Selama perjalanan pulang, Mario tidak mengatakan apapun. Pria itu hanya menengok ke luar jendela. Ini membuat Vena makin curiga, dia heran dengan sikapnya yang seperti tidak mau melihatnya. Tetapi, dia tetap diam sampai di rumah.Begitu sampai di rumah, Mario langsung masuk ke dalam kamar. Vena ikut masuk ke dalam, lalu menutup pintu yang ada di belakangnya. Baru setelahnya, ia menaruh perhatian ke sang suami. "Ada apa? Kamu dari tadi sepeti menghindariku?"Sambil melepaskan kancing kemejanya, Mario masuk ke ruangan ganti. Dia sibuk membuka pintu lemari, dan mengambil satu kaos santai berwarna biru.Diabaikan terang-terangan, Vena mengikutinya. Dia berdiri di ambang pintu ruang ganti itu— lalu memandangi pria itu. "Kamu kok malah diam saja? Ada apa?""Aku cuma lagi mikir." Mario membuang kemejanya di keranjang kotor, lalu ganti dengan kaos santai tadi. Setelahnya, dia menutup pintu lemari, sempat menatap wanita itu sekilas sebelum akhirnya melepaskan jam tangan— dan ditaruh di laci k
Setelah makna malam, Vena membereskan kamar tidur, dan melakukan rumah tangga lain. Dia menikmati waktunya sebelum akhirnya berada di dapur— lalu memasak untuk makan malam. Senyum melebar di bibirnya karena seluruh rumah ini seperti dalam kendalinya. Iya, wajar saja dia bahagia karena selama ini harus menahan diri. Semua kegiatan rumah tangga harus dikerjakan oleh para pembantu. Untuk urusan memasak, bersih-bersih, urusan laundry, dan lain-lain.Sebagai seorang Nyonya, dia dilarang menyentuh hal-hal yang seperti ini di kediaman Winata. Padahal memasak dan menghabiskan waktu merawat rumah sudah menjadi hobi baginya.Di saat dia sibuk di dapur, Mario masih ada di dalam ruang kerjanya. Dia sudah tidak marah akibat kejadian tadi siang. Suasana hati sudah membaik karena kepercayaannya kepada sang istri sudah kembali.Tak berselang lama, ada ketukan di pintu, sebelum akhirnya dibuka. Vena terlihat di ambang pintu. Dia berkata, "makan malam sudah siap,
Vena menjatuhkan diri di atas salah satu kursi yang melingkari meja makan. Dia menghela napas panjang, rambut terlihat berantakan dan wajah pun kelelahan. "Aku capek, loh, rasanya tenagaku terkuras," gerutunya sembari mengambil alat makan di kedua sisi hidangan steak. "—gara-gara kamu juga sekarang dagingnya pasti sudah dingin." Mario yang duduk di seberang meja menahan tawa. Dia sama saja dengan Vena, lumayan berantakan— terutama pada bagian rambut. Dia mengiris daging steak, kemudian menggunakan garpu untuk memakan potongannya. Senyum merekah di bibirnya kala berkomentar, "mmm ... enak kok, Sayang, nggak menyangka juga ternyata istriku bisa buat steak." Vena tersenyum pula. Dia tidak lagi cemberut karena pujian itu. Tanpa mengatakan apapun, dia ikut menikmati makanan buatannya. "Oh iya," ucapnya membuka obrolan setelah beberapa menit kemudian, "kamu beneran nggak ada kerjaan?" "Nggak ada, ta
Usai makan malam, Vena membereskan meja makan. Dia menaruh semua piring dan gelas kotor di dalam wastafel, lalu mencuci semua itu.Mario tidak betah hanya memandangi punggung Vena. Dia berdiri dari kursinya, lalu mendekati wanita itu, dan memeluknya dari belakang.Dengan lembut, dia mengecup pundak Vena yang terbuka. Dia bisa menghirup aroma bunga-bunga yang berasal dari sabun di kulitnya.Vena berenti mencuci sejenak untuk melirik sang suami. Dia tersenyum. "Ada apa? Manja belum kelar-kelar dari tadi?""Aku nggak betah kalau nggak diperhatikan," sahut Mario sengaja bersuara manja. Dia menyerang istrinya dengan kecupan-kecupan lagi di bagian leher hingga ke sekitar tengkuk. "Misal ada asisten pembantu, kamu jelas nggak bakalan begini.""Justru karena nggak ada siapapun di rumah ini, kita harus maksimal mesra-mesraan, Sayang."Vena tergelak. Dia kembali mencuci sisa piring yang ada di wastafel. "Iya, iya, tapi aku lagi c
