Hari itu Agni masih dalam suasana berkabung. Kehilangan orang-orang tercinta yang ada di sekitar membuatnya merasakan kesunyian dan kesendirian. Meskipun begitu, Agni sudah mulai bisa tersenyum kembali. Dia benar-benar wanita tangguh yang mampu bertahan dalam kemalangan yang terus menimpanya.
Walaupun dia sudah mulai bangkit untuk melanjutkan hidupnya, dia tetap merindukan anak-anak jalanan yang selalu diam-diam mengikutinya di belakang. Mereka yang selalu diam-diam melindungi dan menjaga Agni dari jauh. Hari itu saat Agni sedang berjalan perlahan masuk ke dalam sebuah gang. Agni mendengar suara sepatu yang mendekatinya. Hal itu membuatnya sangat khawatir. Terlihat dengan cara dia menggenggam erat tongkat yang sedang dia pegang. "Bau wangi ini?" guman Agni mulai mengendus bau wangi parfum yang tidak asing baginya dan membuatnya semakin curiga, "Tuan yang baik hati, apakah kau ada di sini?" Agni tersenyum manis dengan pandangan kosong. "Kau menyebutku apa tadi?" "Tuan yang baik hati. Apakah kau tidak menyukainya?" "Ehm ... aku menyukainya. Sangat menyukainya dan itu terdengar begitu manis di telingaku." Yosua melangkah mendekati Agni yang pandangannya kosong terlihat sedang mencari sesuatu dengan mengandalkan pendengarannya. "Anda sudah tiga kali menolongku. Anda pasti orang yang baik hati," ujar Agni sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang begitu indah dan membuatnya terlihat semakin cantik. "Bagaimana kau bisa tahu? Kau 'kan buta?" kata pria gagah nan tampan berjalan lebih mendekat lagi pada Agni. "Bau wangi parfum itu yang membuatku bisa mengenalimu." "Jika begitu, aku akan mengganti parfumku besok!" "Mungkin aku akan tetap bisa mengenali anda, tuan. Entah mengapa aku merasakan ada ikatan batin dengan anda yang sangat kuat dan aku bisa merasakan kehadiran anda di sekitarku." Melihat senyum yang terpancar dari wajah Agni membuat Yosua semakin heran pada wanita tersebut, "Bagaimana kau bisa tersenyum setelah kejadian kemarin sore?" tanya Yosua sembari menatap mata Agni begitu pekat. Yosua terpesona dengan keindahan mata yang dimiliki oleh wanita itu. Walaupun Agni buta, tapi dia di anugerahi dua bola mata yang sangat indah. Keindahan mata Agni yang dalam sekejap bisa menyembunyikan luka yang tengah dia rasa. "Karena aku hanya bisa tersenyum tanpa melihat. Mungkin jika aku bisa melihat, aku tidak akan bisa melupakan kejadian nahas kemarin sore. Mungkin sampai sekarang peristiwa itu akan terus terngiang-ngiang dalam benakku. Beruntung karena aku buta jadi aku bisa perlahan bangkit dan melupakan peristiwa itu. Hanya dengan tersenyum rasa sakit itu sedikit memudar," ucap Agni sambil berjalan mendekati dan mencari keberadaan pria itu lewat sumber suaranya. Yosua menyadari jika Agni sedang mencarinya, Yosua menarik pinggang ramping Agni dan menariknya agar lebih dekat dengannya, "Tuan, boleh aku menyentuh wajahmu," tanya Agni dengan mantap. Yosua menarik kedua tangan Agni dan meletakkan kedua tangan itu di pipinya. Dengan jarak yang begitu dekat, Agni mulai meraba wajah Yosua. Pria tampan itu menatap tajam kedua mata yang ada di depannya. Tatapan yang kosong, akan tetapi membawa kedamaian. Yosua mempererat pelukannya. "Kenapa kau sangat ingin menyentuh wajahku? Apakah kau tidak takut denganku?" Suara deep bariton menggema di rongga telinga Agni. "Tidak. Aku tidak takut denganmu. Justru aku penasaran dengan sosok pria yang sudah tiga