"Mas, tunggu dulu. Aku takut."Dani melumat bibir Ningroem, "Mas akan melakukan dengan hati-hati."Ningroem merasa tegang, ini hari pertama setelah dirinya melahirkan rasanya miliknya merasa seperti perawan kembali rapat karena sudah di jahit. Wanita itu takut melakukan hubungan badan seperti saat memulai malam pertama."Jangan tegang," ucap Dani berbisik di telinga Ningroem, hingga membuat sekujur tubuhnya merinding. Ningroem menarik nafas dalam menghembuskannya perlahan . Wanita itu betul-betul takut dan tegang hingga. Dirinya tidak bisa menikmati pergulatan pertamanya, hanya fokus untuk menghilangkan rasa sakit saat memulainya."Mas, pelan, aku takut jahitannya robek.""Hem, kau seperti perawan. Dek." Kesat dan sempit sekali."Ningroem tersipu, Dani menaikturunkan tubuh di atas Ningroem. Wanita yang berada di bawah kunjungannya semakin erat meremas sprei menahan sakit. Namun, sesaat kemudian rasa cermas dan takut berangsur hilang tergantikan oleh nikmatnya hentakan yang di berikan
Ningroem memalingkan tatapannya dari penjual pop es. Wanita itu tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Bram di wahana bermain. "E—eee, sama anak-anak," sahut Ningroem tergagap. Pria itu melangkah mendekati Ningroem. "Sama anak-anak!" Pria itu tertegun untuk sesaat karena tidak melihat Fahmi dan juga Denis ikut bersamanya. "Mereka ada di dalam sedang bermain," jelas Ningroem. "Aku membeli makanan untuk mereka karena takut merekaerasa lapar karena capek asyik bermain," pungkas Ningroem kemudian. "Ohh, boleh Mas ikut bergabung?" Belum sempat menjawab pertanyaan Bram, ibu penjual pop es memberikan tiga gelas pop es yang dipesannya. Ningroem menerima dan membayar pesanannya. "Boleh, kamu kan ayahnya." Bram mensejajarkan langkahnya dengan langkah Ningroem, wanita itu berhenti di penjual sosis untuk mengambil pesanannya. Setelah melangkah beberapa langkah Ningroem berhenti di Abang penjual martabak tadi ia juga memesan martabak manis dengan toping keju untuk dirin
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Ningroem mengetuk pintu rumah ibu mertuanya dengan tangannya sendiri. Tangannya gemetar, hatinya berdebar tak menentu. Dalam hati Ningroem merasa takut untuk menemui Bram. Tetapi karena didukung dengan keadaannya sekarang yang tak jelas. Ia harus berani untuk menentukan nasibnya, juga nasib kedua anaknya. Ningroem sudah mengetuk pintu berkali-kali. Namun, tidak ada tanda jika pintu akan terbuka. Entah beliau pergi kemana atau mungkin beliau sedang tidur siang sehingga tidak mendengar ketukan di pintu. Ningroem masih mematung di depan pintu. Wanita berlesung Pipit itu sedikit melamun, ia teringat pada nasib kedua anaknya. Fahmi sudah satu hari di sini, anak sulungnya diambil darinya tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Ningroem baru sempat menemuinya sekarang karena ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Suaminya ---Bram sudah satu bulan tidak pulang ke rumah menelantarkan dirinya juga anak bungsunya. Wanita berlesung Pipit masih diam saja. Sebenarnya Ningroem sengaja diam saja s
