Aku ikut mendudukkan diri di ranjang, lalu mengintip untuk melihat apa yang tengah di tonton adikku di ponselnya.
"Minggir!" katanya ketus. Tangan kirinya mendorong bahuku untuk menjauh. Posisi dirinya kini tengah tengkurap sambil telinganya yang dipasang headset.Aku kembali mendekat. "Rafa," panggilku dengan cengiran khas sambil menoel-noel pipinya. "Apa sih? pasti ada maunya." Adikku menggerutu, mencari posisi nyaman dengan menggeser tubuhnya."Kamu nonton apa sih? sampai aku diabaikan gini? bokep ya?" selidikku curiga. Lalu menoyor kepalanya."Suuzon mulu," ucapnya tak terima lalu memposisikan dirinya duduk masih tetap serius menatap layar ponselnya. "Mau apa hah? nyuruh aku nyuci sepeda motor? ogah, aku lagi ngerjakan tugas nih.""Ngerjakan tugas apa? kok nggak ada buku atau pulpen di sekelilingmu, kamu nggak catat?" tanyaku."Gaptek banget. Ngerjakan tugas online lah. Pak guru nyuruh nonton video, terus nanti diambil kesimpulannya, di ketik di hape pakai WPS, terus kumpul ke googleform, selesai. Nggak butuh buku lagi," balasnya terlihat kesal.Aku tertawa pelan. "Maaf nih, Kakak ganggu dulu belajar kamu. Em, itu yang ngasih sepatumu siapa sih? pak Alvin?"Rafa terdengar mendengus, mencopot headsetnya. "Iya, kenapa emang? mau kamu kembaliin ke dia?" tuduhnya."Ya enggak lah. Kalau kamu suka, boleh kok ambil." Aku menepiskan tangan di depan wajah. Nanti biar aku ganti aja biayanya. Batinku."Dia ada ngomong sesuatu ke kamu?" tanyaku.Rafa menatapku, lalu mendengus. Menatapku seperti jengah."Dia bilang, aku bentar lagi jadi adik ipar. Jadi, hubungan kami harus semakin intens. Dia udah ngajak aku ngafe, terus beliin aku sepatu. Gratis lagi. Tunggu apa lagi, terima aja kalau dia datang ngelamar," jelas Rafa malas."Gundulmu!" aku menjitak kepalanya. "Nikah nggak gampang woy.""Kamu itu udah dua puluh satu plus, masa enggak bisa cara kawin," ucap Rafa santai."Nikah sama kawin itu beda ferguso!" aku mengambil teori Pak Alvin, katanya dia 'kan nikah sama kawin beda. Kalau nikah, ya nikah aja. Kalau kawin, ya proses itu-itunya. Huh, apa yang beda sih? dari segi bahasa sama aja kayaknya."Sama aja, 'kan nikah untuk kawin, masa nikah cuma buat ngurusin kelinci, atau malah ngurusin anak tetangga? 'kan lucu. Udah, nikah aja.""Ogah. Ngomong sama kamu, nggak ngehasilin solusi." Aku beranjak. Sudah keki berbicara dengan adikku yang malah nyuruh aku cepat nikah juga. Sama kayak kakaknya sih hehe."Bapak terus nyinggung nikah terus. Katanya, Bapak pengen liat Kakak menikah."Aku berhenti melangkah, seingin itu kah Bapak agar aku menikah? Aku menoleh, menatap adikku serius. "Dek, aku ini masih belum lulus kuliah. Masih panjang waktu aku untuk bersenang-senang. Nikah itu berarti, aku bakalan sibuk ngelayanin anak orang, paham?"Rafa menggeleng polos. "Enggak. Yang kutahu, ada kawin-kawinnya dan enak."Mataku melotot mendengarnya. "Siapa yang ngajarin kamu mesum? astaga." aku menepuk jidat sendiri, merasa ingin melupakan status bahwa kami adik kakak. Aku tidak ingin memiliki adik dengan otak 21 . Belum saatnya Dek.Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan kedatangan Pak Alvin yang sudah mengobrol di depan rumah dengan Bapakku yang tengah menyusun perlengkapan jualan di gerobak kesayangannya yang di cat biru. Di bagian depan gerobak itu, sengaja aku beri foto oppa korea, biar yang merasa jadi fansnya langsung membeli nasi goreng Bapak."Kenapa Pak Alvin ke sini pagi-pagi sekali?" tanyaku setelah obrolan kedua pria itu terhenti. Kulihat, Bapak tersenyum sumringah. Telihat seperti senang sekali."Dia mau jemput kamu. Sekalian ke kampus, juga mau bicarakan sesuatu sama kamu."Aku menatap Pak Alvin curiga. Dia juga balik menatapku dengan senyuman. "Iya, kemarin obrolan kita belum selesai Mel. Jadi, kita lanjutkan. Walau maaf banget Pak, saya ngobrolnya di mobil, bukan di cafe atau restoran enak.""Enggak ada yang perlu di salahkan. Ngobrol dimana pun bisa, asal kondusif. Bapak paham, Kalian sama-sama sibuk. Untuk ke restoran, cafe atau segala macamnya bisa setelah menikah.""Bapak!" aku mengintrupsi, kepalaku menunduk. Semudah itu, Bapak mengatakan bahwa aku akan menikah.Pak Alvin tertawa. "Pokoknya, setelah menikah, kalau Amel mau kemana pun, selama saya bisa, langsung gass pak."Bapak ikut tertawa. "Ya udah, kalian boleh berangkat. Bapak juga mau siap-siap mangkal."Baru mulutku ingin terbuka lagi untuk menolak halus ajakan Pak Alvin, tapi melihat bapak tersenyum hangat, niatku akhirnya batal.Mulutku menggerutu sambil berjalan ke arah mobilnya, lalu membuka pintu belakang."Hei, kamu anggap saya apa?" tanyanya protes ketika aku sudah membuka pintu mobil, dan dia juga sudah berada di posisi kemudi."Sopir," balasku singkat."Keluar nggak?" usirnya. Aku mendengus."Ya udah, saya naik motor sendiri aja," kataku sebal. Hendak keluar dari mobilnya pak Alvin."Motormu udah dibawa sama adekmu," ucapnya terkekeh."Astaga, saya bisa juga naik ojol.""Bukan mahrom 'kan? mau aja ya deket-deket sama pak ojol? lebih aman sama aku kali. Ayo cepet pindah ke depan," perintahnya.Aku berdecak sebal, lalu memindah posisiku langsung ke depan, tanpa keluar lebih dulu. "Em, jalan pintas yang nggak tau etika," komentarnya pedas.Aku yang sudah duduk di posisi nyaman, sambil membetulkan rok yang kupakai, merengut. "Habisnya udah masuk, malah disuruh keluar. Sekalian aja lewat jalan pintas.""Jalan pintas itu emang cepet, tapi seringnya melanggar norma.""Bapak katanya mau ngomongin sesuatu, malah ceramah," komentarku sambil melirik ke arahnya sebentar, lalu ke arah depan."Kamu lihat 'kan? bapakmu udah klik banget sama saya?" tanyanya terdengar nada pede didalamnya."Bapak emang orangnya gitu. Menghargai orang lain. Menyuruh saya berangkat sama Bapak juga karena sebaik itu Bapak saya. Saya juga, kalau bukan karena Bapak, ogah ikut sampean Pak.""Harusnya sifat baik Bapakmu menular ke kamu Mel," ucapnya seperti menasihatiku. Hatiku mendadak dongkol, beraninya dia memberi petuah di pagi hariku."Saya udah baik nih, mau diajak Bapak ngobrol secara baik-baik. Kalau nggak, udah dari tadi saya mencak-mencak, karena bapak ngomongnya asli nyebelin.""Oh, oke-oke tenang dulu hai mahasiswa. Saya cuma mau kamu pikirin baik-baik tawaran saya Mel. Intinya, saya minta tolong ke kamu Mei, cuma kamu. Kapan lagi, seorang Pak Alvin minta tolong ke mahasiswa bernama Amelia? bukan saya kepedean Mel, bukannya emang mahasiswi bisa se-berkorban itu