Mau tidak mau, Vena harus menuruti bianka untuk pergi ke rumahnya. Semua itu demi membuktikan bahwa tidak mungkin Daniel ada di sana. Dalam benaknya, dia sudah bisa menebak kalau kemungkinan besar Daniel telah berselingkuh. Iya, berdasarkan dari omongan Bianka yang tampak kecewa.Sepanjang perjalanan, Vena duduk di kursi belakang bersama wanita itu. Sesekali, dia menengok ke arah perutnya yang telah membuncit. Meski muak, tapi dia merasa kasihan."Kita sudah sampai," ucap Mario yang duduk di kursi depan sebelah dari kursi sopir. Vena menengok ke luar jendela. Dia tetap diam hingga mobil berhenti di halaman depan rumahnya.Seperti biasa, kawasan rumah di sini sangat sepi, apalagi di waktu siang begini. Banyak orang yang beraktifitas di luar— jalanan pun ramai.Vena turun, lalu disusul oleh Bianka. Usai bicara ke sopir, Mario ikut turun dari mobil. Dia menghela napas panjang sembari menengok ke penampakan rumah sang istri. Kenangan awal mula perkenalan mereka pun kembali muncul di ke
Vena, Mario dan Bianka mendatangi kafe yang ada di dekat rumah. Begitu menginjakkan kaki di situ, Vena langsung teringat saat diajak makan di sini oleh Mario dahulu. Dia tersenyum sendiri— karena pria itu keceplosan tentang bulan madu. "Ngapain kamu senyum-senyum? Kamu pasti ingat tentang Mas Dani 'kan? Dulu waktu masih pacaran kalian sering sekali ke sini." Bianka bicara dengan nada yang sinis karena dikuasai perasaan cemburu sekaligus kesal. Sekalipun sudah tak menginginkan Daniel, dia tak sudi kalau pria itu malah beralih mencintai Vena lagi. Dia merasa dihina kalau seperti ini. Mario sempat melirik ke arah sang istri, melihatnya mmenghapus senyuman dari bibir. Dia penasaran, apa yang ada di benaknya? Vena membalas omongan Bianka dengan berkata, "mending kamu nggak usah ngomong apa-apa. Kita di sini mau saling membuktikan, oke?" Bianka hanya mendengus. Mario menghela napas panjang, mencoba menepis segala macam pemikiran buruk. Dia sangat yakin kalau tidak mungkin Vena
Selama perjalanan pulang, Mario tidak mengatakan apapun. Pria itu hanya menengok ke luar jendela. Ini membuat Vena makin curiga, dia heran dengan sikapnya yang seperti tidak mau melihatnya. Tetapi, dia tetap diam sampai di rumah.Begitu sampai di rumah, Mario langsung masuk ke dalam kamar. Vena ikut masuk ke dalam, lalu menutup pintu yang ada di belakangnya. Baru setelahnya, ia menaruh perhatian ke sang suami. "Ada apa? Kamu dari tadi sepeti menghindariku?"Sambil melepaskan kancing kemejanya, Mario masuk ke ruangan ganti. Dia sibuk membuka pintu lemari, dan mengambil satu kaos santai berwarna biru.Diabaikan terang-terangan, Vena mengikutinya. Dia berdiri di ambang pintu ruang ganti itu— lalu memandangi pria itu. "Kamu kok malah diam saja? Ada apa?""Aku cuma lagi mikir." Mario membuang kemejanya di keranjang kotor, lalu ganti dengan kaos santai tadi. Setelahnya, dia menutup pintu lemari, sempat menatap wanita itu sekilas sebelum akhirnya melepaskan jam tangan— dan ditaruh di laci k
Setelah makna malam, Vena membereskan kamar tidur, dan melakukan rumah tangga lain. Dia menikmati waktunya sebelum akhirnya berada di dapur— lalu memasak untuk makan malam. Senyum melebar di bibirnya karena seluruh rumah ini seperti dalam kendalinya. Iya, wajar saja dia bahagia karena selama ini harus menahan diri. Semua kegiatan rumah tangga harus dikerjakan oleh para pembantu. Untuk urusan memasak, bersih-bersih, urusan laundry, dan lain-lain.Sebagai seorang Nyonya, dia dilarang menyentuh hal-hal yang seperti ini di kediaman Winata. Padahal memasak dan menghabiskan waktu merawat rumah sudah menjadi hobi baginya.Di saat dia sibuk di dapur, Mario masih ada di dalam ruang kerjanya. Dia sudah tidak marah akibat kejadian tadi siang. Suasana hati sudah membaik karena kepercayaannya kepada sang istri sudah kembali.Tak berselang lama, ada ketukan di pintu, sebelum akhirnya dibuka. Vena terlihat di ambang pintu. Dia berkata, "makan malam sudah siap,
