Marah, gelisah, khawatir, semua perasaan itu memenuhi benak Mario. Dia marah karena sang istri bisa-bisanya mau pergi bersama wanita asing. Meski dia sadar, kalau ini juga salahhya karena tak bilang lebih awal tentang siapa itu Sarah.Dia tak bisa fokus apapun selain mencari keberadaan Vena. Sebenarnya dia juga tak betah ada di rumah ini, tapi satu-satunya orang yang bisa menghubungi Daniel adalah Bianka.Hingga kemudian, bibinya menelpon. Wanita itu bertanya, "ada apa, Mario? Erika bilang kamu butuh nomor telponnya Sarah?""Iya, Tante, Tante pasti punya 'kan? Atau alamatnya, terserah, yang penting cara agar Mario bisa ketemu dia," sahut Mario cepat."Nggak ada, Tante sudah buang semua yang berhubungan sama Sarah setahun yang lalu. Ini ada apa? Kata Erika, istri kamu ngilang? Apa hubungannya sama Sarah? Kok mereka bisa bersama?"“Mario nggak tahu, Tante, pokoknya Sarah pasti ngomong aneh-aneh sama Vena. Ya sudah, Mario tutup dulu telpon—”"Tunggu sebentar! Mumpung kamu bisa dihubungi
Gerah. Sesak. Pengap.Vena membuka mata dengan kondisi merasakan itu. Dia tengah duduk terikat di kursi kayu dalam gudang sempit. Banyak sekali kardus-kardus yang ditumpuk di pojok-pojok ruangan.Panik. Itu sudah pasti. Tetapi, dia berusaha tenang dan mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Toh, dia takkan bisa berteriak karena mulutnya terbungkam oleh lakban hitam.Entah jam berapa ini, entah pagi, siang atau sore— dia tidak tahu karena tidak memiliki ventilasi. Pencahayaan pun berasal dari lampu kecil di langit-langit.Samar-samar terdengar deru kendaraan di luar, menandakan kemungkinan besar tempat ini di pinggir jalan.Dia mengingat kejadian sebelum pingsan. Setelah bertemu dengan Daniel, dia pergi ke pinggir jalan— sedang menunggu taksi datang.Akan tetapi, sebelum taksi datang, ada mobil hitam berhenti di hadapannya, lalu dengan cepat menariknya masuk.Belum sempat dia berteriak, mulut dan hidungnya sudah disumpal oleh kain. Pelaku adalah pria asing yang tak dikenal.Namun, dia
Mario tidak tahu harus kemana lagi mencari. Perasaannya menjadi kian takut dan gelisah, terlebih karena sang istri menghilang bersama mantan suaminya.Dia sudah meminta bantuan orang-orangnya untuk mencari Vena. Tetapi, hingga tengah malam berlalu, tak ada kabar di mana wanita itu berada.Informasi terakhir mengatakan dia pergi ke apartemen Daniel. Ini melukai hati Mario. Apa ini artinya Vena memang sukarela bertemu mantan suaminya? Tanpa mengabarinya sama sekali?Semalaman, dia tidak tidur. Setelah lelah ikut mencari di jalanan, dia memutuskan untuk duduk di sofa ruang tengah. Di sana, sudah ada sang bibi.Tante Ruth hanya bisa mondar-mandir di depan keponakannya itu. Dia memecah keheningan dengan mengomel, "Mario, tante juga bilang apa, istri kamu ini pasti bawa masalah bagi keluarga kita. Lihat sekarang, dia malah pergi semalaman sama mantan suaminya."Mario mengabaikan omongan wanita itu. Dia terlalu tenggelam dalam pemikiran, terlalu cemas terhadap keselamatan sang istri.Dia mel
Sarah.Iya, itu adalah wanita yang mendadak masuk ke dalam rumah Mario.Tante Ruth mendekatinya. Dia mengomel, "Sarah, coba jelaskan kenapa kamu memfitnah saya? Kamu bilang ke satpam kalau saya yang mennyuruh kamu datang ke rumah ini buat jemput Vena? Siapa yang nyuruh kamu, hah?!""Tenang dulu, Tante," pinta Sarah tersenyum kecil, "Sarah bukan maksud fitnah—""Tenang bagaimana? Gara-gara kamu, saya malah dituduh oleh Mario mau mencelakai istrinya!""Tapi, Sarah nggak ada maksud jelek—""Kamu!" Potong Mario yang tak tahan. Dia ikut mendekatinya. "Ternyata kamu berani muncul di sini? Saya sudah mau melaporkan kamu ke polisi!""Kalau aku merasa bersalah, aku nggak bakalan ke sini, Mas Mario. Harusnya Mas Mario terima kasih, aku sudah mau datang ke sini. Aku kasihan loh sama asisten kamu yang mati-matian mencari kontakku.""Sekarang, katakan saja di mana kamu bawa istri saya pergi? Kamu pasti membawa dia menemui pria kurang ajar itu 'kan?""Pria kurang ajar siapa sih, Mas? Aku memang ke
