Apa dia bilang? otakku mendadak sulit mencerna. Maksudnya, dia mau ngelamar aku gitu?"Saya bisa aja datang ke rumahmu. Untuk tujuannya, silaturahmi atau lebih, nanti saya putuskan," jelasnya, membuat sudut bibirku tertarik mau tak mau. Walau belum pasti kunjungan itu lamaran, tapi rasanya hatiku sudah berdebar-debar kencang mendengarnya."Maksud Kakak, ngelamar aku gitu?" tanyaku memastikan. Jangan sampai aku cuma ngehalu saja, 'kan kalau enggak kesamapaian, sakit."Mungkin." Dia seperti menahan senyum, dan itu sungguh manis. Oh, ini berita gembira bagiku, ternyata selama ini Ramdan memiliki perasaan padaku. Tuhan, terimakasih atas nikmat yang telah engkau beri padaku, bahkan saking sayangnya kau padaku, cintaku saja kau sampaikan pada hatinya Kak Ramdan."Kakak suka sama aku selama ini?" tanyaku dengan nada riang, hampir-hampir gigiku keliatan semua saking senengnya. Untung aja udah sikat gigi dan mandi pagi."Ya pasti suka. Kalau enggak, ya mungkin kita nggak ngobrol senyaman ini."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu waktunya sidang skripsi. Ramdan dibalik kelembutannya memang memiliki semangat baja, enggak salah aku memilih dia sebagai calon imam masa depan.Sesuai jadwal sidangnya, hari ini aku ikut menjadi salah satu peserta yang akan menonton dan mengamatinya dari kejauhan. Melihat wajahnya yang biasa tersenyum, tampak sedikit berkeringat dan serius mempertahankan argumentasinya di depan para penguji.Ramdan, adalah jurusan pendidikan agama Islam, membuat dia benar-benar seperti tengah berkhotbah di depan sana. Aku semakin dibuat kagum oleh wawasan agamanya itu. Semoga, dia lulus dengan hasil memuaskan."Kak Ramdan udah mirip ustadz aja," komentar Tiara yang juga menatapnya kagum.Aku mengelap wajahnya, memperingatkan dia agar tidak menatapnya begitu. "Awas, tatapanmu nanti bikin wajah dia bolong."Tiara berdecak, mungkin sebal. "Haduh, belum juga jadi istri, udah ngelarang-larang cewek lain liatin Ramdan. Huh.""Lagian, kamu natapnya ala-ala pelakor
Akhirnya, aku membiarkan Pak Alvin mengikutiku hingga ke toko kain langgananku. Bodo amatlah sama tingkahnya itu, sepanjang tidak menghambat perjalananku.Sesampainya di tempat, aku langsung bergerak ke dalam toko tanpa menunggu Pak Alvin memarkirkan mobilnya. Mataku langsung cerah rasanya karena disuguhkan berbagai model kain beserta harga terjangkau yang tertera di atasnya. Itulah kenapa, toko ini menjadi langganan ku. Selain kainnya yang berkualitas, dari segi harga juga begitu ramah dikantongku.Terlihat juga ada dua orang ibu-ibu yang sibuk memilih kain sambil berbincang di bagian ruangan 1. Aku langsung bergerak ke bagian ruangan dua, tempatku biasa menemukan kain polos dengan berbagai warna."Oh, jadi ini toko kain langgananmu?" tanya Pak Alvin, entah sejak kapan pria itu sudah berhasil menyusulku hingga kesini.Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya, karena mataku memindai kain-kain itu. Minggu ini, aku sebenarnya hanya memerlukan kain berwarna pastel dan tosca, namun tak sa
Mataku masih setia menatap langit malam. Membuka tutup ponsel tanpa ada yang ku hubungi. Hanya satu harapanku adalah, Ramdan segera mengirim pesan. Kesibukan apa sebenarnya yang membuat pria itu tidak membalas pesan dariku terakhir kali.Sudah dua minggu semenjak pesan itu dikirimkan, bahkan produk hijab pesanan konsumenku sudah hampir jadi. Belum ada tanda-tanda kedatangan tamu ke rumah. Aku mencoba mengingat lagi perkataanya tempo hari, barangkali aku hanya salah menafsirkan. Ramdan, tidak benar-benar akan datang melamar. Tapi, entah mengapa, kesimpulan yang datang adalah dia telah memberi harapan padaku.Ting!Reflek, mataku turun ke layar ponsel. Nama yang membuat jantungku meledak-ledak nampak disana. Akhirnya.[Besok, bisa ketemu?] tanya Kak Ramdan lewat pesan WhatsApp[Bisa Kak, dimana?] tanyaku. Walau sedikit kecewa, mengapa enggak secara langsung saja datang ke rumahku sekalian membicarakan perihal lamaran itu.[Di perpustakaan, maaf ya kemarin enggak sempet balas pesan kamu
