Halaman rumahku, menurutku adalah pemandangan terindah dari sekian banyak halaman rumah orang. Almarhum ibuku selalu membuatnya tampak aestetic, misalnya dengan memelihara rak-rak yang dipenuhi pot-pot yang ditumbuhi bunga-bunga yang cantik.
Selain itu, tepat di bawah pohon jambu air, ada tempat duduk terbuat dari kayu ulin, yang sengaja di buat Bapakku untuk merayakan anniversary pernikahan Ibu dan Bapakku.Di samping rumah, ada kandang kelinci yang selalu aku rawat, karena makhluk kecil itu adalah kesukaanku. Tidak lupa, di belakang rumah, ada kandang itik, peliharaan ayahku yang berprofesi sebagai penjual nasi goreng keliling, juga penjual telur itik.Keluargaku, sudah cukup, aku tidak perlu banyak duit. Walau ya, terlepas dari itu, karena aku sebentar lagi lulus, jadi harus siap-siap untuk bekerja, untuk membantu Bapak membiayai hidup kami. Dan aku ingin memulainya dari bisnis kecil-kecilan, walau sampai saat ini, aku hanya berkutat di modal. Terbatasnya modal, hanya menjadikanku sebatas cewek penjual pulsa, ke teman-teman sekampus ku. Ayahku, walau sudah menjadi single parent selama sepuluh tahun, tidak pernah mengungkit atau membicarakan wanita mana pun, yang barangkali mau ia nikahi. Seolah hidupnya hanya fokus mengurus aku dan adik laki-lakiku yang saat ini berumur tujuh belas tahun. Terkadang, aku merasa Bapak terlalu menyembunyikan perasaanya, padahal jika dia bilang ingin menikah, maka aku akan merestuinya.Tapi, terlepas dari itu semua. Mengenai rasa ibaku terhadap Bapak, tentang ia yang tidak mau menikah. Justru, aku malah harus dibuat tak nyaman, saat Bapak justru menanyaiku, apakah sudah siap menikah atau tidak?"Kalau kamu sudah siap, Bapak tidak usah repot-repot lagi mencarikan jodoh. Atau kamu malah udah dapet calonnya?" tanya Bapak yang tengah mengikir kayu untuk dijadikan asbak, itulah hobinya. Kebanyakan dijadikan hiasan, atau jika ada orang yang minat, bisa dijualnya. Kini, aku tengah menatap Bapak sambil duduk bersila di lantai keramik teras depan."Kok tiba-tiba ngomongin jodoh Pak. 'Kan aku masih kuliah. Masih lama lulusnya," jawabku. Merasa was-was, khawatirnya Bapak malah memaksaku menikah."Bapak nggak masalah, kalau kamu mau nikah walau belum lulus. Yang penting kamu bisa mengatur waktu. Juga, Bapak harap, kamu ada yang jagain, ada yang bimbing, juga ada yang bantu-bantuin, kalau pas Bapak nggak ada.""Ih maksudnya apa sih Pak, jangan kayak gitu. Perasaanku jadi nggak tenang. Bapak nggak bakal kemana-mana 'kan?" tanyaku khawatir, seperti mendengar wasiat terakhir di tivi-tivi, saat dimana sang Bapak si tokoh mau koid.Bapakku tertawa. "Bapak cuma pengen lihat kamu bahagia. Kalau ada cowok yang itu bisa bertanggungjawab, dan baik kepada kamu, Bapak akan sangat senang hati menerimanya.""Aku begini, sama Bapak, sama Rafa, udah bahagia banget Pak. Aku rasa, nggak perlu berlebihan untuk bahagia. Dan nggak perlu, datangin personil baru di keluarga, karena aku sendiri menyangsikan. Bisa jadi, justru karena ada personil baru, keluarga kita malah nggak seharmonis ini lagi."Bapak terlihat menghela nafas, tangannya yang tadi sibuk mengikir itu, terlepas. "Kalau kita udah bisa bahagia, lalu kenapa kita nggak ajak orang lain untuk bahagia juga? itung-itung pahala bagi kita, karena kita membagikan suasana positif ke mereka.""Maksudnya, berbagi rasa bahagia?"Anggukkan Bapak, membuatku bertanya-tanya, apa sih maksudnya. "Ada orang yang mau ngelamar kamu. Anaknya insyaa Allah baik, dia kenal sama kamu juga. Dia