kali menolong nyawaku," terang Agni sambil terus meraba merasakan dan menghapal kan lekuk-lekuk wajah Yosua. Kulit wajah yang halus dari pria yang tengah mendekapnya, "Tuan, anda punya hidung yang sangat mancung, mata yang indah, kulit yang halus, dagu yang indah serta bibir yang-----" Agni mengurungkan niatnya untuk menyentuh bibir Yosua dan dia pun menarik tangannya. "Kenapa? Kenapa dengan bibirku? Kenapa kau tidak jadi meyentuhnya?" senyuman smirk menghias bibir Yosua sambil menatap wajah cantik Agni yang polos. "Maaf, tuan. Aku sudah tidak sopan," cicit Agni dengan nada gugup. Dia merasakan degup jantungnya sangat cepat, Agni tidak bisa menyembunyikan rasa malunya karena grogi. Hal itu terlihat dari pipinya yang memerah seperti tomat. Berbeda dengan Yosua yang semakin menarik pinggang Agni dan membuat tubuh mereka berdua bertabrakan. Agni semakin tidak bisa mengatur rasa gugupnya, dia mengalihkan wajahnya dan tiba-tiba dia merasakan haus yang cukup luar biasa. "Siapa namamu?" tanya Yosua sambil berbisik pada telinga Agni. "Na-namaku Ang-gara." "Anggara? Bukankah itu nama cowok?" "Ang-Anggara Agni," terangnya dengan nada gugup. Entah kenapa saat mendengar nama panjang Agni, Yosua tercengang dan langsung melepaskan pelukannya. Hal itu membuat Agni menggerakkan kepalanya serta memasang telinganya lebih tajam, "Lalu siapa nama anda, tuan?" tanyanya membuat Yosua menarik napas panjang dan kembali mendekati wanita buta itu. "Aksa. Namaku Aksa," bisiknya di telinga Agni. Deru napas Yosua yang hangat membuat Agni merinding. "Aksa? Sungguh nama yang terdengar sangat imut, tapi sepertinya tidak sesuai dengan karakter anda yang sangat maskulin." Mendengar kalimat yang baru dilontarkan oleh Agni membuat Yosua mengerutkan kedua alisnya, "Kalau begitu ajari aku menjadi sosok pria yang imut, seperti yang kau bilang tadi." Agni tersenyum sumringat saat mendengarkan penuturan dari pria yang baru beberapa hari dia kenal. Dia seperti baru saja menemukan teman baru. Menurutnya, Yosua adalah teman yang akan selalu menemaninya dan dia juga berharap jika Aksa tidak akan meninggalkan seperti teman-temannya yang sebelumnya. Namun, pada kenyataannya Agni belum tahu siapa Aksa yang sebenarnya. Aksa adalah Yosua Aksara, pria yang sama yang tengah menjadi buronan polisi. Seusai perkenalan manis itu, Yosua mengantarkan Agni pulang ke rumahnya. Mereka berdua berjalan di bawah pengawasan pengawal yang ketat, yang mengawasi keduanya dari kejauhan agar orang-orang tidak mencurigainya. Agni begitu bahagia saat tangannya dipegangi oleh Yosua yang menuntunnya untuk berjalan. Dalam perjalanan mereka terlibat percakapan yang asik, "Bagaimana bisa kau bertahan hidup sendirian selama ini tanpa penuntun jalan? Kau hanya mengandalkan tongkat kecil itu," tanya Yosua sambil melirik Agni yang berada lebih rendah darinya. "Sungguh ajaib, bukan? Aku pun tidak menyangka akan bertahan hidup hingga sekarang tanpa di dampingi oleh siapapun." "Memangnya di mana keluargamu?" Saat mendengar pertanyaan dari Yosua, Agni menundukkan kepalanya, "Mereka----aku sungguh tidak ingin mengingat kejadian pahit itu. Yang jelas mereka semua telah berkumpul di surga dan sedang menungguku, karena aku masih diberi kesempatan hidup di dunia ini sampai sekarang." Agni kembali mengangkat kepalanya dan terenyum. Hal itu sungguh membuat Yosua semakin bingung. Yosua merasa tidak asing dengan nama Anggara Agni dan itu