Ucapan Lena memang terdengar sangat menyakitkan. Conan mengernyit tajam, lalu menarik tangan Lena dengan erat."Apa kami pernah bilang kami nggak mau bayar biaya pengobatan Vivi? Apa kami pernah bilang kami nggak mau bantu kalian berdua? Membalas budi nggak berarti harus mengorbankan pernikahan Sean!"Usai bicara, Conan menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Kalau kamu benar-benar berpikir bahwa tindakanmu ini benar, silakan telepon Vivi sekarang dan lihat siapa yang akan dipermalukan pada akhirnya!""Kamu bilang kamu mau kerja dan menafkahi Vivi? Memangnya kamu bisa?"Lena langsung terdiam. Kata-kata Conan membuatnya tidak bisa membalas sepatah kata pun. Sebenarnya, dia juga tidak benar-benar ingin menelepon Vivi, hanya saja ....Sementara itu, tidak jauh dari sana."Siapa gadis yang ada di sebelah Conan itu?" Tiffany bertanya dengan nada santai sambil berjalan. Dia mengenakan mantel tipis dan menarik koper dengan satu tangan, ekspresinya tetap datar saat menoleh ke Sean."Ad
Tiffany masih ingat, dulu dia sedang makan ayam goreng bersama Julie di tempat ini saat pertama kali bertemu dengan Zara. Waktu itu, Zara masih merupakan boneka yang berada di bawah kendali Sanny.Namun sekarang, Zara telah berdiri di puncak kekuasaan Keluarga Japardi di Elupa dan menjalankan semuanya dengan tangannya sendiri.Sebenarnya, selama bertahun-tahun ini, alasan Tiffany bisa hidup dengan tenang di luar dan melakukan apa yang dia sukai, sebagian besar adalah berkat Zara. Secara teknis, Zara adalah "adik"-nya, tetapi dalam banyak hal, Zara lebih mirip kakak baginya.Di Elupa, dia bekerja sama dengan kakeknya untuk mengelola Keluarga Japardi dengan sangat baik. Semua pelatihan yang diberikan Sanny kepada Zara di masa lalu kini telah membuahkan hasil. Dia telah menjadi simbol Keluarga Japardi.Namun, tidak peduli seberapa besar kekuasaan yang dia miliki, setiap kali berhadapan dengan mitra bisnis atau para pemegang saham Keluarga Japardi, jawabannya selalu sederhana dan sopan."A
Menghadapi sikap Lena yang begitu agresif, Sean hanya mengernyitkan dahi. "Kapan Vivi pernah keluar dari rumah sakit?"Lena terdiam.Benar juga.Dia mendengus sinis. "Kamu masih sadar soal itu? Sejak Vivi mengenalmu, dia selalu berada di rumah sakit! Sedangkan kamu? Kamu bersenang-senang di sini, sementara dia sendirian menanggung rasa sakit di rumah sakit!"Setelah berkata demikian, Lena langsung menoleh ke Tiffany.Tanpa memedulikan bahwa ada dua anak kecil di sana, dia menunjuk tepat ke wajah Tiffany dengan senyum penuh ejekan. "Kamu ini mantan istrinya Sean, 'kan?""Aku nggak peduli kenapa kalian dulu berpisah. Yang jelas, kalau sudah cerai, artinya kalian memang nggak cocok, bukan? Sekarang di sisi Sean ada kakakku, Vivi. Tapi tiba-tiba kamu muncul kembali bersamanya di Kota Aven, bahkan membawa kedua anak ini.""Apa kamu baru sadar ingin kembali setelah melihat ada yang mencoba merebutnya darimu?"Tiffany mendengar semua itu dengan ekspresi bingung. Alisnya berkerut ringan saat d