untuk saya?""Bapak manfaatin kegantengan doang? ya Allah Pak, tobat. Muka tuh, nggak langgeng, kalau udah tua juga keriput.""Nah itu tau. Saya nggak manfaatin kegantengan. Saya pengennya kamu tulus membantu menuntskan nazar saya kepada Allah. Bapakmu juga pengen aku nikah sama kamu 'kan?"Aku menoleh,"kalian kerja sama ya? atau Pak Alvin udah ngancem bapak saya, karena punya utang ke Bapak?"Pak Alvin terlihat berdehem sejenak. Lalu menggerakan kemudia untuk berbelok ke gerbang kampus. "Bapak saya beneran punya hutang ke sampean Pak?" tanyaku dengan melotot. Siapa tahu, Bapak diam-diam meminjam duit ke Pak Alvin untuk menghidupi aku dan adik-adikku. Padahal, hasil dari penjualan nasi goreng dan telur itik, insyaa Allah sudah cukup menurutku."Enggak lah. Saya bukan datuk maringgih Mel. Saya Alvin, pria yang ingin menikahimu justru karena membalas jasa-jasa ayahmu," kilahnya. Lah kalau bukan seperti datuk maringgih, terus seperti Fir'aun gitu? yang nikahin Asiyah cewek solehah itu?"Katanya sampean punya nazar?" tanyaku."Iya, balas jasa.""Ya udah, bisa pakai jasa juga 'kan? atau materi? bapak jadi pembantu Bapak saya aja selama kurun waktu yang disepakati. Beres, kenapa juga pakai nikahin saya?""Nggak bisa. Perjanjiannya bukan gitu.""Asli, aku merasa Bapak konyol. Kenapa juga ada nazar nikahin anak orang, dan orangnya saya? ya Allah, saya nggak pernah berharap, jadi nazar untuk orang." Aku menggelengkan kepala keras. Bukan salahku, jika Pak Alvin malah bernazar untuk menikahiku. Namun, kenapa harus aku yang akhirnya seolah harus menebus kesalahan itu?"Iya saya konyol, makanya kamu bantu saya hentikan itu," ucap Pak Alvin sambil mengacak rambutnya."Aduh saya sebenarnya mau aja nikah tapi..."Komennya yaaah, untuk visual cerita, kalian bisa cek i* otornya @teh_najma"Tapi... bukan sama Bapak. Tapi, sama orang yang saya suka, cinta dan sayangi sepenuh hati. Lah Bapak, baru aja kita ketemu di semester ini, eh udah ngajak nikah aja." Aku meliriknya dari samping.Pak Alvin menoleh ke arahku, tersenyum meremehkan. Lah emang iya, wanita mana yang tak ingin menikah? tapi ya tidak juga dengan dipaksakan. Seperti dosen di sampingku ini. Demi nazar, dia malah mau ngajak-ngajak aku nikah sementara."Loh syarat nikah nggak mesti cinta. Yang penting, ada wali, kedua mempelai, akad, sah di mata Allah. Cinta katanya 'kan karena terbiasa. Tapi ya, karena saya nikahin kamu satu semester aja, ya saya rasa nggak bakal secepat itu jadi cinta." Tangannya sampai memukul setir, saking yakinnya terhadap perkataannya sendiri, ya tampaknya begitu.Dia sih enak, laki-laki. Tanpa cinta juga jadi. Tapi aku sebagai wanita, tentu tidak ingin ujug-ujug, tanpa tau a b c nya langsung nikah. Weleh, apalagi tanpa cinta? bukannya
Ruang tamu senyap di hari Minggu ini, tumben sekali. Rafa, adikku masih bergelut dengan selimutnya saat aku periksa kamarnya tadi. Padahal biasanya, sudah rame dengan kesibukannya mencuci sepatu di pagi Minggu.Sedangkan aku, baru saja menyelesaikan acara mencuci baju bertumpukku dan telah usai menjemurnya di belakang rumah. Saat aku menyapu ruang tamu, kulihat Bapak tampak merenung. Membuatku akhirnya mendekat dan ikut duduk, lalu menyalakan televisi."Tumben televinya nggak dinyalakan Pak, malah melamun," aku berkomentar sambil memencet remote. Memindah-mindah channel televisi."Kamu dan Alvin gimana perkembangannya?" tanya Bapak tiba-tiba tanpa menanggapi perkataan ku. Ah, kenapa sih, Bapak sepertinya sudah kesengsem sama Alvin, sampai terus memikirkan pria itu."Loh kok tiba-tiba tanya itu Pak, kemarin kami udah ketemu. Dan ya, aku tet