tidak ingin membuat Yosua mengalihkan pandangannya pada Agni. Angin meniup anak rambut Agni dan itu membuatnya semakin terlihat cantik. Paduan senyuman yang manis dan sorot mata yang teduh membuat damai siapapun yang melihatnya. Pesona Agni seakan menyihir siapa saja yang melihatnya. Hal itu juga tidak bisa dipungkiri lagi oleh Yosua jika pria tampan itu telah jatuh cinta pada gadis tuna netra tersebut.Malam semakin larut. Kemudian Agni diantar Yosua pulang, "Aku pamit pulang." "Baiklah, hati-hati di jalan," sahut Agni tersenyum sambil melambaikan tangannya entah ke arah mana Agni melambaikannya, tapi Yosua sangat memaklumi. Pria itu berjalan pergi meninggalkan rumah Agni, tapi dari kejauhan Yosua kembali menoleh dan menatap Agni yang masih berdiri di depan pintu rumah dengan tatapan kosongnya. Yosua mengamati Agni dengan seksama sebelum akhirnya wanita itu memperlihatkan kesedihannya dengan air mata yang jatuh di pipinya. Hal itu membuat Yosua terkejut dan tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bertepatan dengan itu, ada seorang pemuda yang lewat di sekitar sana dan terlihat terkejut saat melihat kehadiran Yosua di rumah susun tersebut. "Yo-Yosua Ak-sara ...." Suara itu terdengar gugup dan takut. Merasa terganggu dengan pemuda tadi, Yosua segera menarik leher pemuda tersebut dan mematahkan lehernya. Yosua melakukan hal itu tanpa basa-basi. KREEEKK! "Aaargh!" "Siapa itu? Ada ap
Yosua menatap tajam pada Clara. Pria itu paham apa yang dimaksud dengan gadis yang sedang berdiri di depannya. Namun, hal itu sepertinya membuat Yosua tidak berkutik. Kenapa?Sang mafia itu memang tidak begitu suka dekat dengan wanita. Dia selalu menjaga jarak dengan wanita, tapi hal itu tidak berlaku pada Agni."Ah, sial!" umpat Yosua pelan. Justru Yosua terjebak dengan kata-katanya sendiri. "Kenapa juga harus mabuk sih!" Menyalahkan diri sendiri."Bagaimana?" tanya Clara penasaran karena dari tadi tidak ada jawaban dari Yosua. "Apa ucapan anda yang tadi masih berlaku?" lanjutnya memancing Yosua."Aahh!" Yosua memegang kepalanya dan memberi isyarat. Bukan karena akting atau apa, tapi memang dia sering merasakan sakit kepala setelah banyak minum alkohol.Beberapa pengawal mendekati sang tuan untuk menenangkannya. Setelah beberapa menit barulah beberapa anak buahnya menyuruh Clara untuk berdiri agak menjauh dari tempat Yosua.Sejujurnya Clara juga tidak ingin dipermainkan dan malam itu
Agni pun menanyakan soal kedatangan Reynar yang terlalu pagi. Tidak biasanya polisi muda itu datang ke rumah di jam 6 pagi. Paling pagi sekitar jam 7-an. Hal itu mengundang rasa heran pada diri Agni. "Hmm ... sebenarnya tidak ada kabar apapun. Aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu," "Sesuatu? Apa soal donor mata?" tebak Agni. "Soal donor mata." Reynar menatap Agni yang pandangannya kosong menerawang ke depan. "Belum ada yang cocok dengan matamu. Mungkin akan butuh waktu lama untuk mencari yang cocok, tapi jika sudah menemukan yang cocok, dokter akan segera mengabariku," lanjut Reynar menjelaskan. Agni menarik napas panjang dan tangannya mencoba meraih cangkir yang ada di atas nakas. Melihat hal itu, Reynar bergerak untuk membantu mengambil cangkir dan menyerahkan pada Agni. Reynar menegangkan cangkir itu ke tangan Agni, "Terima kasih, Rey. Maaf, aku terus merepotkan mu." Agni menenggak teh hangat itu pelan-pelan karena masih sedikit panas. "Bagaimana?" tanya Reynar.
