Usai makan malam, Vena membereskan meja makan. Dia menaruh semua piring dan gelas kotor di dalam wastafel, lalu mencuci semua itu.
Mario tidak betah hanya memandangi punggung Vena. Dia berdiri dari kursinya, lalu mendekati wanita itu, dan memeluknya dari belakang.Dengan lembut, dia mengecup pundak Vena yang terbuka. Dia bisa menghirup aroma bunga-bunga yang berasal dari sabun di kulitnya.Vena berenti mencuci sejenak untuk melirik sang suami. Dia tersenyum. "Ada apa? Manja belum kelar-kelar dari tadi?""Aku nggak betah kalau nggak diperhatikan," sahut Mario sengaja bersuara manja. Dia menyerang istrinya dengan kecupan-kecupan lagi di bagian leher hingga ke sekitar tengkuk."Misal ada asisten pembantu, kamu jelas nggak bakalan begini.""Justru karena nggak ada siapapun di rumah ini, kita harus maksimal mesra-mesraan, Sayang."Vena tergelak. Dia kembali mencuci sisa piring yang ada di wastafel. "Iya, iya, tapi aku lagi cKelelahan membuat Vena dan Mario tertidur lelap malam ini. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari.Tiba-tiba tidur Mario terganggu karena merasa ada suara benda jatuh. Dia membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap untuk sesaat— kemudian melihat sekitar. Pandangan mata tertuju ke sang istri yang masih tidur pulas dengan kepala bersandar di dada telajangnya.Tadinya, dia menganggap suara barusan sebagai halusinasi belaka, tapi saat hendak tidur lagi— suaranya kembali muncul.Suara-suara seperti beberapa benda jatuh yang berasal dari lantai bawah.Mario mulai merasa resah, apa mungkin ada pencuri? Pemikiran itu sama sekali tidak pernah muncul dalam benaknya karena itu tak mungkin.Seluruh bangunan rumah ini dilindungi oleh pagar tinggi, dan ada beberapa petugas keamanan yang selalu berjaga dua puluh empat jam bergantian.Dia terpaksa membangunkan Vena. "Sayang, sayang bangun ..."Perlu beberapa
Semua area sudah diperiksa. Tidak ada siapapun atau apapun yang mencurigakan. Alhasil, Mario memutuskan untuk kembali tidur bersama Vena.Di pagi harinya, Vena bangun terlebih dahulu. Dia memijat kening, rasanya agak sakit karena sempat terbangun beberapa jam sebelumnya. Perasaannya kembali tidak enak. Meski demikian, dia turun dari ranjang, dan memulai aktifitas dengan membuka kelambu putih jendela kamar itu— membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar.Begitu cahaya di kamar menjadi lebih terang, kelopak mata Mario terangkat. Dia bangun, lalu melihat sekitar. Kondisi rambutnya sangat acak-acakan. "Pagi, Sayang."Vena melihatnya, lalu menyapa balik, "selamat pagi, kamu berangkat jam delapan 'kan? Kamu ke kamar mandi saja dulu, aku buatkan sarapan sekarang.""Tapi kayaknya aku nggak bisa meninggalkan kamu sendirian di rumah setelah malam kemarin.""Kamu masih curiga ada orang?""Aku serius mendengar suara itu. Mungk
Vena menoleh begitu mendengar suara pintu kamar hotelnya dibuka. Dengan posisi masih duduk manis di atas sofa, dia menyambut sang suami."Kamu lesu banget?" ucapnya sambil tersenyum kecil.Cemberut Mario lenyap, digantikan dengan perasaan gembira. Dia tersenyum balik, kemudian menjatuhkan diri di sebelah Vena. Helaan napas terdengar darinya.Sambil melonggarkan dasi, dia berkata, "capek sayang, sebenarnya bukan capek raga, tapi capek jiwa ...""Oh." Vena tergelak. "Memangnya ada apa? Kamu debat sama Om Tiyo?""Debat sama orang itu bukan masalah, aku ketemu sama si orang gila narsis itu..."Tawa Vena langsung hilang. Dia mengerutkan dahi, lalu bertanya untuk memastikan, "maksud kamu ... Dani?""Iya, siapa lagi?""Kok bisa ada di sini?""Kamu nggak ingat dia diundang di acara keluarga kita? Om Tiyo serius mengajak dia kerjasama— jadi dia ikut rapat barusan, dan yang buat lebih menyebalkan lagi ..."
