Aku bangun dengan peluh yang membanjir serta dada yang mendadak kesal. Bagaimana tidak sebal, aku bukan sedang mimpi hantu, zombie, apalagi mimpi song jong ki. Tapi, mimpiin Kak Ramdan yang lagi tersenyum bersama cewek lain di pelaminan. Ya, cewek yang berani merebut Kak Ramdan, padahal aku duluan yang memulai garis startnya."Coba temuin aku sama Ibumu Kak," ucapku kemarin sedikit memaksa. Setidaknya, itu menjadi solusi, agar Ibunya Ramdan tahu aku sebenarnya berlian yang tak boleh ditolak. Ya elah kepedean ya."Ibu sudah sangat mengenal Cahyati Mel. Rumah kami itu hampir berdekatan, selisih berapa rumah aja. Sehari-harinya, Cahyati selalu terlihat lewat di depan rumahku dan menyapa Ibuku kalau mau berangkat ke kampus. Ibuku tuh udah lama kagum sama Yati. Dia itu juga sering ngisi di pengajian Ibu-ibu. Makin kagum lah Ibuku."Duh sebenarnya kamu juga kagum 'kan Kak? tanyaku dalam hati."Ya, buat Ibumu kagum sama aku 'kan nggak sulit Kak? dengan aku rajin-rajin berkunjung ke rumahmu,"
Pernikahanku dan Pak Alvin tinggal menunggu waktu. Ketika di kelas mata kuliah dia, teman-temanku untunglah tak berani membuly atau menggoda aku maupun Pak Alvin. Karena Pak Alvin sudah mengancam, barangsiapa yang bawa urusan pribadi ke kelas, termasuk membicarakan perihal hubungan antara dirinya dan aku, dijamin nilainya C.Tapi, kabar buruknya adalah dia yang selalu meminta agar aku bersedia menjemput dan mengantarnya pulang saat ada mata kuliahnya. Dan, aku tentu saja tak bisa menolak, karena dia izinnya pada Bapakku. Argh."Hari ini kelompok berapa yang maju makalah?" tanya Pak Alvin sambil matanya menyapu sekeliling kelas."Kelompok 7 Pak," jawab Arie, si ketua di mata kuliah Pak Dosen."Oke, silakan siapkan. Lain kali, kalau Bapak masuk ke kelas, ppt sudah siap dilayar, jadi pas saya ke kelas, tinggal presentasi aja," jelas Pak Alvin."Siyap Pak!""Setelah nikah Pak Alvin lebih cerah ya auranya," ucap Sindy yang duduk di sebelahku. Aku tersenyum saja menanggapi."Pantes aja si R
Aku menyerahkan kapas dan juga botol micellar water kepadanya. Pak Alvin menerimanya, menuangkan cairan pembersih make up itu ke atas kapas. Lalu, menyuruhku untuk menutup mata.Tapi, mataku maunya tetep terbuka. Sayang melewatkan kegantengan di depan mata.Astaghfirullah, istighfar aku. Mohon ampun, itu mata sudah banyak jelalatan nya. Ya walau halal sama suami tapi 'kan bahaya, bisa mimisan tiba-tiba nanti. Bukan hidung, tapi yang dibawah sana itu."Merem bisa nggak?" tegur Pak Alvin seperti kesal."Ih, bentar dulu," ucapku lalu benar-benar menutup mataku. Uh, semakin terpejam, entah mengapa aku justru merasakan sesuatu yang aneh di dadaku. Debaran itu semakin menjadi woi. Pargoy kayaknya jantungku didalam itu. Bagaimana tidak, nafasnya pak Alvin dapat kurasakan di kulit wajahku. Itu berarti, wajahnya pasti sangat dekat dengan wajahku.Ya Tuhan, bantulah hamba menahan jiwa yang meronta. Ingin di belai, astaghfirullah. Ingat, dia menikahi mu hanya satu semester. Setelah itu, selesai.
