Tatapan melototku sudah mulai pudar. Hanya saja, kepalaku mau tak mau harus celingukan ke kanan dan ke kiri. Bagaimana tidak terkejut, saat dosenku sendiri dengan gaya sok cool nya malah menawariku untuk membina bahtera rumah tangga yang katanya orang penuh asam manis itu.
"Nggak bisa Pak. Apa motif Bapak tiba-tiba mau menikahi saya?" tanyaku masih berusaha sopan, walau beberapa saat lalu, aku sempat berkata padanya 'Bapak sudah nggak waras?'Tatapanku tetap awas, khawatir jika ada yang melihat interaksi antara aku dan seorang pria tua menyebalkan di depanku ini. Perawakannya yang tinggi, membuat aku harus mendongak untuk menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Menebak-nebak apa sih yang tengah mengganggu otak orang yang katanya cerdas melebihi Albert Einstein ini."Satu semester saja, kau harus jadi istriku Mel," katanya, dengan tatapan entah. Memohon sepertinya."Satu semester, maksudnya?" tanyaku tidak paham. Tadi katanya mau menikahiku, dan apa tadi, satu semester? nikah apaan yang dia tawarkan itu?"Sebagai dosen yang tahu adab, etika dan moral, anda serius bicara begitu Pak? maksudnya nikah kontrak yang kaya di novel-novel gitu?" aku menggelengkan kepala, telapak tanganku mengelus dahiku yang berkeringat."Sebagai dosen yang beradab, beretika, dan bermoral, saya tidak akan main-main dengan ucapan saya," ucap pria yang bernama lengkap Alvin Mahendra itu dengan mantap. Aku merinding mendengarnya, apanya yang enggak main-main, wong tadi katanya nikahnya cuma satu semester, nikah itu 'kan untuk seumur hidup? bukannya dia udah niat mau main-main dalam hidup ini. Ayolah, orang tua, tidak ada waktu lagi bagimu untuk bersenda gurau di dunia yang fana ini.Harusnya, dia banyak mengingat mati. Enggak inget umur apa? huh"Tapi, kenapa nanggung sekali Pak? kalau mau nikahin, kok cuma satu semester?" aku merasa bodoh sendiri ketika menanyakan itu. Terlihat dia menghela nafas kasar, menyugar rambutnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri, masuk ke dalam celananya, eh? saku celananya."Saya harus menuntaskan nazar saya," ucapnya serius seraya menatapku. Justru hal itu membuatku mundur beberapa langkah, membuat sneaker ku yang sudah butut sedikit mengeluarkan angin. Saking, kagetnya mungkin. Sampai sepatu aja terkentut-kentut mendengar ucapan berat itu."Emang apa nazar Bapak?" tanyaku penasaran, sembari membetulkan pashmina yang aku kenakan. Bukan mau tebar pesona, hanya saja angin sore itu terus saja menggoyangkan kerudungku."Nikahin anak Pak Amran. Dan itu kamu.""Ha?" aku melongo, kalau dia punya nazar menikahi anak orang, kenapa harus aku?"Lah kenapa harus saya orangnya? lalu apa hubungannya dengan Bapak saya? dan kok, Bapak kenal Bapak saya?" tanyaku beruntun."Ceritanya panjang. Dan cewek yang harus saya dinikahin ya harus kamu. Pokoknya, patuhi saja saya," balasnya."Yang jelas dong Pak, harus ada alasan kenapa saya yang bapak pilih, gimana sih? Lagian, kenapa nazarnya nggak dibatalkan aja, 'kan bisa?""Tidak bisa. Udah terlanjur, dan itu adalah hutang saya.""Makanya kalau ngomong di pikir dulu. Kapan Bapak bernazar?" tanyaku lagi, sedikit kesal karena nazar yang dimaksud Pak Alvin benar-benar, asal-asalan menurutku."Kamu nggak perlu tahu." Dia melipat tangan di depan dada."Nggak