Ruang tamu senyap di hari Minggu ini, tumben sekali. Rafa, adikku masih bergelut dengan selimutnya saat aku periksa kamarnya tadi. Padahal biasanya, sudah rame dengan kesibukannya mencuci sepatu di pagi Minggu.
Sedangkan aku, baru saja menyelesaikan acara mencuci baju bertumpukku dan telah usai menjemurnya di belakang rumah. Saat aku menyapu ruang tamu, kulihat Bapak tampak merenung. Membuatku akhirnya mendekat dan ikut duduk, lalu menyalakan televisi.
"Tumben televinya nggak dinyalakan Pak, malah melamun," aku berkomentar sambil memencet remote. Memindah-mindah channel televisi.
"Kamu dan Alvin gimana perkembangannya?" tanya Bapak tiba-tiba tanpa menanggapi perkataan ku. Ah, kenapa sih, Bapak sepertinya sudah kesengsem sama Alvin, sampai terus memikirkan pria itu.
"Loh kok tiba-tiba tanya itu Pak, kemarin kami udah ketemu. Dan ya, aku tetep sama. Nggak bisa," jawabku sekenanya. Karena memang, akan sangat konyol jika aku menerima tawaran Alvin.
Memang bener, mau dipaksa atau diiming-imingi apapun oleh Pak Alvin, aku enggak akan sudi menikahi pria itu. Terlepas dari bagaimana tampannya dia, atau terkenalnya dia, seperti yang dikatakan Tiara kemarin. Tetap saja, keputusanku tidak bisa diganggu gugat. Tolong Pak, jangan membuat anakmu menjadi gamang dan tak nyaman.
"Bapak harap, kamu bisa menikah sama Alvin Nak. Mana laki-laki yang kata kamu mau kamu kenalkan?" tanya Bapak seperti menginterogasi walau tatapan matanya lembut.
"I-iya aku nggak pengen buru-buru. Lagian, dia belum lulus juga," ucapku sambil membuang pandangan ke arah lain, daripada menatap harapan di mata Bapak.
Aku memang tipe orang yang tidak suka di desak untuk apapun itu. Hanya karena tidak ingin mengambil langkah yang keliru sehingga dikemudian hari, membuatku menyesalinya.
"Emang, kenapa kamu nggak mau sama Alvin? kurang ganteng? kurang baik? kurang kaya? atau kurang apa?" tanya Bapak lagi. Benar-benar, aku tidak habis pikir lagi. Omongan manis apa yang membuat Bapak sangat klik dengan pria itu.
Aku menggaruk kepala, bukan seperti itu Pak. Alvin itu laki-laki idaman semua wanita kayaknya, di kampus. Tapi, aku masuk dalam salah satu wanita yang tak memimpikannya.
"Enggak pak, dia itu bagi kebanyakan wanita ya mendekati sempurna. Cuma, aku nggak ada perasaan apapun Pak, nggak lebih dari sekedar mahasiswa dan dosennya," jelasku. Memang begitu, aku tidak ada perasaan apapun padanya, tidak lebih dari sekedar Dosen dan mahasiswanya.
Ditambah, dia itu nyebelin. Dan beraninya ngajak aku nikah kontrak. Dasar oppa!
"Bapak nggak tau kriteria kamu harus setinggi apa. Tapi pesan Bapak, agar kamu jangan berekspektasi untuk dapat pria sempurna, karena itu tak ada. Kelak, sebagus apapun pria di matamu, dia akan kelihatan juga aslinya ketika sudah bersama dalam satu rumah," jelas Bapak dengan mimik serius.
Makanya itu Pak, sebelum nikah aja udah nyebelin, maksa, gitu apalagi setelah nikah. Bukan berarti aku mencari yang sempurna, karena mustahil ada manusia seperti itu. Makanya biasa orang menyebutnya insan, manusia, sifatnya lemah, memiliki banyak keterbatasan. Walau diluar kaya, ganteng, harum, tapi di dalam rumah bisa jadi belekan terus karena jarang mandi, bau karena keringatnya bejibun, dan kalau tidur ngorok terus. Ya 'kan?
