Ningroem mengetuk pintu rumah ibu mertuanya dengan tangannya sendiri.
Tangannya gemetar, hatinya berdebar tak menentu. Dalam hati Ningroem merasa takut untuk menemui Bram. Tetapi karena didukung dengan keadaannya sekarang yang tak jelas. Ia harus berani untuk menentukan nasibnya, juga nasib kedua anaknya.
Ningroem sudah mengetuk pintu berkali-kali. Namun, tidak ada tanda jika pintu akan terbuka. Entah beliau pergi kemana atau mungkin beliau sedang tidur siang sehingga tidak mendengar ketukan di pintu.
Ningroem masih mematung di depan pintu. Wanita berlesung Pipit itu sedikit melamun, ia teringat pada nasib kedua anaknya.
Fahmi sudah satu hari di sini, anak sulungnya diambil darinya tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Ningroem baru sempat menemuinya sekarang karena ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Suaminya ---Bram sudah satu bulan tidak pulang ke rumah menelantarkan dirinya juga anak bungsunya. Wanita berlesung Pipit masih diam saja. Sebenarnya Ningroem sengaja diam saja supaya ia mudah untuk meminta cerai, ia merasa tak tahan lagi hidup tanpa diberikan nafkah lahir oleh suaminya. Ningroem tak ingin ada ribut-ribut malu sama tetangga.
Ningroem masih mematung di depan pintu hingga kakinya terasa pegal, Sehingga dirinya tidak hanya mengetuk pintu, tetapi mengucapkan salam dengan suara yang cukup keras. Besar harapannya bisa bertemu dengan ibu mertuanya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Terdengar sahutan dari dalam yang diikuti dengan suara langkah kaki yang mendekat. Ningroem menarik nafas lega. Menunggu ibu mertua untuk membukakan pintu.
Wanita paruh baya itu tersentak kaget ketika melihat Mirna berdiri di depan pintu dari kaca jendela. Bu Mumun —ibu mertua pun mempercepat langkah kakinya menuju ke arah pintu untuk membuka pintu yang tertutup.
Setelah pintu terbuka Bu Mumun langsung memeluk menantunya.
Wanita berlesung pipit tercengang mendapat perlakuan yang diberikan ibu mertuanya itu. Tidak biasanya tiba-tiba memeluk hangat seperti itu. Biasanya ia memeluknya ketika lebaran saja saat bermaaf-maafan.
Sesaat kemudian keduanya saling melerai pelukannya.
Bu Mumun mengambil Denis dari gendongan Mirna kemudian diciumnya pipinya berkali-kali hingga Denis menangis karena risih.
Ningroem mencium punggung tangan ibu mertuanya sebagai tanda bakti padanya.
"Maaf ya Bu, Ning jadi merepotkan ibu dengan adanya Fahmi di sini."
Ningroem berusaha membuka pembicaraan.
"Tidak apa-apa Ning, ibu malah senang dia ada di sini. Serasa ada hiburan," timpal Bu Mumun.
"Mas Bram ada disini gak Bu?"
Ningroem mencoba menanyakan keberadaan Suaminya barangkali saja dugaannya benar. Jika Bram ada di rumah ibunya.
"Iya dia ada di sini sudah sebulan, apa kamu ribut dengannya?" tanya Bu Mumun menyelidik menatap menantunya yang masih berdiri.
"Bicara di dalam saja, malu sama tetangga," pinta Bu Mumun pada Ningroem.
Wanita berlesung Pipit melangkah masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Yang tidak begitu luas tetapi cukup rapi.
"Iya Bu, sebenarnya Mas Bram nyuruh saya kerja. Dia sengaja tidak memberikan nafkah kepada kami," jelas Ningroem terus terang. Karena ia tidak bisa berbasa-basi.
Wanita berlesung Pipit berhenti bicara sesaat karena tanpa sengaja butiran bening jatuh di pipinya. ia sudah tak kuat untuk menahannya lagi sehingga terisak.