Sean sudah memperingatkan bahwa jika Tiffany tetap membawa anak-anaknya menginap di hotel, dia akan memerintahkan Chaplin dan beberapa pengawal untuk berjaga di depan hotel, bahkan melakukan pemeriksaan keamanan terhadap tamu-tamu lain. Alasannya adalah karena dia khawatir ada orang yang akan menyakiti anak-anaknya.Bagaimanapun, status Sean di Kota Aven telah membuatnya memiliki banyak musuh.Tiffany tidak ingin ribet. Itulah alasannya dia setuju untuk tinggal di rumah Keluarga Tanuwijaya untuk sementara waktu. Namun, dilihat dari kondisinya sekarang ....Arlene menatap Tiffany dengan mata membelalak. "Mama, bukannya kita tinggal di rumah Paman Ganteng?"Tiffany tersenyum tipis dan menggendong Arlene dengan santai. "Pacarnya Paman Ganteng nggak akan setuju." Setelah berkata demikian, dia melirik ke arah Arlo.Arlo langsung mengerti maksud Tiffany. Dia buru-buru melompat turun dari kursi dan mengambil tas Tiffany. "Mama, ayo pergi!"Sean mengerutkan alisnya, lalu mengangkat tangannya u
Tiffany mengerutkan alisnya dan segera berusaha melepaskan diri dari pelukan Sean. "Pulang ke mana?"Di Kota Aven, dia sudah lama tidak punya rumah lagi. Namun, tenaganya jelas tidak sebanding dengan Sean. Pria itu tetap memeluknya erat dan membujuk dengan penuh kesabaran."Tiffany, kamu sudah lima tahun nggak kembali. Kak Rika dan yang lainnya rindu sekali sama kamu. Apa kamu benar-benar nggak mau pulang dan melihat mereka? Lalu, pohon yang dulu kamu tanam di halaman dan ...."Tatapan Sean beralih ke kedua anak mereka. "Anak-anak juga belum pernah melihat tempat di mana kita dulu tinggal bersama."Tiffany tetap terperangkap dalam pelukannya. Usahanya untuk melepaskan diri berakhir sia-sia dan pada akhirnya, dia hanya bisa menatap Sean dengan tatapan kesal."Aku sudah bilang, selesaikan dulu masalah sama penyelamat hidupmu sebelum datang mencariku!""Nggak ada yang perlu diselesaikan." Mata Sean yang hitam pekat, menatap Tiffany dengan erat. "Kami nggak ada hubungan apa pun. Kenapa dia
Melihat Sean seperti ini, Tiffany tidak bisa lagi mengucapkan kata-kata yang lebih ketus. Pada akhirnya, dia hanya bisa menghela napas pelan."Baiklah. Tapi aku mau kamu segera menyelesaikan semuanya dengannya. Tadi adik orang itu menerobos ruangan sampai ngagetin anak-anak. Aku nggak mau lihat kejadian seperti hari ini terulang lagi."Sean mengatupkan bibirnya dan mengangguk tegas. "Aku janji."Mendengar jawaban yang meyakinkan darinya, Tiffany akhirnya menghela napas panjang, lalu tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke bahu Sean. "Aku capek sekali."Tiffany benar-benar merasa lelah. Bukan hanya karena perjalanan panjang hari ini, tetapi juga karena beban emosional yang terus menghimpitnya. Setiap hari yang dia habiskan bersama Sean selalu penuh tekanan dan kecemasan.Untuk saat ini, Zara masih bisa mengurus Keluarga Japardi di Elupa. Namun, bagaimana jika suatu hari nanti para pemegang saham mengetahui bahwa dia dan Sean masih berhubungan baik? Apa reaksi mereka?Tiffany tahu dia tida
Rumah Keluarga Tanuwijaya masih tampak sama seperti sebelumnya. Begitu Genta menghentikan mobil di depan pintu utama, Sean langsung turun dengan Tiffany dalam gendongannya.Sementara itu, Arlo duduk di kursinya dengan frustrasi sambil memeluk Arlene yang tertidur nyenyak di pundaknya dan bahkan sampai mengences. Dia ingin sekali menggendong adiknya turun dari mobil secara langsung agar tidak mengganggu istirahatnya.Akan tetapi, dia baru berusia lima tahun!Adiknya juga lima tahun!Meskipun Arlene sedikit lebih kecil darinya, Arlo tetap saja tidak punya tenaga untuk menggendongnya. Arlo awalnya berpikir bahwa Sean akan kembali ke mobil setelah mengantar Tiffany ke kamar dan membantunya membawa Arlene.Namun, setelah menunggu sekian lama, Sean tidak juga muncul kembali. Saat itulah Arlo menyadari bahwa Arlene dan dirinya tidak mendapat perlakuan yang sama dengan ibu mereka!Dasar pria kejam!Bukankah katanya seorang pria yang sudah punya anak biasanya akan mulai mengabaikan istrinya? Ke