"Amel paham Pak, usaha Bapak selama ini untuk bahagiain aku. Memang udah saatnya, aku membalasnya, walau nggak mungkin bisa. Maafkan Amel, yang nggak bisa nururutin apa kata Bapak. Amel harus mempertimbangkan hal besar ini baik-baik, bukan Amel nggak mau nurut Pak," timpalku. Televisi yang menyala sudah tidak fokus lagi aku lihat, malah benda persegi panjang besar itu yang sepertinya mengamati percakapanku dengan Bapak.
"Pikirkan baik-baik. Kamu baru ketemu beberapa kali saja dengan Pak Alvin, mungkin nggak mengenalnya begitu baik. Sedangkan Bapak, sangat mengenalnya." Bapak masih berusaha meyakinkan aku, dengan embel-embel sudah mengenalnya. Sedalam apa emang Bapak mengenal pria bernama Alvin Mahendra itu?
"Aku penasaran, gimana kalian saling mengenal? sampai Bapak kekeh untuk aku nerima Pak Dosenku itu," tanyaku penuh selidik, menatap Bapak dengan tatapn menyipit.
"Biarkan dia cerita sendiri sama kamu. Yang jelas, sebagai laki-laki juga, Bapak dapat melihat bagaimana cara dia nanti memimpin rumah tangga," balas Bapak tenang. Senyuman terbit di wajahnya, membuat aku penasaran saja.
Aku menatap mata Bapak yang penuh keseriusan. Gamang itu akhirnya hadir. Benarkah pendapat Bapak tentang Alvin itu? atau Bapak sebenarnya sudah terkena tipu oleh manipulasi kebaikan yang dilakukan dosen nyebelin itu? Ya Tuhan, semoga Bapak sadar. Kalau aku katakan Alvin akan menikahi ku hanya satu semester, apa yang akan Bapak lakukan? tapi, pertanyaannya, Bapak bakal percaya atau tidak dengan perkataan ku?
Aku menatap gelas yang berisi buah mengkudu yang sudah direbus itu hingga cairannya sedikit keruh. Kebiasaan Bapak kalau sedang merasa lelah fisik, meminum itu. Pagi ini Bapak terlihat kurang sehat juga, aku baru sadar saat ternyata gerobak nasi goreng masih dalam keadaan kosong, saat aku pergi ke halaman rumah untuk menengok si kelinci imutku.
"Bapak nggak jualan hari ini?" tanyaku sembari masuk ke dalam rumah lagi. Bapak masih dalam posisinya, duduk di ruang tamu, dengan sesekali menyeruput ramuan herbalnya.
"Jualan, tapi sore nanti. Pagi ini, Bapak ada agenda sama Alvin," balas Bapak.
"Loh? ngapain Pak? ngedate gitu?" tanyaku terkaget-kaget. Oh no, jangan sampai mereka berdua semakin dekat. Atau memang keduanya sudah dekat sangat lama? ah aku tertingal info ternyata. Bisa-bisa, permintaan Alvin waktu itu, adalah bagian dari rencana mereka. Bukan sekedar nazar doang? atau jangan-jangan Alvin penggemar rahasiaku sedari lama?
Ah tidak mungkin.
"Kamu cemburu Nak?" tanya Bapak dengan senyum.
"Ya bukan, aneh banget bapak dan Pak Alvin tiba-tiba kayak rekan kerja? rapat kah?" tanyaku lagi. Mengulik jawaban.
"Kamu nggak usah tahu. Nanti, tahu sendiri." Seolah Bapak sengaja membuatku penasaran.
"Jangan bilang Bapak lagi carikan penghulu? atau cari gaun pengantin sama Pak Alvin?" Aku menatap curiga sambil melipat tangan di depan dada.
Terlihat deretan gigi Bapak yang masih rapi. Lalu sekian detik kemudian terbatuk.
"Menurutmu?" Bapak malah balik bertanya, membuatku sebal, namun pura-pura saja.
"Ih Bapak."
"Kamu pikirkan baik-baik lagi ya. Kalau kamu nggak percaya, coba kalian saling kenal satu sama lain dulu. Setelah mantap, kamu langsung bilang sama Bapak, karena makin lama, nanti nggak bagus untuk hubungan kalian. Jadi, harus di segerakan."
Pak, aku harap, Bapak tidak menikahkanku secara tiba-tiba. Aku membatin sendiri, khawatir ketika aku membuka mata di pagi lusa, ternyata statusku sudah berubah menjadi istri. Ya enggak sah lah, enggak rela dunia akhirat.
