Pukul sepuluh malam, Dirga sudah tertidur. Kepalanya bersandar di ranjang dengan tangannya memegang tangan Dara. Tanpa dia ketahui, gadis itu membuka matanya. Memandangi wajahnya yang lelap. Tersenyum dibalik tabung oksigennya. Lalu tangan sebelahnya mencopot tabung yang justru dirasa mengganggunya.
Pergerakannya masih lemah. Sebelah tangannya mengusap lembut surai Dirga. Persetan dengan gengsi yang tersembunyi selama ini. Hatinya telah yakin dengan perasaannya pada pria itu. Perhatian kecilnya saja mampu mendebarkan hatinya. Apalagi yang dia harapkan selain mengakui perasaannya?Sudut bibirnya tertarik membentuk ringisan kecil kala pening menyergap kepalanya. Ah, dan juga badannya pegal sekali. Melirik perutnya. Dia, si kecil baik-baik saja kan? Menilik perutnya yang biasa saja, Dara berharap dia baik-baik saja."Ah!" Pekiknya saat tak sengaja Dirga meremat jarinya. Goresan luka dan biru lebam di kulit tangannya adalah sumber rasa sakit itu. Untung sajaKapan terakhir tidur di kamar ini? Oh, ya... saat itu. Saat dirinya diketahui tengah mengandung. Dan kini, dia kembali mengunjungi kamarnya. Bedanya, ada Dirga disini sekarang."Mau tidur?""Eih! Ini baru jam berapa? Ntar dikira kalong lagi. Keluar pas malam doang," sahut Dara. Dirga terkekeh. "Lalu?""Ya gak ngapa-ngapain. Minggir dah. Kamu belum mandi kan?""Ck. Sendirinya saja belum kan?" "Seenggaknya aku masih bau wangi kan?" Sahut Dara sombong."Oh, begitu ya..."Sontak Dirga menarik Dara dalam pelukannya. Menariknya erat hingga gadis itu memukulinya."Lo gila! Mau bikin gue mati?" Sungutnya disela napasnya yang sesak. Dirga terkekeh. Merenggangkan pelukannya, tapi enggan melepaskannya."Bagaimana? Apa bau?" ujarnya berusaha mengintip wajah gadis itu."Ih! Bau. Sana mandi." Berkata begitu, tapi tangannya melingkar di punggung Dirga. Dasar."Mau nemenin?""Ogah. Ngapain di dalam. Mending rebahan.""Ya kali aja mau re
Pagi.Bangun tidur mendapati wajah polos yang tersaji di depannya sepertinya merupakan hal istimewa paginya, dan juga mendadak menjadi candu bagi Dara. Apalagi wajah pria itu seperti kehilangan sorot menyebalkan dan jahilnya itu. Berubah menjadi polos, dan lucu saja melihat mulut sedikit terbuka Dirga saat tidur begini.Puas memandangi sosok itu, Dara beranjak dari tidurnya. Meringis merasakan sedikit ngilu di punggungnya. Meski sudah di rawat, bahkan pijat tulang, lebam akibat tabrakan itu masih terasa."Sshh... ahhh..." ringisnya reflek memegang punggungnya. Aneh sekali, tadi saat dipeluk erat Dirga, sakitnya tak terasa. Kok giliran bangun tidur begini baru terasa. Tapi bukan masalah besar. Selama dia masih melakukan aktifitas biasa, bukan masalah.Beberapa menit di kamar mandi, begitu kembali Dirga masih saja terlelap. Tapi Dara tak ada membangunkan Dirga. Bergegas keluar dari kamar. Pukul setengah enam. Bi Ijem biasanya sudah di dapur sejak sebelum pukul lim
Dirga menyambut cengiran tipis di bibirnya saat papa dan mama mertuanya menyapanya. Aih! Dia malu karena bangung kesiangan. Rusak sudah citra disiplinnya. Tapi ya sudahlah, kepalang basah. Segera dia membuatkan susu kehamilan untuk Dara dan membawanya ke meja makan."Mama dan papa sudah selesai. Kami berangkat dulu. Dan Dara, kalau belum sehat betul, di rumah saja. Oke?" Pesan Mama. "Yaaah, bosen.""Eih, dibilangin." Dara mengerucutkan bibirnya. Kadang sifat manjanya masih muncul saat sedang bersama orang tuanya. Itu sebelum terjadinya pemutusan sepihak hubungan cintanya oleh Raka. Dan kini, sifat itu muncul lagi. Dirga terkekeh kecil. Mengusak surai Dara."Tenang aja, Ma. Ntar kunci aja dia di rumah seharian," godanya. Dara melotot, tapi bukannya takut, Dirga malah tertawa."Ya udah, mama sama papa berangkat. Yang hati-hati kalian."Dirga dan Dara mengangguk kompak.Mama menggandeng tangan papa, lalu meninggalkan dua sejoli itu
