, jadi dia meliburkan mereka semua. Namun, kenyataan dia harus rapat membahas bisnis bersama Om Tiyo.Meski begitu, Vena sama sekali tidak keberatan. Malahan, dia senang karena bisa memasak untuk seminggu ke depan. Tapi, walau demikian, untuk mengurus kebersihan rumah— tetap saja diperlukan bantuan jasa pembersih rumah harian.Baru saja Vena menjatuhkan diri di atas sofa ruang tengah, tiba-tiba ada suara langkah kaki masuk dengan terburu-buru.Itu adalah Mario. Dia terlihat serius sembari melonggarkan
Vena menyiapkan makan siang di atas meja. Dia tersenyum memandangi sang suami yang duduk di kursinya. Senyum tak kunjung luntur dari bibir Mario. Dia bahagia merasakan bagaimana berumahtangga sebenarnya— tak perlu melihat para asisten rumah tangga berkeliaran. Kini, dia hanya di rumah saja bersama sang istri. “Jujur, Sayang, aku lebih bahagia hidup seperti ini denganmu— cuma berdua saja di rumah, kita makan bersama masakan kamu,” katanya masih betah melihat makanan yang ada di meja. Vena mengambilkan makanan, lalu disajikan ke hadapan Mario. Dia bercanda, "maksudnya kamu mau setiap hari makan masakanku?“ "Jangan salah paham loh, ya, aku bukan meminta kamu di dapur, kok.” Mario menoleh kepada istrinya dengan tatapan serius. Meski dia tahu barusan itu bercanda, tapi dia tahu kalau Vena memang senang bisa memasak untuknya. "Sebenarnya sih nggak apa, Mas, aku saja yang masak.“ "Nggak, kita nggak usah ngomong ini lagi. Di keluarga kita, menantu nggak boleh masak. Nanti malah ada pemb
Vena menunggu lama, tapi tak kunjung melihat sang suami kembali masuk ke ruang makan. Dia menjadi curiga, lalu memutuskan berdiri dan mencarinya.Di ruang tengah tidak ada, ini membuatnya makin bertanya-tanya. Dia pun berjalan ke sekitar, dan ketika mendekati ruang tamu— terdengar ada suara gaduh di depan."Suara siapa itu ... oh." Vena tersadar kalau mengenali suaranya. Dia keluar rumah, melihat di kejauhan, tepatnya di sekitar pagar depan ada Mario, Bianka dan beberapa petugas keamanan rumah. "Bianka? Buat apa dia ke sini?"Tak mau berlama-lama, dia berjalan menghampiri mereka semua."Ada apa ini?" tanyanya.Mario kaget melihat istrinya datang. Dia menyesal karena terlalu lama di sini sampai wanita itu mencarinya. "Sayang, kamu ngapain keluar sini?""Harusnya aku yang tanya, ngapain kamu ada di sini? Terus wanita ini ..." Vena memalingkan pandangan ke arah Bianka. Dia mengerutkan dahi. "Ngapain kamu di sini? Mau buat keributan apa bagaimana?"Bianka sedang menahan amarah saat meliha
Mau tidak mau, Vena harus menuruti bianka untuk pergi ke rumahnya. Semua itu demi membuktikan bahwa tidak mungkin Daniel ada di sana. Dalam benaknya, dia sudah bisa menebak kalau kemungkinan besar Daniel telah berselingkuh. Iya, berdasarkan dari omongan Bianka yang tampak kecewa.Sepanjang perjalanan, Vena duduk di kursi belakang bersama wanita itu. Sesekali, dia menengok ke arah perutnya yang telah membuncit. Meski muak, tapi dia merasa kasihan."Kita sudah sampai," ucap Mario yang duduk di kursi depan sebelah dari kursi sopir. Vena menengok ke luar jendela. Dia tetap diam hingga mobil berhenti di halaman depan rumahnya.Seperti biasa, kawasan rumah di sini sangat sepi, apalagi di waktu siang begini. Banyak orang yang beraktifitas di luar— jalanan pun ramai.Vena turun, lalu disusul oleh Bianka. Usai bicara ke sopir, Mario ikut turun dari mobil. Dia menghela napas panjang sembari menengok ke penampakan rumah sang istri. Kenangan awal mula perkenalan mereka pun kembali muncul di ke
