Tamu tak diundang itu berhenti di hadapan mereka. Suasana hati Mario langsung memburuk. Dia tidak mengira akan mendengar suara sang bibi secara tiba-tiba lagi. Dengan sopan, dia menegur, "Tante ini bisa nggak kalau ke sini itu minimal mengabari dulu, jangan main masuk rumah begini." "Kok kamu ngomongnya begini sekarang?" Tante Ruth kaget. Dia merasa sang keponakan makin berani terhadapnya. "Biasanya kamu nggak pernah ngomel kalau Tante ke rumah kamu. Ini juga rumah Tante 'kan? Ngapain kamu sekarang sok melarang-melarang Tante ke sini tiba-tiba?" "Siapa yang ngomel? siapa yang melarang? Mario bilang kabari dulu. Mario sekarang sudah menikah, Tante." "Iya, iya, lain kali Tante bakalan ijin sama Nyonya besar saja. Boleh 'kan, Nyonya Vena?" Tante Ruth mengalihkan pandangan ke Vena. Nada bicaranya sangat jelas sedang sarkas. Tetapi, Vena tersenyum dan mengangguk. Dia berkata, "Tante 'kan sudah seperti mertua Vena, jadi kapan saja bisa datang, kok." Tante Ruth seperti risih dipanggil
Dua hari kemudian, acara pertemuan keluarga pun datang.Vena mengenakan dress yang cukup sopan dan kasual. Di lehernya juga melingkar kalung pemberian Mario.Mario sibuk membaca pesan di ponsel. Kening mengerut heran. Setelah beberapa menit berlalu, dia mengantongi HP di saku celana, lalu berkata ke sang istri, "acaranya nggak jadi di rumah Tante, tapi di gedung meeting milik Om.""Gedung meeting? jauh?""Nggak juga." Mario melihat jam tangannya, tersadar sudah hampir malam. "Mending kita berangkat sekarang sebelum makan malam barengnya dimulai, daripada terlalu telat nanti mengomel lagi Tante."Vena mengangguk.Keduanya naik ke dalam mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadi alias Pak Hardi. Mereka diantarkan menuju ke gedung yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, Vena sedikit tegang, dan bertahan hingga sudah tiba di lokasi tujuan.Vena melihat bangunan besar layaknya hotel, hanya saja tidak terlalu tinggi. Tidak terpasang nama apapun tentang bangunan ini, pagar pun tinggi seolah-ola
Kehadiran Sarah sangat mengejutkan Vena dan Mario. Iya, terutama Vena— dia sangat tidak nyaman dengan kehadirannya. Setelah kebohongan dibuat, kenapa wanita itu diperbolehkan ke sini oleh Tante Ruth. Belum reda perasaan kaget mereka, mendadak ada lagi yang datang, dan itu adalah mantan suami Vena. Melihatnya datang langsung mengundang kejengkelan di hati Mario. Dia mendekati mereka semua, lalu menoleh ke sang bibi. "Tante, ngapain mereka ada di sini? terutama pria ini?" Dia bertanya sembari menuding wajah Daniel. Dengan santainya, Tante Ruth menjawab, "Tante yang mengundang, bagaimana pun masalah kamu sama Daniel ini sudah selesai, jadi nggak ada salahnya mengundangnya juga." "Ini acara keluarga, Tante." "Ya terus?" "Mereka bukan keluarga." Perdebatan ini membuat Daniel menyeringai. Tetapi, dia menahan diri agar tidak tertawa. Dia sempat melirik Vena yang masih mematung di tempat yang sama. Dia bisa tahu mantan istrinya tersebut syok dengan kehadirannya setelah apa yang terja
Suasana kumpul yang meriah memenuhi ruangan, keluarga Mario terlibat berbagai perbincangan dan gelak tawa pun menggema. Vena mengikuti sang suami saat menghampiri salah satu meja. Sikapnya begitu santun, tak mau membuat masalah. Tetapi, baru saja mendekat, sorot mata mereka meruncing kepadanya seolah-olah dia adalah musuh. Mario berhenti tepat di sebelah kursi yang diduduki oleh pria setengah baya. Dia menyapa, "Om Toni, apa kabar?" Pria bernama Om Toni itu menjabat tangan Mario. "Baik. Kamu bagaimana?" "Baik, Om. Oh iya, kemarin waktu nggak datang 'kan ke pernikahan Mario. Ini kenalkan istri Mario ... Vena." Mario memperkenalkan istrinya dengan senyum bangga. "Oh—“ Om Toni tersenyum palsu saat menjabat tangan Vena. "Kamu yang namanya Vena, saya ini paman Mario dari keluarga papanya." "Salam kenal, Om." Vena tidak nyaman dengan senyuman pria itu. Dia makin aneh karena trus dipandang sinis. Namun, dia tak mau kelihatan resah. Bagaimana pun, dia harus menampilkan yang terbaik.
