Halaman rumahku, menurutku adalah pemandangan terindah dari sekian banyak halaman rumah orang. Almarhum ibuku selalu membuatnya tampak aestetic, misalnya dengan memelihara rak-rak yang dipenuhi pot-pot yang ditumbuhi bunga-bunga yang cantik.
Selain itu, tepat di bawah pohon jambu air, ada tempat duduk terbuat dari kayu ulin, yang sengaja di buat Bapakku untuk merayakan anniversary pernikahan Ibu dan Bapakku.Di samping rumah, ada kandang kelinci yang selalu aku rawat, karena makhluk kecil itu adalah kesukaanku. Tidak lupa, di belakang rumah, ada kandang itik, peliharaan ayahku yang berprofesi sebagai penjual nasi goreng keliling, juga penjual telur itik.Keluargaku, sudah cukup, aku tidak perlu banyak duit. Walau ya, terlepas dari itu, karena aku sebentar lagi lulus, jadi harus siap-siap untuk bekerja, untuk membantu Bapak membiayai hidup kami. Dan aku ingin memulainya dari bisnis kecil-kecilan, walau sampai saat ini, aku hanya berkutat di modal. Terbatasnya modal, hanya menjadikanku sebatas cewek penjual pulsa, ke teman-teman sekampus ku. Ayahku, walau sudah menjadi single parent selama sepuluh tahun, tidak pernah mengungkit atau membicarakan wanita mana pun, yang barangkali mau ia nikahi. Seolah hidupnya hanya fokus mengurus aku dan adik laki-lakiku yang saat ini berumur tujuh belas tahun. Terkadang, aku merasa Bapak terlalu menyembunyikan perasaanya, padahal jika dia bilang ingin menikah, maka aku akan merestuinya.Tapi, terlepas dari itu semua. Mengenai rasa ibaku terhadap Bapak, tentang ia yang tidak mau menikah. Justru, aku malah harus dibuat tak nyaman, saat Bapak justru menanyaiku, apakah sudah siap menikah atau tidak?"Kalau kamu sudah siap, Bapak tidak usah repot-repot lagi mencarikan jodoh. Atau kamu malah udah dapet calonnya?" tanya Bapak yang tengah mengikir kayu untuk dijadikan asbak, itulah hobinya. Kebanyakan dijadikan hiasan, atau jika ada orang yang minat, bisa dijualnya. Kini, aku tengah menatap Bapak sambil duduk bersila di lantai keramik teras depan."Kok tiba-tiba ngomongin jodoh Pak. 'Kan aku masih kuliah. Masih lama lulusnya," jawabku. Merasa was-was, khawatirnya Bapak malah memaksaku menikah."Bapak nggak masalah, kalau kamu mau nikah walau belum lulus. Yang penting kamu bisa mengatur waktu. Juga, Bapak harap, kamu ada yang jagain, ada yang bimbing, juga ada yang bantu-bantuin, kalau pas Bapak nggak ada.""Ih maksudnya apa sih Pak, jangan kayak gitu. Perasaanku jadi nggak tenang. Bapak nggak bakal kemana-mana 'kan?" tanyaku khawatir, seperti mendengar wasiat terakhir di tivi-tivi, saat dimana sang Bapak si tokoh mau koid.Bapakku tertawa. "Bapak cuma pengen lihat kamu bahagia. Kalau ada cowok yang itu bisa bertanggungjawab, dan baik kepada kamu, Bapak akan sangat senang hati menerimanya.""Aku begini, sama Bapak, sama Rafa, udah bahagia banget Pak. Aku rasa, nggak perlu berlebihan untuk bahagia. Dan nggak perlu, datangin personil baru di keluarga, karena aku sendiri menyangsikan. Bisa jadi, justru karena ada personil baru, keluarga kita malah nggak seharmonis ini lagi."Bapak terlihat menghela nafas, tangannya yang tadi sibuk mengikir itu, terlepas. "Kalau kita udah bisa bahagia, lalu kenapa kita nggak ajak orang lain untuk bahagia juga? itung-itung pahala bagi kita, karena kita membagikan suasana positif ke mereka.""Maksudnya, berbagi rasa bahagia?"Anggukkan Bapak, membuatku bertanya-tanya, apa sih maksudnya. "Ada orang yang mau ngelamar kamu. Anaknya insyaa Allah baik, dia kenal sama kamu juga. Dia ingin menjaga kamu, mendidik kamu, hidup bersama kamu melewati masa-masa sulit dan senang."Pikiranku mulai tidak tenang. Jangan-jangan Pak Alvin sudah mengatakan perihal ia yang mau melamarku kepada Bapak."Siapa yang bapak maksud?""Dosen kamu di kampus.""Ha? Pak Alvin maksud Bapak?""Iya.""Kenapa Bapak seyakin itu? Bapak 'kan baru kenal, baru