Vena, Mario dan Bianka mendatangi kafe yang ada di dekat rumah. Begitu menginjakkan kaki di situ, Vena langsung teringat saat diajak makan di sini oleh Mario dahulu. Dia tersenyum sendiri— karena pria itu keceplosan tentang bulan madu. "Ngapain kamu senyum-senyum? Kamu pasti ingat tentang Mas Dani 'kan? Dulu waktu masih pacaran kalian sering sekali ke sini." Bianka bicara dengan nada yang sinis karena dikuasai perasaan cemburu sekaligus kesal. Sekalipun sudah tak menginginkan Daniel, dia tak sudi kalau pria itu malah beralih mencintai Vena lagi. Dia merasa dihina kalau seperti ini. Mario sempat melirik ke arah sang istri, melihatnya mmenghapus senyuman dari bibir. Dia penasaran, apa yang ada di benaknya? Vena membalas omongan Bianka dengan berkata, "mending kamu nggak usah ngomong apa-apa. Kita di sini mau saling membuktikan, oke?" Bianka hanya mendengus. Mario menghela napas panjang, mencoba menepis segala macam pemikiran buruk. Dia sangat yakin kalau tidak mungkin Vena
Selama perjalanan pulang, Mario tidak mengatakan apapun. Pria itu hanya menengok ke luar jendela. Ini membuat Vena makin curiga, dia heran dengan sikapnya yang seperti tidak mau melihatnya. Tetapi, dia tetap diam sampai di rumah.Begitu sampai di rumah, Mario langsung masuk ke dalam kamar. Vena ikut masuk ke dalam, lalu menutup pintu yang ada di belakangnya. Baru setelahnya, ia menaruh perhatian ke sang suami. "Ada apa? Kamu dari tadi sepeti menghindariku?"Sambil melepaskan kancing kemejanya, Mario masuk ke ruangan ganti. Dia sibuk membuka pintu lemari, dan mengambil satu kaos santai berwarna biru.Diabaikan terang-terangan, Vena mengikutinya. Dia berdiri di ambang pintu ruang ganti itu— lalu memandangi pria itu. "Kamu kok malah diam saja? Ada apa?""Aku cuma lagi mikir." Mario membuang kemejanya di keranjang kotor, lalu ganti dengan kaos santai tadi. Setelahnya, dia menutup pintu lemari, sempat menatap wanita itu sekilas sebelum akhirnya melepaskan jam tangan— dan ditaruh di laci k
Setelah makna malam, Vena membereskan kamar tidur, dan melakukan rumah tangga lain. Dia menikmati waktunya sebelum akhirnya berada di dapur— lalu memasak untuk makan malam. Senyum melebar di bibirnya karena seluruh rumah ini seperti dalam kendalinya. Iya, wajar saja dia bahagia karena selama ini harus menahan diri. Semua kegiatan rumah tangga harus dikerjakan oleh para pembantu. Untuk urusan memasak, bersih-bersih, urusan laundry, dan lain-lain.Sebagai seorang Nyonya, dia dilarang menyentuh hal-hal yang seperti ini di kediaman Winata. Padahal memasak dan menghabiskan waktu merawat rumah sudah menjadi hobi baginya.Di saat dia sibuk di dapur, Mario masih ada di dalam ruang kerjanya. Dia sudah tidak marah akibat kejadian tadi siang. Suasana hati sudah membaik karena kepercayaannya kepada sang istri sudah kembali.Tak berselang lama, ada ketukan di pintu, sebelum akhirnya dibuka. Vena terlihat di ambang pintu. Dia berkata, "makan malam sudah siap,
Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i