Wajah Agni terlihat panik dengan tatapan kosong, dia terus berusaha melangkahkan kedua kakinya walaupun memang terlihat sangat kesulitan. Beberapa kali Agni hampir terjatuh karena tersandung sesuatu yang tidak dia lihat dan tangan kanannya bergerak aktif meraba-raba.Pun jauh di sana, suara itu sangat terdengar begitu menakutkan bagi Agni dan seakan membuat jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat."Kenapa jalanmu begitu cepat, sayang?" Suara itu begitu nyaring terdengar dan menggema seakan berada di dalam ruang yang kosong. Mereka berdua memang sedang berada di sebuah area tempat yang sudah lama tidak dipakai. Entah bagaimana ceritanya Agni bisa sampai di sana dan bahkan sekarang sedang dalam keadaan tertekan dan ketakutan."Ti-tidak! Pergi menjauh dariku!" Getaran suara yang keluar dari mulut Agni membuat si pria itu tertawa nyaring. Walaupun jarak itu belum terlalu dekat."Hahaha ... dari suaramu itu kau terlihat cukup ketakutan, bukan begitu sayang?" Tentu saja pria terse
Anggara Agni, seorang sukarelawan yang tak hanya cantik, tetapi juga pintar memainkan alat musik gitar dan biola. Di samping suaranya sangat bagus, penampilan gadis itu tampak sempurna, terkecuali matanya yang memiliki sedikit kekurangan. Mata Agni begitu teduh, membuat perasaan siapa pun terlena dan terkagum-kagum pada keindahan mata cantiknya. Namun, saat mereka melihatnya berjalan dengan menggunakan tongkat sambil meraba-raba, kekaguman itu lantas berubah menjadi tatap penghinaan."Aku mau bayar sarapanku," ujar Agni sambil merogoh saku untuk mengambil beberapa lembar uang. "Ini uangnya," lanjut Agni sembari memberikan uang dengan nominal yang cukup besar. Setelah kasir menerima uang dari Agni dan gadis itu masih berdiri menunggu di depan kasir dengan memberikan senyum manisnya padahal tatapannya kosong."Tunggu apa lagi? Cepat pergi dari sini!" pekik kasir tersebut."Aku menunggu kembalian uangku tadi," sambung Agni."Tidak ada uang kembalian. Uangmu pas!" elaknya."Tidak mungkin.
Tujuh tahun kehilangan penglihatan membuat Agni hidup dalam kegelapan, akan tetapi dia tidak merasakan frustrasi dalam menjalani hidup yang keras. Agni adalah wanita yang hebat, dia selalu tersenyum walaupun semua orang tahu derita yang dia alami sangat menyakitkan. Dia hanya mengandalkan tongkat dan insting pendengaran serta penciuman. Walaupun hidup sendiri, tapi banyak orang yang peduli padanya. Sebut saja Reynar.Reynar juga membantu mengembangkan bakat Agni dalam bermain biola, gitar, bernyanyi, hingga pernah memenangkan kontes biola. Reynar jugalah yang membayar lunas biaya sewa rumah tinggal Agni. Sedangkan Agni tidak tahu apa alasan Reynar membayar lunas sewa rumahnya. Yang jelas bagi Agni, Reynar sangat berjasa dalam hidup Agni.Sedangkan Nyonya Leikha, ibunda Reynar juga tidak protes ataupun keberatan. Wanita paruh baya itu juga selalu mendukung Agni. Dia termasuk wanita tua yang cerewet menasehati untuk tetap bertahan hidup di tengah keras dan kejamnya dunia ini. Meskipun
Keempat anak buah pria bertato itu mengejar anak jalanan yang tadi melempari bosnya dengan batu. Sebuah balok kayu digunakan keempat anak buah si pria bertato untuk menyabet anak-anak yang memberontak. Sebagian anak lari menghindar, sebagian lagi masih kekeh dan berusaha menolong Agni."Cepat pergi! Jangan hiraukan aku!" Tangis Agni pecah saat mendengar rintihan dan tangisan serta teriakan kesakitan dari beberapa anak-anak jalanan.Meskipun dipukuli ada satu orang anak yang berusaha terus memberontak. Anak itu membawa sebuah batu besar, lalu dihantamkan nya dengan kuat ke arah orang yang tengah mengganggu Agni.Batu itu mengarah tepat di kepala si pria dan mengeluarkan darah."Brengsek! Anak sialan! Pukul anak itu sampai mati!" perintah pria itu."Jangan ... jangan sakiti dia. Aku mohon ...." Suara Agni bergetar saat mendengar teriakan dan rintihan anak jalanan yang paling tua. Anak itulah yang selalu menjadi garda terdepan untuk melindungi Agni."Kak Agni, maafkan aku ...," ucapnya l
Agni pun menanyakan soal kedatangan Reynar yang terlalu pagi. Tidak biasanya polisi muda itu datang ke rumah di jam 6 pagi. Paling pagi sekitar jam 7-an. Hal itu mengundang rasa heran pada diri Agni. "Hmm ... sebenarnya tidak ada kabar apapun. Aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu," "Sesuatu? Apa soal donor mata?" tebak Agni. "Soal donor mata." Reynar menatap Agni yang pandangannya kosong menerawang ke depan. "Belum ada yang cocok dengan matamu. Mungkin akan butuh waktu lama untuk mencari yang cocok, tapi jika sudah menemukan yang cocok, dokter akan segera mengabariku," lanjut Reynar menjelaskan. Agni menarik napas panjang dan tangannya mencoba meraih cangkir yang ada di atas nakas. Melihat hal itu, Reynar bergerak untuk membantu mengambil cangkir dan menyerahkan pada Agni. Reynar menegangkan cangkir itu ke tangan Agni, "Terima kasih, Rey. Maaf, aku terus merepotkan mu." Agni menenggak teh hangat itu pelan-pelan karena masih sedikit panas. "Bagaimana?" tanya Reynar.
