Terjadi keheningan di dapur. Bianka dan Daniel duduk saling berhadapan di meja makan.Daniel santai membaca koran sembari menikmati kopi. Tubuhnya masih terbalut baju tidur. Sementara, Bianka tidak tahan karena pria itu hanya diam sejak kemarin. Setidaknya, dia ingin penjelasan tentang apa yang sudah terjadi."Mas, tolong jangan diam saja, sekarang aku butuh penjelasan," katanya membuka obrolan."Penjalasan apa?""Kenapa kamu mengalah? Kamu mengaku ke media kalau cuma menyebar berita bohong tentang perselingkuhan Vena sama suaminya dulu."Tak ada jawaban. Daniel malah tetap sibuk dengan bacaan korannya. Dia seperti enggan membahas itu.Bianka kesal diabaikan. Semakin ke sini, dia merasa semakin tidak dianggap ada. Dia mulai mengomel, "Kamu keterlaluan, aku lagi hamil, tapi kamu sekarang sering banget mengabaikanku! Kamu nggak pernah mendengarkanku sama sekali! Pasti sekarang kamu lagi memikirkan Vena, iya 'kan?”"Dari kemarin kamu itu mengomel terus, aku capek dengar kamu mengomel. Ak
Makan malam berdua. Itulah yang diinginkan Mario untuk sekarang. Dia ingin menebus perkataan jahat Tante Ruth kepada Vena.Dia cukup takjub dengan pilihan restoran oleh Daffa. Meski dia sangat kaya raya, terlahir dari keluarga old money, tapi dia sama sekali tidak pernah ke tempat semacam ini.Iya, dia lebih sering ke restoran biasa, itupun karena untuk bertemu calon rekan bisnis atau semacamnya.Vena tersenyum sejak menginjakkan kaki di atap restoran mewah ini, menikmati pemandangan kota di malam hari yang indah. Hamparan langit cerah berbintang, sementara bawah terbentang bangunan-bangunan tinggi.Terlihat lampu kendaraan yang memenuhi jalanan— bergerak cepat, sekilas seperti permainan cahaya yang menenangkan.Damai, sejuk, dan romantis. Itulah suasana yang menebar di antara mereka.Mario menarik satu kursi, mempersilakannya untuk duduk. "Ayo duduk dulu, Sayang."Lamunan Vena buyar. Dia tersenyum ke sang suami, kemudian duduk. Sikapnya sangat anggun, apalagi sedang menggunakan gaun
"Oh iya ..."Vena membuka obrolan setelah menghabiskan makanan pembuka.Mario mengusap mulutnya dengan serbet makan, baru setelah itu menjawab, "ada apa?""Aku minta maaf.""Minta maaf kenapa, Sayang?""Soalnya masalah kamu akhir-akhir ini sumbernya dari masa laluku.""Mau sampai kapan kamu membahas itu? Padahal kita lagi berduaan, loh, masa yang dibahas begituan melulu?""Omongan Tante Ruth memang kasar, tapi dia benar, Mas. Mungkin harusnya aku menyelesaikan urusanku sama Dani dulu baru menerima pinangan kamu.""Maksudnya kamu menyesal menikah sama aku?""Enggak!" Sahut Vena cepat. Dia menggelengkan kepala. "Aku yang takut kamu menyesal menikah sama aku. Mungkin aku pembawa sial...""Sayang, kita nggak tahu kalau pria gila itu bakalan ganggu kita. Sejak kalian cerai, kalian nggak ada hubungan lagi 'kan? Semua ini terjadi karena ego-nya tersakiti waktu aku maki-maki di restoran hotel. Ini bukan salah kamu saja.""Kamu nggak takut aku bawa sial di kehidupan kamu sama keluarga kamu?""