"Kontrakan saja Ningroem belum di bayar masih nunggak satu bulan, Bu. Karena Mas Bram di sini terus."
Dada Ningroem kian sesak seperti terhimpit batu, ketika terus menceritakan keadaan dirinya.
"Sekarang Ning kerja Bu, untuk membayar kontrakan dan makan sehari-hari. alhamdulilah ketemu. Walaupun Ning harus menitipkan Denis pada orang lain."
Ningroem kian sesenggukan menceritakan keadaan dirinya.
Bu Mumun —mertuanya mengusap punggung menantunya, ia ikut prihatin dengan keadaannya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa ia tahu sipat anaknya memang keras kepala tidak bisa diberikan nasehat.
"Ning bukannya ibu membiarkannya berlaku demikian, sebenarnya ibu juga sudah menasehatinya untuk pulang ke rumahmu tetapi dia tidak mau dengar malah memarahi ibu. Jadi ibu malas."
"Tidak apa Bu, Ning hanya ingin mengambil Fahmi untuk saya bawa pulang sekarang. Ning tidak bisa jika harus hidup tanpanya," jelas Ningroem mengutarakan maksud dari kedatangannya pada Bu Mumun.
Bu Mumun tidak bisa berkata apa-apa, karena memang Ningroem ibunya wajar saja jika dia ingin membawanya pulang kembali.
"Tidak enak saja, biarkan Fahmi di sini, kamu bawa Denis saja," timpal Bram yang tiba-tiba muncul dari arah luar menjawab ucapan Ningroem.
Ningroem dan Bu Mumun menoleh ke arah pintu melihat Bram yang baru saja datang entah dari mana.
"Apa hak mu?" Ningroem langsung berdiri ketika mendengar suara Bram yang menjawab permintaannya.
Spontan Ningroem bertanya tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Sehingga Bram lebih berani menjawab semua pertanyaan darinya.
"Aku kan bapaknya jadi bolehlah dia sama aku, toh dia juga sudah besar!"
"Kalau mau seperti itu baiklah ceraikan aku dulu, asalkan aku bisa menjenguknya tak apa," timpal Ningroem lebih berani lagi, melangkah mendekati suaminya yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mirna merasa panas dan terbakar emosi.
Bram yang terlanjur terbakar emosi langsung menjawab tantangan Ningroem.
"Aku talak kamu sekarang juga," ucapnya dengan suara lantang, Bram terbawa emosi tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Terimakasih kamu sudah menalakku, jadi tanggung jawabmu atas diriku sudah tidak ada, aku bisa hidup lebih baik tidak tersiksa lagi lahir batin atas ulah dan sikapmu itu, Mas."
Ningroem merasa lega sekaligus sedih karena ia harus berpisah dengan putra sulungnya ---Fahmi.
Bu Mumun —ibunya Bram tidak setuju dengan ucapan anaknya sehingga ia menyuruh Bram untuk menarik ucapannya kembali yang baru saja diucapkannya.
"Bram apa-apaan ucapanmu itu, kamu menceraikan istrimu apa salahnya? Tarik kata-kata itu kembali." ucap Bu Mumun dengan mata yang membulat sempurna.
"Ibu tidak usah ikut campur ini urusan aku sama Ningroem. Aku sudah capek memberikan dia nafkah terus-terusan. Aku ingin bersantai, menikmati uangku sendiri," sahut putranya tanpa beban.
"Apa-apaan ucapanmu itu Bram, mengapa dulu kamu menikahinya dan sekarang ingin mencampakkannya?" Bu Mumun mengingatkan Bram ketika putranya meminta untuk melamar Ningroem dan menikahinya. Namun, sekarang putranya malah mencampakkan wanita yang benar-benar telah sabar mendampingi putranya itu.
"Aku capek banting tulang tapi tidak ada hasil yang bisa kunikmati, biarkan sekarang dia yang cari uang untuk hidupnya sendiri."Bu Mumun hanya bisa diam, dadanya pun ikut sesak mendengar perkataan yang terlontar dari bibir putranya.