Tanganku masih sibuk mempacking sekitar sepuluh hijab pesanan dari anak-anak kampus. Alhamdulilallah, setelah aku gencar promosi, ada orang-orang yang penasaran dengan produk hijab desain aku sendiri walau apa adanya.
Tapi, notifikasi w******p yang bukan dari konsumen itu, membuatku melirik malas. Pak Alvin, sudah berani mengirim pesan padaku secara pribadi, dan isinya sangat membuat nafasku tersengal.
From : Pak Alvin
[Angkat telpon saya]
Ponselku berdering, tertera nama dia diatas layarnya. Dengan berat hati aku mengangkat. Sengaja ku loudspeaker, agar telingaku tak dekat-dekat dengan nama yang ada dilayar itu. Khawatir merasa nyaman dengan suaranya, eaak.
[Bapakmu bahkan setuju pernikahan diadakan satu hari setelah kamu bilang acc]
[Apa sih maksud Bapak? acc apaan huh? saya nggak sedang konsul skripsi loh]
[Jangan pura-pura bego. Nanti kebablasan]
[Kasar sekali Bapak]
Aku berkata dengan sarkas.
[Iya maafkan saya. Tadi, aku ketemu sama Bapak kamu. Dia malah yang minta aku terus bujuk kamu Mel]
[Tetep nggak mau. Pak, tolong jangan jadi toxic ah, mengganggu banget. Maaf loh saya ngomong gini, karena hati saya udah nggak nyaman. Tolong ngertiin]
[Ya saya ngerti. Cuma, apa Bapakmu bisa ngerti? kecuali kamu udah bawain calon yang kamu maksud]
Duh, Bapak pasti cerita semuanya ke Pak Alvin.
[Itu cuma alasan aja, biar Bapak nggak maksa saya untuk nikah sama Pak Alvin]
[Besok matkul saya 'kan? nanti ada yang mau saya bicarakan setelah selesai pembelajaran]
[Kalau tentang nikah, saya berhak menolak dong? ranah pribadi 'kan ya? jadi, saya skip aja].
Aku berkata enteng.
[Jangan di skip, calon istri]
balasnya terdengar meledek. Setelah itu, sambungan di putus secara sepihak. Bukan olehku, tapi olehnya. Kurang ajar nih si dosen.
Aku memencet tombol calling lagi, dan tak lama, Pak Alvin mengangkatnya.
[Apa? Rindu ya, padahal barusan nel-]
Tuuut tuuut!
Segera saja aku memencet tombol merah di layar, dan panggilan telpon pun berakhir.
"Hahaha, rasakan di putus secara sepihak!" Aku tertawa-tawa karena bahagia bisa membalas kelakuan Pak Alvin itu.
Menjijikan sekali ini dosen, anak siapa sih? oh, jangan-jangan anak salah satu dosen pembimbing yang minta bibir sama anak bimbingannya itu? parah banget sih, enggak ada akhlak.
komen dong biar otor semangat lanjutin ceritanyađ komen apa aja dah, yang penting ramein ini ceritaa
Sudah kuduga, berdalih karena tugas yang ditimpakan kepadaku, si dosen itu jelas memanfaatkannya untuk mengobrol tentang 'itu' lagi. "Saya udah bilang, kalau ranah pribadi. Skip, jangan paksa, pelecehan loh." Aku menatap tajam ke arahnya. "Heh, ngomong sembarangan. Saya laki-laki baik, tau etika dan tata krama, bahkan sumpah profesi saja saya hafal. Masa melecehkan mahasiswa, pantang lah." Dia mengibaskan tangan, balas melotot padaku. "Ya habisnya, Bapak maksa sih." Aku menyilangkan tangan di depan dada. Tak lama, waiters datang membawa dua minuman yang sudah kami pesan sebelumnya. "Saya cuma minta tolong kamu, karena minggu depan saya ada dinas keluar kota. Jadi, untuk pengumpulan tugas resume, dikumpulnya di kamu. Harus tulis tangan sendiri, enggak boleh diwakilkan. Mahasiswa itu pinter, tapi suka begoin dosen." Kalau enggak ada maksud, cuma memberi tugas doang, lah kenapa juga harus di cafe seperti ini. Seperti lagi kencan aja. "Iya lagian dosennya mau aja sih di begoin. Udah