Setelah memastikan semuanya, Sean tetap duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Tiffany yang terlelap. Dia tidak bergerak sedikit pun atau menunjukkan tanda-tanda bosan. Seperti seorang anak kecil yang tengah menatap mainan favoritnya.Melihat punggung Sean seperti itu, hati Arlo juga ikut merasa lega. Sepertinya, hanya orang yang benar-benar menyayangi seseorang yang bisa duduk diam dan menatapnya seperti itu, 'kan?Lagi pula, kalau dia disuruh menatap Arlene dalam waktu lama, dia pasti sudah bosan sejak tadi.Tiffany tidur sangat nyenyak. Dari luar pintu, Arlo bahkan masih bisa mendengar napas ibunya yang teratur dan tenang. Arlo menggelengkan kepalanya pelan.Di mata orang lain, ibunya adalah sosok dokter yang tegas, dingin, dan sulit didekati. Namun, hanya di depan orang-orang terdekatnya, Tiffany berubah menjadi seseorang yang ceroboh, tidak terlalu peduli dengan penampilannya, dan sering kali bertingkah konyol.Itulah keunikannya, sekaligus kelemahannya.Tiffany hanya menunjukk
Tiffany mengerutkan alis. "Kamu ... sudah kenal Xavier dari dulu?"Kalau tidak salah ingat, sebelumnya Xavier pernah mengatakan dia dan tunangannya belum kenal lama.Saat itu, Miska sadar dirinya keceplosan. Dia buru-buru menutup mulutnya dan terbatuk. "Aku ... dulu aku adik kelasnya.""Dia itu idola di sekolah kami, jadi kami semua kenal dia. Tapi, dulu dia nggak kenal aku. Kami baru kenal akhir-akhir ini."Sambil bicara, gadis itu menunduk dan wajahnya memerah. "Aku dari dulu sudah kagum sama Kak Xavier. Aku sangat bahagia bisa sampai sejauh ini sama dia."Miska mendongak, suaranya tegas dan sungguh-sungguh. "Kak Tiff, kamu bisa bantu aku nggak?""Aku ingin nikah dengannya, nggak peduli dia bakal siuman atau nggak. Dia bilang dia nggak punya banyak teman, hubungannya sama keluarganya juga nggak terlalu dekat. Satu-satunya cewek yang paling dia suka pun sudah menemukan kebahagiaannya sendiri.""Aku benar-benar takut, nanti kalau dia koma terlalu lama, nggak akan ada yang merawat dia .
"Aku ... akan pergi darimu. Aku nggak akan membiarkan orang lain tahu gimana kamu membalas kebaikanku, nggak akan membiarkan mitramu memutuskan kerja sama denganmu ...."Sean menyeringai dingin, mengangkat kakinya untuk menepis tangan itu, lalu melangkah menuju pintu. "Aku nggak peduli gimana orang lain memandangku.""Mitraku juga nggak akan memutuskan hubungan cuma karena orang nggak penting sepertimu. Kamu terlalu melebih-lebihkan dirimu sendiri."Setelah itu, Sean melirik perawat yang berjaga di pintu dan tampak ketakutan setengah mati. Dia berkata, "Kamu bisa istirahat sekarang. Mulai hari ini, kamu nggak perlu lagi melayaninya.""Suruh rumah sakit usir dia dari kamar ini. Aku bisa merawat penyelamat hidupku sendiri. Nggak perlu merepotkan orang lain."Usai memberi instruksi, Sean kembali menoleh pada Chaplin. "Setelah urusan selesai, antar dia ke kantor polisi sama Pak Genta. Biarkan dia reuni dengan adiknya."Selesai berbicara, dia pun berbalik dan pergi. Teriakan Vivi menggema d