Vena menjatuhkan diri di atas salah satu kursi yang melingkari meja makan. Dia menghela napas panjang, rambut terlihat berantakan dan wajah pun kelelahan. "Aku capek, loh, rasanya tenagaku terkuras," gerutunya sembari mengambil alat makan di kedua sisi hidangan steak. "—gara-gara kamu juga sekarang dagingnya pasti sudah dingin." Mario yang duduk di seberang meja menahan tawa. Dia sama saja dengan Vena, lumayan berantakan— terutama pada bagian rambut. Dia mengiris daging steak, kemudian menggunakan garpu untuk memakan potongannya. Senyum merekah di bibirnya kala berkomentar, "mmm ... enak kok, Sayang, nggak menyangka juga ternyata istriku bisa buat steak." Vena tersenyum pula. Dia tidak lagi cemberut karena pujian itu. Tanpa mengatakan apapun, dia ikut menikmati makanan buatannya. "Oh iya," ucapnya membuka obrolan setelah beberapa menit kemudian, "kamu beneran nggak ada kerjaan?" "Nggak ada, ta
Usai makan malam, Vena membereskan meja makan. Dia menaruh semua piring dan gelas kotor di dalam wastafel, lalu mencuci semua itu.Mario tidak betah hanya memandangi punggung Vena. Dia berdiri dari kursinya, lalu mendekati wanita itu, dan memeluknya dari belakang.Dengan lembut, dia mengecup pundak Vena yang terbuka. Dia bisa menghirup aroma bunga-bunga yang berasal dari sabun di kulitnya.Vena berenti mencuci sejenak untuk melirik sang suami. Dia tersenyum. "Ada apa? Manja belum kelar-kelar dari tadi?""Aku nggak betah kalau nggak diperhatikan," sahut Mario sengaja bersuara manja. Dia menyerang istrinya dengan kecupan-kecupan lagi di bagian leher hingga ke sekitar tengkuk. "Misal ada asisten pembantu, kamu jelas nggak bakalan begini.""Justru karena nggak ada siapapun di rumah ini, kita harus maksimal mesra-mesraan, Sayang."Vena tergelak. Dia kembali mencuci sisa piring yang ada di wastafel. "Iya, iya, tapi aku lagi c
Kelelahan membuat Vena dan Mario tertidur lelap malam ini. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari.Tiba-tiba tidur Mario terganggu karena merasa ada suara benda jatuh. Dia membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap untuk sesaat— kemudian melihat sekitar. Pandangan mata tertuju ke sang istri yang masih tidur pulas dengan kepala bersandar di dada telajangnya.Tadinya, dia menganggap suara barusan sebagai halusinasi belaka, tapi saat hendak tidur lagi— suaranya kembali muncul.Suara-suara seperti beberapa benda jatuh yang berasal dari lantai bawah.Mario mulai merasa resah, apa mungkin ada pencuri? Pemikiran itu sama sekali tidak pernah muncul dalam benaknya karena itu tak mungkin.Seluruh bangunan rumah ini dilindungi oleh pagar tinggi, dan ada beberapa petugas keamanan yang selalu berjaga dua puluh empat jam bergantian.Dia terpaksa membangunkan Vena. "Sayang, sayang bangun ..."Perlu beberapa
Semua area sudah diperiksa. Tidak ada siapapun atau apapun yang mencurigakan. Alhasil, Mario memutuskan untuk kembali tidur bersama Vena.Di pagi harinya, Vena bangun terlebih dahulu. Dia memijat kening, rasanya agak sakit karena sempat terbangun beberapa jam sebelumnya. Perasaannya kembali tidak enak. Meski demikian, dia turun dari ranjang, dan memulai aktifitas dengan membuka kelambu putih jendela kamar itu— membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar.Begitu cahaya di kamar menjadi lebih terang, kelopak mata Mario terangkat. Dia bangun, lalu melihat sekitar. Kondisi rambutnya sangat acak-acakan. "Pagi, Sayang."Vena melihatnya, lalu menyapa balik, "selamat pagi, kamu berangkat jam delapan 'kan? Kamu ke kamar mandi saja dulu, aku buatkan sarapan sekarang.""Tapi kayaknya aku nggak bisa meninggalkan kamu sendirian di rumah setelah malam kemarin.""Kamu masih curiga ada orang?""Aku serius mendengar suara itu. Mungk