Hari pertama menjadi istri. Tidak ada perubahan apapun, seperti biasa, aku memasak menu apapun, lalu menyajikannya di ruang makan, hanya bertambah satu set alat makan dan minum.Bapak tersenyum melihatku, dan aku merasa heran karena itu."Gimana nyenyak tidurnya?" tanya Bapak.Aku mengangguk saja, "seperti biasa," balasku. "Oh ya, kalau Bapak masih merasa capek, istirahat aja dulu, hari ini nggak usah jualan."Bapak menggeleng, lalu menatap ke arah Pak Alvin yang baru masuk dari luar rumah. Entah darimana."Menantu Bapak udah bantu siap-siapin.""Eh? maksudnya?" tanyaku, menyodorkan seperangkat alat makan. Lalu berdiri dan menaburkan nasi dan lauk diatas piring, dan mengisi gelasnya dengan air putih. Aku belum tahu minuman kesukaanya di pagi hari, alhasil aku beri yang netral-netral aja dulu."Sebelum subuh, Alvin membantu Bapak mengiris sayuran. Juga tadi memindah termos nasi dan sayurannya ke gerobak.""Oh." Aku kembali duduk, lalu mempersilakannya makan. "Di makan, Pak," kataku."M
Kami memang sudah membicarakan perihal hubungan asmara yang kami miliki. Eh, dia aja sih sebenarnya. Intinya, aku tak boleh melarang Pak Alvin berhubungan dengan si Wati, dan Pak Alvin pun tak melarang aku dekat dengan cowok manapun. Sepanjang masih dalam batas wajar.Jadi, aku harus sabar melihat mereka berdua-duaan, walau tidak berbuat macam-macam. Tapi, tetap saja rasanya tak rela. Walau pun kami hanya sementara menikah, tapi Pak Alvin suamiku."Nanti kamu akan sering ngeliat saya sama pacar saya," ucap Pak Alvin pada suatu malam.Aku berdecak tak minat, "bodo amat. Nggak iri sama yang pacaran," ucapku."Karena kamu nggak mampu," balas Pak Alvin seperti menyombongkan diri untuk dosanya."Berbuat dosa aja pamer," ejekku sambil mempacking hijab pesanan dari konsumenku. Pak Alvin hanya memainkan ponsel, seperti tak berniat sama sekali untuk membantuku. Dasar, nggak peka!"Ck, nggak ada kata haram pacaran kok dalam kitab juga. Lagian, saya pacaran ala dewasa, sehat, tidak macam-macam,"
Pov Alvin MahendraAkhirnya kata sah itu sudah terucap. Kini, aku resmi menikahi seseorang dan nazarku sudah terbayarkan. Ah leganya.Bapak mertuaku terlihat haru, meminta anaknya untuk mencium tanganku. Eh bentar, tiba-tiba saja aku menjadi gugup, apalagi melihat wajah Amel yang tersenyum. Memang manis anak ini. Bibirnya yang tipis, terlihat dibalut lipstik warna merah tak mencolok, matanya lentik karena bulu mata. Lumayan lah, enggak jelek-jelek amat untuk dijadikan istri sementara."No cium-cium," katanya ketika sudah mencium punggung telapak tanganku lama. Bahkan aku mengira dia tertidur saking lamanya.Aku menyeringai, "siapa juga yang mau cium kamu," kataku lirih. Dia terlihat mendelik, membuatku hampir saja tertawa melihat ekspresinya.Usai resepsi, aku masih tetap tinggal di rumah Amel. Ayah dan Mamaku pamit lebih dulu, dan menolak menginap ketika Bapak mertuaku menawarinya."Nginep aja Pak, Bu, masih ada kok kamar kosong buat sampean-sampean ini," ucap Bapak mertua.Mama tiri
Baru sehari aku berada di rumah mertua, masalah sudah menghantuiku. Bagaimana tidak, hanya karena aku salah menjemur baju, Ibu mertuaku mengomeliku pagi hari. Mana ku tahu, jika tempat menjual pakaian biasa dengan dalaman itu beda.“Kamu nggak tau yang namanya privasi apa?” tanya Mama mertua dengan nada nyolot.“Bukan begitu Ma, saya kira, semua pakaian di sini jemurnya," kilahku. Memang aku tidak tahu ya jangan juga di omelin.“Makanya, observasi tempat dulu. Coba kamu liat ke atap, disana tempat jemuran pakaian dalam!” tegasnya. Duh, memangnya aku sedang riset skripsi, harus observasi dulu?“O-o iya Ma.” aku menjawab terbata.Hatiku dongkol sekali waktu itu. Hanya saja, aku yang bisa membantah sebenarnya, tapi aku kubur dalam-dalam karena mengingat baru hari pertamaku di rumah ini. Seharusnya first impressionku harus terlihat bagus dimata orang-orang rumah.Kejadian tadi pagi, Pak Alvin tidak tahu. Dia sudah pergi beberapa jam yang telah lalu. Dan aku tidak ingin menceritakannya, pa
"Baju saya mana Mel?" tanya Pak Alvin setelah keluar dari kamar mandi. Nada bicaranya tidak sedatar kemarin saat marah sama aku. Walau seharusnya aku yang marah kerena kelakuan kekanak-kanakkannya. Bagaimana tidak kesal, saat aku besoknya akan middle tes dan harus fokus belajar tanpa gangguan, dia malah bertelponan hingga larut malam sama siapa lagi, jika bukan Wati!Nih peristiwa ngeselinnya pas waktu itu."Pak, tolong, ingat waktu. Biarkan saya tenang belajar," ucapku mendekat ke arahnya yang lagi senderan di ranjang. Dia itu lagi teleponan sama Wati, tau! keseeel sumpah."Itu urusan kamu ya Mel. Kamu belajar ya silakan, saya disini telponan, kamu nggak berhak larang-larang," katanya seperti tak suka aku tegur. Kok dia jadi egois begini ya Allah."Setidaknya Pak, jangan keras-keras kalau ngomong. Saya keganggu!" kataku lalu mengambil bantal, untuk menjadi senderanku di sofa."Memangnya saya juga nggak keganggu kalau pas lagi belajar, kamu cekikikan sama temenmu itu malam-malam huh?"