Tersenyum Dirga melihat pesan di ponselnya. Padahal tidak ada sweet-sweetnya, sumpah. Bayangkan saja, hanya pesan 'nanti pulang kantor jangan lupa cukur tuh rambut. Mau nyaingin rambutku apa gimana? Hm?'. Sama sekali tidak sweet bukan? Raut Dara yang suka mengomel itulah yang terbayang. Reflek mengusap rambutnya yang baru sadar, memang lebih panjang, Dirga terkekeh pelan. Mengetik beberapa kata sebagai balasan. Namun ketukan pintu mengalihkan perhatiannya sejenak."Ada apa, Lin?"Linda, gadis itu nongol dari balik pintu."Ada pak Raka, pak. Beliau ingin menemui bapak."Raut Dirga seketika berubah. Mengeras dan datar."Hm. Suruh masuk."Linda mengangguk, dan berbalik keluar. Tak lama ketukan terdengar. Dirga mendesah malas. Ayolah, meski pelakunya Dita, tetap saja Raka menyisakan kekesalan di hatinya. Meletakkan ponselnya diatas meja."Masuk," ucapnya melirik sekilas dan langsung membuang pandangan. Memandang asal dinding ruangannya. Ya
Rahang Dirga mengeras. Dasar tisak punya malu! Jangan dikira Dirga tidak emosi. Sangat. Dia sangat emosi. Terlihat dari wajahnya yang berubah memerah dan jemarinya yang terkepal kuat. Tapi dia mencoba mengendalikannya. Menghembuskan napas kasar. "Dicabut? Di kurangi? Haha," kekehnya sinis mencetak senyum asimetris. Sorot matanya berubah tajam lagi. "Lalu untuk apa ada hukuman kalau dengan permintaan maaf saja selesai? Hukum ada untuk memberi efek jera. Dan maaf, mengenai itu, dan permintaan maafmu itu, aku tidak bisa. Bicaralah sendiri dengan Dara," ucapnya membuang pandangan.Raka sudah menduganya. Dari awal seharusnya yang dia temui adalah Dara. Tapi karena rasa bersalah dan malunya, dia tak ada keberanian untuk menampakkan wajahnya di depan Dara."Baiklah. Aku tahu, ini salah. Tidak sepantasnya meminta hal yang menggelikan setelah apa yang dilakukan Dita.""Nah, itu tahu," tukasnya masih mengarahkan pandangan ke arah lain."Kalau begi
Sampai larut malam Dara tak bisa tidur. Pikirannya mengarah ke sesuatu. Hal itu terus mengganjal sejak tadi siang. Membolak balikkan badannya tak tenang. Hingga tangan Dirga menariknya dalam pelukannya."Tidak bisa tidur?"Mata Dirga yang semula sudah lelap kini terbuka sayup-sayup. Memandang netra Dara yang masih terbuka lebar."Apa ada masalah?"Dara malah mengeratkan pelukannya. Menyembunyikan wajahnya di dada Dirga."Tidak. Hanya susah tidur," jawabnya."Aku nyanyikan lagu?"Tanpa menjawab pun Dirga tahu, wanita itu butuh ketenangan. Dan mulailah alunan merdu mengalun dari bibirnya. Perlahan tapi pasti, Dara mulai terlelap. Deru teratur dan hembusan napas pelannya membuktikan wanita itu telah menjemputnya.Dara tersenyum melihat istrinya telah tidur. Mengecup puncak kepalanya. Berbisik lirih."Good night, my wife..."Dan dia pun menyusul ke alam mimpi. Karena jujur saja, dia sebenarnya ngantuk. Badan
"Masih lemes?"Dirga mengangguk. Hari ini dia sampai tidak ke kantor. Lemas sekali badannya. Kini dia sedang tiduran di paha Dara. Memejamkan matanya dengan deru napas teratur. "Kasihan sekali papamu nak. Jangan nakal-nakal ih. Ntar papamu pingsan gimana?"Mendengar perkataan Dara, Dirga membuka matanya. Tersenyum terkekeh. Beringsut memalingkan dan mengusak wajahnya ke perut Dara. Menciumi perut datar namun berisi calon nyawa tersebut."Tidak apa sayang. Mau bermain-main dengan papa juga gak papa. Asal kamu disana sehat-sehat saja," ucapnya lalu memeluk perut wanita itu."Haha... dasar. Ntar giliran dikerjain beneran bingung. Sok kuat kamu.""Aku emang kuat ya... emuach! Emuach! Kamu denger kan, jagoan papa?" ucapnya kembali mengusak wajahnya di perut Dara."Ih, udah. Geli. Lepas."Dara tertawa kecil. Kembali ke posisinya tadi. Memandang wanitanya dari bawah. "Untung aja kamu gak nyidam yang lebih aneh," tukasnya."Aneh gimana?" Alis D
Dara meringsek mengambil paksa ponsel dari tangan Dirga. Tentu posisinya kini memeluk pria itu. Ya gimana lagi, ponsel itu tersembunyi di balik punggung Dirga."Kamu cantik tahu, Ga.""Gak peduli.""Ayolaah.""No!"Chup.Dirga terpaku. Satu kecupan di bibirnya membuatnya terkejut.Chup.Kali ini dengan sedikit lumatan yang mendarat. Lemas sudah Dirga. "Yeaay! Berhasil..."Tipuan. Melihat keterkejutan Dirga, Dara tersenyum. Menambah satu lagi kecupan dengan sedikit lumatan, dan ternyata upayanya berhasil. Dia langsung kabur keluar dengan ponsel di tangan. Dirga? Terpaku bagai patung. Menyentuh bibir yang kini lipstiknya belepotan."Aih, Dara!" Pekiknya begitu tersadar. Berlari keluar mencari Dara.Dan lihatlah, Dara tengah tertawa-tawa duduk di sofa, tentunya menatapi layar ponselnya. Aish! Sudahlah. Mungkin juga sudah dia uopload.Menyusul Dara dan menghempaskan bobot tubuhnya di s