Daniel berada di dalam mobil bersama Sarah. Diam-diam, mereka mengikuti mobil Mario saat keluar dari parkiran hotel. Daniel terlihat mencengkram setir mobil. Dia masih tidak terima dengan omongan Mario saat berada di ruang rapat tadi.Sarah, yang duduk di kursi sebelah, menatapnya. Dia bertanya, "kenapa kamu? Sakit hati dituduh tukang selingkuh berkali-kali?""Mending kamu nggak usah ngomong," sahut Daniel cepat tanpa menoleh kepadanya. Dia sudah terbiasa dengan mulut pedas Sarah, dan sama sekali tidak peduli. "Kamu fokus saja mendekati Mario, sudah ditolong sama Tante berisik itu ... masa kamu nggak bisa juga?""Siapa yang mengira kalau pria itu susah banget didekati?" Sarah berubah muak. Dia menatap ke depan, tepatnya ke jalanan raya, lalu ke mobil Mario. "Aneh banget dia? Bisa-bisanya memilih janda dari antah berantah ketimbang aku? Nggak masuk akal.""Dengar ya, Sarah, aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus berhasil menikah sama dia
Selepas dari rumah sakit, Vena dan Mario langsung menuju ke restoran untuk makan malam. Sejak keluar dari rumah sakit, Vena terlihat muram. Iya, itu jelas karena perkataan dari dokter kandungan.Sudah lama sejak da berbicara dengan Tante Ruth tentang ini, tapi sekarang kepikiran lagi. Sepanjang perjalanan hingga mereka akhirnya sampai di lokasi tujuan, dia tetap melamun.Begitu keluar mobil, dia melirik ke samping, tepatnya ke sang suami yang terlihat meregangkan otot bahu."Akhirnya sampai juga, aku lapar ..." Mario melihat jam tangan. "Walaupun sekarang masih jam enam sore." Dia melihat sekitar, suasana sore masih ramai di depan restoran. Bibirnya tersenyum lebar mengamati begitu banyak kendaraan yang terparkir, ini menandakan ramai pembeli."Kayaknya bisnis lancar ya, Sayang," katanya sedikit ingin menggoda Vena. Tetapi, senyumnya langsung pudar akibat menyadari sang istri melamun. "Hei? kamu kenapa?"Lamunan Vena buyar. Dia
Mario menikmati hidangan makan malam. Dia tersenyum puas dengan kualitas rasa dari ayam panggang khas restoran istrinya ini.Usai mengusap mulut dengan tisu, dia baru berkomentar, "kayaknya ini kalau kamu yang masak, jadinya malah kemanisan, tapi ini enak loh.""Mengejek, lalu memuji," sahut Vena menahan tawa. Dia juga sudah selesai makan, jadi langsung mengelap mulut dengan tisu."Tapi serius Sayang, pantas orang-orang betah makan di sini, enak. Padahal harga juga murah, tapi kualitas bintang lima.""Bisa saja kamu."Mario tergelak. Dia kembali memuji, "harusnya kamu nambah menu mie.""Mie? Perasaan kamu bilang harus fokus ke ayam-ayam dulu?""Iya, sih." Mario masih tergelak. Dia lalu berkata lagi, "cuma kayaknya ini ladang bisnis yang menjanjikan. Kita lihat progressnya bulan depan, jika bagus, kamu bisa nambah menu andalan mie dengan campuran ayam madu. Bagaimana?"Vena mengangguk. "Aku juga maunya begitu, d
Setelah sampai di dalam kamar hotel, Mario langsung menjatuhkan diri di atas ranjang. Dia menghela napas panjang, bersikap layaknya orang paling lelah sedunia. Seperti biasa, Vena melepaskan sepatu dan kaos kaki yang dipakai sang suami sambil senyum-senyum sendiri. Dia menggodanya dengan berkata, "kamu ini lama-lama kayak kucing ya?" "Kayak kucing bagaimana sih?" Suara Mario tidak terlalu terdengar karena dia tengah tengkurap, dan wajahnya terbenam di bantal. Terjadi kediaman sejenak, sebelum akhirnya Vena menjawab, "iya kayak kucing, seolah-olah paling lelah sedunia, padahal hari ini juga nggak ngapa-ngapain." "Nggak ngapa-ngapain bagaimana? Aku tadi itu rapat, Sayang. Kamu kira yang capek kerja cuma kuli? Rapat itu juga lelah ... lelah pikiran apalagi, belum lagi kalau orang yang diajak rapat banyak maunya, terus ketemu sama si brengsek narsis itu juga." Vena tertawa, tidak menjawab. Dia sudah selesai melepaskan sepatu yang dikenakan oleh sang suami, kemudian ditaruh di sebelah
Daniel menjatuhkan diri di atas sofa. Dia merasa kesal sampai memijit pinggang. "Sialan, aku capek banget mengurus Bianka," katanya. Sementara itu, orang yang diajak bicara alias Sarah terlihat malas menanggapi karena fokus ke sekitar. Iya, dia jelas tak sudi berada di kamar hotel non berbintang ini. "Kamu bagaimana sih, masa belok ke penginapan nggak jelas begini?" keluhnya sambil melihat AC ruangan yang banyak debu dan bersarang laba-laba. "Yang benar saja, masa kita menginap di penginapan murahan begini? AC juga nggak dingin." Daniel seperti mendengar omelan Bianka. Dia merasa kesal. "Kamu harusnya bersyukur kita bisa menemukan penginapan ini setelah berjam-jam lari dari Bianka." "Ya tetap saja harusnya kita lanjut dulu, aku kan bisa cek hotel lain. Aku nggak betah kalau di sini, baunya juga nggak enak." Sarah masih mengomel. Dia mendekati ranjang, lalu duduk di tepiannya. Sebenarnya, kamar