"Kak Ramdan? ini beneran Kak Ramdan?" tanyaku senang. Entah mengapa, hatiku sedikit menghangat, walau dengan melihat sosok yang tidak bisa ku miliki itu."Iya Mel, pengantin wanitanya temen masa kecil aku," jelas Kak Ramdan dengan wajah yang entah mengapa makin menawan di keremangan malam.Tahan, jangan ngiler! Bukan siapa-siapa plus bukan mahram!"Oh gitu." Aku manggut-manggut, mendadak bingung mau bicara apa lagi. Kalau tiba-tiba membahas cewek yang disukai Kak Ramdan, takutnya enggak tepat situasinya."Kamu undangan sendiri malam-malam? suami kamu?" tanya Kak Ramdan.Aku meremas gamis, tidak mungkin aku katakan yang sejujurnya akan apa yang terjadi. "Dia masih di dalam, ngobrol sama temennya. Ini, aku lagi nungguin di luar," ucapku. "Loh, harusnya kamu tetep di sana, di pinggir jalan gini, takutnya kenapa-kenapa," ucap Kak Ramdan. Ya Allah, kenapa baru sekarang dia perhatian begini. "Rame juga kak di sini, insyaa Allah aman. Aku cuma ngerasa sesek aja di dalam banyak tamu," ucapk
"Mau saya kompresin perut kamu?" tanya Pak Alvin yang duduk di tepi ranjang. Aku bergeser sedikit menjauh. Enak aja dia, mau ngambil kesempatan diatas kesesusahan diriku. Walau ya, aku yakin saja dia tak mungkin berbuat hal-hal tak senonoh kepadaku. Buktinya, selama dua bulan, tak pernah sama sekali dia mencoba-coba untuk menyentuhku, walau kami tidur satu ranjang. Ya, kadang dia juga pindah ke sofa sih. Hihi."Janganlah, biar saya aja," tolakku sambil melotot. Dia tertawa."Lagian saya juga ogah," katanya. Membuatku berdecak kesal. Aku melirik ke arah ponselnya, sepertinya dia sudah selesai menelpon si Wati."Bapak keluar dulu gih, saya mau naruh kompres di perut," ucapku mengusirnya. Pak Alvin menurut saja, ia berjalan ke arah balon kamar, setelah menutup tirai jendela."Pak!" panggilku. Dia menyahut, "hm.""Kalau saya buka kerudung, Bapak nggak papa 'kan?" tanyaku. Tidak ada sahutan."Saya gerah, habis di kompres. Terus ini mau maskeran, nggak papa ya?" tanyaku, karena memang sela
Tanganku bermain di atas keyboard, mataku fokus menatap layar. Aku tak peduli lagi dengan Pak Alvin yang sudah keluar dari kamar mandi.Pak Alvin juga diam saja, aku meliriknya dan ternyata orang itu malah rebahan dikasur. Oh jangan lupa, dia tidak meminta maaf sama sekali untuk kecupan beberapa menit lalu. Dasar! Itu ciuman pertamaku loh Pak, kamu seenaknya mencurinya.Setelah selesai mengejerkan tugas review film. Aku menutup laptop dan mematikannya. Ada suara notifikasi di ponselku. Ramdan [Sudah sampai ke rumah kan?] Aku merenung sejenak. Tumben Kak Ramdan ngechat aku, untuk urusan yang tidak penting-penting banget. Ya jelas aku sudah sampai rumah, emang dikira aku kemana?[Iya kak, sudah. Ada apa?] Aku bertanya.[Tadi saya dapet info dari warga sekitar, ada mobil yang kena begal. Bisa dipastikan korban habis pulang dari kondangan. Jadi, saya khawatir, takut itu kamu][Aku baik-baik aja kak, sampe di rumah dengan selamat] aku membalas lagi.[Alhamdulillah kalau gitu☺️][Iya kak]
Pov Alvin MahendraPov Alvin"Bego Alvin, kenapa juga bisa nyium dia," aku merutuk sendiri di kamar mandi sambil memperhatikan cermin."Ingat Vin, kamu nggak boleh khianatin Wati. Jangan sampai, ketika malam pertama bersama Wati, kamu sudah tak perjaka!" gertakku pada diri sendiri."Kenapa Amel tiba-tiba jadi cantik, arghh." Aku menyugar rambut, mencuci wajahku dengan sabun muka. Lalu menggosok gigiku dengan gerakan cepat. Aku menatap bibirku, bagaimaja bisa, benda ini nyosor begitu saja ke bibir milik Amel? Haduh"Jangan-jangan dia Baper lagi," ucapku menebak-nebak. Setelahnya, aku keluar kamar. Aku meliriknya yang tengah fokus mengetik, lalu melihat ranjang. Aku merinding, khawatir jika di dekat benda empuk itu, malah khilaf. Ada apa denganku sebenarnya?Sesampainya di sofa, aku langsung merebahkan diri dan berusaha memejamkan mataku, walau sulit. Sensasi mencium Amel tadi entah mengapa justru terngiang-ngiang. Aku mencubit lengan sendiri, menyuruh tubuhku sadar, memerintahkan kepad