ingin menjaga kamu, mendidik kamu, hidup bersama kamu melewati masa-masa sulit dan senang."Pikiranku mulai tidak tenang. Jangan-jangan Pak Alvin sudah mengatakan perihal ia yang mau melamarku kepada Bapak."Siapa yang bapak maksud?""Dosen kamu di kampus.""Ha? Pak Alvin maksud Bapak?""Iya.""Kenapa Bapak seyakin itu? Bapak 'kan baru kenal, baru ketemu?""Bapak udah lama kenal anak itu. Semenjak dia kuliah semester satu. Waktu itu, penampilannya nggak seperti sekarang. Dia juga anak yang biasa-biasa aja. Entah apa masalahnya, dia sering datang ke tempat Bapak mangkal jualan.""Lah? mau ngapain?""Nanti dia yang ceritakan ke kamu. Takutnya, harga dirinya merasa tercoreng, kalau Bapak mengisahkan masa lalunya dulu.""Ya gimana aku mau mempertimbangkan, kalau aku sendiri nggak paham ceritanya.""Jadi, kamu mau terima lamarannya?""Ya belum tahu Pak."Karena, dia cuma mau menikahiku selama enam bulan saja. Bapak telah tertipu sepertinya. "Bapak tunggu jawaban kamu ya."Akibat terngiang kata-kata Bapak dan juga dosenku itu, aku tidak bisa fokus mengerjakan tugas makalahku. Padahal, laptop yang ku beli second itu, sudah menatapku cukup lama, tapi justru mendapat kacang gratis dariku. Alhasil, di sinilah sekarang. Di suatu tempat khusus, namun membuatku terus menerus tersenyum karena bisa memandang makhluk imut nan menggemaskan itu. Bagi sebagian orang, mungkin aku seperti tidak ada kerjaan. Tapi ayolah, memiliki mainan sebagai hiburan itu juga sebagai sarana melepas stress lho. Jujur, tugas kuliah yang menumpuk dan silih berganti itu, membuat kepalaku seringnya mau pecah. Walau anehnya, ya enggak terjadi sih."Kalau jadi kelinci kayaknya enak. Cuma makan, ee, tidur," aku mengeluh sendiri. "Kira-kira, kalau kamu aku nikahkan sama tetangga sebelah mau kah?" tanyaku pada Chacha. Nama kelinci kecilku yang memiliki bulu putih dan cantik. "Woi, kayak orang gila aja ngomong sendiri!" seseorang mengagetkanku. Aku menoleh kesal ke arah adikku, Rafa. Di tangannya tampak remote game. Sudah bisa di tebak, laki-laki itu sehabis bermain game dengan teman-temannya."Gila mana sama orang yang gara-gara ketipu, malah nangis seharian. Bukannya nyari solusi, malah kayak cewek, galau bin lebai."Rafa mendengus pelan, ia lebih memilih berbalik dan masuk ke dalam rumah sambil menggerutu. "Di ungkit terus masalah itu, bikin bete ah."Aku tertawa mendengarnya. Lagian, salah siapa, hanya karena ingin membeli gitar baru, dia malah ngambil pinjaman online yang sekarang lagi marak di bicarakan karena sangat-sangat membagongkan. Presiden saja mencoba memberantas, lah itu adikku malah melestarikan. Alhasil, yang panik bukan kepalang ya Bapak dan aku, harus berusaha melunasi hutang adikku. Dasar, tidak tahu diri!Eh, tapi bentar!"Fa, kamu dapat itu dari mana?" tanyaku, ketika melihat sandal yang dikenakan Rafa, begitu persis seperti yang terdapat di story i*******m dosenku."Dari someone, nggak usah kepo.""Eh, beneran aku tanya." Aku melotot, hendak melemparnya dengan rumput yang aku cabut."Calon suamimu katanya," balas Adikku "Siapa?""Cari tau sendiri."Ha? dia ternyata udah berani nyogok adikku?Duh, jangan-jangan adikku yang sekarang enggak berani meminjam secara online bukan karena jera, tapi si Alvin yang diam-diam minjemin dia duit, 'kan bisa aja?Ngomong-ngomong tentang pinjol, aku hampir juga mau ikut-ikutan. Habisnya, salah satu temen merekomendasikan. Apalagi buat aku yang perlu modal buat usaha. Tapi untungnya, sudah keduluan adikku yang tertipu. Kalau