papa deh kalau nggak mau ngasih tahu. Saya juga nggak mau kawin sama Bapak." Aku berkata dengan cuek."Yang ngajakin kawin kamu siapa? saya ngajak nikah, nikah bukan berarti kawin, ingat!" dia seperti emak-emak yang memberi peringatan, mukanya tampak mengancam."Ya sama aja, nikah ujung-ujungnya kawin juga 'kan? masa bapak nggak tertarik nanti sama saya, kalau udah sekamar bareng?" belaku, emang bener. Enggak mungkin dia bakal tahan nafsu, kalau sudah melihat seluk beluk tubuhku. Ya 'kan?"Astaga, mesum sekali kamu anak kecil. Tontonannya pasti nggak bener nih." Tangannya seperti akan menoyor kepalaku, namun tertahan di udara. Dia kembali menurunkannya."Idih sotoy. Ogah saya nikah sama Bapak. Selisih umur kita aja jauh banget tau. Saya lahir tahun 99, Bapak 89, 'kan jauh banget? heh, dikira saya sugar baby nanti." Omonganku mulai tidak sopan, tatapanku menatapnya jijik. Ya, sikapnya saat ini begitu membuatku ilfeel. Pantas saja, di usia yang hampir kepala tiga itu dia belum menikah. "Cuma enam bulan. Satu semester aja, selama saya mengampu mata kuliah ABK di kelas kamu," ucapnya yakin."Uh, tetep nggak mau. Saya yang bakal dirugikan ini mah. Bapak dapet enaknya aja. Pas saya hamil, terus di tinggalin."Aku menyilangkan di depan dada. Enak sekali dia ngomong begitu. Kalau tiba-tiba dia khilaf, terus ngehamilin aku selama enam bulan, aku kudu kumaha?" Aku menggeleng keras.
"Saya, nggak bakal hamilin kamu. Saya udah punya seseorang yang akan dijadikan istri, dan dia sangat, sangat, sangat bertolak belakang dengan kamu." Dia seperti berusaha meyakinkanku."Ah masa, bukannya Bapak jomblo?" tanyaku mencibir."Heh, sembarangan. Mau saya kasih lihat foto cewek saya?" tawarnya.Aku mengibas telapak tangan di wajah, merasa malas, bodo amat dia punya kekasih atau belum. Yang jelas, aku tetap akan kukuh memegang pendirianku, tidak akan mau menerima tawaran konyolnya."Ya udah Bapak ganti aja, nazarnya nikahin cewek Bapak itu. Kok susah-susah milih saya. 'Kan sayanya jadi repot juga Pak." Aku memberi solusi. Lebih baik begitu, karena kasihan juga melihat wajahnya yang semakin lama terlihat frustasi."Bantu saya Mel, cuma enam bulan, setelah itu, kita selesai dan hidup dengan kebahagiaan masing-masing.""Ini siapa yang nazar, siapa yang repot. Nyusahin orang aja." Aku berdecak, lebih baik pergi sepertinya. Ya, aku berbalik badan, tapi suaranya kembali menginterupsi."Kamu bakalan dapat feedback banyak kalau mau ikutin saya Mel," ucapnya setengah berteriak. Aku membalik badan, menatapnya kesal."Misal, kamu pengen nggak buka usaha di umur kamu yang segini? mau 'kan? nah, saya bakal kasih kamu peluang itu. Terus, kalau kamu kesusahan ngerjakan tugas dari saya, tenang aja, ada layanan VVIP dari saya. Bahkan, kalau nanti kamu udah garap skripsi, pasti saya bantu dari awal sampai akhir. Nggak usah lagi khawatir biaya wisuda, semuanya saya tanggung."Tawaran dia memang menggiurkan, tapi ayolah, tidak semudah itu. Walau aku memang ingin membuka usaha atau bisnis ala-ala influencer yang lagi naik pamor itu, tapi tetap saja, aku ingin mencari modal sendiri, bukan dengan cara menjual diri pada Pak Dosen."Mentang-mentang kaya, nggak bisa seenaknya dong Pak. Denger ni," aku menunjuk dada pria itu. "Saya masih punya harga diri. Itu yang Bapak