Hari pertama menjadi istri. Tidak ada perubahan apapun, seperti biasa, aku memasak menu apapun, lalu menyajikannya di ruang makan, hanya bertambah satu set alat makan dan minum.Bapak tersenyum melihatku, dan aku merasa heran karena itu."Gimana nyenyak tidurnya?" tanya Bapak.Aku mengangguk saja, "seperti biasa," balasku. "Oh ya, kalau Bapak masih merasa capek, istirahat aja dulu, hari ini nggak usah jualan."Bapak menggeleng, lalu menatap ke arah Pak Alvin yang baru masuk dari luar rumah. Entah darimana."Menantu Bapak udah bantu siap-siapin.""Eh? maksudnya?" tanyaku, menyodorkan seperangkat alat makan. Lalu berdiri dan menaburkan nasi dan lauk diatas piring, dan mengisi gelasnya dengan air putih. Aku belum tahu minuman kesukaanya di pagi hari, alhasil aku beri yang netral-netral aja dulu."Sebelum subuh, Alvin membantu Bapak mengiris sayuran. Juga tadi memindah termos nasi dan sayurannya ke gerobak.""Oh." Aku kembali duduk, lalu mempersilakannya makan. "Di makan, Pak," kataku."M
Kami memang sudah membicarakan perihal hubungan asmara yang kami miliki. Eh, dia aja sih sebenarnya. Intinya, aku tak boleh melarang Pak Alvin berhubungan dengan si Wati, dan Pak Alvin pun tak melarang aku dekat dengan cowok manapun. Sepanjang masih dalam batas wajar.Jadi, aku harus sabar melihat mereka berdua-duaan, walau tidak berbuat macam-macam. Tapi, tetap saja rasanya tak rela. Walau pun kami hanya sementara menikah, tapi Pak Alvin suamiku."Nanti kamu akan sering ngeliat saya sama pacar saya," ucap Pak Alvin pada suatu malam.Aku berdecak tak minat, "bodo amat. Nggak iri sama yang pacaran," ucapku."Karena kamu nggak mampu," balas Pak Alvin seperti menyombongkan diri untuk dosanya."Berbuat dosa aja pamer," ejekku sambil mempacking hijab pesanan dari konsumenku. Pak Alvin hanya memainkan ponsel, seperti tak berniat sama sekali untuk membantuku. Dasar, nggak peka!"Ck, nggak ada kata haram pacaran kok dalam kitab juga. Lagian, saya pacaran ala dewasa, sehat, tidak macam-macam,"
Pov Alvin MahendraAkhirnya kata sah itu sudah terucap. Kini, aku resmi menikahi seseorang dan nazarku sudah terbayarkan. Ah leganya.Bapak mertuaku terlihat haru, meminta anaknya untuk mencium tanganku. Eh bentar, tiba-tiba saja aku menjadi gugup, apalagi melihat wajah Amel yang tersenyum. Memang manis anak ini. Bibirnya yang tipis, terlihat dibalut lipstik warna merah tak mencolok, matanya lentik karena bulu mata. Lumayan lah, enggak jelek-jelek amat untuk dijadikan istri sementara."No cium-cium," katanya ketika sudah mencium punggung telapak tanganku lama. Bahkan aku mengira dia tertidur saking lamanya.Aku menyeringai, "siapa juga yang mau cium kamu," kataku lirih. Dia terlihat mendelik, membuatku hampir saja tertawa melihat ekspresinya.Usai resepsi, aku masih tetap tinggal di rumah Amel. Ayah dan Mamaku pamit lebih dulu, dan menolak menginap ketika Bapak mertuaku menawarinya."Nginep aja Pak, Bu, masih ada kok kamar kosong buat sampean-sampean ini," ucap Bapak mertua.Mama tiri
Baru sehari aku berada di rumah mertua, masalah sudah menghantuiku. Bagaimana tidak, hanya karena aku salah menjemur baju, Ibu mertuaku mengomeliku pagi hari. Mana ku tahu, jika tempat menjual pakaian biasa dengan dalaman itu beda.“Kamu nggak tau yang namanya privasi apa?” tanya Mama mertua dengan nada nyolot.“Bukan begitu Ma, saya kira, semua pakaian di sini jemurnya," kilahku. Memang aku tidak tahu ya jangan juga di omelin.“Makanya, observasi tempat dulu. Coba kamu liat ke atap, disana tempat jemuran pakaian dalam!” tegasnya. Duh, memangnya aku sedang riset skripsi, harus observasi dulu?“O-o iya Ma.” aku menjawab terbata.Hatiku dongkol sekali waktu itu. Hanya saja, aku yang bisa membantah sebenarnya, tapi aku kubur dalam-dalam karena mengingat baru hari pertamaku di rumah ini. Seharusnya first impressionku harus terlihat bagus dimata orang-orang rumah.Kejadian tadi pagi, Pak Alvin tidak tahu. Dia sudah pergi beberapa jam yang telah lalu. Dan aku tidak ingin menceritakannya, pa