"Saya terima lamaran Bapak." Aku berkata dengan mantap membuat Pak Alvin terlihat kaget. Ia menatapku seperti mengatakan 'kesambet setan kamu?'"Dari awal saya sudah duga, kalau akhirnya kamu terima saya," ucapnya bangga. Dia tertawa pelan memperlihatkan deretan giginya sambil menyilang tangan di depan dada."Saya memang enggak ingin main-main dalam pernikahan. Kalau Bapak ingin main-main nantinya, jangan sakiti orang-orang di sekitar saya," jelasku serius. Ya, bukan ingin siapapun menikah untuk sementara, lalu cerai dengan membawa luka. Pasti itu, kebanyakan suami dan istri yang cerai, pasti ada masalah didalamnya. Hanya saja, keduanya bisa setidaknya meminimalisir konflik dengan cerai dengan cara baik-baik. Walau aku meragukan 'cara baik-baik' itu yang ternyata 'cerai yang berati pisah'. Seharusnya cara baik-baik dalam menanggulangi masalah di rumah tangga 'kan ya solusi yang baik dan tidak membuat suami istri pisah. Tapi ini kenapa harus cerai yang menjadi cara itu."Saya enggak s
Aku bangun dengan peluh yang membanjir serta dada yang mendadak kesal. Bagaimana tidak sebal, aku bukan sedang mimpi hantu, zombie, apalagi mimpi song jong ki. Tapi, mimpiin Kak Ramdan yang lagi tersenyum bersama cewek lain di pelaminan. Ya, cewek yang berani merebut Kak Ramdan, padahal aku duluan yang memulai garis startnya."Coba temuin aku sama Ibumu Kak," ucapku kemarin sedikit memaksa. Setidaknya, itu menjadi solusi, agar Ibunya Ramdan tahu aku sebenarnya berlian yang tak boleh ditolak. Ya elah kepedean ya."Ibu sudah sangat mengenal Cahyati Mel. Rumah kami itu hampir berdekatan, selisih berapa rumah aja. Sehari-harinya, Cahyati selalu terlihat lewat di depan rumahku dan menyapa Ibuku kalau mau berangkat ke kampus. Ibuku tuh udah lama kagum sama Yati. Dia itu juga sering ngisi di pengajian Ibu-ibu. Makin kagum lah Ibuku."Duh sebenarnya kamu juga kagum 'kan Kak? tanyaku dalam hati."Ya, buat Ibumu kagum sama aku 'kan nggak sulit Kak? dengan aku rajin-rajin berkunjung ke rumahmu,"
Pernikahanku dan Pak Alvin tinggal menunggu waktu. Ketika di kelas mata kuliah dia, teman-temanku untunglah tak berani membuly atau menggoda aku maupun Pak Alvin. Karena Pak Alvin sudah mengancam, barangsiapa yang bawa urusan pribadi ke kelas, termasuk membicarakan perihal hubungan antara dirinya dan aku, dijamin nilainya C.Tapi, kabar buruknya adalah dia yang selalu meminta agar aku bersedia menjemput dan mengantarnya pulang saat ada mata kuliahnya. Dan, aku tentu saja tak bisa menolak, karena dia izinnya pada Bapakku. Argh."Hari ini kelompok berapa yang maju makalah?" tanya Pak Alvin sambil matanya menyapu sekeliling kelas."Kelompok 7 Pak," jawab Arie, si ketua di mata kuliah Pak Dosen."Oke, silakan siapkan. Lain kali, kalau Bapak masuk ke kelas, ppt sudah siap dilayar, jadi pas saya ke kelas, tinggal presentasi aja," jelas Pak Alvin."Siyap Pak!""Setelah nikah Pak Alvin lebih cerah ya auranya," ucap Sindy yang duduk di sebelahku. Aku tersenyum saja menanggapi."Pantes aja si R
Aku menyerahkan kapas dan juga botol micellar water kepadanya. Pak Alvin menerimanya, menuangkan cairan pembersih make up itu ke atas kapas. Lalu, menyuruhku untuk menutup mata.Tapi, mataku maunya tetep terbuka. Sayang melewatkan kegantengan di depan mata.Astaghfirullah, istighfar aku. Mohon ampun, itu mata sudah banyak jelalatan nya. Ya walau halal sama suami tapi 'kan bahaya, bisa mimisan tiba-tiba nanti. Bukan hidung, tapi yang dibawah sana itu."Merem bisa nggak?" tegur Pak Alvin seperti kesal."Ih, bentar dulu," ucapku lalu benar-benar menutup mataku. Uh, semakin terpejam, entah mengapa aku justru merasakan sesuatu yang aneh di dadaku. Debaran itu semakin menjadi woi. Pargoy kayaknya jantungku didalam itu. Bagaimana tidak, nafasnya pak Alvin dapat kurasakan di kulit wajahku. Itu berarti, wajahnya pasti sangat dekat dengan wajahku.Ya Tuhan, bantulah hamba menahan jiwa yang meronta. Ingin di belai, astaghfirullah. Ingat, dia menikahi mu hanya satu semester. Setelah itu, selesai.