sampai hutang itu tidak lunas, bisa-bisa adikku dikira jual diri karena fotonya di edit habis-habisan jadi telanjang dada."Boleh juga sih sebenernya tawaran dia. Dengan begitu, Bapak nggak mesti kerja terus menerus. Tapi ya, konsekuensinya juga berat." Aku membatin sendiri."Dari segi tampang, emang ganteng, kulitnya juga sawo mateng tapi sedeng aja. Enak dilihat. Ya, walau kadang nyebelin. Tapi, kalau dinikahin cuma enam bulan, ya siapa juga yang mau?" aku bertanya-tanya sendiri."Dia kayaknya cuma manfaatin keadaan, untuk kepuasan dirinya. Hih, aku mikirnya kok tega banget ya dosen begitu?"Kalau suka ceritanya,komen-komen dongâşď¸ biar otor semangat lanjutin ceritanyaAku ikut mendudukkan diri di ranjang, lalu mengintip untuk melihat apa yang tengah di tonton adikku di ponselnya."Minggir!" katanya ketus. Tangan kirinya mendorong bahuku untuk menjauh. Posisi dirinya kini tengah tengkurap sambil telinganya yang dipasang headset.Aku kembali mendekat. "Rafa," panggilku dengan cengiran khas sambil menoel-noel pipinya."Apa sih? pasti ada maunya." Adikku menggerutu, mencari posisi nyaman dengan menggeser tubuhnya."Kamu nonton apa sih? sampai aku diabaikan gini? bokep ya?" selidikku curiga. Lalu menoyor kepalanya."Suuzon mulu," ucapnya tak terima lalu memposisikan dirinya duduk masih tetap serius menatap layar ponselnya. "Mau apa hah? nyuruh aku nyuci sepeda motor? ogah, aku lagi ngerjakan tugas nih.""Ngerjakan tugas apa? kok nggak ada buku atau pulpen di sekelilingmu, kamu nggak catat?" tanyaku."Gaptek banget. Ngerjakan tugas online lah. Pak guru nyur
"Tapi... bukan sama Bapak. Tapi, sama orang yang saya suka, cinta dan sayangi sepenuh hati. Lah Bapak, baru aja kita ketemu di semester ini, eh udah ngajak nikah aja." Aku meliriknya dari samping.Pak Alvin menoleh ke arahku, tersenyum meremehkan. Lah emang iya, wanita mana yang tak ingin menikah? tapi ya tidak juga dengan dipaksakan. Seperti dosen di sampingku ini. Demi nazar, dia malah mau ngajak-ngajak aku nikah sementara."Loh syarat nikah nggak mesti cinta. Yang penting, ada wali, kedua mempelai, akad, sah di mata Allah. Cinta katanya 'kan karena terbiasa. Tapi ya, karena saya nikahin kamu satu semester aja, ya saya rasa nggak bakal secepat itu jadi cinta." Tangannya sampai memukul setir, saking yakinnya terhadap perkataannya sendiri, ya tampaknya begitu.Dia sih enak, laki-laki. Tanpa cinta juga jadi. Tapi aku sebagai wanita, tentu tidak ingin ujug-ujug, tanpa tau a b c nya langsung nikah. Weleh, apalagi tanpa cinta? bukannya
Ruang tamu senyap di hari Minggu ini, tumben sekali. Rafa, adikku masih bergelut dengan selimutnya saat aku periksa kamarnya tadi. Padahal biasanya, sudah rame dengan kesibukannya mencuci sepatu di pagi Minggu.Sedangkan aku, baru saja menyelesaikan acara mencuci baju bertumpukku dan telah usai menjemurnya di belakang rumah. Saat aku menyapu ruang tamu, kulihat Bapak tampak merenung. Membuatku akhirnya mendekat dan ikut duduk, lalu menyalakan televisi."Tumben televinya nggak dinyalakan Pak, malah melamun," aku berkomentar sambil memencet remote. Memindah-mindah channel televisi."Kamu dan Alvin gimana perkembangannya?" tanya Bapak tiba-tiba tanpa menanggapi perkataan ku. Ah, kenapa sih, Bapak sepertinya sudah kesengsem sama Alvin, sampai terus memikirkan pria itu."Loh kok tiba-tiba tanya itu Pak, kemarin kami udah ketemu. Dan ya, aku tet