Sudah kuduga, berdalih karena tugas yang ditimpakan kepadaku, si dosen itu jelas memanfaatkannya untuk mengobrol tentang 'itu' lagi. "Saya udah bilang, kalau ranah pribadi. Skip, jangan paksa, pelecehan loh." Aku menatap tajam ke arahnya. "Heh, ngomong sembarangan. Saya laki-laki baik, tau etika dan tata krama, bahkan sumpah profesi saja saya hafal. Masa melecehkan mahasiswa, pantang lah." Dia mengibaskan tangan, balas melotot padaku. "Ya habisnya, Bapak maksa sih." Aku menyilangkan tangan di depan dada. Tak lama, waiters datang membawa dua minuman yang sudah kami pesan sebelumnya. "Saya cuma minta tolong kamu, karena minggu depan saya ada dinas keluar kota. Jadi, untuk pengumpulan tugas resume, dikumpulnya di kamu. Harus tulis tangan sendiri, enggak boleh diwakilkan. Mahasiswa itu pinter, tapi suka begoin dosen." Kalau enggak ada maksud, cuma memberi tugas doang, lah kenapa juga harus di cafe seperti ini. Seperti lagi kencan aja. "Iya lagian dosennya mau aja sih di begoin. Udah
Apa dia bilang? otakku mendadak sulit mencerna. Maksudnya, dia mau ngelamar aku gitu?"Saya bisa aja datang ke rumahmu. Untuk tujuannya, silaturahmi atau lebih, nanti saya putuskan," jelasnya, membuat sudut bibirku tertarik mau tak mau. Walau belum pasti kunjungan itu lamaran, tapi rasanya hatiku sudah berdebar-debar kencang mendengarnya."Maksud Kakak, ngelamar aku gitu?" tanyaku memastikan. Jangan sampai aku cuma ngehalu saja, 'kan kalau enggak kesamapaian, sakit."Mungkin." Dia seperti menahan senyum, dan itu sungguh manis. Oh, ini berita gembira bagiku, ternyata selama ini Ramdan memiliki perasaan padaku. Tuhan, terimakasih atas nikmat yang telah engkau beri padaku, bahkan saking sayangnya kau padaku, cintaku saja kau sampaikan pada hatinya Kak Ramdan."Kakak suka sama aku selama ini?" tanyaku dengan nada riang, hampir-hampir gigiku keliatan semua saking senengnya. Untung aja udah sikat gigi dan mandi pagi."Ya pasti suka. Kalau enggak, ya mungkin kita nggak ngobrol senyaman ini."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu waktunya sidang skripsi. Ramdan dibalik kelembutannya memang memiliki semangat baja, enggak salah aku memilih dia sebagai calon imam masa depan.Sesuai jadwal sidangnya, hari ini aku ikut menjadi salah satu peserta yang akan menonton dan mengamatinya dari kejauhan. Melihat wajahnya yang biasa tersenyum, tampak sedikit berkeringat dan serius mempertahankan argumentasinya di depan para penguji.Ramdan, adalah jurusan pendidikan agama Islam, membuat dia benar-benar seperti tengah berkhotbah di depan sana. Aku semakin dibuat kagum oleh wawasan agamanya itu. Semoga, dia lulus dengan hasil memuaskan."Kak Ramdan udah mirip ustadz aja," komentar Tiara yang juga menatapnya kagum.Aku mengelap wajahnya, memperingatkan dia agar tidak menatapnya begitu. "Awas, tatapanmu nanti bikin wajah dia bolong."Tiara berdecak, mungkin sebal. "Haduh, belum juga jadi istri, udah ngelarang-larang cewek lain liatin Ramdan. Huh.""Lagian, kamu natapnya ala-ala pelakor