"Oke. Kalau kamu seperti itu aku ingatkan kamu hari Rabu ini. Jam 02.00 siang, kamu mengatakan cerai, ibumu sebagai saksinya. Baiklah aku pulang aku masih bisa ketemu Fahmi itu kesepakatannya," ucap Ningroem lantang dengan buliran yang terus meluncur membasahi pipi mulusnya, yang tak bisa dibendung lagi.
Denis menangis melihat kami bertiga berebut kata, Ningroem mengambilnya putranya yang dalam gendongan Bu Mumun ---mertuanya berpamitan pulang. Ia sudah tak ingin berlama-lama sehingga membuat kewarasannya hilang.
"Ibu titip Fahmi ya, insyaallah kalau ada rezeki saya akan membantu biaya untuk mencukupi kebutuhan Fahmi."
"Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa mempertahankan rumah tanggamu."
Bu Mumun memeluk Ningroem dengan buliran bening yang terus meluncur dari sudut matanya.
"Tidak apa Bu, mungkin sudah jalan hidup Ning harus seperti ini," sahut Ningroem dengan suaranya yang terdengar parau karena menangis.
Buliran bening terus mengalir membasahi pipi Ningroem, sesekali ia menyekanya dengan punggung tangannya. Tetapi buliran bening itu malah semakin deras mengalir di pipinya.
Ningroem berusaha bersikap tegar, Ia tak ingin terlihat lemah di mata Bram.
Ningroem membalikan tubuhnya berjalan keluar dari rumah ibu mertuanya.
Wanita berlesung Pipit menghampiri Fahmi yang masih bermain di halaman. Sebelum langkahnya sampai berhadapan dengan putranya Ningroem menghapus buliran bening yang terus menetes di pipinya. Wanita berlesung Pipit mendongakkan wajahnya menatap langit berwarna biru, kemudian menarik nafasnya dalam. Ia tak mau jika Fahmi melihatnya menangis.
"Aa, Mama pulang dulu ya, kalau Aa kangen sama Mama, Aa minta sama nenek untuk mengantarkan ke rumah Mama, ya?"
Ningroem berbicara parau tak kuasa menahan sesak didada yang kian menghimpit.
Pada akhirnya buliran bening meluncur dengan derasnya, Ningroem terisak sehingga Fahmi —anaknya memeluk dirinya. "Mama kenapa kok menangis," ucapnya polos tidak paham dengan apa yang terjadi. "Tidak apa-apa mama hanya sedih tidak bisa bersama Aa lagi, tapi Mama usahakan akan sering datang kesini untuk bertemu Aa." Mungkin Fahmi tidak mengerti dengan ucapannya, dia hanya memandangi wajah ibunya saja, Ningroem memberikan uang 20.000 rupiah ke tangannya. "Aa ini buat jajan, jangan di jajanin semua, ya? kembaliannya kasih ke nenek buat besok jajan lagi." Ningroem memeluk anaknya sekali lagi mencium kening, mengacak rambutnya pelan. Ia pasti akan sangat merindukannya nanti jika harus tinggal terpisah. "Mama tidak menginap di sini?" tanya putra sulungnya yang tidak tahu dengan pertengkaran yang baru saja terjadi di dalam. "Tidak Aa, Mama kan harus kerja, jika harus berangkat dari sini Mama kejauhan. Capek," jelas Ningroem. "Oh, iya." Fahmi manggut-manggut seolah paham dengan penje
Setelah selesai mengerjakan tugas nguli nyuci gosok, Ningroem melangkahkan kakinya menuju ke tempat Yesi, yang masih asyik bermain tepung dan mikser. "Mbak," aku menepuk pundaknya pelan. Otomatis Yesi yang sedang serius terperanjat untungnya adonan tidak tumpah. "Ih Mbak, ada apa kaget aku?" Melirik Ningroem yang berdiri di belakangnya sesaat. Kemudian fokus kembali pada adonan kue yang sedang di buatnya. "Serius banget sih," gurau Ningroem terkekeh. "Kalau gak serius bisa gagal adonannya." "Aku pamit pulang duluan, ya?" "Ya, aku ngerti kok, kamu bimbang dengan anakmu 'kan?" Yesi balik bertanya. "Ya," sahut Ningroem singkat kemudian berlalu dari hadapan Yesi. Ningroem meninggalkan tempat itu, setelah berpamitan terlebih dahulu kepada majikannya, yang kebetulan ada ditempat itu sedang mengawasi para pegawai. Yang sedang membuat kue dan roti. Bu Halimah mengambil dua buah roti yang sudah di kemas plastik, diserahkannya ketangan Ningroem. Dengan senang hati wanita berlesung pipi