sebutkan tadi, sama saja membeli saya untuk dijadikan 'something' yang konteksnya negatif. Nanti, apa kata ayam kampus? mereka aja cuma dibayar, sedangkan saya, langsung dinikahi.""Saya nggak pernah mengatakan kamu ayam Kampus Mel. Dan jangan samakan saya seperti om-om yang membeli mereka. Saya, cuma ingin jadikan kamu istri sementara, sebagai penebus janji. Dari pada saya terus dihantui setiap malam. Tolong lah, saya berusaha merendah dihadapan kamu.""Nggak bisa Pak. No, no, no, itu salah Bapak. Bapak sendiri yang harus nanggung konsekuensinya. Saya mah nggak mau ikut-ikutan. Apalagi ini nggak main-main. Saya nggak mau jadi janda setelah enam bulan. Apa kata dunia? janda itu ya Pak, denger ni, banyak kena fitnah tau. Dia itu soalnya bisa lebih bersinar dari pada perawan huh.""Emang kamu tau sinar mereka apa dan gimana?" tanyanya menginterogasi, menatap remeh ke arahku. Dasar menyebalkan. Di saat memohon saja, masih angkuh."Mana saya tahu. 'Kan cuma katanya." Aku mencebik."Ngomong tuh, nggak boleh katanya-katanya doang. Nggak pasti, bisa jadi hoax. Kamu udah mahasiswa, tapi kalau ngomong nggak pakai referensi. Kalau saya jadi dosbing kamu nanti si skripsi, di jamin, nggak saya kasih lulus. Referensi itu penting."Tuh 'kan dia malah ceramah, mentang-mentang dosen. Apa enggak habis kosa katanya selama dua jam berceloteh di depan kelas, kini malah di depanku."Udahlah, saya lelah ngomong sama Bapak. Saya akan anggap kita nggak pernah ngomongin ini sebelumnya. Bapak dihantuin atau apapun karena janji itu, saya nggak peduli. Dan saya rasa itu hak saya, so nggak perlu minta maaf 'kan? kalau begitu, saya pamit, salam dari binjai!""Saya bakal buat kamu setuju Mel," ucapnya yang masih bisa ku dengar."Up to you," aku menjawab lirih. Tapi, diam-diam aku penasaran, sejak kapan Pak Alvin kenal dengan Bapakku?Aku berlalu dari sana setelah menempelkan jari telunjuk dan tengah di pelipis. Mengucap salam ala anak muda zaman now dengan gaya angkuh. Huh, enggak peduli, ekspresi Pak Alvin yang tampaknya tidak baik-baik saja.Kalau suka ceritanya, jangan lupa berlangganan, kasih ulasan serta komen di setiap episodenya yađHalaman rumahku, menurutku adalah pemandangan terindah dari sekian banyak halaman rumah orang. Almarhum ibuku selalu membuatnya tampak aestetic, misalnya dengan memelihara rak-rak yang dipenuhi pot-pot yang ditumbuhi bunga-bunga yang cantik.Selain itu, tepat di bawah pohon jambu air, ada tempat duduk terbuat dari kayu ulin, yang sengaja di buat Bapakku untuk merayakan anniversary pernikahan Ibu dan Bapakku.Di samping rumah, ada kandang kelinci yang selalu aku rawat, karena makhluk kecil itu adalah kesukaanku. Tidak lupa, di belakang rumah, ada kandang itik, peliharaan ayahku yang berprofesi sebagai penjual nasi goreng keliling, juga penjual telur itik.Keluargaku, sudah cukup, aku tidak perlu banyak duit. Walau ya, terlepas dari itu, karena aku sebentar lagi lulus, jadi harus siap-siap untuk bekerja, untuk membantu Bapak membiayai hidup kami. Dan aku ingin memulainya dari bisnis kecil-kecilan, walau sampai saat ini, aku hanya berkutat d
