"Apa-apaan kamu ini!" Berulang kali, Vena membentak Daniel sekaligus mendorongnya agar menjauh. Tetapi, berkali-kali pula, dia kembali jatuh ke atas ranjang. Detak jantungnya berdebar tidak karuhan. Dia tidak mengira Daniel akan sampai seperti ini. Rasa takut seolah mengguyur tubuh seketika. Daniel tersenyum jahat. Dia bahagia melihat mantan istrinya berada dalam genggaman. "Tenang saja, Vena, pasrah saja, oke? Aku janji akan menjadikanmu istri kedua, Bianka pasti setuju kita jadi keluarga, jadi—" "Stop!" Vena sekuat tenaga mendorong Daniel. Kemarahannya berhasil membuat dia terbebas dari tindihan pria itu, dia pun turun dari ranjang dengan cepat. Tetapi, ketika dia akan berlari, tangannya keburu disambar oleh Daniel. Pria itu menariknya lebih kasar sampai kembali jatuh di atas ranjang. "Mau ke mana kamu? Kamu nggak bakalan bisa lepas dariku sekarang ... kamu nggak akan punya kesempatan bersama siapapun kecuali aku," katanya masih menyeringai. "Kamu sudah gila! Kamu ingin aku p
Baik Mario, Vena, maupun Daniel berada di ruang santai kantor polisi untuk bermusyawarah. Di sana, sudah terdapat beberapa polisi dan juga pengacara masing-masing.Sudah hampir setengah jam, Mario dan Daniel sailng berdebat tentang semua permasalahan mereka.Mario melaporkan Daniel dengan tuduhan fitnah, mencemarkan nama baik sekaligus perbuatan tercela terhadap istrinya. Sementara itu, Daniel membantah, dan balik melaporkannya atas tindak kekerasan yang diterima."Saya nggak ada niatan untuk menyelesaikan semua ini secara kekeluargaan karena dia bukan keluarga saya," kata Daniel melirik Mario. Terlihat, ada perban yang membalut area bagian hidungnya. "Kamu pikir saya ada niat damai sama kamu, hah?" balas Mario. Dia duduk di sofa lain bersama seorang pria empat puluh tahunan alias sang pengacara."Saya nggak terima dengan tindakan kekerasan yang lakukan, Pak Polisi. Bukti dari saya itu sudah jelas, jadi mending Bapak-Bapak sekalian, segera tangkap Pak Mario Winata.""Seenaknya saja k
Selama perjalanan, tak ada yang bicara. Tante Ruth membawa Vena kembali ke kediamannya.Vena bingung dibawa ke sini, tapi dia diam saja dan mengikuti sang bibi masuk ke dalam rumah.Langkah Tante Ruth cukup tergesa-gesa. Dia segera menutup pintu begitu Vena masuk ke dalam."Akhirnya sampai juga ... untung nggak ada wartawan atau orang nggak jelas tadi di depan pagar," katanya kemudian.Vena bertanya, "Tante buat apa Vena diajak pulang ke rumah Tante?""Kamu pikir saya jemput kamu buat mengantar kamu pulang ke rumah Mario? Kamu pikir saya ini siapa kamu? Sopir?"Tanggapan Tante Ruth begitu dingin padahal itu hanya pertanyaan biasa. Hal ini membuat Vena semakin tidak nyaman. Dia bertanya lagi, "terus kenapa Vena diajak ke sini, Tante?""Saya nggak mau kamu pulang ke rumah Mario dulu, pokoknya sampai masalah ini selesai, kamu diam saja di rumah ini! Jangan keluar, lalu buat masalah lagi!""Tapi, Tante—""Nggak!" sela Tante Ruth ketus. "Kamu nggak sadar sudah mempermalukan keponakan saya
Vena duduk di sofa ruang tamu. Dia masih tertunduk lesu, tak berani berkata apapun atau ke manapun.Jika memang ini yang terbaik bagi Tante Ruth, maka dia akan menurut untuk tetap berada di rumahnya.Tak lama kemudian, ada seorang gadis remaja yang keluar dari dalam. Dia membawa segelas jus jeruk."Kak Vena ..." sapanya dengan nada ceria. Dia menaruh jus itu di atas meja, kemudian ikut duduk di samping Vena."Oh, Monica?" Vena mengusap air mata, berusaha agar tak terlihat menyedihkan. "Kamu apa kabar? Bagaimana sekolahnya? Katanya SMA kamu kemarin ada acara besar itu, ya?""Iya, Kak. Nggak terlalu besar, kok." Gadis bernama Monica itu enggan membahas dirinya. Dia mengalihkan pembicaraan, "Kak, maaf kalau Mama tadi agak keterlaluan. Mama gampang emosian akhir-akhir ini.""Mungkin karena Kakak datang di keluarga kamu. Mama kamu benar, kakak ini kurang—"“Jangan ngomong kayak gitu," potong Monica sembari menggelengkan kepala. Suara gadis ini begitu lembut, tak mau Vena kian sakit hati. "