Apa dia bilang? otakku mendadak sulit mencerna. Maksudnya, dia mau ngelamar aku gitu?"Saya bisa aja datang ke rumahmu. Untuk tujuannya, silaturahmi atau lebih, nanti saya putuskan," jelasnya, membuat sudut bibirku tertarik mau tak mau. Walau belum pasti kunjungan itu lamaran, tapi rasanya hatiku sudah berdebar-debar kencang mendengarnya."Maksud Kakak, ngelamar aku gitu?" tanyaku memastikan. Jangan sampai aku cuma ngehalu saja, 'kan kalau enggak kesamapaian, sakit."Mungkin." Dia seperti menahan senyum, dan itu sungguh manis. Oh, ini berita gembira bagiku, ternyata selama ini Ramdan memiliki perasaan padaku. Tuhan, terimakasih atas nikmat yang telah engkau beri padaku, bahkan saking sayangnya kau padaku, cintaku saja kau sampaikan pada hatinya Kak Ramdan."Kakak suka sama aku selama ini?" tanyaku dengan nada riang, hampir-hampir gigiku keliatan semua saking senengnya. Untung aja udah sikat gigi dan mandi pagi."Ya pasti suka. Kalau enggak, ya mungkin kita nggak ngobrol senyaman ini."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu waktunya sidang skripsi. Ramdan dibalik kelembutannya memang memiliki semangat baja, enggak salah aku memilih dia sebagai calon imam masa depan.Sesuai jadwal sidangnya, hari ini aku ikut menjadi salah satu peserta yang akan menonton dan mengamatinya dari kejauhan. Melihat wajahnya yang biasa tersenyum, tampak sedikit berkeringat dan serius mempertahankan argumentasinya di depan para penguji.Ramdan, adalah jurusan pendidikan agama Islam, membuat dia benar-benar seperti tengah berkhotbah di depan sana. Aku semakin dibuat kagum oleh wawasan agamanya itu. Semoga, dia lulus dengan hasil memuaskan."Kak Ramdan udah mirip ustadz aja," komentar Tiara yang juga menatapnya kagum.Aku mengelap wajahnya, memperingatkan dia agar tidak menatapnya begitu. "Awas, tatapanmu nanti bikin wajah dia bolong."Tiara berdecak, mungkin sebal. "Haduh, belum juga jadi istri, udah ngelarang-larang cewek lain liatin Ramdan. Huh.""Lagian, kamu natapnya ala-ala pelakor
Akhirnya, aku membiarkan Pak Alvin mengikutiku hingga ke toko kain langgananku. Bodo amatlah sama tingkahnya itu, sepanjang tidak menghambat perjalananku.Sesampainya di tempat, aku langsung bergerak ke dalam toko tanpa menunggu Pak Alvin memarkirkan mobilnya. Mataku langsung cerah rasanya karena disuguhkan berbagai model kain beserta harga terjangkau yang tertera di atasnya. Itulah kenapa, toko ini menjadi langganan ku. Selain kainnya yang berkualitas, dari segi harga juga begitu ramah dikantongku.Terlihat juga ada dua orang ibu-ibu yang sibuk memilih kain sambil berbincang di bagian ruangan 1. Aku langsung bergerak ke bagian ruangan dua, tempatku biasa menemukan kain polos dengan berbagai warna."Oh, jadi ini toko kain langgananmu?" tanya Pak Alvin, entah sejak kapan pria itu sudah berhasil menyusulku hingga kesini.Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya, karena mataku memindai kain-kain itu. Minggu ini, aku sebenarnya hanya memerlukan kain berwarna pastel dan tosca, namun tak sa
Mataku masih setia menatap langit malam. Membuka tutup ponsel tanpa ada yang ku hubungi. Hanya satu harapanku adalah, Ramdan segera mengirim pesan. Kesibukan apa sebenarnya yang membuat pria itu tidak membalas pesan dariku terakhir kali.Sudah dua minggu semenjak pesan itu dikirimkan, bahkan produk hijab pesanan konsumenku sudah hampir jadi. Belum ada tanda-tanda kedatangan tamu ke rumah. Aku mencoba mengingat lagi perkataanya tempo hari, barangkali aku hanya salah menafsirkan. Ramdan, tidak benar-benar akan datang melamar. Tapi, entah mengapa, kesimpulan yang datang adalah dia telah memberi harapan padaku.Ting!Reflek, mataku turun ke layar ponsel. Nama yang membuat jantungku meledak-ledak nampak disana. Akhirnya.[Besok, bisa ketemu?] tanya Kak Ramdan lewat pesan WhatsApp[Bisa Kak, dimana?] tanyaku. Walau sedikit kecewa, mengapa enggak secara langsung saja datang ke rumahku sekalian membicarakan perihal lamaran itu.[Di perpustakaan, maaf ya kemarin enggak sempet balas pesan kamu