Aku ikut mendudukkan diri di ranjang, lalu mengintip untuk melihat apa yang tengah di tonton adikku di ponselnya."Minggir!" katanya ketus. Tangan kirinya mendorong bahuku untuk menjauh. Posisi dirinya kini tengah tengkurap sambil telinganya yang dipasang headset.Aku kembali mendekat. "Rafa," panggilku dengan cengiran khas sambil menoel-noel pipinya."Apa sih? pasti ada maunya." Adikku menggerutu, mencari posisi nyaman dengan menggeser tubuhnya."Kamu nonton apa sih? sampai aku diabaikan gini? bokep ya?" selidikku curiga. Lalu menoyor kepalanya."Suuzon mulu," ucapnya tak terima lalu memposisikan dirinya duduk masih tetap serius menatap layar ponselnya. "Mau apa hah? nyuruh aku nyuci sepeda motor? ogah, aku lagi ngerjakan tugas nih.""Ngerjakan tugas apa? kok nggak ada buku atau pulpen di sekelilingmu, kamu nggak catat?" tanyaku."Gaptek banget. Ngerjakan tugas online lah. Pak guru nyur
"Tapi... bukan sama Bapak. Tapi, sama orang yang saya suka, cinta dan sayangi sepenuh hati. Lah Bapak, baru aja kita ketemu di semester ini, eh udah ngajak nikah aja." Aku meliriknya dari samping.Pak Alvin menoleh ke arahku, tersenyum meremehkan. Lah emang iya, wanita mana yang tak ingin menikah? tapi ya tidak juga dengan dipaksakan. Seperti dosen di sampingku ini. Demi nazar, dia malah mau ngajak-ngajak aku nikah sementara."Loh syarat nikah nggak mesti cinta. Yang penting, ada wali, kedua mempelai, akad, sah di mata Allah. Cinta katanya 'kan karena terbiasa. Tapi ya, karena saya nikahin kamu satu semester aja, ya saya rasa nggak bakal secepat itu jadi cinta." Tangannya sampai memukul setir, saking yakinnya terhadap perkataannya sendiri, ya tampaknya begitu.Dia sih enak, laki-laki. Tanpa cinta juga jadi. Tapi aku sebagai wanita, tentu tidak ingin ujug-ujug, tanpa tau a b c nya langsung nikah. Weleh, apalagi tanpa cinta? bukannya
Ruang tamu senyap di hari Minggu ini, tumben sekali. Rafa, adikku masih bergelut dengan selimutnya saat aku periksa kamarnya tadi. Padahal biasanya, sudah rame dengan kesibukannya mencuci sepatu di pagi Minggu.Sedangkan aku, baru saja menyelesaikan acara mencuci baju bertumpukku dan telah usai menjemurnya di belakang rumah. Saat aku menyapu ruang tamu, kulihat Bapak tampak merenung. Membuatku akhirnya mendekat dan ikut duduk, lalu menyalakan televisi."Tumben televinya nggak dinyalakan Pak, malah melamun," aku berkomentar sambil memencet remote. Memindah-mindah channel televisi."Kamu dan Alvin gimana perkembangannya?" tanya Bapak tiba-tiba tanpa menanggapi perkataan ku. Ah, kenapa sih, Bapak sepertinya sudah kesengsem sama Alvin, sampai terus memikirkan pria itu."Loh kok tiba-tiba tanya itu Pak, kemarin kami udah ketemu. Dan ya, aku tet
Sudah kuduga, berdalih karena tugas yang ditimpakan kepadaku, si dosen itu jelas memanfaatkannya untuk mengobrol tentang 'itu' lagi. "Saya udah bilang, kalau ranah pribadi. Skip, jangan paksa, pelecehan loh." Aku menatap tajam ke arahnya. "Heh, ngomong sembarangan. Saya laki-laki baik, tau etika dan tata krama, bahkan sumpah profesi saja saya hafal. Masa melecehkan mahasiswa, pantang lah." Dia mengibaskan tangan, balas melotot padaku. "Ya habisnya, Bapak maksa sih." Aku menyilangkan tangan di depan dada. Tak lama, waiters datang membawa dua minuman yang sudah kami pesan sebelumnya. "Saya cuma minta tolong kamu, karena minggu depan saya ada dinas keluar kota. Jadi, untuk pengumpulan tugas resume, dikumpulnya di kamu. Harus tulis tangan sendiri, enggak boleh diwakilkan. Mahasiswa itu pinter, tapi suka begoin dosen." Kalau enggak ada maksud, cuma memberi tugas doang, lah kenapa juga harus di cafe seperti ini. Seperti lagi kencan aja. "Iya lagian dosennya mau aja sih di begoin. Udah