Mario membaca surat perjanjian dari pihak Daniel dengan seksama. Dia tahu kalau ini hanyalah tipuan, pasti ada niat terselubung dengan permintaan semacam ini.Tetapi, dia lelah dengan semua ini. Dia seharusnya tidak ada waktu mengurus hal tidak penting begini. Kepala terasa pening seharian berkutat dengan dokumen dan dokumen di kantor polisi.Di dalam ruang tunggu, dia duduk di sofa, ditemani dengan sang pengacara serta asisten pribadi yaitu Daffa. Mereka bertiga membaca semua berkas penting."Sebenarnya nggak ada masalah sama perjanjian yang dibuat sama Pak Daniel. Ini perjanjian normal, sama-sama menguntungkan," kata Daffa yang sudah selesai membaca seluruh isi dari surat perjanjian. Dia memberikan pendapatkan kembali, "kalau menurut saya, dalam hal berbisnis, ini cukup menguntungkan bagi kita, Pak, tapi kalau menyangkut urusan pribadi— saya rasa memang nggak usah berhubungan sama Pak Daniel."Mario berpikir sejenak, masih tidak menjawab. Apa sekarang Daniel akan berhenti mengganggu
Vena mencetak adonan donat dengan gelas karena keterbatasan alat. Dia melihat Monica yang setia di sampingnya."Barusan Kak Mario telpon apa?" Dia bertanya. Sesekali melihat Monica, sesekali fokus ke adonan donatnya.Monica menjawab, "katanya nanti kalau sudah selesai, Kak Vena diminta telpon balik. Kak Mario kayaknya pulang malam, jadi Kak Vena bakalan dijemput sama sopir.""Tapi—“ Vena berhenti sejenak, mengingat permintaan Tante Ruth. "Kayaknya nggak mungkin, Mama kamu minta Kakak tetap di sini sampai masalah selesai.""Nggak usah dituruti kata Mama, Kak. Sudah santai saja. Masa iya Kak Mario sendirian di rumah?”Tak ada jawaban dari Vena. Dia kembali mencetak donat kecil-kecil hingga selesai. Kemudian, dia melihat tingkat kepanasan dari minyak goreng. Baru setelah itu, mulai memasukan satu per satu dari donat.Monica takjub. "Wah, bagus banget, loh, Kak!“ Dia siap-siap dengan selai coklat dan topping seadanya. "Sayang banget di rumah cuma ada selai coklat sama topping meises warna
Pembantu?Vena syok berat saat mendengar Tante Ruth malah memperkenalkannya sebagai pembantu di hadapan keluarga besar. Apa yang dilakukannya?Ketiga wanita yang mendengar pernyataan tersebut agak kaget. Mereka langsung tertawa. Salah satu di antaranya ada bertanya, "kamu ini yang benar saja, Ruth? Perasaan dia yang ada di foto bersama Mario waktu peresmian Villa di Bali, bukan?“Wanita lain memperhatikan wajah Vena, lalu merespon, "iya, ini kayaknya wanita yang diajak Mario. Masa sih pembantu?""Iya, jangan bohong kamu. Tega banget mengatai menantu sendiri sebagai pembantu."“Nggak!” Tante Ruth mengelak cepat. Dia kesal seperti diejek oleh saudara-saudaranya sendiri. "Kalian ini kompak sekali kalau menghina, ya?""Apa sih?" Salah satunya berkata, lalu tertawa. "Kami lagi memuji kamu yang punya menantu cantik."Tantu Ruth melirik Vena dengan sinis, “Sudah nggak usah dibahas! Nggak usah dibanding-bandingkan istri Mario sama pembantu ini! Yang benar saja istri Mario yang cantik dan angg
Setelah mendapatkan panggilan dari Pak Hardi, Mario menjadi serba buru-buru. Dia menyelesaikan berkas laporan dari kepolisian dan lain-lain lebih cepat dari dugaan.Begitu sudah di parkiran, dia meminta kunci mobil dari Pak Hardi, lalu sendiri ke kursi kemudi. Dia menurunkan kaca jendela mobil, berpesan ke Pak Hardi yang berdiri di luar. "Pak, maaf, nanti pulangnya sama Daffa saja, dia masih di dalam kantor polisi. Mungkin sejam lagi dia bisa pulang."Sopir itu balas berpesan, "baik, Tuan, tolong hati-hati di jalan. Sekarang sudah malam."Mario tak menjawab. Dia menaikkan kaca jendela mobil. Setelah itu, ia menginjak pedal gas— menuju ke rumah sang bibi.Sesekali, dia melirik ke jam tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.Butuh waktu hampir setengah jam sebelum akhirnya tiba di kediaman sang bibi. Dia menghela napas panjang, bersiap untuk adu mulut, terlebih ada tamu yang berasal dari keluarga sang paman. Tidak mungkin tidak ada perdebatan."Untung om nggak ada