Sudah kuduga, berdalih karena tugas yang ditimpakan kepadaku, si dosen itu jelas memanfaatkannya untuk mengobrol tentang 'itu' lagi. "Saya udah bilang, kalau ranah pribadi. Skip, jangan paksa, pelecehan loh." Aku menatap tajam ke arahnya. "Heh, ngomong sembarangan. Saya laki-laki baik, tau etika dan tata krama, bahkan sumpah profesi saja saya hafal. Masa melecehkan mahasiswa, pantang lah." Dia mengibaskan tangan, balas melotot padaku. "Ya habisnya, Bapak maksa sih." Aku menyilangkan tangan di depan dada. Tak lama, waiters datang membawa dua minuman yang sudah kami pesan sebelumnya. "Saya cuma minta tolong kamu, karena minggu depan saya ada dinas keluar kota. Jadi, untuk pengumpulan tugas resume, dikumpulnya di kamu. Harus tulis tangan sendiri, enggak boleh diwakilkan. Mahasiswa itu pinter, tapi suka begoin dosen." Kalau enggak ada maksud, cuma memberi tugas doang, lah kenapa juga harus di cafe seperti ini. Seperti lagi kencan aja. "Iya lagian dosennya mau aja sih di begoin. Udah
Apa dia bilang? otakku mendadak sulit mencerna. Maksudnya, dia mau ngelamar aku gitu?"Saya bisa aja datang ke rumahmu. Untuk tujuannya, silaturahmi atau lebih, nanti saya putuskan," jelasnya, membuat sudut bibirku tertarik mau tak mau. Walau belum pasti kunjungan itu lamaran, tapi rasanya hatiku sudah berdebar-debar kencang mendengarnya."Maksud Kakak, ngelamar aku gitu?" tanyaku memastikan. Jangan sampai aku cuma ngehalu saja, 'kan kalau enggak kesamapaian, sakit."Mungkin." Dia seperti menahan senyum, dan itu sungguh manis. Oh, ini berita gembira bagiku, ternyata selama ini Ramdan memiliki perasaan padaku. Tuhan, terimakasih atas nikmat yang telah engkau beri padaku, bahkan saking sayangnya kau padaku, cintaku saja kau sampaikan pada hatinya Kak Ramdan."Kakak suka sama aku selama ini?" tanyaku dengan nada riang, hampir-hampir gigiku keliatan semua saking senengnya. Untung aja udah sikat gigi dan mandi pagi."Ya pasti suka. Kalau enggak, ya mungkin kita nggak ngobrol senyaman ini."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu waktunya sidang skripsi. Ramdan dibalik kelembutannya memang memiliki semangat baja, enggak salah aku memilih dia sebagai calon imam masa depan.Sesuai jadwal sidangnya, hari ini aku ikut menjadi salah satu peserta yang akan menonton dan mengamatinya dari kejauhan. Melihat wajahnya yang biasa tersenyum, tampak sedikit berkeringat dan serius mempertahankan argumentasinya di depan para penguji.Ramdan, adalah jurusan pendidikan agama Islam, membuat dia benar-benar seperti tengah berkhotbah di depan sana. Aku semakin dibuat kagum oleh wawasan agamanya itu. Semoga, dia lulus dengan hasil memuaskan."Kak Ramdan udah mirip ustadz aja," komentar Tiara yang juga menatapnya kagum.Aku mengelap wajahnya, memperingatkan dia agar tidak menatapnya begitu. "Awas, tatapanmu nanti bikin wajah dia bolong."Tiara berdecak, mungkin sebal. "Haduh, belum juga jadi istri, udah ngelarang-larang cewek lain liatin Ramdan. Huh.""Lagian, kamu natapnya ala-ala pelakor
Akhirnya, aku membiarkan Pak Alvin mengikutiku hingga ke toko kain langgananku. Bodo amatlah sama tingkahnya itu, sepanjang tidak menghambat perjalananku.Sesampainya di tempat, aku langsung bergerak ke dalam toko tanpa menunggu Pak Alvin memarkirkan mobilnya. Mataku langsung cerah rasanya karena disuguhkan berbagai model kain beserta harga terjangkau yang tertera di atasnya. Itulah kenapa, toko ini menjadi langganan ku. Selain kainnya yang berkualitas, dari segi harga juga begitu ramah dikantongku.Terlihat juga ada dua orang ibu-ibu yang sibuk memilih kain sambil berbincang di bagian ruangan 1. Aku langsung bergerak ke bagian ruangan dua, tempatku biasa menemukan kain polos dengan berbagai warna."Oh, jadi ini toko kain langgananmu?" tanya Pak Alvin, entah sejak kapan pria itu sudah berhasil menyusulku hingga kesini.Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya, karena mataku memindai kain-kain itu. Minggu ini, aku sebenarnya hanya memerlukan kain berwarna pastel dan tosca, namun tak sa