Apa dia bilang? otakku mendadak sulit mencerna. Maksudnya, dia mau ngelamar aku gitu?"Saya bisa aja datang ke rumahmu. Untuk tujuannya, silaturahmi atau lebih, nanti saya putuskan," jelasnya, membuat sudut bibirku tertarik mau tak mau. Walau belum pasti kunjungan itu lamaran, tapi rasanya hatiku sudah berdebar-debar kencang mendengarnya."Maksud Kakak, ngelamar aku gitu?" tanyaku memastikan. Jangan sampai aku cuma ngehalu saja, 'kan kalau enggak kesamapaian, sakit."Mungkin." Dia seperti menahan senyum, dan itu sungguh manis. Oh, ini berita gembira bagiku, ternyata selama ini Ramdan memiliki perasaan padaku. Tuhan, terimakasih atas nikmat yang telah engkau beri padaku, bahkan saking sayangnya kau padaku, cintaku saja kau sampaikan pada hatinya Kak Ramdan."Kakak suka sama aku selama ini?" tanyaku dengan nada riang, hampir-hampir gigiku keliatan semua saking senengnya. Untung aja udah sikat gigi dan mandi pagi."Ya pasti suka. Kalau enggak, ya mungkin kita nggak ngobrol senyaman ini."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu waktunya sidang skripsi. Ramdan dibalik kelembutannya memang memiliki semangat baja, enggak salah aku memilih dia sebagai calon imam masa depan.Sesuai jadwal sidangnya, hari ini aku ikut menjadi salah satu peserta yang akan menonton dan mengamatinya dari kejauhan. Melihat wajahnya yang biasa tersenyum, tampak sedikit berkeringat dan serius mempertahankan argumentasinya di depan para penguji.Ramdan, adalah jurusan pendidikan agama Islam, membuat dia benar-benar seperti tengah berkhotbah di depan sana. Aku semakin dibuat kagum oleh wawasan agamanya itu. Semoga, dia lulus dengan hasil memuaskan."Kak Ramdan udah mirip ustadz aja," komentar Tiara yang juga menatapnya kagum.Aku mengelap wajahnya, memperingatkan dia agar tidak menatapnya begitu. "Awas, tatapanmu nanti bikin wajah dia bolong."Tiara berdecak, mungkin sebal. "Haduh, belum juga jadi istri, udah ngelarang-larang cewek lain liatin Ramdan. Huh.""Lagian, kamu natapnya ala-ala pelakor
Akhirnya, aku membiarkan Pak Alvin mengikutiku hingga ke toko kain langgananku. Bodo amatlah sama tingkahnya itu, sepanjang tidak menghambat perjalananku.Sesampainya di tempat, aku langsung bergerak ke dalam toko tanpa menunggu Pak Alvin memarkirkan mobilnya. Mataku langsung cerah rasanya karena disuguhkan berbagai model kain beserta harga terjangkau yang tertera di atasnya. Itulah kenapa, toko ini menjadi langganan ku. Selain kainnya yang berkualitas, dari segi harga juga begitu ramah dikantongku.Terlihat juga ada dua orang ibu-ibu yang sibuk memilih kain sambil berbincang di bagian ruangan 1. Aku langsung bergerak ke bagian ruangan dua, tempatku biasa menemukan kain polos dengan berbagai warna."Oh, jadi ini toko kain langgananmu?" tanya Pak Alvin, entah sejak kapan pria itu sudah berhasil menyusulku hingga kesini.Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya, karena mataku memindai kain-kain itu. Minggu ini, aku sebenarnya hanya memerlukan kain berwarna pastel dan tosca, namun tak sa