Mario keluar dari rumah. Tante Ruth mengalihkan perhatian ke Vena. Dia kelihatan kecewa dan sangat marah. "Kamu keterlaluan." Vena menoleh. Dia kembali membela diri, "Tante, tolong dengar Vena dahulu. Vena memang diculik. Vena dijebak—“ Kini perhatiannya teralih ke wanita yang diam saja di samping Tante Ruth alias Sarah. Dia menuduh, "kamu ... Kamu memang sengaja menjemputku agar aku nggak datang sama Mas Mario 'kan?” Sarah menahan tawa ketika menjawab, "Kok malah menuduh yang enggak-enggak? Saya salah apa? Harusnya kamu terima kasih saya sudah antarkan kamu ke panti asuhan, kamu sendiri yang nekad menemui mantan suami kamu sendirian." Vena sudah tahu kalau memang dijebak. Ini berarti sejak awal Darah dan Daniel sudah saling kenal. Dia menuding wanita itu, lalu kembali bicara ke Tante Ruth. "Tante, dia sengaja mengajak Vena ke panti asuhan lebih dulu. Dia merayu Vena buat nggak menunggu Mas Mario." Tante Ruth malah mengomelinya, "Ya terus kamu ngapain menuruti dia? Lagian bodoh a
Vena duduk sendirian di pinggiran ranjangnya. Entah sudah berapa lama dia ada di situ. Tetapi, kejadian pagi tadi tak bisa lenyap dari pikirannya. Hati pun terasa hancur.Dia sudah berkali-kali menghubungi sang suami. Hanya saja, tak ada jawaban sama sekali. Nomor pria itu tak bisa dihubungi. Apa semarah itu Mario padanya?Menyesal. Itulah yang dirasakan oleh Vena. Kalau saja, dia tahu bahwa Daniel bisa berbuat serendah ini, dia takkan sudi pergi sendirian.Tante Ruth semakin membencinya, dan sekarang Mario pun tak mau pulang?Air mata jatuh membasahi pipinya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Jadi, ini yang dimaksud oleh Daniel? Semua akan berakhir? Rumah tangganya yang baru saja terbentuk akan berakhir?Dia sadar diri kalau hanyalah wanita biasa— harusnya dia berpikir dua kali menerima pinangan dari Mario. Tetapi, dia tulus mencintai pria itu, bukan karena dia seorang milyarder atupun dari keluarga terpandang.Memangnya tidak boleh dia menjadi istrinya?Tak berselang lama, terdengar s
Bianka sudah bosan duduk di kafe selama setengah jam. Sementara itu, ibunya tampak duduk di sebelahnya— tengah minum jus jeruk."Ma, sampai kapan kita akan di sini? Mau apa juga siang-siang di kafe kecil begini? Mana makanannya nggak enak. Mending tadi kita ke mall saja," kata Bianka melihat sekitar yang sepi pengunjung. Dia tak percaya ibunya malah memilih untuk nongkrong di tempat beginian.“Shhh ..." desis Ibu Layla begitu melihat seorang wanita paruh baya yang masuk ke dalam tempat ini. ”Itu dia datang. Dia celingukan, pasti takut kalau ketemu wartawan atau orang yang kenal.“Bianka menengok ke pintu masuk kafe, dan terkejut melihat Tante Ruth di situ. Dengan suara lirih, dia bertanya, ”dia bukannya Tante-nya Mas Mario? Kok dia ke sini, Ma? Menemui kita?""Iya, dong. Mama yang undang, nggak mengira juga kalau dia mau datang.“"Buat apa?""Sudah, nanti kamu juga tahu.”Mereka tak berkata apapun lagi karena Tante Ruth sudah ada di hadapan mereka. Iya, wanita itu kelihatan gelisah s
Vena menghela napas panjang ketika masuk ke dalam apartemen Daniel. Baru kali ini, dia memasuki tempat ini. "Pagi, akhirnya kamu datang juga," kata Daniel saat mempersilakannya masuk. Vena berhasil mengendalikan perasaan tegangnya. Dia memberikan tatapan tajam ke mantan suami itu. "Ini pertama kalinya aku masuk ke apartemen kamu." "Oh itu jelas, nggak mungkin aku bawa kamu ke tempat yang aku jadikan tempat bersama selingkuhanku dahulu." "Sekarang kamu ngaku?" Tak ada jawaban dari Daniel. Dia menutup pintu. Kemudian, perhatiannya mengarah ke Vena. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Vena masih meliriknya. "Apa?" Daniel menikmati tatapan geram mantan istrinya tersebut. "Masih dendam sama aku? Masih sakit hati? Masih kecewa?" "Aku nggak sakit hati perkara itu, aku cuma baru sadar kalau kamu memang benar-benar nggak tahu diri. Sekarang kamu ngaku kalau kamu dulu selingkuh, di media— kamu menuduhku yang selingkuh sama Mas Mario sampai akhirnya menikah." "Orang yang pertama k