"Baju saya mana Mel?" tanya Pak Alvin setelah keluar dari kamar mandi. Nada bicaranya tidak sedatar kemarin saat marah sama aku. Walau seharusnya aku yang marah kerena kelakuan kekanak-kanakkannya. Bagaimana tidak kesal, saat aku besoknya akan middle tes dan harus fokus belajar tanpa gangguan, dia malah bertelponan hingga larut malam sama siapa lagi, jika bukan Wati!Nih peristiwa ngeselinnya pas waktu itu."Pak, tolong, ingat waktu. Biarkan saya tenang belajar," ucapku mendekat ke arahnya yang lagi senderan di ranjang. Dia itu lagi teleponan sama Wati, tau! keseeel sumpah."Itu urusan kamu ya Mel. Kamu belajar ya silakan, saya disini telponan, kamu nggak berhak larang-larang," katanya seperti tak suka aku tegur. Kok dia jadi egois begini ya Allah."Setidaknya Pak, jangan keras-keras kalau ngomong. Saya keganggu!" kataku lalu mengambil bantal, untuk menjadi senderanku di sofa."Memangnya saya juga nggak keganggu kalau pas lagi belajar, kamu cekikikan sama temenmu itu malam-malam huh?"
Bagi Amel, peristiwa yang ia alami mendadak ini terasa seperti mimpi di sore hari. Setelah hatinya memantapkan untuk kembali melabuhkan hati pada seseorang, akhirnya kini tubuhnya merela untuk duduk sembari mendengar seorang pria mengucap janji suci.Ketika Amel mengatakan pada sang Ayah bahwa ia telah siap kembali menikah dengan Alvin, sepertinya Haris tidak ingin membuang banyak waktu, selain segera menghubungi pihak KUA untuk menikahkan putrinya yang sudah dua kali gagal menikah. Kini, ia percaya dan penuh harap semoga rumah tangga yang akan dibina oleh dua orang yang ia sayangi itu, akan menemukan bahagia.Sedangkan Alvin, ia juga tidak kalah syok karena setelah Haris kembali ke ruangannya tanpa Amel, pria paruh baya itu mengatakan dengan tegas bahwa akad mendadak akan dilaksanakan sore hari, menjelang Maghrib. Tanpa bisa membantah, Alvin hanya mengiyakan walau dadanya berdebar tidak karuan."Secepat itu," batin Alvin. Ia menatap tubuhnya sendiri yang masih dalam keadaan belum pul
"Kamu belum bisa melupakan Ramdan?” lirih Haris, wajahnya terlihat sedih. Amel menghela nafas, ia tahu, Ayahnya sedang berusaha membujuknya.“Bukan begitu Pak."“Terus apa alasan kamu? Karena dia kekurangan fisik?” tanya Haris memastikan. Ia tahu, pasti berat bagi putrinya yang tiba-tiba ditawarkan seorang pria yang kekurangan secara fisik.“Bukan itu juga. Begini Pak, walau Pak Haikal itu kekurangan fisik, apa dia mau sama aku? Janda dua kali ini? Ck, aku rasa perjaka semacam dia, enggan. Pasti mencari perawan,” jelas Amel sembari menggelengkan kepalanya. Ia sadar diri, sebagai seorang janda, tentu tidak percaya diri menikahi seorang pria yang benar-benar baru, belum pernah menikah sama sekali. Apalagi, Haikal cukup tampan dan cerdas. Ah, Amel tidak bisa membayangkan bisa bersanding dengan pria itu.“Anak Bapak juga masih perawan. Apa lagi yang diragukan?” tanya Haris yang memang tahu, putrinya masih perawan. Bukankah Amel tempo hari menceritakan jika Ramdan tidak pernah menyentuhnya
