Selama perjalanan, tak ada yang bicara. Tante Ruth membawa Vena kembali ke kediamannya.Vena bingung dibawa ke sini, tapi dia diam saja dan mengikuti sang bibi masuk ke dalam rumah.Langkah Tante Ruth cukup tergesa-gesa. Dia segera menutup pintu begitu Vena masuk ke dalam."Akhirnya sampai juga ... untung nggak ada wartawan atau orang nggak jelas tadi di depan pagar," katanya kemudian.Vena bertanya, "Tante buat apa Vena diajak pulang ke rumah Tante?""Kamu pikir saya jemput kamu buat mengantar kamu pulang ke rumah Mario? Kamu pikir saya ini siapa kamu? Sopir?"Tanggapan Tante Ruth begitu dingin padahal itu hanya pertanyaan biasa. Hal ini membuat Vena semakin tidak nyaman. Dia bertanya lagi, "terus kenapa Vena diajak ke sini, Tante?""Saya nggak mau kamu pulang ke rumah Mario dulu, pokoknya sampai masalah ini selesai, kamu diam saja di rumah ini! Jangan keluar, lalu buat masalah lagi!""Tapi, Tante—""Nggak!" sela Tante Ruth ketus. "Kamu nggak sadar sudah mempermalukan keponakan saya
Vena duduk di sofa ruang tamu. Dia masih tertunduk lesu, tak berani berkata apapun atau ke manapun.Jika memang ini yang terbaik bagi Tante Ruth, maka dia akan menurut untuk tetap berada di rumahnya.Tak lama kemudian, ada seorang gadis remaja yang keluar dari dalam. Dia membawa segelas jus jeruk."Kak Vena ..." sapanya dengan nada ceria. Dia menaruh jus itu di atas meja, kemudian ikut duduk di samping Vena."Oh, Monica?" Vena mengusap air mata, berusaha agar tak terlihat menyedihkan. "Kamu apa kabar? Bagaimana sekolahnya? Katanya SMA kamu kemarin ada acara besar itu, ya?""Iya, Kak. Nggak terlalu besar, kok." Gadis bernama Monica itu enggan membahas dirinya. Dia mengalihkan pembicaraan, "Kak, maaf kalau Mama tadi agak keterlaluan. Mama gampang emosian akhir-akhir ini.""Mungkin karena Kakak datang di keluarga kamu. Mama kamu benar, kakak ini kurang—"“Jangan ngomong kayak gitu," potong Monica sembari menggelengkan kepala. Suara gadis ini begitu lembut, tak mau Vena kian sakit hati. "
Mario membaca surat perjanjian dari pihak Daniel dengan seksama. Dia tahu kalau ini hanyalah tipuan, pasti ada niat terselubung dengan permintaan semacam ini.Tetapi, dia lelah dengan semua ini. Dia seharusnya tidak ada waktu mengurus hal tidak penting begini. Kepala terasa pening seharian berkutat dengan dokumen dan dokumen di kantor polisi.Di dalam ruang tunggu, dia duduk di sofa, ditemani dengan sang pengacara serta asisten pribadi yaitu Daffa. Mereka bertiga membaca semua berkas penting."Sebenarnya nggak ada masalah sama perjanjian yang dibuat sama Pak Daniel. Ini perjanjian normal, sama-sama menguntungkan," kata Daffa yang sudah selesai membaca seluruh isi dari surat perjanjian. Dia memberikan pendapatkan kembali, "kalau menurut saya, dalam hal berbisnis, ini cukup menguntungkan bagi kita, Pak, tapi kalau menyangkut urusan pribadi— saya rasa memang nggak usah berhubungan sama Pak Daniel."Mario berpikir sejenak, masih tidak menjawab. Apa sekarang Daniel akan berhenti mengganggu
Vena mencetak adonan donat dengan gelas karena keterbatasan alat. Dia melihat Monica yang setia di sampingnya."Barusan Kak Mario telpon apa?" Dia bertanya. Sesekali melihat Monica, sesekali fokus ke adonan donatnya.Monica menjawab, "katanya nanti kalau sudah selesai, Kak Vena diminta telpon balik. Kak Mario kayaknya pulang malam, jadi Kak Vena bakalan dijemput sama sopir.""Tapi—“ Vena berhenti sejenak, mengingat permintaan Tante Ruth. "Kayaknya nggak mungkin, Mama kamu minta Kakak tetap di sini sampai masalah selesai.""Nggak usah dituruti kata Mama, Kak. Sudah santai saja. Masa iya Kak Mario sendirian di rumah?”Tak ada jawaban dari Vena. Dia kembali mencetak donat kecil-kecil hingga selesai. Kemudian, dia melihat tingkat kepanasan dari minyak goreng. Baru setelah itu, mulai memasukan satu per satu dari donat.Monica takjub. "Wah, bagus banget, loh, Kak!“ Dia siap-siap dengan selai coklat dan topping seadanya. "Sayang banget di rumah cuma ada selai coklat sama topping meises warna