Vena hanya terdiam lama di tempatnya duduk. Dia berusaha untuk tidak melihat ke arah siapapun, tak mau jadi sasaran kebencian.Tak lama berselang, tak disangka seorang gadis datang mendekat— dan itu adalah Monica. Dia sengaja datang karena kasihan dengan Vena yang dipandang miring oleh seluruh saudara.Dia menyapa, "hai, kak!"Vena tersenyum menyambutnya. Dia lega, setidaknya di dalam keluarga Mario, masih ada yang peduli. "Hei, kamu di sini juga ternyata? Kok tadi nggak kelihatan sama Tante?"Monica duduk di kursi sebelahnya. Dia menjawab, "Mama selalu sibuk sendiri, yang paling menyebalkan— nggak tahu kenapa sekarang kok dekat banget sama mereka?" Dia melirik ke arah di mana ibunya duduk bersama Sarah dan para bibi yang lain. "Hati-hati, Kak. Monica dengar Mama sama Kak Sarah mau melakukan sesuatu.""Sesuatu apa?""Nggak tahu. sih, tapi kayaknya mau cari gara-gara lagi, nggak menyangka juga kalau Mama sampai setega ini sama kakak. Aku tahu loh kalau malam itu Kakak dikenalkan ke tan
Begitu Mario mendekat, Om Tiyo pergi untuk menemui salah satu kerabatnya yang ada di meja lain. Alhasil, Mario mengambil segelas jeruk dari meja hidangan terdekat, lalu mendekati Daniel.Daniel tersenyum lebar. "Hei ...""Bicara apa kamu sama Om saya?" tanya Mario balas memberikan lirikan tajam. "Ingat, kamu itu urusannya sama saya. Jangan sok akrab sama anggota keluarga saya.""Nggak usah galak-galak begitu, urusan bisnis memang sama kamu, tapi saya direkomendasikan sama Tante kamu itu buat kerjasama juga sama Om kamu.""Apa katamu? Kerjasama bisnis? Jangan sembarangan, kamu niat mau masuk ke kehidupan keluarga saya, iya 'kan? Mau bikin ulah?" Sebenarnya, Mario tidak kaget. Setelah kedatangan Daniel tadi yang diundang, tentu pasti ada yang tidak beres. Tetapi, dia masih penasaran maksud dari sang bibi mengundangnya. "Kayaknya akhir-akhir Tante ketemu keluarga kamu, pantas pikirannya diracuni terus.""Diracuni apa? Jangan seenaknya bicara. Kenapa nggak langsung saja bicara ke Tante ka
Mata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?""Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh.Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?""Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi.Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya.Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "
Vena duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh campuran rasa tidak percaya dan pengkhianatan. Tangannya menggenggam erat surat cerai yang baru diterima. Tak terasa sudah empat bulan sejak dia tinggal di sini— di rumah tua sang ayah.Dia masih memandangi surat cerai tersebut. Benda ini seperti pengingat akan kehidupan yang telah ia bangun, dan telah terkoyak. Kenangan akan tawa suaminya, janji cinta dan dukungannya, sekarang hanya bergema kosong dalam hati. Dia ditinggalkan sendiri dalam kepahitan.Saat perasaan putus asa sudah sampai puncaknya, api perlahan berkobar lagi di dalam diri Vena— kebulatan tekad untuk bangkit dari keterpurukan, meraih rasa percaya dirinya lagi.Dia sadar apapun yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran. Selama masih hidup, artinya menyerah bukanlah opsi.Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di sebelahnya bergetar. Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu memeriksa pemanggil."Nomor tak dikenal?" Dia membaca tulisan di la