Pada akhirnya buliran bening meluncur dengan derasnya, Ningroem terisak sehingga Fahmi —anaknya memeluk dirinya. "Mama kenapa kok menangis," ucapnya polos tidak paham dengan apa yang terjadi. "Tidak apa-apa mama hanya sedih tidak bisa bersama Aa lagi, tapi Mama usahakan akan sering datang kesini untuk bertemu Aa." Mungkin Fahmi tidak mengerti dengan ucapannya, dia hanya memandangi wajah ibunya saja, Ningroem memberikan uang 20.000 rupiah ke tangannya. "Aa ini buat jajan, jangan di jajanin semua, ya? kembaliannya kasih ke nenek buat besok jajan lagi." Ningroem memeluk anaknya sekali lagi mencium kening, mengacak rambutnya pelan. Ia pasti akan sangat merindukannya nanti jika harus tinggal terpisah. "Mama tidak menginap di sini?" tanya putra sulungnya yang tidak tahu dengan pertengkaran yang baru saja terjadi di dalam. "Tidak Aa, Mama kan harus kerja, jika harus berangkat dari sini Mama kejauhan. Capek," jelas Ningroem. "Oh, iya." Fahmi manggut-manggut seolah paham dengan penje
Setelah selesai mengerjakan tugas nguli nyuci gosok, Ningroem melangkahkan kakinya menuju ke tempat Yesi, yang masih asyik bermain tepung dan mikser. "Mbak," aku menepuk pundaknya pelan. Otomatis Yesi yang sedang serius terperanjat untungnya adonan tidak tumpah. "Ih Mbak, ada apa kaget aku?" Melirik Ningroem yang berdiri di belakangnya sesaat. Kemudian fokus kembali pada adonan kue yang sedang di buatnya. "Serius banget sih," gurau Ningroem terkekeh. "Kalau gak serius bisa gagal adonannya." "Aku pamit pulang duluan, ya?" "Ya, aku ngerti kok, kamu bimbang dengan anakmu 'kan?" Yesi balik bertanya. "Ya," sahut Ningroem singkat kemudian berlalu dari hadapan Yesi. Ningroem meninggalkan tempat itu, setelah berpamitan terlebih dahulu kepada majikannya, yang kebetulan ada ditempat itu sedang mengawasi para pegawai. Yang sedang membuat kue dan roti. Bu Halimah mengambil dua buah roti yang sudah di kemas plastik, diserahkannya ketangan Ningroem. Dengan senang hati wanita berlesung pipi
Jika keadaannya demikian rasanya nggak mungkin Mbak Ratna bisa hamil. kasihan sungguh nasib kedua pasangan ini. Ningroem membatin dalam hati. Kenapa juga aku memikirkannya? Nasibku juga sama menyedihkannya dengan mereka. hanya berbeda permasalahannya saja. Setiap-tiap orang pasti punya masalah. Tinggal bagaimana caranya diri kita untuk menyingkapi masalah tersebut dengan baik. Aku juga mengambil keputusan sebagai janda karena menurutku baik. Baik untukku namun, tidak untuk anakku. Tapi, ya memang tidak ada lagi jalan selain ini. Lagi-lagi Ningroem berbicara dengan hatinya sendiri. Membatin sembari berjalan tak terasa akhirnya ia sampai juga di tempat kerjanya. Ningroem membuka pintu gerbang yang tidak di kunci. Ia langsung menuju ke tempatnya kerja di bagian belakang. Ningroem langsung memisahkan pakaian yang berwarna dan yang putih untuk di giling, sedangkan yang kemarin kering siap untuk di gosok. Ningroem langsung menata pakaian kering di atas meja gosok, kemudian mulai mengg
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Mendengar penuturan Ratna, Ningroem langsung mengajak kedua anaknya untuk berpamitan. Rasanya Ningroem tidak sanggup jika terus disalahkan. Satu tahun kemudian. Tok! tok! tok! Terdengar suara ketukan pintu, Ningroem segera bangkit dari duduknya yang sedang memainkan ponselnya. Wanita itu sedang menatap gambar putranya Yuda di layar ponsel. Ningroem merasa rindu. Namun, ia tidak berani untuk bertamu ke rumah Ratna. Karena Ratna sudah melarangnya tempo hari. Sehingga Ningroem hanya bisa menahan rindu. Wanita itu hanya bisa mendoakannya dari jauh. Terlihat di depan pintu seorang pria telah berdiri. "Pak Surya, tunggu sebentar saya ambil dulu botol susunya." "Tunggu Mbak," tahan lelaki paruh baya menghentikan langkah kaki Ningroem. Ningroem membalikan tubuhnya menghadap pak Surya. "Ada apa pak?" "Saya disuruh ibunya Non Ratna untuk mengabarkan jika Mbak Ratna telah berpulang." "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak Ratna sakitkah?" Ningroem terkejut dengan berita yang baru