ketemu?""Bapak udah lama kenal anak itu. Semenjak dia kuliah semester satu. Waktu itu, penampilannya nggak seperti sekarang. Dia juga anak yang biasa-biasa aja. Entah apa masalahnya, dia sering datang ke tempat Bapak mangkal jualan.""Lah? mau ngapain?""Nanti dia yang ceritakan ke kamu. Takutnya, harga dirinya merasa tercoreng, kalau Bapak mengisahkan masa lalunya dulu.""Ya gimana aku mau mempertimbangkan, kalau aku sendiri nggak paham ceritanya.""Jadi, kamu mau terima lamarannya?""Ya belum tahu Pak."Karena, dia cuma mau menikahiku selama enam bulan saja. Bapak telah tertipu sepertinya. "Bapak tunggu jawaban kamu ya."Akibat terngiang kata-kata Bapak dan juga dosenku itu, aku tidak bisa fokus mengerjakan tugas makalahku. Padahal, laptop yang ku beli second itu, sudah menatapku cukup lama, tapi justru mendapat kacang gratis dariku. Alhasil, di sinilah sekarang. Di suatu tempat khusus, namun membuatku terus menerus tersenyum karena bisa memandang makhluk imut nan menggemaskan itu. Bagi sebagian orang, mungkin aku seperti tidak ada kerjaan. Tapi ayolah, memiliki mainan sebagai hiburan itu juga sebagai sarana melepas stress lho. Jujur, tugas kuliah yang menumpuk dan silih berganti itu, membuat kepalaku seringnya mau pecah. Walau anehnya, ya enggak terjadi sih."Kalau jadi kelinci kayaknya enak. Cuma makan, ee, tidur," aku mengeluh sendiri. "Kira-kira, kalau kamu aku nikahkan sama tetangga sebelah mau kah?" tanyaku pada Chacha. Nama kelinci kecilku yang memiliki bulu putih dan cantik. "Woi, kayak orang gila aja ngomong sendiri!" seseorang mengagetkanku. Aku menoleh kesal ke arah adikku, Rafa. Di tangannya tampak remote game. Sudah bisa di tebak, laki-laki itu sehabis bermain game dengan teman-temannya."Gila mana sama orang yang gara-gara ketipu, malah nangis seharian. Bukannya nyari solusi, malah kayak cewek, galau bin lebai."Rafa mendengus pelan, ia lebih memilih berbalik dan masuk ke dalam rumah sambil menggerutu. "Di ungkit terus masalah itu, bikin bete ah."Aku tertawa mendengarnya. Lagian, salah siapa, hanya karena ingin membeli gitar baru, dia malah ngambil pinjaman online yang sekarang lagi marak di bicarakan karena sangat-sangat membagongkan. Presiden saja mencoba memberantas, lah itu adikku malah melestarikan. Alhasil, yang panik bukan kepalang ya Bapak dan aku, harus berusaha melunasi hutang adikku. Dasar, tidak tahu diri!Eh, tapi bentar!"Fa, kamu dapat itu dari mana?" tanyaku, ketika melihat sandal yang dikenakan Rafa, begitu persis seperti yang terdapat di story i*******m dosenku."Dari someone, nggak usah kepo.""Eh, beneran aku tanya." Aku melotot, hendak melemparnya dengan rumput yang aku cabut."Calon suamimu katanya," balas Adikku "Siapa?""Cari tau sendiri."Ha? dia ternyata udah berani nyogok adikku?Duh, jangan-jangan adikku yang sekarang enggak berani meminjam secara online bukan karena jera, tapi si Alvin yang diam-diam minjemin dia duit, 'kan bisa aja?Ngomong-ngomong tentang pinjol, aku hampir juga mau ikut-ikutan. Habisnya, salah satu temen merekomendasikan. Apalagi buat aku yang perlu modal buat usaha. Tapi untungnya, sudah keduluan adikku yang tertipu. Kalau sampai hutang itu tidak lunas, bisa-bisa adikku dikira jual diri karena fotonya di edit habis-habisan jadi telanjang dada."Boleh juga sih sebenernya tawaran dia. Dengan begitu, Bapak nggak mesti kerja terus menerus. Tapi ya, konsekuensinya juga berat." Aku membatin sendiri."Dari segi tampang, emang ganteng, kulitnya juga sawo mateng tapi sedeng aja. Enak dilihat. Ya, walau kadang nyebelin. Tapi, kalau dinikahin cuma enam bulan, ya siapa juga yang mau?" aku bertanya-tanya sendiri."Dia kayaknya cuma manfaatin keadaan, untuk kepuasan dirinya. Hih, aku mikirnya kok tega banget ya dosen begitu?"Kalau suka ceritanya,komen-komen dong☺️ biar otor semangat lanjutin ceritanyaAku ikut mendudukkan diri di