Jika keadaannya demikian rasanya nggak mungkin Mbak Ratna bisa hamil. kasihan sungguh nasib kedua pasangan ini. Ningroem membatin dalam hati. Kenapa juga aku memikirkannya? Nasibku juga sama menyedihkannya dengan mereka. hanya berbeda permasalahannya saja. Setiap-tiap orang pasti punya masalah. Tinggal bagaimana caranya diri kita untuk menyingkapi masalah tersebut dengan baik. Aku juga mengambil keputusan sebagai janda karena menurutku baik. Baik untukku namun, tidak untuk anakku. Tapi, ya memang tidak ada lagi jalan selain ini. Lagi-lagi Ningroem berbicara dengan hatinya sendiri. Membatin sembari berjalan tak terasa akhirnya ia sampai juga di tempat kerjanya. Ningroem membuka pintu gerbang yang tidak di kunci. Ia langsung menuju ke tempatnya kerja di bagian belakang. Ningroem langsung memisahkan pakaian yang berwarna dan yang putih untuk di giling, sedangkan yang kemarin kering siap untuk di gosok. Ningroem langsung menata pakaian kering di atas meja gosok, kemudian mulai mengg
"Bukan itu. Aku tidak ingin ke kamar mandi tetapi, aku ada permintaan padamu, maukah Mbak menikah dengan Mas Dani dan menjadi maduku?"Ningroem kaget dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ratna meminta dirinya untuk jadi madunya. Apa sisa obat biusnya masih bereaksi sehingga wanita berwajah putih bersih itu berkata yang tak masuk akal seperti ini.Apa tidak dipikir dulu ucapannya itu akan menyiksa batinnya sendiri. tidak, tidak. Walaupun dirinya bisa memberikan anak tapi ia tak tega jika harus menjadi madunya Ratna. 'Mana mau Mas Dani, sama aku yang kucel dekil begini. Sedangkan istrinya cantik saja berkulit putih bersih dan terawat. 'Mirna membatin."Ah Mbak Ratna ini ada-ada saja bercandanya kelewatan," gumam Mirna tidak merespon permintaan Ratna. Ia malah meletakkan punggung tangannya di kening Ratna."Aku Serius. Aku tidak sedang demam, tapi aku belum berunding dengan Mas Dani. aku ingin Mbak menyanggupinya dulu," jelas Ratna."Aku percaya padamu, tak mungkin kamu menyalahi ke
Saat berpapasan dengan Ningroem, ingin rasanya Dani menghentikan langkah wanita yang melewati dirinya itu. Namun, lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap punggungnya yang kini hilang di balik pintu.Dani tak mengerti mengapa istrinya —Ratna meminta dirinya untuk menikah lagi. Hanya karena alasan istrinya tidak bisa memberinya keturunan.Memang aku sangat ingin memiliki keturunan tapi itu dari rahimnya bukan dari rahim orang lain.Walaupun aku harus menerima kenyataan jika istriku itu menderita sakit kanker rahim. Yang baru saja diangkat dari rahimnya sehingga kini Ratna tidak bisa memiliki anak. ya memang dalam sekejap hadapanku musnah seketika. Tapi mungkin itu sudah takdir hidupku harus seperti ini.Walaupun tidak mempunyai anak tapi usahaku cukup maju, tak pernah kekurangan dari segi materi. Mungkin ini berkahnya bagi kami berdua.Namun, Dani terkejut ketika istrinya berbicara di kala malam itu. disaat dirinya akan melakukan kewajiban sebagai suami. Ratna duduk di pangkuan Dani me