Tante Ruth resah melihat Sarah duduk santai di ruang tengah rumahnya. Sekalipun ingin dia usir, tapi wanita itu hadir atas undangan sang anak.Dia melirik ke dalam, memastikan anaknya tidak ada, baru setelahnya bicara, "saya heran sama kamu, masih berani datang ke sini."Sarah memasang wajah santun. Dia berdiri dari sofa, lalu menjelaskan, "Sarah diundang kok ke sini sama anak bungsu Tante.""Awas saja kalau kamu memanfaatkan Monica agar kamu bisa dekat-dekat dengan kami lagi.""Tante, masa masih marah sih sama Sarah? Sarah sudah mengembalikan uang Tante 'kan.""Kan sudah saya bilang sebelumnya, saya masih nggak bisa terima sama kelakuan kamu dulu itu. Kamu mempermalukan saya. Padahal saya serius mau menjodohkan kamu sama keponakan saya, tapi kamu malah minggat sebelum kenalan sama dia."Sarah mendekati wanita itu, lalu memegangi tangannya. Dia bertingkah layaknya anak yang ingin minta maaf ke sang ibu. "Tante, Sarah paham kenapa Tante sebel banget sama Sarah. Sarah menyesal sudah per
Mario dan Vena pulang ke rumah tak lama setelah menyelesaikan makan malam romantis mereka.Mario menghempaskan diri di atas ranjang. Dia menghela napas panjang, pertanda betapa lelah dia.Sementara itu, Vena duduk di pinggiran ranjang sembari melepaskan sepatu yang dikenakan pria itu. Dia menegur, "Mas, jangan kebiasaan langsung hempas ke ranjang padahal masih pakai sepatu!""Maaf, Sayang, aku kangen banget sama ranjang kita," sahut Mario yang sudah seperti anak kecil. Dia membelai-belai sprei dengan gembira seolah sudah lama tak disentuh."Aduh, jadi iri sama ranjang."Mario tergelak. "Bisa saja kamu."Vena masih sibuk melepaskan sepatu Mario. "Tapi, kamu ini kadang kayak anak-anak. Nggak sadar umur sudah di atas tiga puluh tahun?""Bodoh amat, jadi dewasa itu capek, tuntutan ini-itu, nggak kelar-kelar. Coba kita ketemu sejak dari sekolah, Sayang— pasti kita punya lebih banyak waktu buat pacaran." Mario memandang langit-langit, membayangkan apa jadinya jika mereka bertemu saat remaja
Esok harinya, Vena bangun lebih awal ketimbang Mario. Dia melakukan aktifitas lain, sebelum akhirnya masuk ke dapur.Di sana, dia melihat beberapa asisten rumah tangga yang tengah bersih-bersih, membersihkan sayuran, dan bersiap untuk membuat sarapan.Begitu melihat Vena, salah satu dari mereka alias Bu Mina, menyambut, "Nyonya, sudah bangun? Mau dibuatkan apa?""Tolong buat teh mawar biasanya, Bu." Vena menjawab sembari menarik kursi meja makan, kemudian diduduki. Dia menambahkan, "...tanpa gula.""Baik, Nyonya."Usai berkata demikian, wanita tersebut mengambil panci, dimasukkan air dari kran wastafel. Baru, setelahnya direbus di atas kompor tanam."Oh iya ..." Vena ingin memastikan, "Bu Mina, hari ini menunya yang bilang kemarin 'kan?""Iya, Nyonya. Kari ayam.""Untuk makan malam, saya saja yang masak, Bu."Bu Mina kaget. Dia tahu kalau Vena selalu dapat masalah jika ikut urusan dapur. Karena hal tersebutlah, dia menggelengkan kepala. "Nggak usah, Nyonya, biar saja saya sama yang la
Tidak ada kegiatan. Tidak ada rapat. Tidak ada pekerjaan lagi. Mario pulang lebih awal begitu sudah terbebas dari rutinitas di kantor. Dia melepas jas, sepatu, kemudian ambruk di atas ranjang dengan posisi tengkurap. Vena datang ke kamar. Dia tersenyum melihat sang suami. "Begitu sampai kamar, langsung jatuh ke kasur, ya?" "Capek," sahut Mario dengan nada manja. Dia berpaling ke arah Vena, lalu berkata lagi, "aku mau bobok siang sebentar. Sudah lama nggak bobok siang. Hidup susah banget ... malam melayani istri, pagi kerja keras." Vena tertawa. Dia menggodanya dengan berkata, "ya kalau nggak mau, jangan melayani istri kalau malam." "Nggak bisa." Mario menoleh untuk melihat istrinya. Dia ikut tertawa sedikit. "Masalahnya kegiatan malam sama istri itu walaupun bikin lelah tapi nikmat." "Dasar kamu ini." Mario kembali membenamkan wajah di bantal. Vena menawarkan, "mau dipijat dulu, nggak?" "Serius?" "Iya, dong." "Mau banget." "Kalau begitu buka baju." Mario segera bangun se
Malam harinya.Vena sudah selesai menyajikan berbagai contoh ayam panggang madu resep pribadi di atas meja. Dia sudah berdiri di sebelah meja, tersenyum pada sang suami yang baru masuk ke ruang makan.Pria itu mencium aroma enak sampai perut bergemuruh lapar. Dia bertanya, "dari tadi sudah nggak tahan pengen ke sini, kamu masak apa ini, Sayang?""Kejutan!" Vena sumringah sembari memperlihatkan masakan di atas meja. "Aku buat ayam panggang madu, tapi dibantu Bu Mina, sih.""Ini kejutannya?""Iya, ini aku buat dari resep pribadiku. Coba deh kamu rasakan, cocok nggak kalau ditaruh di restoran nanti."Mario antusias, lalu duduk. Dia terkejut tatkala Vena menaruh serbet di atas pangkuannya, kemudian mulai megambil potongan ayam panggang, dan ditaruh di atas piring.Dia heran. "Oh apa ini? Kamu kok tiba-tiba melayani aku begini?""Kenapa kaget? Kan istri memang berkewajiban memanjakan suami." Vena tersenyum lebar. Suasana hatinya sedang baik. Alhasil, aura di wajahnya seolah bersinar."Bisa