Mataku masih setia menatap langit malam. Membuka tutup ponsel tanpa ada yang ku hubungi. Hanya satu harapanku adalah, Ramdan segera mengirim pesan. Kesibukan apa sebenarnya yang membuat pria itu tidak membalas pesan dariku terakhir kali.Sudah dua minggu semenjak pesan itu dikirimkan, bahkan produk hijab pesanan konsumenku sudah hampir jadi. Belum ada tanda-tanda kedatangan tamu ke rumah. Aku mencoba mengingat lagi perkataanya tempo hari, barangkali aku hanya salah menafsirkan. Ramdan, tidak benar-benar akan datang melamar. Tapi, entah mengapa, kesimpulan yang datang adalah dia telah memberi harapan padaku.Ting!Reflek, mataku turun ke layar ponsel. Nama yang membuat jantungku meledak-ledak nampak disana. Akhirnya.[Besok, bisa ketemu?] tanya Kak Ramdan lewat pesan WhatsApp[Bisa Kak, dimana?] tanyaku. Walau sedikit kecewa, mengapa enggak secara langsung saja datang ke rumahku sekalian membicarakan perihal lamaran itu.[Di perpustakaan, maaf ya kemarin enggak sempet balas pesan kamu
Bagi Amel, peristiwa yang ia alami mendadak ini terasa seperti mimpi di sore hari. Setelah hatinya memantapkan untuk kembali melabuhkan hati pada seseorang, akhirnya kini tubuhnya merela untuk duduk sembari mendengar seorang pria mengucap janji suci.Ketika Amel mengatakan pada sang Ayah bahwa ia telah siap kembali menikah dengan Alvin, sepertinya Haris tidak ingin membuang banyak waktu, selain segera menghubungi pihak KUA untuk menikahkan putrinya yang sudah dua kali gagal menikah. Kini, ia percaya dan penuh harap semoga rumah tangga yang akan dibina oleh dua orang yang ia sayangi itu, akan menemukan bahagia.Sedangkan Alvin, ia juga tidak kalah syok karena setelah Haris kembali ke ruangannya tanpa Amel, pria paruh baya itu mengatakan dengan tegas bahwa akad mendadak akan dilaksanakan sore hari, menjelang Maghrib. Tanpa bisa membantah, Alvin hanya mengiyakan walau dadanya berdebar tidak karuan."Secepat itu," batin Alvin. Ia menatap tubuhnya sendiri yang masih dalam keadaan belum pul
"Kamu belum bisa melupakan Ramdan?â lirih Haris, wajahnya terlihat sedih. Amel menghela nafas, ia tahu, Ayahnya sedang berusaha membujuknya.âBukan begitu Pak."âTerus apa alasan kamu? Karena dia kekurangan fisik?â tanya Haris memastikan. Ia tahu, pasti berat bagi putrinya yang tiba-tiba ditawarkan seorang pria yang kekurangan secara fisik.âBukan itu juga. Begini Pak, walau Pak Haikal itu kekurangan fisik, apa dia mau sama aku? Janda dua kali ini? Ck, aku rasa perjaka semacam dia, enggan. Pasti mencari perawan,â jelas Amel sembari menggelengkan kepalanya. Ia sadar diri, sebagai seorang janda, tentu tidak percaya diri menikahi seorang pria yang benar-benar baru, belum pernah menikah sama sekali. Apalagi, Haikal cukup tampan dan cerdas. Ah, Amel tidak bisa membayangkan bisa bersanding dengan pria itu.âAnak Bapak juga masih perawan. Apa lagi yang diragukan?â tanya Haris yang memang tahu, putrinya masih perawan. Bukankah Amel tempo hari menceritakan jika Ramdan tidak pernah menyentuhnya