Awalnya Amel hendak melipir dan bersembunyi, walau matanya sudah terlanjur bertemu dengan Wati. Pertemuan ini pasti akan terasa aneh. Amel menghirup nafas dalam-dalam, ia tidak boleh terlihat lemah dihadapan dua orang itu.“Untuk apa aku takut bertemu mereka?” batin Amel. Akhirnya ia memberanikan diri untuk tetap tegap dan berjalan lurus ke depan.“Kamu dari tempat Alvin?” tanya Wati langsung setelah ia berhenti di depan Amel.“Iya. Kalian mau berkujung juga?” tanya Amel dengan wajah ramah, melirik sekilas kepada Ramdan yang tampak canggung. Sedangkan Wati, tersenyum sumir, ketika melihat mantan madunya nampak baik-baik saja.“Mereka memang tampak serasi sebagai suami istri,” batin Amel.Wati menganggukkan kepala, “Apa tidak ada yang aneh? Mantan istri mengunjungi mantan suami. Padahal sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Apalagi, kamu baru saja cerai dari Ramdan, kenapa seolah tidak terjadi apa-apa?” sindir Wati tajam. “Pasti ada sesuatu Jangan bilang, setelah ini kamu akan balikka
Mengingat sang Ayah tersenyum penuh arti. Amel menjadi kepikiran jika pria paruh baya itu benar-benar akan menjodohkannya dengan Bos Konveksi itu. Haikal.Selama packing hijab pesanan pelanggannya pun, Amel masih tidak bisa tenang. Jangan sampai Ayahnya menawarkannya pada Haikal. Mau ditaruh dimana muka ini? batin Amel.Akhirnya, karena kegalauannya, ia memutuskan untuk sekedar refreshing ke cafe. Bersama siapa lagi, jika bukan Tiara. "Gimana kabarmu? aku liat, pipimu baik-baik aja?" tanya Tiara sembari menyeruput Americanonya.Amel tersenyum masam. "Haruskah aku kurus gara-gara cerai?"Tiara tertawa. "Ya nggak lah. Tapi, mengingat dia pria yang sangat kamu kagumi. Apa nggak susah lupainnya?" tanya Tiara. Ia turut bersedih ketika Amel bercerita padanya via telpon bahwa rumah tangga wanita itu dengan Ramdan telah kandas gara-gara ada orang ketiga. Dan parahnya, orang ketiganya telah hamil."Susah. Cuma, kalau ingat dia telah menghamili wanita lain, aku menjadi sedikit, gimana gitu. Ent
Bagi seorang Ayah, akan sangat tidak tega membiarkan putrinya menyimpan luka sendirian. Haris, terus memantau keadaan Amel yang ia tahu, putrinya berusaha terlihat baik-baik saja. Dan Amel, berusaha keras agar Ayahnya percaya.Hari demi hari terlewati, Amel terlihat semakin ceria. Banyak senyum dan tertawa. Tidak ada rona kecewa dan kesedihan di sana. Dan hal itu, membuat Haris justru makin khawatir, takut anaknya menyembunyikan rasa stress yang dialaminya seorang diri.“Rafa! Sarapan!” teriak Amel sambil menggedor-gedor kamar sang adik.Haris yang melihatnya, hanya menatap nanar putrinya. Tidak mungkin, bagi wanita bercerai akan bangkit secepat itu.“Eh Bapak! Ayo makan, kita tinggalin Rafa!” ucap Amel saat ia menolah mendapati sang Ayah yang tengah berdiri dan menatapnya.Haris tersenyum. “Ayo!”Keluarga kecil itu kembali pada rutinitas seperti biasanya. Seperti sebelum Amel di boyong oleh suami ke rumah mertuanya. Pagi-pagi, Amel yang menyajikan berbagai menu makanan. Haris yang me
“Mau kemana kalian?” tanya Melani yang sedang berbincang dengan suaminya. Amel yang masih menitikkan air mata, menyekanya, mengulas senyum namun tidak kuat untuk mengatakan bahwa dia dan Ramdan telah bercerai.“Nak, kenapa kamu membawa koper?” tanya Melani lagi, kini wanita paruh baya itu menghampiri Amel dan Ramdan yang berdiri. “Ramdan, kenapa Amel menangis?” Melani masih terus bertanya. Ramdan menghela nafas.“Kami sudah bercerai Bu,” lirih Ramdan. Amel tersenyum paksa, ia menggenggam tangan Ibu mertuanya yang dingin. Terlihat raut wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu begitu terkejut.“Maafkan Amel Bu,” ujar Amel. “Maaf, karena Amel tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”“Ramdan, apa yang kamu lakukan pada Amel?” tanya pria paruh baya. Ayahnya Ramdan.Ramdan yang mendapat pertanyaan penuh intimidasi itu menundukkan kepala, tidak berani menatap sang ayah. “Ada apa sebenarnya ini? Kenapa kalian bercerai?” tanya Ayah Ramdan.“Nanti. Aku akan jelaskan. Ayo.” Ramdan mem