Vivi menatap kosong ke arah mata dingin tak berperasaan milik Sean. Perasaan putus asa perlahan merayap ke dalam hatinya.Dulu, dia selalu mengira kelembutan Sean padanya adalah tanda ketertarikan. Dia bahkan sempat merasa bangga. Untung saja, wanita itu sudah mati. Jika tidak, Sean pasti akan berterima kasih dan berutang budi pada wanita itu.Dirinya adalah penyelamat hidup Sean. Sean begitu baik padanya. Jika Sean tidak bisa menemukan mantan istrinya, kemungkinan besar dia akan menjadi satu-satunya calon istrinya di masa depan.Lagi pula, selama tiga tahun berada di sisi Sean, dia melihat sendiri bagaimana Sean menolak banyak gadis dari keluarga terpandang, menolak banyak wanita yang datang mendekat.Semua orang iri padanya. Dia punya kesempatan untuk menyelamatkan Sean, punya status sebagai penyelamat Sean.Tak berlebihan jika dibilang, kalau Tiffany tidak kembali, langkah Vivi selanjutnya adalah menggoda Sean untuk tidur dengannya. Bagaimanapun, hanya kepada dia Sean bersikap lembu
Dia ingin kamar rawat inap, Sean berikan.Dia ingin Sean merawat adiknya, Sean turuti.Dia bilang ingin mobil agar bisa melihat pemandangan di luar, Sean belikan.Karena selama ini, Sean selalu percaya bahwa kaki Vivi menjadi cacat karena dia menyelamatkannya.Saat kejadian kebakaran dulu, Sean dijebak dan diberi obat di jamuan makan. Saat hidupnya sudah di ambang kematian, yang menyelamatkannya ternyata adalah seorang wanita. Sejak saat itu, hatinya selalu diliputi rasa bersalah.Terlebih lagi, wanita itu sampai harus kehilangan kemampuan berjalan selama 3 tahun demi dirinya.Namun, yang tak pernah disangka oleh Sean adalah ketulusannya selama ini, ternyata dimanfaatkan semena-mena oleh orang lain.Lebih tak disangka lagi, di balik wajah lembut dan anggun Vivi, tersembunyi hati yang begitu busuk dan menjijikkan.Situasi sudah sampai titik ini, tetapi Vivi masih membujuk Tiffany untuk bekerja sama menipunya!Tak lama kemudian, mobil tiba di Rumah Sakit Pusat. Sean turun dari mobil deng
Sean memeluk Tiffany, diam-diam menunggu hukuman yang akan diterimanya.Dia mengira Tiffany diam begitu lama pasti karena sedang memikirkan hukuman yang sulit dan berat untuknya.Tidak disangkanya, setelah menunggu sekian lama, Tiffany justru tersenyum manis. "Hukumannya ... mulai sekarang kamu yang harus antar Arlo dan Arlene ke sekolah setiap hari!"Sean tertegun, lalu mengecup bibirnya dengan lembut. "Oke."Bagi orang tua lain, mengantar anak ke sekolah pagi-pagi mungkin terasa merepotkan. Namun, bagi Sean, itu justru sebuah kebahagiaan.Karena dulu dia pernah sebodoh itu sampai melewatkan 5 tahun pertumbuhan anak-anaknya. Andai saja waktu itu dia lebih yakin, andai saja dia bisa menemukan Tiffany lebih cepat .... Sayangnya, waktu tidak bisa diputar kembali.Jadi, ketika Tiffany mengatakan dia harus mengantar anak-anak ke sekolah, Sean tersenyum manis sambil berujar, "Akan kulakukan dengan senang hati."Tiffany bersandar dalam pelukannya, merasakan kehangatan tubuh pria itu. Senyuma
Akhirnya, Sean merebahkan Tiffany di atas ranjang besar di kamar tidur vila.Kamar tidur berada di lantai 2, dengan jendela kaca yang sangat besar. Dari tempat tidur, hamparan laut luas bisa terlihat jelas.Sinar matahari masuk menembus jendela kaca, menyinari seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat.Sean menindih tubuhnya, menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Tiff.""Kenapa ...?" Tiffany mulai gemetaran, menatap pria di atas tubuhnya dengan gugup.Terakhir kali ditindih di ranjang ini, dia benar-benar dibuat tak berdaya oleh Sean, sampai seluruh tenaganya terkuras. Bahkan, dia sempat mencicipi masakan Sean yang begitu buruk.Sekarang setelah 5 tahun berlalu, kembali berada di situasi seperti ini membuat hati Tiffany dilanda kecemasan."Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Mata Sean yang hitam menatap lekat-lekat dengan perasaan cinta. "Kamu rasa seru main rahasia-rahasia begini?"Tiffany tertegun. "Ka ... kamu ngomong apa sih?""Aku sudah tahu semua." Sean menunduk, menatap