Awalnya Amel hendak melipir dan bersembunyi, walau matanya sudah terlanjur bertemu dengan Wati. Pertemuan ini pasti akan terasa aneh. Amel menghirup nafas dalam-dalam, ia tidak boleh terlihat lemah dihadapan dua orang itu.âUntuk apa aku takut bertemu mereka?â batin Amel. Akhirnya ia memberanikan diri untuk tetap tegap dan berjalan lurus ke depan.âKamu dari tempat Alvin?â tanya Wati langsung setelah ia berhenti di depan Amel.âIya. Kalian mau berkujung juga?â tanya Amel dengan wajah ramah, melirik sekilas kepada Ramdan yang tampak canggung. Sedangkan Wati, tersenyum sumir, ketika melihat mantan madunya nampak baik-baik saja.âMereka memang tampak serasi sebagai suami istri,â batin Amel.Wati menganggukkan kepala, âApa tidak ada yang aneh? Mantan istri mengunjungi mantan suami. Padahal sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Apalagi, kamu baru saja cerai dari Ramdan, kenapa seolah tidak terjadi apa-apa?â sindir Wati tajam. âPasti ada sesuatu Jangan bilang, setelah ini kamu akan balikka
Mengingat sang Ayah tersenyum penuh arti. Amel menjadi kepikiran jika pria paruh baya itu benar-benar akan menjodohkannya dengan Bos Konveksi itu. Haikal.Selama packing hijab pesanan pelanggannya pun, Amel masih tidak bisa tenang. Jangan sampai Ayahnya menawarkannya pada Haikal. Mau ditaruh dimana muka ini? batin Amel.Akhirnya, karena kegalauannya, ia memutuskan untuk sekedar refreshing ke cafe. Bersama siapa lagi, jika bukan Tiara. "Gimana kabarmu? aku liat, pipimu baik-baik aja?" tanya Tiara sembari menyeruput Americanonya.Amel tersenyum masam. "Haruskah aku kurus gara-gara cerai?"Tiara tertawa. "Ya nggak lah. Tapi, mengingat dia pria yang sangat kamu kagumi. Apa nggak susah lupainnya?" tanya Tiara. Ia turut bersedih ketika Amel bercerita padanya via telpon bahwa rumah tangga wanita itu dengan Ramdan telah kandas gara-gara ada orang ketiga. Dan parahnya, orang ketiganya telah hamil."Susah. Cuma, kalau ingat dia telah menghamili wanita lain, aku menjadi sedikit, gimana gitu. Ent
Bagi seorang Ayah, akan sangat tidak tega membiarkan putrinya menyimpan luka sendirian. Haris, terus memantau keadaan Amel yang ia tahu, putrinya berusaha terlihat baik-baik saja. Dan Amel, berusaha keras agar Ayahnya percaya.Hari demi hari terlewati, Amel terlihat semakin ceria. Banyak senyum dan tertawa. Tidak ada rona kecewa dan kesedihan di sana. Dan hal itu, membuat Haris justru makin khawatir, takut anaknya menyembunyikan rasa stress yang dialaminya seorang diri.âRafa! Sarapan!â teriak Amel sambil menggedor-gedor kamar sang adik.Haris yang melihatnya, hanya menatap nanar putrinya. Tidak mungkin, bagi wanita bercerai akan bangkit secepat itu.âEh Bapak! Ayo makan, kita tinggalin Rafa!â ucap Amel saat ia menolah mendapati sang Ayah yang tengah berdiri dan menatapnya.Haris tersenyum. âAyo!âKeluarga kecil itu kembali pada rutinitas seperti biasanya. Seperti sebelum Amel di boyong oleh suami ke rumah mertuanya. Pagi-pagi, Amel yang menyajikan berbagai menu makanan. Haris yang me
âMau kemana kalian?â tanya Melani yang sedang berbincang dengan suaminya. Amel yang masih menitikkan air mata, menyekanya, mengulas senyum namun tidak kuat untuk mengatakan bahwa dia dan Ramdan telah bercerai.âNak, kenapa kamu membawa koper?â tanya Melani lagi, kini wanita paruh baya itu menghampiri Amel dan Ramdan yang berdiri. âRamdan, kenapa Amel menangis?â Melani masih terus bertanya. Ramdan menghela nafas.âKami sudah bercerai Bu,â lirih Ramdan. Amel tersenyum paksa, ia menggenggam tangan Ibu mertuanya yang dingin. Terlihat raut wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu begitu terkejut.âMaafkan Amel Bu,â ujar Amel. âMaaf, karena Amel tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.ââRamdan, apa yang kamu lakukan pada Amel?â tanya pria paruh baya. Ayahnya Ramdan.Ramdan yang mendapat pertanyaan penuh intimidasi itu menundukkan kepala, tidak berani menatap sang ayah. âAda apa sebenarnya ini? Kenapa kalian bercerai?â tanya Ayah Ramdan.âNanti. Aku akan jelaskan. Ayo.â Ramdan mem