Yosua menatap tajam pada Clara. Pria itu paham apa yang dimaksud dengan gadis yang sedang berdiri di depannya. Namun, hal itu sepertinya membuat Yosua tidak berkutik. Kenapa?Sang mafia itu memang tidak begitu suka dekat dengan wanita. Dia selalu menjaga jarak dengan wanita, tapi hal itu tidak berlaku pada Agni."Ah, sial!" umpat Yosua pelan. Justru Yosua terjebak dengan kata-katanya sendiri. "Kenapa juga harus mabuk sih!" Menyalahkan diri sendiri."Bagaimana?" tanya Clara penasaran karena dari tadi tidak ada jawaban dari Yosua. "Apa ucapan anda yang tadi masih berlaku?" lanjutnya memancing Yosua."Aahh!" Yosua memegang kepalanya dan memberi isyarat. Bukan karena akting atau apa, tapi memang dia sering merasakan sakit kepala setelah banyak minum alkohol.Beberapa pengawal mendekati sang tuan untuk menenangkannya. Setelah beberapa menit barulah beberapa anak buahnya menyuruh Clara untuk berdiri agak menjauh dari tempat Yosua.Sejujurnya Clara juga tidak ingin dipermainkan dan malam itu
Malam semakin larut. Kemudian Agni diantar Yosua pulang, "Aku pamit pulang." "Baiklah, hati-hati di jalan," sahut Agni tersenyum sambil melambaikan tangannya entah ke arah mana Agni melambaikannya, tapi Yosua sangat memaklumi. Pria itu berjalan pergi meninggalkan rumah Agni, tapi dari kejauhan Yosua kembali menoleh dan menatap Agni yang masih berdiri di depan pintu rumah dengan tatapan kosongnya. Yosua mengamati Agni dengan seksama sebelum akhirnya wanita itu memperlihatkan kesedihannya dengan air mata yang jatuh di pipinya. Hal itu membuat Yosua terkejut dan tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bertepatan dengan itu, ada seorang pemuda yang lewat di sekitar sana dan terlihat terkejut saat melihat kehadiran Yosua di rumah susun tersebut. "Yo-Yosua Ak-sara ...." Suara itu terdengar gugup dan takut. Merasa terganggu dengan pemuda tadi, Yosua segera menarik leher pemuda tersebut dan mematahkan lehernya. Yosua melakukan hal itu tanpa basa-basi. KREEEKK! "Aaargh!" "Siapa itu? Ada ap
Hari itu Agni masih dalam suasana berkabung. Kehilangan orang-orang tercinta yang ada di sekitar membuatnya merasakan kesunyian dan kesendirian. Meskipun begitu, Agni sudah mulai bisa tersenyum kembali. Dia benar-benar wanita tangguh yang mampu bertahan dalam kemalangan yang terus menimpanya.Walaupun dia sudah mulai bangkit untuk melanjutkan hidupnya, dia tetap merindukan anak-anak jalanan yang selalu diam-diam mengikutinya di belakang. Mereka yang selalu diam-diam melindungi dan menjaga Agni dari jauh. Hari itu saat Agni sedang berjalan perlahan masuk ke dalam sebuah gang. Agni mendengar suara sepatu yang mendekatinya. Hal itu membuatnya sangat khawatir. Terlihat dengan cara dia menggenggam erat tongkat yang sedang dia pegang."Bau wangi ini?" guman Agni mulai mengendus bau wangi parfum yang tidak asing baginya dan membuatnya semakin curiga, "Tuan yang baik hati, apakah kau ada di sini?" Agni tersenyum manis dengan pandangan kosong. "Kau menyebutku apa tadi?""Tuan yang baik hati.