Ratna masih tetap pada pendiriannya. Ia tetap ingin mengambil Ningroem menjadi adik madu nya. karena ia yakin dengan hatinya bahwa Ningroem adalah wanita yang baik. Baik secara lahir maupun batin, yang terlihat dari kesehariannya.Bagaimana sabarnya dia menghidupi dirinya sendiri beserta kedua anaknya. Ningroem berjuang sendiri. Ia sosok wanita hebat belum tentu dirinya bisa sesabar dan sekuat Ningroem, itu yang menjadi tekad Ratna untuk tetap kukuh menunggu sampai Ningroem luluh hatinya. Hari ini Ratna akan mengambil dan menjaga Denis supaya suaminya bisa kencan berdua saja dengan Ningroem.Dani pasti tidak akan menolak jika Ratna yang meminta karena dia tidak sanggup melihat buliran bening di kedua netranya. Walaupun dengan sedikit terpaksa pasti suaminya akan menuruti keinginan Ratna.Jika tidak seperti itu keinginan Ratna untuk memiliki anak dari Dani tidak akan pernah terkabulkan.Bagaimana dengan keluarga Ratna? Mereka sudah tidak bisa mencegah keinginan Ratna. Bukankah sudah a
Ningroem bergegas masuk dari pintu belakang, menghampiri Ratna yang dari tadi memanggil-manggil namanya. Samar Ningroem mendengar panggilan Ratna dari rumahnya. Ningroem keluar melalui pintu belakang untuk membeli diapers karena kehabisan stok di rumah."Ada, apa Mbak?" tanya Ningroem melihat wajah wajah Ratna yang panik dan pucat pasi."Mbak, dari mana saja aku panggil-panggil tidak menjawab?""Maaf Mbak, tadi habis dari warung dulu membeli diapers untuk Denis karena di rumah habis," sahut Ningroem memperlihatkan kantong plastik berwarna putih yang berisi 2 bungkus diapers."Ya, ampun Mbak, Aku kira Mbak marah sama aku? kabur melalui pintu belakang," sahut Ratna merasa lucu sehingga tertawa tertahan menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Wajahnya yang tadi pucat kini dialiri darah kembali."Ya Allah Mbak, aku mau kabur kemana? Mbak tahu sendiri aku hanya mempunyai kontrakan sepetak, ini juga ngontak. Tidak punya saudara, sebatang kara," jelas Ningroem kepada Mbak Ratna.Ya ampun Mb
Pergi berdua saja dengan suami orang atas izin istri pertama, bagi Ningroem ini sungguh aneh. haruskah Ningroem merasa senang? Ningroem menepis sesaat rasa yang hadir dan yang tak seharusnya ada. Dirinya tidak boleh jatuh cinta sekarang, hanya karena diajak jalan-jalan. Mungkin perasaan itu hadir karena sepanjang hidup Ningroem bersama dengan Bram dulu, tidak pernah sekalipun di ajak jalan-jalan. Sepanjang hari Ningroem hanya menghabiskan waktunya di rumah saja. Mengurus urusan sumur, kasur dan dapur. Suami orang yang bersamanya kini bersikap baik padanya. tidak ajang aji mumpung main peluk dan cium sesukanya. Malah terkesan canggung layaknya hanya teman biasa. Bicara juga hanya seperlunya saja. Ningroem sepenuhnya sadar siapa dirinya. Ningroem hanya ingin menjaga hubungan baiknya dengan Ratna tidak ada niat untuk mengambil Dani. Walaupun setelah bersamanya beberapa jam meninggalkan kesan yang aneh di dalam relung hati Ningroem. Rasanya suami orang itu sanggup menutup lubang di