Amel tidak kuasa menahan tangis. Ia berteriak dengan cairan bening yang terus menetes."Sama. Laki-laki semuanya sama ketika berbohong," batin Amel walau tidak ia suarakan di hadapan Ramdan. Saat di perjalanan menuju rumah Ramdan. Pria itu tiba-tiba mendapat telpon entah dari siapa."Kenapa nggak diangkat Kak? siapa tau penting," ujar Amel yang penasaran mengapa Ramdan tidak mengangkat."Aku lagi mengemudi, takut nggak fokus, apalagi lagi bawa kamu." Ramdan beralasan.Amel mengangguk saja, ia lebih memilih memejamkan mata. Hingga setelah cukup lama ia di posisi begitu, suara dering telpon, kembali terdengar. Namun, ia tetap berpura-pura tidur."Nanti, aku telpon lagi." Sepertinya Ramdan mengangkat telpon, hanya itu yang terdengar oleh Amel.Sesampainya di rumah. Ramdan menyuruh Amel ke kamar lebih dulu, karena pria itu beralasan akan mengecek sesuatu dulu di mobil. Ada yang tidak beres dalam mesinnya. Amel hanya mengiyakan, walau ia tidak benar-benar pergi dari sana."Kenapa menelpon?
Amel kembali ke kamarnya, menyisir rambutnya dengan tenang. Ketukan pintu membuatnya segera memakai kerudung lagi. Ia tahu, yang akan datang pasti suaminya.âGimana keadaan kamu?â tanya Ramdan yang langsung berjalan mendekat, lalu memeluk Amel dengan erat dan mengelus punggung wanita itu.âAku sudah baikkan Kak. Tadi habis di lap sama Ibu. Oh ya, Bapakku katanya udah siuman. Yuk, jenguk ke sana dulu,â ajak Amel dengan senyum mengembang, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia memang pengecut, coba saja tadi langsung melabrak Wati dan Ramdan, namun, itu hanya khayalan di kepalanya. Menegur mereka, bukanlah pilihan yang tepat sementara ini.Ramdan mengangguk, ia lalu menggandeng tangan Amel. âRafa sekolah âkan?â tanya Amel saat mereka berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Ramdan mengangguk.âAwalnya dia mau aku boongin kamu, minta izin nggak sekolah. Tapi karena kamu, aku nggak biarin dia,â ucap Ramdan terkekeh mengingat rayuan Rafa padanya, untuk izin tidak masuk sekolah, namun i
"Sedari kami SMA. Aku mengenal dia dengan sangat baik. Entah mengapa dia tidak mengenalkan aku padamu. Kalau saja kita tidak bertemu secara tidak sengaja di tempat konveksi, mungkin kamu tidak bakal tau tentang hubunganku dengan Alvin," jelas Haikal, lalu menatap ke arah Alvin lagi, ia mengerti wanita disampingnya tidak nyaman ditatap olehnya seperti tadi.Bukan tanpa alasan, hanya saja seorang Haikal merasa heran apa sebenarnya keistimewaan seorang Amelia hingga Alvin mau berkorban untuk wanita yang telah bersuami itu."Kamu mungkin dulu bukan orang yang pantas tahu cerita hidupnya. Tapi, melihat fakta perasaannya padamu saat ini, rasanya kamu harus tahu. Dia anak broken home. Bapaknya menikahi wanita lain, saat Ibunya sakit. Dia menjadi anak yang memberontak, sering kena SP sewaktu SMA. Kamu sudah tau cerita ini?" tanya Haikal. Memastikan, jika Amel belum pernah mendengar cerita tentang Alvin.Amel hanya mengangguk. "Dia akan bercerita pada orang yang ia anggap dekat. Berarti, kamu