Akhirnya, aku membiarkan Pak Alvin mengikutiku hingga ke toko kain langgananku. Bodo amatlah sama tingkahnya itu, sepanjang tidak menghambat perjalananku.Sesampainya di tempat, aku langsung bergerak ke dalam toko tanpa menunggu Pak Alvin memarkirkan mobilnya. Mataku langsung cerah rasanya karena disuguhkan berbagai model kain beserta harga terjangkau yang tertera di atasnya. Itulah kenapa, toko ini menjadi langganan ku. Selain kainnya yang berkualitas, dari segi harga juga begitu ramah dikantongku.Terlihat juga ada dua orang ibu-ibu yang sibuk memilih kain sambil berbincang di bagian ruangan 1. Aku langsung bergerak ke bagian ruangan dua, tempatku biasa menemukan kain polos dengan berbagai warna."Oh, jadi ini toko kain langgananmu?" tanya Pak Alvin, entah sejak kapan pria itu sudah berhasil menyusulku hingga kesini.Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya, karena mataku memindai kain-kain itu. Minggu ini, aku sebenarnya hanya memerlukan kain berwarna pastel dan tosca, namun tak sa
Mataku masih setia menatap langit malam. Membuka tutup ponsel tanpa ada yang ku hubungi. Hanya satu harapanku adalah, Ramdan segera mengirim pesan. Kesibukan apa sebenarnya yang membuat pria itu tidak membalas pesan dariku terakhir kali.Sudah dua minggu semenjak pesan itu dikirimkan, bahkan produk hijab pesanan konsumenku sudah hampir jadi. Belum ada tanda-tanda kedatangan tamu ke rumah. Aku mencoba mengingat lagi perkataanya tempo hari, barangkali aku hanya salah menafsirkan. Ramdan, tidak benar-benar akan datang melamar. Tapi, entah mengapa, kesimpulan yang datang adalah dia telah memberi harapan padaku.Ting!Reflek, mataku turun ke layar ponsel. Nama yang membuat jantungku meledak-ledak nampak disana. Akhirnya.[Besok, bisa ketemu?] tanya Kak Ramdan lewat pesan WhatsApp[Bisa Kak, dimana?] tanyaku. Walau sedikit kecewa, mengapa enggak secara langsung saja datang ke rumahku sekalian membicarakan perihal lamaran itu.[Di perpustakaan, maaf ya kemarin enggak sempet balas pesan kamu
"Saya terima lamaran Bapak." Aku berkata dengan mantap membuat Pak Alvin terlihat kaget. Ia menatapku seperti mengatakan 'kesambet setan kamu?'"Dari awal saya sudah duga, kalau akhirnya kamu terima saya," ucapnya bangga. Dia tertawa pelan memperlihatkan deretan giginya sambil menyilang tangan di depan dada."Saya memang enggak ingin main-main dalam pernikahan. Kalau Bapak ingin main-main nantinya, jangan sakiti orang-orang di sekitar saya," jelasku serius. Ya, bukan ingin siapapun menikah untuk sementara, lalu cerai dengan membawa luka. Pasti itu, kebanyakan suami dan istri yang cerai, pasti ada masalah didalamnya. Hanya saja, keduanya bisa setidaknya meminimalisir konflik dengan cerai dengan cara baik-baik. Walau aku meragukan 'cara baik-baik' itu yang ternyata 'cerai yang berati pisah'. Seharusnya cara baik-baik dalam menanggulangi masalah di rumah tangga 'kan ya solusi yang baik dan tidak membuat suami istri pisah. Tapi ini kenapa harus cerai yang menjadi cara itu."Saya enggak s