Ningroem memalingkan tatapannya dari penjual pop es. Wanita itu tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Bram di wahana bermain. "E—eee, sama anak-anak," sahut Ningroem tergagap. Pria itu melangkah mendekati Ningroem. "Sama anak-anak!" Pria itu tertegun untuk sesaat karena tidak melihat Fahmi dan juga Denis ikut bersamanya. "Mereka ada di dalam sedang bermain," jelas Ningroem. "Aku membeli makanan untuk mereka karena takut merekaerasa lapar karena capek asyik bermain," pungkas Ningroem kemudian. "Ohh, boleh Mas ikut bergabung?" Belum sempat menjawab pertanyaan Bram, ibu penjual pop es memberikan tiga gelas pop es yang dipesannya. Ningroem menerima dan membayar pesanannya. "Boleh, kamu kan ayahnya." Bram mensejajarkan langkahnya dengan langkah Ningroem, wanita itu berhenti di penjual sosis untuk mengambil pesanannya. Setelah melangkah beberapa langkah Ningroem berhenti di Abang penjual martabak tadi ia juga memesan martabak manis dengan toping keju untuk dirin
"Mas, tunggu dulu. Aku takut."Dani melumat bibir Ningroem, "Mas akan melakukan dengan hati-hati."Ningroem merasa tegang, ini hari pertama setelah dirinya melahirkan rasanya miliknya merasa seperti perawan kembali rapat karena sudah di jahit. Wanita itu takut melakukan hubungan badan seperti saat memulai malam pertama."Jangan tegang," ucap Dani berbisik di telinga Ningroem, hingga membuat sekujur tubuhnya merinding. Ningroem menarik nafas dalam menghembuskannya perlahan . Wanita itu betul-betul takut dan tegang hingga. Dirinya tidak bisa menikmati pergulatan pertamanya, hanya fokus untuk menghilangkan rasa sakit saat memulainya."Mas, pelan, aku takut jahitannya robek.""Hem, kau seperti perawan. Dek." Kesat dan sempit sekali."Ningroem tersipu, Dani menaikturunkan tubuh di atas Ningroem. Wanita yang berada di bawah kunjungannya semakin erat meremas sprei menahan sakit. Namun, sesaat kemudian rasa cermas dan takut berangsur hilang tergantikan oleh nikmatnya hentakan yang di berikan
"Maksud Mas, apa?" Ratna merasa tak mengerti dengan perkataan Suaminya. "Ah, sudah lah lupakan kata-kata Mas, barusan." Dani tak ingin membuat hati Ratna gundah sehingga, pria itu meninggalkan Ratna yang masih berdiri mematung di hadapannya. Dani melangkah menuju box bayi yang di dalamnya terbaring putra kecilnya yang lucu. Dalam hati ia merasa kasihan pada Ningroem yang harus mengalah. Merelakan bayinya untuk tetap berada di sini. Tentu saat ini Ningroem sedang bersedih saat ini. Tidak ada teman untuk berbagi. Dani menyentuh pipi Yuda dengan telunjuknya, "Anak ayah baik-baik disini, ya bersama bunda Ratna." Dani berbicara pada Bayi Yuda yang tertidur dengan pulasnya. "Yang malam ini bolehkah aku menemani Ningroem? Pasti ia sangat sedih harus berpisah dengan bayinya." Dani meminta izin pada Ratna untuk menemani Ningroem istri keduanya. "Silahkan saja kalau pun tak kembali ke sini aku rela, karena aku sudah menukarmu dengan Yuda." "Apa, Yank. Memangnya aku barang yang bisa k