ranjang, lalu mengintip untuk melihat apa yang tengah di tonton adikku di ponselnya."Minggir!" katanya ketus. Tangan kirinya mendorong bahuku untuk menjauh. Posisi dirinya kini tengah tengkurap sambil telinganya yang dipasang headset.Aku kembali mendekat. "Rafa," panggilku dengan cengiran khas sambil menoel-noel pipinya."Apa sih? pasti ada maunya." Adikku menggerutu, mencari posisi nyaman dengan menggeser tubuhnya."Kamu nonton apa sih? sampai aku diabaikan gini? bokep ya?" selidikku curiga. Lalu menoyor kepalanya."Suuzon mulu," ucapnya tak terima lalu memposisikan dirinya duduk masih tetap serius menatap layar ponselnya. "Mau apa hah? nyuruh aku nyuci sepeda motor? ogah, aku lagi ngerjakan tugas nih.""Ngerjakan tugas apa? kok nggak ada buku atau pulpen di sekelilingmu, kamu nggak catat?" tanyaku."Gaptek banget. Ngerjakan tugas online lah. Pak guru nyur
"Tapi... bukan sama Bapak. Tapi, sama orang yang saya suka, cinta dan sayangi sepenuh hati. Lah Bapak, baru aja kita ketemu di semester ini, eh udah ngajak nikah aja." Aku meliriknya dari samping.Pak Alvin menoleh ke arahku, tersenyum meremehkan. Lah emang iya, wanita mana yang tak ingin menikah? tapi ya tidak juga dengan dipaksakan. Seperti dosen di sampingku ini. Demi nazar, dia malah mau ngajak-ngajak aku nikah sementara."Loh syarat nikah nggak mesti cinta. Yang penting, ada wali, kedua mempelai, akad, sah di mata Allah. Cinta katanya 'kan karena terbiasa. Tapi ya, karena saya nikahin kamu satu semester aja, ya saya rasa nggak bakal secepat itu jadi cinta." Tangannya sampai memukul setir, saking yakinnya terhadap perkataannya sendiri, ya tampaknya begitu.Dia sih enak, laki-laki. Tanpa cinta juga jadi. Tapi aku sebagai wanita, tentu tidak ingin ujug-ujug, tanpa tau a b c nya langsung nikah. Weleh, apalagi tanpa cinta? bukannya
Ruang tamu senyap di hari Minggu ini, tumben sekali. Rafa, adikku masih bergelut dengan selimutnya saat aku periksa kamarnya tadi. Padahal biasanya, sudah rame dengan kesibukannya mencuci sepatu di pagi Minggu.Sedangkan aku, baru saja menyelesaikan acara mencuci baju bertumpukku dan telah usai menjemurnya di belakang rumah. Saat aku menyapu ruang tamu, kulihat Bapak tampak merenung. Membuatku akhirnya mendekat dan ikut duduk, lalu menyalakan televisi."Tumben televinya nggak dinyalakan Pak, malah melamun," aku berkomentar sambil memencet remote. Memindah-mindah channel televisi."Kamu dan Alvin gimana perkembangannya?" tanya Bapak tiba-tiba tanpa menanggapi perkataan ku. Ah, kenapa sih, Bapak sepertinya sudah kesengsem sama Alvin, sampai terus memikirkan pria itu."Loh kok tiba-tiba tanya itu Pak, kemarin kami udah ketemu. Dan ya, aku tet
Sudah kuduga, berdalih karena tugas yang ditimpakan kepadaku, si dosen itu jelas memanfaatkannya untuk mengobrol tentang 'itu' lagi. "Saya udah bilang, kalau ranah pribadi. Skip, jangan paksa, pelecehan loh." Aku menatap tajam ke arahnya. "Heh, ngomong sembarangan. Saya laki-laki baik, tau etika dan tata krama, bahkan sumpah profesi saja saya hafal. Masa melecehkan mahasiswa, pantang lah." Dia mengibaskan tangan, balas melotot padaku. "Ya habisnya, Bapak maksa sih." Aku menyilangkan tangan di depan dada. Tak lama, waiters datang membawa dua minuman yang sudah kami pesan sebelumnya. "Saya cuma minta tolong kamu, karena minggu depan saya ada dinas keluar kota. Jadi, untuk pengumpulan tugas resume, dikumpulnya di kamu. Harus tulis tangan sendiri, enggak boleh diwakilkan. Mahasiswa itu pinter, tapi suka begoin dosen." Kalau enggak ada maksud, cuma memberi tugas doang, lah kenapa juga harus di cafe seperti ini. Seperti lagi kencan aja. "Iya lagian dosennya mau aja sih di begoin. Udah