Pov Amel"Baru rencana Kak, aku pengen aja gitu punya toko, jadi bisa punya karyawan," jelasku yang sudah menceritakan panjang lebar mengenai rencanaku untuk menyewa ruko atau bangunan yang bisa aku gunakan untuk toko hijabku."Bagus menurutku Mel. Jadi, barang-barang ready nggak numpuk di simpan di rumah. Lagi pula, biar konsumen yang memang deket dengan lokasi, bisa langsung kesana," jelas Kak Ramdan. Aku mengangguk, setuju."Iya itu Kak, maksudku biar konsumen lebih enak. Kalau aku sibuk, bisa rekrut karyawan. Untuk dana, udah aku pastikan cukup. Kira-kira Kakak ada saran untuk pemilihan tempat strategis usahaku?" tanyaku meminta pendapat Kak Ramdan, barangkali dia tahu mengenai informasi bangunan yang disewakan dengan harga yang nyaman, dan posisi strategis."Emm aku sebenarnya punya teman, dia memang pengusaha property gitu, coba nanti aku tanyakan ke dia ya. Dia juga termasuk newbie, jadi setidaknya juga saling membantu dengan sesama pengusaha baru," ucap Kak Ramdan."Wah, bener
"Oh Mas Alvin, lagi masa-masa sibuk Pak. Dia lagi banyak ngoreksi middle test, kaya kalau sekolah tuh ulangan tengah semesternya gitu," jelasku mencoba mencari alasan. Aku enggak bohong, dia memang cukup sibuk. Tapi, bukan alasan itu yang membuatnya tidak bisa ikut kesini."Bapak padahal kangen, pengen ketemu. Semenjak nikah, jarang liat Alvin di sekitar tempat jualan," ucap Bapak. Terlihat wajahnya begitu sendu. Apa sih yang di kangenin dari pria menyebalkan itu?"Iya Pak, dia itu sehari-harinya, ngajar ke kampus, terus pulang sore, habis itu istirahat di rumah, itu aja masih belajar terus," jelasku. Bapak manggut-manggut."Oh iya aku baru ingat, bentar dulu Pak." Aku berbalik, segera berlari dan mengambil tote bag, pemberian dari Kak Ramdan."Apa ini?" tanya Bapak, setelah mengambilnya."Ini hadiah permintaan maaf, dari Kak Ramdan," ucapku sembari tersenyum."Ramdan?" ulang Bapak, sembari mengernyitkan alis."Nanti aku ceritakan dia itu siapa," ucapku dan menyuruh Bapak duduk manis
"Katakan, biar saya tahu Mel. Biar saya bisa intropeksi," katanya memelas. Apaan sih dia, kemarin aja kasar banget sama aku, kini malah meminta belas kasihan."Coba Bapak ingat-ingat," kataku cuek."Kamu marah karena kata-kata saya waktu itu?" tebaknya. Aku hanya terdiam."Maafkan saya waktu itu. Saya lagi nggak stabil, jadi marah-marah sama kamu Mel," katanya dengan nada memohon."Kamu mau saya belikan apa, biar nggak marah lagi?" tanyanya mencoba merayu."Maaf saya nggak sebanding dengan apapun yang Bapak berikan. Bapak sadar nggak sih, udah nginjak-nginjak harga diri saya? Mentang-mentang Bapak udah ngasih saya duit, terus bisa bebas melecehkan dan menghina?" kataku pedas sambil menatap wajahnya yang terlihat dari samping.Ia meminggirkan mobil. Kami terdiam, lalu ia menoleh ke arahku menatapku dengan tatapan yang entah."Saya benar-benar minta maaf. Kamu jangan salah paham dulu, saya nggak pernah anggap kamu murahan atau apapun itu. Justru, saya berterimakasih sama kamu Mel. Kita
"Kamu mau saya antar ke kampus atau ke rumah Mama?" tanya Pak Alvin, dia melirikku sebentar. Lalu kembali fokus ke jalan."Ke rumah Mama aja dulu," balasku. Aku harus mengobatinya.Sesampainya di rumah mertuaku, kondisi sepi. Sepertinya tidak ada orang di rumah ini, selain Bu Iffah."Emang selalu sepi gini ya rumah?" gumamku, ternyata masih bisa terdengar olehnya."Iya. Ayah sama Mama bekerja," balas Pak Alvin."Mama kerja apa?" tanyaku."Mama sekrretaris Ayah," balas Pak Alvin. Aku manggut-manggut saja. Tak ingin bertanya lebih.Aku langsung ke dapur, sedangkan dia langsung naik ke lantai dua. Merebus air hanya membutuhkan waktu lima menit, setelahnya aku mengambil handuk kecil di lemari yang berada di dapur, dan bergegas ke kamar.Ku lihat dia tengah main ponsel di sofa, belum melepas kemejanya, masih dalam kondisi wajah yang lumayan buruk, tapi masih ganteng kok."Biar saya kompres Pak," kataku dan ikut duduk di sofa. Menaruh baskom kecil di meja. Lalu, melihat wajahnya."Nggak usa