Sean menggenggam setir mobilnya, tangannya sedikit membeku.Dia menatap kaca spion tengah dengan ekspresi geli, melihat wanita yang tampak terkejut sekaligus tersentuh itu. "Aku cuma nyatakan perasaan ke kamu, perlu mikir sejauh itu?"Wajah Tiffany memerah. Dia mengintip ke arah Sean dengan hati-hati melalui kaca spion. "Aku cuma merasa aneh saja ...."Suara wanita itu lembut dan agak manja. "Ngapain kamu tiba-tiba ngomong kayak gitu? Nggak ada angin, nggak ada hujan."Genggaman Sean di setir semakin kencang. Dia mengatakan itu bukan tanpa alasan! Semuanya ada alasannya!Sean menatap wanita yang duduk di kursi belakang, hatinya penuh dengan emosi. Selama 5 tahun, dia terus mencari Tiffany.Bahkan saat Sean belum menemukannya, Tiffany tetap nekat menyelamatkannya dalam kebakaran besar yang terjadi 3 tahun lalu.Setelah menyelamatkannya, Tiffany malah tidak mengatakan sepatah kata pun. Kalau dibandingkan dengan Vivi yang selama 3 tahun ini terus mengklaim dirinya sebagai penyelamat dan m
Awalnya, Sean masih begitu yakin orang yang menyelamatkannya di tengah kebakaran saat itu adalah Tiffany. Namun, Mark dan Charles terus menjelaskan padanya bahwa orang yang berada di ambang kematian pasti akan berhalusinasi. Lama-kelamaan, dia juga merasa semua itu hanya halusinasi. Setelah kemunculan Vivi, dia benar-benar percaya Tiffany tidak pernah menyelamatkannya.Namun kini, perasaan Sean benar-benar bergejolak saat teringat kembali dengan perkataan Zion dan melihat buku kenangan di tangannya. Yang berarti orang yang menyelamatkannya saat kebakaran tiga tahun yang lalu adalah Tiffany.Satu menit kemudian.Rika yang baru saja turun tangga dan hendak mulai membersihkan rumah pun mengambil pel lantai. Saat Sean tiba-tiba turun dari lantai atas sambil memegang buku kenangan dan melangkah menuju pintu keluar, dia kebingungan. Tadi Sean berkata ingin mengantar jaket untuk anak-anak, sekarang malah hanya membawa sebuah buku.Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, Jason berhenti s
Sean mengantar kedua anaknya ke TK."Kamu ayahnya Arlo dan Arlene?" tanya bibi di TK itu dengan ramah.Sean menggandeng tangan kedua anaknya, lalu menganggukkan kepalanya dan menjawab dengan tenang, "Ya.""Serahkan saja anak-anak padaku."Bibi itu menarik tangan Arlo dan Arlene sambil tersenyum, lalu mengingatkan Sean, "Belakangan ini cuacanya mulai dingin dan ramalan cuaca juga bilang hari ini akan turun hujan. Sepertinya pakaian Arlo dan Arlene terlalu tipis. Bisakah kamu pulang dan mengambil jaket untuk mereka? Sistem imun anak kecil masih lemah. Kalau nggak menjaga mereka tetap hangat, mereka akan mudah masuk angin."Setelah ragu sejenak, Sean menganggukkan kepala. "Baik."Sean langsung mencari jaket di dalam lemari setelah kembali ke rumah, tetapi tidak menemukan yang cocok. Saat hendak menelepon Tiffany, pandangannya tiba-tiba tertuju pada koper yang terletak di bawah tempat tidur Arlo.Dia pun menepuk keningnya. Saat Tiffany ikut dengannya ke Kota Aven, Tiffany pasti sudah menyi