Kehadiran Sarah sangat mengejutkan Vena dan Mario. Iya, terutama Vena— dia sangat tidak nyaman dengan kehadirannya. Setelah kebohongan dibuat, kenapa wanita itu diperbolehkan ke sini oleh Tante Ruth. Belum reda perasaan kaget mereka, mendadak ada lagi yang datang, dan itu adalah mantan suami Vena. Melihatnya datang langsung mengundang kejengkelan di hati Mario. Dia mendekati mereka semua, lalu menoleh ke sang bibi. "Tante, ngapain mereka ada di sini? terutama pria ini?" Dia bertanya sembari menuding wajah Daniel. Dengan santainya, Tante Ruth menjawab, "Tante yang mengundang, bagaimana pun masalah kamu sama Daniel ini sudah selesai, jadi nggak ada salahnya mengundangnya juga." "Ini acara keluarga, Tante." "Ya terus?" "Mereka bukan keluarga." Perdebatan ini membuat Daniel menyeringai. Tetapi, dia menahan diri agar tidak tertawa. Dia sempat melirik Vena yang masih mematung di tempat yang sama. Dia bisa tahu mantan istrinya tersebut syok dengan kehadirannya setelah apa yang terja
Suasana kumpul yang meriah memenuhi ruangan, keluarga Mario terlibat berbagai perbincangan dan gelak tawa pun menggema. Vena mengikuti sang suami saat menghampiri salah satu meja. Sikapnya begitu santun, tak mau membuat masalah. Tetapi, baru saja mendekat, sorot mata mereka meruncing kepadanya seolah-olah dia adalah musuh. Mario berhenti tepat di sebelah kursi yang diduduki oleh pria setengah baya. Dia menyapa, "Om Toni, apa kabar?" Pria bernama Om Toni itu menjabat tangan Mario. "Baik. Kamu bagaimana?" "Baik, Om. Oh iya, kemarin waktu nggak datang 'kan ke pernikahan Mario. Ini kenalkan istri Mario ... Vena." Mario memperkenalkan istrinya dengan senyum bangga. "Oh—“ Om Toni tersenyum palsu saat menjabat tangan Vena. "Kamu yang namanya Vena, saya ini paman Mario dari keluarga papanya." "Salam kenal, Om." Vena tidak nyaman dengan senyuman pria itu. Dia makin aneh karena trus dipandang sinis. Namun, dia tak mau kelihatan resah. Bagaimana pun, dia harus menampilkan yang terbaik.
Vena hanya terdiam lama di tempatnya duduk. Dia berusaha untuk tidak melihat ke arah siapapun, tak mau jadi sasaran kebencian.Tak lama berselang, tak disangka seorang gadis datang mendekat— dan itu adalah Monica. Dia sengaja datang karena kasihan dengan Vena yang dipandang miring oleh seluruh saudara.Dia menyapa, "hai, kak!"Vena tersenyum menyambutnya. Dia lega, setidaknya di dalam keluarga Mario, masih ada yang peduli. "Hei, kamu di sini juga ternyata? Kok tadi nggak kelihatan sama Tante?"Monica duduk di kursi sebelahnya. Dia menjawab, "Mama selalu sibuk sendiri, yang paling menyebalkan— nggak tahu kenapa sekarang kok dekat banget sama mereka?" Dia melirik ke arah di mana ibunya duduk bersama Sarah dan para bibi yang lain. "Hati-hati, Kak. Monica dengar Mama sama Kak Sarah mau melakukan sesuatu.""Sesuatu apa?""Nggak tahu. sih, tapi kayaknya mau cari gara-gara lagi, nggak menyangka juga kalau Mama sampai setega ini sama kakak. Aku tahu loh kalau malam itu Kakak dikenalkan ke tan
Begitu Mario mendekat, Om Tiyo pergi untuk menemui salah satu kerabatnya yang ada di meja lain. Alhasil, Mario mengambil segelas jeruk dari meja hidangan terdekat, lalu mendekati Daniel.Daniel tersenyum lebar. "Hei ...""Bicara apa kamu sama Om saya?" tanya Mario balas memberikan lirikan tajam. "Ingat, kamu itu urusannya sama saya. Jangan sok akrab sama anggota keluarga saya.""Nggak usah galak-galak begitu, urusan bisnis memang sama kamu, tapi saya direkomendasikan sama Tante kamu itu buat kerjasama juga sama Om kamu.""Apa katamu? Kerjasama bisnis? Jangan sembarangan, kamu niat mau masuk ke kehidupan keluarga saya, iya 'kan? Mau bikin ulah?" Sebenarnya, Mario tidak kaget. Setelah kedatangan Daniel tadi yang diundang, tentu pasti ada yang tidak beres. Tetapi, dia masih penasaran maksud dari sang bibi mengundangnya. "Kayaknya akhir-akhir Tante ketemu keluarga kamu, pantas pikirannya diracuni terus.""Diracuni apa? Jangan seenaknya bicara. Kenapa nggak langsung saja bicara ke Tante ka