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Ningroem memalingkan tatapannya dari penjual pop es. Wanita itu tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Bram di wahana bermain. "E—eee, sama anak-anak," sahut Ningroem tergagap. Pria itu melangkah mendekati Ningroem. "Sama anak-anak!" Pria itu tertegun untuk sesaat karena tidak melihat Fahmi dan juga Denis ikut bersamanya. "Mereka ada di dalam sedang bermain," jelas Ningroem. "Aku membeli makanan untuk mereka karena takut merekaerasa lapar karena capek asyik bermain," pungkas Ningroem kemudian. "Ohh, boleh Mas ikut bergabung?" Belum sempat menjawab pertanyaan Bram, ibu penjual pop es memberikan tiga gelas pop es yang dipesannya. Ningroem menerima dan membayar pesanannya. "Boleh, kamu kan ayahnya." Bram mensejajarkan langkahnya dengan langkah Ningroem, wanita itu berhenti di penjual sosis untuk mengambil pesanannya. Setelah melangkah beberapa langkah Ningroem berhenti di Abang penjual martabak tadi ia juga memesan martabak manis dengan toping keju untuk dirin
"Mas, tunggu dulu. Aku takut."Dani melumat bibir Ningroem, "Mas akan melakukan dengan hati-hati."Ningroem merasa tegang, ini hari pertama setelah dirinya melahirkan rasanya miliknya merasa seperti perawan kembali rapat karena sudah di jahit. Wanita itu takut melakukan hubungan badan seperti saat memulai malam pertama."Jangan tegang," ucap Dani berbisik di telinga Ningroem, hingga membuat sekujur tubuhnya merinding. Ningroem menarik nafas dalam menghembuskannya perlahan . Wanita itu betul-betul takut dan tegang hingga. Dirinya tidak bisa menikmati pergulatan pertamanya, hanya fokus untuk menghilangkan rasa sakit saat memulainya."Mas, pelan, aku takut jahitannya robek.""Hem, kau seperti perawan. Dek." Kesat dan sempit sekali."Ningroem tersipu, Dani menaikturunkan tubuh di atas Ningroem. Wanita yang berada di bawah kunjungannya semakin erat meremas sprei menahan sakit. Namun, sesaat kemudian rasa cermas dan takut berangsur hilang tergantikan oleh nikmatnya hentakan yang di berikan
"Maksud Mas, apa?" Ratna merasa tak mengerti dengan perkataan Suaminya. "Ah, sudah lah lupakan kata-kata Mas, barusan." Dani tak ingin membuat hati Ratna gundah sehingga, pria itu meninggalkan Ratna yang masih berdiri mematung di hadapannya. Dani melangkah menuju box bayi yang di dalamnya terbaring putra kecilnya yang lucu. Dalam hati ia merasa kasihan pada Ningroem yang harus mengalah. Merelakan bayinya untuk tetap berada di sini. Tentu saat ini Ningroem sedang bersedih saat ini. Tidak ada teman untuk berbagi. Dani menyentuh pipi Yuda dengan telunjuknya, "Anak ayah baik-baik disini, ya bersama bunda Ratna." Dani berbicara pada Bayi Yuda yang tertidur dengan pulasnya. "Yang malam ini bolehkah aku menemani Ningroem? Pasti ia sangat sedih harus berpisah dengan bayinya." Dani meminta izin pada Ratna untuk menemani Ningroem istri keduanya. "Silahkan saja kalau pun tak kembali ke sini aku rela, karena aku sudah menukarmu dengan Yuda." "Apa, Yank. Memangnya aku barang yang bisa k
Sepulang dari pasar Dani menyempatkan untuk membeli kue, teringat akan Ningroem sedari tadi hatinya berdebar-debar terus. Dani tidak mengerti padahal dia tidak merasa sakit atau pun tidak enak badan. Apakah ada yang salah dengan jantungnya sehingga detaknya tidak seperti biasanya. Dani tidak memperdulikan detak jantungnya. Nanti juga kembali normal seperti biasa, kemarin juga sempat berdebar tetapi hilang dengan sendirinya. Semoga hari ini pun jantungnya baik-baik saja. Dani terus memacu motor maticnya hingga sampai di sebuah toko kue, setelah memarkirkan motornya pria itu turun melangkah masuk. Dani melihat-lihat aneka kue yang berderet rapi di meja, juga di etalase. "Mbak, saya mau ini dua." Tunjuk Dani pada kue brownies yang berbaris di etalase toko. Pegawai segera mengemas kue yang di minta Dani, setelah mengemasnya Dani segera membayarnya di kasir. Hari sudah semakin sore ketika Dani keluar dari toko kue tersebut. Baru saja hendak keluar dari toko tiba-tiba hujan turun de