Kelelahan membuat Vena dan Mario tertidur lelap malam ini. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari.Tiba-tiba tidur Mario terganggu karena merasa ada suara benda jatuh. Dia membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap untuk sesaat— kemudian melihat sekitar. Pandangan mata tertuju ke sang istri yang masih tidur pulas dengan kepala bersandar di dada telajangnya.Tadinya, dia menganggap suara barusan sebagai halusinasi belaka, tapi saat hendak tidur lagi— suaranya kembali muncul.Suara-suara seperti beberapa benda jatuh yang berasal dari lantai bawah.Mario mulai merasa resah, apa mungkin ada pencuri? Pemikiran itu sama sekali tidak pernah muncul dalam benaknya karena itu tak mungkin.Seluruh bangunan rumah ini dilindungi oleh pagar tinggi, dan ada beberapa petugas keamanan yang selalu berjaga dua puluh empat jam bergantian.Dia terpaksa membangunkan Vena. "Sayang, sayang bangun ..."Perlu beberapa
Semua area sudah diperiksa. Tidak ada siapapun atau apapun yang mencurigakan. Alhasil, Mario memutuskan untuk kembali tidur bersama Vena.Di pagi harinya, Vena bangun terlebih dahulu. Dia memijat kening, rasanya agak sakit karena sempat terbangun beberapa jam sebelumnya. Perasaannya kembali tidak enak. Meski demikian, dia turun dari ranjang, dan memulai aktifitas dengan membuka kelambu putih jendela kamar itu— membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar.Begitu cahaya di kamar menjadi lebih terang, kelopak mata Mario terangkat. Dia bangun, lalu melihat sekitar. Kondisi rambutnya sangat acak-acakan. "Pagi, Sayang."Vena melihatnya, lalu menyapa balik, "selamat pagi, kamu berangkat jam delapan 'kan? Kamu ke kamar mandi saja dulu, aku buatkan sarapan sekarang.""Tapi kayaknya aku nggak bisa meninggalkan kamu sendirian di rumah setelah malam kemarin.""Kamu masih curiga ada orang?""Aku serius mendengar suara itu. Mungk
Vena menoleh begitu mendengar suara pintu kamar hotelnya dibuka. Dengan posisi masih duduk manis di atas sofa, dia menyambut sang suami."Kamu lesu banget?" ucapnya sambil tersenyum kecil.Cemberut Mario lenyap, digantikan dengan perasaan gembira. Dia tersenyum balik, kemudian menjatuhkan diri di sebelah Vena. Helaan napas terdengar darinya.Sambil melonggarkan dasi, dia berkata, "capek sayang, sebenarnya bukan capek raga, tapi capek jiwa ...""Oh." Vena tergelak. "Memangnya ada apa? Kamu debat sama Om Tiyo?""Debat sama orang itu bukan masalah, aku ketemu sama si orang gila narsis itu..."Tawa Vena langsung hilang. Dia mengerutkan dahi, lalu bertanya untuk memastikan, "maksud kamu ... Dani?""Iya, siapa lagi?""Kok bisa ada di sini?""Kamu nggak ingat dia diundang di acara keluarga kita? Om Tiyo serius mengajak dia kerjasama— jadi dia ikut rapat barusan, dan yang buat lebih menyebalkan lagi ..."
Daniel berada di dalam mobil bersama Sarah. Diam-diam, mereka mengikuti mobil Mario saat keluar dari parkiran hotel. Daniel terlihat mencengkram setir mobil. Dia masih tidak terima dengan omongan Mario saat berada di ruang rapat tadi.Sarah, yang duduk di kursi sebelah, menatapnya. Dia bertanya, "kenapa kamu? Sakit hati dituduh tukang selingkuh berkali-kali?""Mending kamu nggak usah ngomong," sahut Daniel cepat tanpa menoleh kepadanya. Dia sudah terbiasa dengan mulut pedas Sarah, dan sama sekali tidak peduli. "Kamu fokus saja mendekati Mario, sudah ditolong sama Tante berisik itu ... masa kamu nggak bisa juga?""Siapa yang mengira kalau pria itu susah banget didekati?" Sarah berubah muak. Dia menatap ke depan, tepatnya ke jalanan raya, lalu ke mobil Mario. "Aneh banget dia? Bisa-bisanya memilih janda dari antah berantah ketimbang aku? Nggak masuk akal.""Dengar ya, Sarah, aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus berhasil menikah sama dia
Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i