Mata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?""Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh.Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?""Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi.Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya.Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "
Vena duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh campuran rasa tidak percaya dan pengkhianatan. Tangannya menggenggam erat surat cerai yang baru diterima. Tak terasa sudah empat bulan sejak dia tinggal di sini— di rumah tua sang ayah.Dia masih memandangi surat cerai tersebut. Benda ini seperti pengingat akan kehidupan yang telah ia bangun, dan telah terkoyak. Kenangan akan tawa suaminya, janji cinta dan dukungannya, sekarang hanya bergema kosong dalam hati. Dia ditinggalkan sendiri dalam kepahitan.Saat perasaan putus asa sudah sampai puncaknya, api perlahan berkobar lagi di dalam diri Vena— kebulatan tekad untuk bangkit dari keterpurukan, meraih rasa percaya dirinya lagi.Dia sadar apapun yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran. Selama masih hidup, artinya menyerah bukanlah opsi.Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di sebelahnya bergetar. Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu memeriksa pemanggil."Nomor tak dikenal?" Dia membaca tulisan di la
Vena baru saja membuka pintu, dan dihadapkan dengan orang asing.Seorang pria tiga puluh tahunan yang terbalut jas hitam tertutup nan rapi, tapi bentuk tubuhnya tercetak jelas. Tinggi tegap, bahu lebar, lengan berotot. Ditambah wajah rupawan yang terhias oleh mata hitam tajam serta rahang tegas, daya pikatnya amat luar biasa."Iya, Mas?" Vena sampai menahan napas melihat sosoknya. "A-ada yang bisa saya bantu?""Selamat pagi, saya Mario ..." jawab pria itu sambil tebar senyuman manis. Dia ingin memberikan kesan pertama yang memukau. Sambil menunjukkan kwitansi pembayaran di layar ponsel, dia berkata lagi, "... Saya yang mengambil pesanan atas nama Erika." "Mas Mario? oh iya, tadi Ibu Erika sudah bilang. Pesanan ada di dalam, ini saya angkat ke mana?" "Saya bawa mobil. Kamu nggak usah angkat-angkat, biar sopir saya saja—" sahut Mario saat menengok ke mobil mewah yang ada di depan rumah. Di sebelahnya sudah berdiri seorang pria berseragam hitam. "Pak Hardi, tolong bantuannya."Tanpa m
Beberapa bulan berlalu semenjak perkenalannya dengan Mario, Vena masih belum percaya sudah menikah lagi.Kini, dua Minggu usia pernikahan mereka— dan, dia sering ikut sang suami untuk pergi urusan bisnis.Iya, seperti sekarang.Dia menunggu di restoran hotel, tangan sibuk memainkan ponsel. Namun, ketenangannya terganggu ketika suara langkah kaki mendekat."Kamu lagi?!" Suara wanita yang tak asing tengah menegur Vena.Vena menoleh, dan dikejutkan dengan kehadiran Daniel dan Bianka. "Kalian?"Sudah enam bulan sejak bercerai, luka pengkhianatan itu masih belum pulih. Sekarang, dia harus melihat wajah mantan suami lagi.Bianka menuduh, "kamu diam-diam mengikuti kami sampai ke hotel ini!? Sudah aku duga dari dulu, kamu ini stalker!""Jangan sembarangan kalau ngomong!" Vena tersinggung. Dia berdiri dengan terus memandang tajam ke Bianka. Dia menegaskan, "mana mungkin aku mengikuti kalian ke sini? Buat apa juga?""Ya buat cari perhatian. Kamu selalu berusaha ketemu Mas Dani! Kamu nggak terim