Pagi harinya Ningroem merasa terbebas dari rasa meriang yang menyerangnya tadi malam, kini Kedua gunungnya meneteskan ASI dengan lancar. Hingga membasahi Bra, tembus ke baju yang dikenakannya. Jika orang lain tak pernah pakai Bra ketika memberikan ASI pada anaknya. Lain halnya dengan dirinya yang risih jika harus berpakaian tanpa Bra apalagi dua gunungnya terlihat menjulang padat dan meneteskan ASI hingga bajunya basah. Ningroem lebih nyaman mengganti sumpalan pada kedua Bra-nya dari pada bajunya harus basah terkena Air ASI-nya yang meninggal bau amis. Singkat cerita sudah dua bulan Ningroem berada di rumah Ratna. Ningroem merasa dirinya sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa lagi. Ningroem memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ratna, untuk membicarakan sesuatu hal yang penting menyangkut dirinya dan juga putranya yang diberi nama oleh Ratna, Yuda putra Pratama. "Masuk!" Ningroem menekan gagang pintu untuk membuka pintu, melangkah masuk. Ratna yang sedang menyisir r
Ningroem tidak dapat lagi membendung air matanya. Ia menangis terisak di dalam mobil. Dirinya tak menyangka akan berpisah dengan anak dalam waktu dekat. Bayinya masih sangat kecil masih sangat membutuhkan dirinya. Tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk Yuda. Anak yang baru berusia dua bulan darah dagingnya sendiri dari lelaki yang menjadi Suaminya. Pak supir yang tak tega mencoba menghibur Ningroem. "Sabar Mbak, segala sesuatu tentunya ada balasannya. Aku juga tak menyangka jika Bu Ratna akan berbuat nekat seperti ini. Menyuruh Mbak untuk meninggalkan bayimu di sini." Ningroem tidak menanggapi ucapan pak supir di depannya. Hatinya masih sangat pilu mengingat bayinya yang ia tinggalkan di rumah Ratna. Sang supir pun tidak sakit hati karena ucapannya tidak mendapatkan tanggapan. Ia sangat paham pada wanita yang duduk di jok belakang. Pak supir bersimpati padanya tetapi tidak ia bisa berbuat apa-apa sehingga sang supir hanya fokus lagi ke jalan raya yang berada di depannya. "
Pagi harinya ketika Adzan subuh berkumandang, Ningroem memberanikan diri untuk membersihkan badannya yang lengket. Ningroem tidak ingin membangunkan Ratna yang masih tertidur pulas, bersama ibunya di tempat tidur sebelah yang kosong karena tidak ada Pasien lain. Sedangkan Dani tidur di atas tikar yang dibawanya dari rumah. Ningroem melihat sekilas pada box bayi yang ada di samping tempat tidurnya. Dilihatnya bayinya masih tertidur pulas. Ia pun perlahan beranjak dari tempatnya semula. Berjalan pelan menuju kamar mandi, yang masih ada di pojok kamarnya. Karena tangan Ningroem tidak di infus. Ia menjadi lebih leluasa untuk melakukan aktivitasnya. Hanya saja bagian intinya yang masih terasa sakit Karena baru satu hari melahirkan. Ningroem memasuki kamar mandi dengan hati-hati. Kemudian melepaskan pakaiannya satu-persatu dari tubuhnya. Menghidupkan kran air, membasuh tubuhnya dari kepala hingga badannya sesuai nasehat yang diberikan Ibunya ketika ia melahirkan anak pertamanya. "Ndok j