Apa dia bilang? otakku mendadak sulit mencerna. Maksudnya, dia mau ngelamar aku gitu?"Saya bisa aja datang ke rumahmu. Untuk tujuannya, silaturahmi atau lebih, nanti saya putuskan," jelasnya, membuat sudut bibirku tertarik mau tak mau. Walau belum pasti kunjungan itu lamaran, tapi rasanya hatiku sudah berdebar-debar kencang mendengarnya."Maksud Kakak, ngelamar aku gitu?" tanyaku memastikan. Jangan sampai aku cuma ngehalu saja, 'kan kalau enggak kesamapaian, sakit."Mungkin." Dia seperti menahan senyum, dan itu sungguh manis. Oh, ini berita gembira bagiku, ternyata selama ini Ramdan memiliki perasaan padaku. Tuhan, terimakasih atas nikmat yang telah engkau beri padaku, bahkan saking sayangnya kau padaku, cintaku saja kau sampaikan pada hatinya Kak Ramdan."Kakak suka sama aku selama ini?" tanyaku dengan nada riang, hampir-hampir gigiku keliatan semua saking senengnya. Untung aja udah sikat gigi dan mandi pagi."Ya pasti suka. Kalau enggak, ya mungkin kita nggak ngobrol senyaman ini."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu waktunya sidang skripsi. Ramdan dibalik kelembutannya memang memiliki semangat baja, enggak salah aku memilih dia sebagai calon imam masa depan.Sesuai jadwal sidangnya, hari ini aku ikut menjadi salah satu peserta yang akan menonton dan mengamatinya dari kejauhan. Melihat wajahnya yang biasa tersenyum, tampak sedikit berkeringat dan serius mempertahankan argumentasinya di depan para penguji.Ramdan, adalah jurusan pendidikan agama Islam, membuat dia benar-benar seperti tengah berkhotbah di depan sana. Aku semakin dibuat kagum oleh wawasan agamanya itu. Semoga, dia lulus dengan hasil memuaskan."Kak Ramdan udah mirip ustadz aja," komentar Tiara yang juga menatapnya kagum.Aku mengelap wajahnya, memperingatkan dia agar tidak menatapnya begitu. "Awas, tatapanmu nanti bikin wajah dia bolong."Tiara berdecak, mungkin sebal. "Haduh, belum juga jadi istri, udah ngelarang-larang cewek lain liatin Ramdan. Huh.""Lagian, kamu natapnya ala-ala pelakor
Akhirnya, aku membiarkan Pak Alvin mengikutiku hingga ke toko kain langgananku. Bodo amatlah sama tingkahnya itu, sepanjang tidak menghambat perjalananku.Sesampainya di tempat, aku langsung bergerak ke dalam toko tanpa menunggu Pak Alvin memarkirkan mobilnya. Mataku langsung cerah rasanya karena disuguhkan berbagai model kain beserta harga terjangkau yang tertera di atasnya. Itulah kenapa, toko ini menjadi langganan ku. Selain kainnya yang berkualitas, dari segi harga juga begitu ramah dikantongku.Terlihat juga ada dua orang ibu-ibu yang sibuk memilih kain sambil berbincang di bagian ruangan 1. Aku langsung bergerak ke bagian ruangan dua, tempatku biasa menemukan kain polos dengan berbagai warna."Oh, jadi ini toko kain langgananmu?" tanya Pak Alvin, entah sejak kapan pria itu sudah berhasil menyusulku hingga kesini.Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya, karena mataku memindai kain-kain itu. Minggu ini, aku sebenarnya hanya memerlukan kain berwarna pastel dan tosca, namun tak sa
Mataku masih setia menatap langit malam. Membuka tutup ponsel tanpa ada yang ku hubungi. Hanya satu harapanku adalah, Ramdan segera mengirim pesan. Kesibukan apa sebenarnya yang membuat pria itu tidak membalas pesan dariku terakhir kali.Sudah dua minggu semenjak pesan itu dikirimkan, bahkan produk hijab pesanan konsumenku sudah hampir jadi. Belum ada tanda-tanda kedatangan tamu ke rumah. Aku mencoba mengingat lagi perkataanya tempo hari, barangkali aku hanya salah menafsirkan. Ramdan, tidak benar-benar akan datang melamar. Tapi, entah mengapa, kesimpulan yang datang adalah dia telah memberi harapan padaku.Ting!Reflek, mataku turun ke layar ponsel. Nama yang membuat jantungku meledak-ledak nampak disana. Akhirnya.[Besok, bisa ketemu?] tanya Kak Ramdan lewat pesan WhatsApp[Bisa Kak, dimana?] tanyaku. Walau sedikit kecewa, mengapa enggak secara langsung saja datang ke rumahku sekalian membicarakan perihal lamaran itu.[Di perpustakaan, maaf ya kemarin enggak sempet balas pesan kamu