"Kak Ramdan? ini beneran Kak Ramdan?" tanyaku senang. Entah mengapa, hatiku sedikit menghangat, walau dengan melihat sosok yang tidak bisa ku miliki itu."Iya Mel, pengantin wanitanya temen masa kecil aku," jelas Kak Ramdan dengan wajah yang entah mengapa makin menawan di keremangan malam.Tahan, jangan ngiler! Bukan siapa-siapa plus bukan mahram!"Oh gitu." Aku manggut-manggut, mendadak bingung mau bicara apa lagi. Kalau tiba-tiba membahas cewek yang disukai Kak Ramdan, takutnya enggak tepat situasinya."Kamu undangan sendiri malam-malam? suami kamu?" tanya Kak Ramdan.Aku meremas gamis, tidak mungkin aku katakan yang sejujurnya akan apa yang terjadi. "Dia masih di dalam, ngobrol sama temennya. Ini, aku lagi nungguin di luar," ucapku. "Loh, harusnya kamu tetep di sana, di pinggir jalan gini, takutnya kenapa-kenapa," ucap Kak Ramdan. Ya Allah, kenapa baru sekarang dia perhatian begini. "Rame juga kak di sini, insyaa Allah aman. Aku cuma ngerasa sesek aja di dalam banyak tamu," ucapk
"Mau saya kompresin perut kamu?" tanya Pak Alvin yang duduk di tepi ranjang. Aku bergeser sedikit menjauh. Enak aja dia, mau ngambil kesempatan diatas kesesusahan diriku. Walau ya, aku yakin saja dia tak mungkin berbuat hal-hal tak senonoh kepadaku. Buktinya, selama dua bulan, tak pernah sama sekali dia mencoba-coba untuk menyentuhku, walau kami tidur satu ranjang. Ya, kadang dia juga pindah ke sofa sih. Hihi."Janganlah, biar saya aja," tolakku sambil melotot. Dia tertawa."Lagian saya juga ogah," katanya. Membuatku berdecak kesal. Aku melirik ke arah ponselnya, sepertinya dia sudah selesai menelpon si Wati."Bapak keluar dulu gih, saya mau naruh kompres di perut," ucapku mengusirnya. Pak Alvin menurut saja, ia berjalan ke arah balon kamar, setelah menutup tirai jendela."Pak!" panggilku. Dia menyahut, "hm.""Kalau saya buka kerudung, Bapak nggak papa 'kan?" tanyaku. Tidak ada sahutan."Saya gerah, habis di kompres. Terus ini mau maskeran, nggak papa ya?" tanyaku, karena memang sela
Tanganku bermain di atas keyboard, mataku fokus menatap layar. Aku tak peduli lagi dengan Pak Alvin yang sudah keluar dari kamar mandi.Pak Alvin juga diam saja, aku meliriknya dan ternyata orang itu malah rebahan dikasur. Oh jangan lupa, dia tidak meminta maaf sama sekali untuk kecupan beberapa menit lalu. Dasar! Itu ciuman pertamaku loh Pak, kamu seenaknya mencurinya.Setelah selesai mengejerkan tugas review film. Aku menutup laptop dan mematikannya. Ada suara notifikasi di ponselku. Ramdan [Sudah sampai ke rumah kan?] Aku merenung sejenak. Tumben Kak Ramdan ngechat aku, untuk urusan yang tidak penting-penting banget. Ya jelas aku sudah sampai rumah, emang dikira aku kemana?[Iya kak, sudah. Ada apa?] Aku bertanya.[Tadi saya dapet info dari warga sekitar, ada mobil yang kena begal. Bisa dipastikan korban habis pulang dari kondangan. Jadi, saya khawatir, takut itu kamu][Aku baik-baik aja kak, sampe di rumah dengan selamat] aku membalas lagi.[Alhamdulillah kalau gitu☺️][Iya kak]