Amel tidak kuasa menahan tangis. Ia berteriak dengan cairan bening yang terus menetes."Sama. Laki-laki semuanya sama ketika berbohong," batin Amel walau tidak ia suarakan di hadapan Ramdan. Saat di perjalanan menuju rumah Ramdan. Pria itu tiba-tiba mendapat telpon entah dari siapa."Kenapa nggak diangkat Kak? siapa tau penting," ujar Amel yang penasaran mengapa Ramdan tidak mengangkat."Aku lagi mengemudi, takut nggak fokus, apalagi lagi bawa kamu." Ramdan beralasan.Amel mengangguk saja, ia lebih memilih memejamkan mata. Hingga setelah cukup lama ia di posisi begitu, suara dering telpon, kembali terdengar. Namun, ia tetap berpura-pura tidur."Nanti, aku telpon lagi." Sepertinya Ramdan mengangkat telpon, hanya itu yang terdengar oleh Amel.Sesampainya di rumah. Ramdan menyuruh Amel ke kamar lebih dulu, karena pria itu beralasan akan mengecek sesuatu dulu di mobil. Ada yang tidak beres dalam mesinnya. Amel hanya mengiyakan, walau ia tidak benar-benar pergi dari sana."Kenapa menelpon?
Amel kembali ke kamarnya, menyisir rambutnya dengan tenang. Ketukan pintu membuatnya segera memakai kerudung lagi. Ia tahu, yang akan datang pasti suaminya.“Gimana keadaan kamu?” tanya Ramdan yang langsung berjalan mendekat, lalu memeluk Amel dengan erat dan mengelus punggung wanita itu.“Aku sudah baikkan Kak. Tadi habis di lap sama Ibu. Oh ya, Bapakku katanya udah siuman. Yuk, jenguk ke sana dulu,” ajak Amel dengan senyum mengembang, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia memang pengecut, coba saja tadi langsung melabrak Wati dan Ramdan, namun, itu hanya khayalan di kepalanya. Menegur mereka, bukanlah pilihan yang tepat sementara ini.Ramdan mengangguk, ia lalu menggandeng tangan Amel. “Rafa sekolah ‘kan?” tanya Amel saat mereka berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Ramdan mengangguk.“Awalnya dia mau aku boongin kamu, minta izin nggak sekolah. Tapi karena kamu, aku nggak biarin dia,” ucap Ramdan terkekeh mengingat rayuan Rafa padanya, untuk izin tidak masuk sekolah, namun i
"Sedari kami SMA. Aku mengenal dia dengan sangat baik. Entah mengapa dia tidak mengenalkan aku padamu. Kalau saja kita tidak bertemu secara tidak sengaja di tempat konveksi, mungkin kamu tidak bakal tau tentang hubunganku dengan Alvin," jelas Haikal, lalu menatap ke arah Alvin lagi, ia mengerti wanita disampingnya tidak nyaman ditatap olehnya seperti tadi.Bukan tanpa alasan, hanya saja seorang Haikal merasa heran apa sebenarnya keistimewaan seorang Amelia hingga Alvin mau berkorban untuk wanita yang telah bersuami itu."Kamu mungkin dulu bukan orang yang pantas tahu cerita hidupnya. Tapi, melihat fakta perasaannya padamu saat ini, rasanya kamu harus tahu. Dia anak broken home. Bapaknya menikahi wanita lain, saat Ibunya sakit. Dia menjadi anak yang memberontak, sering kena SP sewaktu SMA. Kamu sudah tau cerita ini?" tanya Haikal. Memastikan, jika Amel belum pernah mendengar cerita tentang Alvin.Amel hanya mengangguk. "Dia akan bercerita pada orang yang ia anggap dekat. Berarti, kamu