"Saya terima lamaran Bapak." Aku berkata dengan mantap membuat Pak Alvin terlihat kaget. Ia menatapku seperti mengatakan 'kesambet setan kamu?'"Dari awal saya sudah duga, kalau akhirnya kamu terima saya," ucapnya bangga. Dia tertawa pelan memperlihatkan deretan giginya sambil menyilang tangan di depan dada."Saya memang enggak ingin main-main dalam pernikahan. Kalau Bapak ingin main-main nantinya, jangan sakiti orang-orang di sekitar saya," jelasku serius. Ya, bukan ingin siapapun menikah untuk sementara, lalu cerai dengan membawa luka. Pasti itu, kebanyakan suami dan istri yang cerai, pasti ada masalah didalamnya. Hanya saja, keduanya bisa setidaknya meminimalisir konflik dengan cerai dengan cara baik-baik. Walau aku meragukan 'cara baik-baik' itu yang ternyata 'cerai yang berati pisah'. Seharusnya cara baik-baik dalam menanggulangi masalah di rumah tangga 'kan ya solusi yang baik dan tidak membuat suami istri pisah. Tapi ini kenapa harus cerai yang menjadi cara itu."Saya enggak s
Aku bangun dengan peluh yang membanjir serta dada yang mendadak kesal. Bagaimana tidak sebal, aku bukan sedang mimpi hantu, zombie, apalagi mimpi song jong ki. Tapi, mimpiin Kak Ramdan yang lagi tersenyum bersama cewek lain di pelaminan. Ya, cewek yang berani merebut Kak Ramdan, padahal aku duluan yang memulai garis startnya."Coba temuin aku sama Ibumu Kak," ucapku kemarin sedikit memaksa. Setidaknya, itu menjadi solusi, agar Ibunya Ramdan tahu aku sebenarnya berlian yang tak boleh ditolak. Ya elah kepedean ya."Ibu sudah sangat mengenal Cahyati Mel. Rumah kami itu hampir berdekatan, selisih berapa rumah aja. Sehari-harinya, Cahyati selalu terlihat lewat di depan rumahku dan menyapa Ibuku kalau mau berangkat ke kampus. Ibuku tuh udah lama kagum sama Yati. Dia itu juga sering ngisi di pengajian Ibu-ibu. Makin kagum lah Ibuku."Duh sebenarnya kamu juga kagum 'kan Kak? tanyaku dalam hati."Ya, buat Ibumu kagum sama aku 'kan nggak sulit Kak? dengan aku rajin-rajin berkunjung ke rumahmu,"
Pernikahanku dan Pak Alvin tinggal menunggu waktu. Ketika di kelas mata kuliah dia, teman-temanku untunglah tak berani membuly atau menggoda aku maupun Pak Alvin. Karena Pak Alvin sudah mengancam, barangsiapa yang bawa urusan pribadi ke kelas, termasuk membicarakan perihal hubungan antara dirinya dan aku, dijamin nilainya C.Tapi, kabar buruknya adalah dia yang selalu meminta agar aku bersedia menjemput dan mengantarnya pulang saat ada mata kuliahnya. Dan, aku tentu saja tak bisa menolak, karena dia izinnya pada Bapakku. Argh."Hari ini kelompok berapa yang maju makalah?" tanya Pak Alvin sambil matanya menyapu sekeliling kelas."Kelompok 7 Pak," jawab Arie, si ketua di mata kuliah Pak Dosen."Oke, silakan siapkan. Lain kali, kalau Bapak masuk ke kelas, ppt sudah siap dilayar, jadi pas saya ke kelas, tinggal presentasi aja," jelas Pak Alvin."Siyap Pak!""Setelah nikah Pak Alvin lebih cerah ya auranya," ucap Sindy yang duduk di sebelahku. Aku tersenyum saja menanggapi."Pantes aja si R