Keempat anak buah pria bertato itu mengejar anak jalanan yang tadi melempari bosnya dengan batu. Sebuah balok kayu digunakan keempat anak buah si pria bertato untuk menyabet anak-anak yang memberontak. Sebagian anak lari menghindar, sebagian lagi masih kekeh dan berusaha menolong Agni."Cepat pergi! Jangan hiraukan aku!" Tangis Agni pecah saat mendengar rintihan dan tangisan serta teriakan kesakitan dari beberapa anak-anak jalanan.Meskipun dipukuli ada satu orang anak yang berusaha terus memberontak. Anak itu membawa sebuah batu besar, lalu dihantamkan nya dengan kuat ke arah orang yang tengah mengganggu Agni.Batu itu mengarah tepat di kepala si pria dan mengeluarkan darah."Brengsek! Anak sialan! Pukul anak itu sampai mati!" perintah pria itu."Jangan ... jangan sakiti dia. Aku mohon ...." Suara Agni bergetar saat mendengar teriakan dan rintihan anak jalanan yang paling tua. Anak itulah yang selalu menjadi garda terdepan untuk melindungi Agni."Kak Agni, maafkan aku ...," ucapnya l
Tujuh tahun kehilangan penglihatan membuat Agni hidup dalam kegelapan, akan tetapi dia tidak merasakan frustrasi dalam menjalani hidup yang keras. Agni adalah wanita yang hebat, dia selalu tersenyum walaupun semua orang tahu derita yang dia alami sangat menyakitkan. Dia hanya mengandalkan tongkat dan insting pendengaran serta penciuman. Walaupun hidup sendiri, tapi banyak orang yang peduli padanya. Sebut saja Reynar.Reynar juga membantu mengembangkan bakat Agni dalam bermain biola, gitar, bernyanyi, hingga pernah memenangkan kontes biola. Reynar jugalah yang membayar lunas biaya sewa rumah tinggal Agni. Sedangkan Agni tidak tahu apa alasan Reynar membayar lunas sewa rumahnya. Yang jelas bagi Agni, Reynar sangat berjasa dalam hidup Agni.Sedangkan Nyonya Leikha, ibunda Reynar juga tidak protes ataupun keberatan. Wanita paruh baya itu juga selalu mendukung Agni. Dia termasuk wanita tua yang cerewet menasehati untuk tetap bertahan hidup di tengah keras dan kejamnya dunia ini. Meskipun
Anggara Agni, seorang sukarelawan yang tak hanya cantik, tetapi juga pintar memainkan alat musik gitar dan biola. Di samping suaranya sangat bagus, penampilan gadis itu tampak sempurna, terkecuali matanya yang memiliki sedikit kekurangan. Mata Agni begitu teduh, membuat perasaan siapa pun terlena dan terkagum-kagum pada keindahan mata cantiknya. Namun, saat mereka melihatnya berjalan dengan menggunakan tongkat sambil meraba-raba, kekaguman itu lantas berubah menjadi tatap penghinaan."Aku mau bayar sarapanku," ujar Agni sambil merogoh saku untuk mengambil beberapa lembar uang. "Ini uangnya," lanjut Agni sembari memberikan uang dengan nominal yang cukup besar. Setelah kasir menerima uang dari Agni dan gadis itu masih berdiri menunggu di depan kasir dengan memberikan senyum manisnya padahal tatapannya kosong."Tunggu apa lagi? Cepat pergi dari sini!" pekik kasir tersebut."Aku menunggu kembalian uangku tadi," sambung Agni."Tidak ada uang kembalian. Uangmu pas!" elaknya."Tidak mungkin.
Wajah Agni terlihat panik dengan tatapan kosong, dia terus berusaha melangkahkan kedua kakinya walaupun memang terlihat sangat kesulitan. Beberapa kali Agni hampir terjatuh karena tersandung sesuatu yang tidak dia lihat dan tangan kanannya bergerak aktif meraba-raba.Pun jauh di sana, suara itu sangat terdengar begitu menakutkan bagi Agni dan seakan membuat jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat."Kenapa jalanmu begitu cepat, sayang?" Suara itu begitu nyaring terdengar dan menggema seakan berada di dalam ruang yang kosong. Mereka berdua memang sedang berada di sebuah area tempat yang sudah lama tidak dipakai. Entah bagaimana ceritanya Agni bisa sampai di sana dan bahkan sekarang sedang dalam keadaan tertekan dan ketakutan."Ti-tidak! Pergi menjauh dariku!" Getaran suara yang keluar dari mulut Agni membuat si pria itu tertawa nyaring. Walaupun jarak itu belum terlalu dekat."Hahaha ... dari suaramu itu kau terlihat cukup ketakutan, bukan begitu sayang?" Tentu saja pria terse