Sepulang dari pasar Dani menyempatkan untuk membeli kue, teringat akan Ningroem sedari tadi hatinya berdebar-debar terus. Dani tidak mengerti padahal dia tidak merasa sakit atau pun tidak enak badan. Apakah ada yang salah dengan jantungnya sehingga detaknya tidak seperti biasanya. Dani tidak memperdulikan detak jantungnya. Nanti juga kembali normal seperti biasa, kemarin juga sempat berdebar tetapi hilang dengan sendirinya. Semoga hari ini pun jantungnya baik-baik saja. Dani terus memacu motor maticnya hingga sampai di sebuah toko kue, setelah memarkirkan motornya pria itu turun melangkah masuk. Dani melihat-lihat aneka kue yang berderet rapi di meja, juga di etalase. "Mbak, saya mau ini dua." Tunjuk Dani pada kue brownies yang berbaris di etalase toko. Pegawai segera mengemas kue yang di minta Dani, setelah mengemasnya Dani segera membayarnya di kasir. Hari sudah semakin sore ketika Dani keluar dari toko kue tersebut. Baru saja hendak keluar dari toko tiba-tiba hujan turun de
Pagi harinya Ningroem merasa terbebas dari rasa meriang yang menyerangnya tadi malam, kini Kedua gunungnya meneteskan ASI dengan lancar. Hingga membasahi Bra, tembus ke baju yang dikenakannya. Jika orang lain tak pernah pakai Bra ketika memberikan ASI pada anaknya. Lain halnya dengan dirinya yang risih jika harus berpakaian tanpa Bra apalagi dua gunungnya terlihat menjulang padat dan meneteskan ASI hingga bajunya basah. Ningroem lebih nyaman mengganti sumpalan pada kedua Bra-nya dari pada bajunya harus basah terkena Air ASI-nya yang meninggal bau amis. Singkat cerita sudah dua bulan Ningroem berada di rumah Ratna. Ningroem merasa dirinya sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa lagi. Ningroem memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ratna, untuk membicarakan sesuatu hal yang penting menyangkut dirinya dan juga putranya yang diberi nama oleh Ratna, Yuda putra Pratama. "Masuk!" Ningroem menekan gagang pintu untuk membuka pintu, melangkah masuk. Ratna yang sedang menyisir r
Ningroem tidak dapat lagi membendung air matanya. Ia menangis terisak di dalam mobil. Dirinya tak menyangka akan berpisah dengan anak dalam waktu dekat. Bayinya masih sangat kecil masih sangat membutuhkan dirinya. Tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk Yuda. Anak yang baru berusia dua bulan darah dagingnya sendiri dari lelaki yang menjadi Suaminya. Pak supir yang tak tega mencoba menghibur Ningroem. "Sabar Mbak, segala sesuatu tentunya ada balasannya. Aku juga tak menyangka jika Bu Ratna akan berbuat nekat seperti ini. Menyuruh Mbak untuk meninggalkan bayimu di sini." Ningroem tidak menanggapi ucapan pak supir di depannya. Hatinya masih sangat pilu mengingat bayinya yang ia tinggalkan di rumah Ratna. Sang supir pun tidak sakit hati karena ucapannya tidak mendapatkan tanggapan. Ia sangat paham pada wanita yang duduk di jok belakang. Pak supir bersimpati padanya tetapi tidak ia bisa berbuat apa-apa sehingga sang supir hanya fokus lagi ke jalan raya yang berada di depannya. "
Pagi harinya ketika Adzan subuh berkumandang, Ningroem memberanikan diri untuk membersihkan badannya yang lengket. Ningroem tidak ingin membangunkan Ratna yang masih tertidur pulas, bersama ibunya di tempat tidur sebelah yang kosong karena tidak ada Pasien lain. Sedangkan Dani tidur di atas tikar yang dibawanya dari rumah. Ningroem melihat sekilas pada box bayi yang ada di samping tempat tidurnya. Dilihatnya bayinya masih tertidur pulas. Ia pun perlahan beranjak dari tempatnya semula. Berjalan pelan menuju kamar mandi, yang masih ada di pojok kamarnya. Karena tangan Ningroem tidak di infus. Ia menjadi lebih leluasa untuk melakukan aktivitasnya. Hanya saja bagian intinya yang masih terasa sakit Karena baru satu hari melahirkan. Ningroem memasuki kamar mandi dengan hati-hati. Kemudian melepaskan pakaiannya satu-persatu dari tubuhnya. Menghidupkan kran air, membasuh tubuhnya dari kepala hingga badannya sesuai nasehat yang diberikan Ibunya ketika ia melahirkan anak pertamanya. "Ndok j