Pembantu?Vena syok berat saat mendengar Tante Ruth malah memperkenalkannya sebagai pembantu di hadapan keluarga besar. Apa yang dilakukannya?Ketiga wanita yang mendengar pernyataan tersebut agak kaget. Mereka langsung tertawa. Salah satu di antaranya ada bertanya, "kamu ini yang benar saja, Ruth? Perasaan dia yang ada di foto bersama Mario waktu peresmian Villa di Bali, bukan?“Wanita lain memperhatikan wajah Vena, lalu merespon, "iya, ini kayaknya wanita yang diajak Mario. Masa sih pembantu?""Iya, jangan bohong kamu. Tega banget mengatai menantu sendiri sebagai pembantu."“Nggak!” Tante Ruth mengelak cepat. Dia kesal seperti diejek oleh saudara-saudaranya sendiri. "Kalian ini kompak sekali kalau menghina, ya?""Apa sih?" Salah satunya berkata, lalu tertawa. "Kami lagi memuji kamu yang punya menantu cantik."Tantu Ruth melirik Vena dengan sinis, “Sudah nggak usah dibahas! Nggak usah dibanding-bandingkan istri Mario sama pembantu ini! Yang benar saja istri Mario yang cantik dan angg
Setelah mendapatkan panggilan dari Pak Hardi, Mario menjadi serba buru-buru. Dia menyelesaikan berkas laporan dari kepolisian dan lain-lain lebih cepat dari dugaan.Begitu sudah di parkiran, dia meminta kunci mobil dari Pak Hardi, lalu sendiri ke kursi kemudi. Dia menurunkan kaca jendela mobil, berpesan ke Pak Hardi yang berdiri di luar. "Pak, maaf, nanti pulangnya sama Daffa saja, dia masih di dalam kantor polisi. Mungkin sejam lagi dia bisa pulang."Sopir itu balas berpesan, "baik, Tuan, tolong hati-hati di jalan. Sekarang sudah malam."Mario tak menjawab. Dia menaikkan kaca jendela mobil. Setelah itu, ia menginjak pedal gas— menuju ke rumah sang bibi.Sesekali, dia melirik ke jam tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.Butuh waktu hampir setengah jam sebelum akhirnya tiba di kediaman sang bibi. Dia menghela napas panjang, bersiap untuk adu mulut, terlebih ada tamu yang berasal dari keluarga sang paman. Tidak mungkin tidak ada perdebatan."Untung om nggak ada
Mario tak bisa berkata-kata. Selama ini, bibinya memang tegas terhadap apapun. Akan tetapi, dia hampir tidak pernah menuduh atau menghina orang lain terlalu jahat.Vena pun merasakan hal yang sama. Sekalipun baru beberapa bulan saja mengenal Tante Ruth, tapi dia tahu sifatnya tak seburuk ini. Dia yakin kalau memang ada pengaruh dari luar.Tante Ruth menatap mereka berdua. Dia memusatkan perhatian ke lantas sang keponakan. "Kamu beruntung om kamu masih ada di luar negeri, coba ada di sini, terus tahu kamu abai urusan bisnis, malah fokus mengurusi masalah istri baru kamu ini, dia pasti mengamuk.""Nggak, Tante," bantah Mario cepat, "justru Om pasti kecewa sama Tante soalnya tega-teganya memperlakukan Vena seperti ini. Vena keluarga kita sekarang. Tante malah nggak ada bedanya sama keluarga toxic itu.""Oh."Mario kesal dengan tanggapan Tante Ruth yang dirasa sangat acuh tak acuh. Dia berusaha memberi pengertian, "Mario paham Tante gelisah dan malu karena video Mario marah-marah di rest
Keesokan harinya.Pagi-pagi, Mario sudah berangkat untuk rapat bersama beberapa petinggi dari perusahaan. Mereka semua membahas langkah selanjutnya untuk memulihkan citra baik dari jaringan hotel Winata. Berkat gerak cepat dari tim dan kepolisian, Mario berhasil membuat berita itu kini mereda. Selain itu, Daniel juga telah membuat pernyataan permintaan maaf sudah menyebar kebohongan.Tetapi, tentu saja semua didapatkan dengan perdebatan panjang dan harga yang tidak sedikit. Mario harus setuju kerjasama bisnis dengan Daniel.Pria itu tidak punya waktu untuk memikirkan semua sekarang. Dia terlalu pusing dan kurang tidur.Selepas rapat, dia menyerahkan urusan lain kepada sang sekretaris, Erika. Setelahnya, dia masuk lagi ke ruangan pribadi dan rebahan di atas sofa empuk.Daffa, sang asisten, masuk ke dalam dengan membawa beberapa berkas dalam map-map coklat."Siang, Pak," sapanya."Apa lagi?" Suara Mario lemas, kelopak matanya sudah ingin menutup.Daffa menahan tawa. Dia menjawab, "maaf
Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i