"Kamu butuh garam, 'kan?"Tiffany mengangguk.Sean yang bertubuh tegap pun segera bangkit dan turun ke lantai bawah.Setengah menit kemudian, Sean kembali dengan membawa sebuah botol kaca berisi kristal putih.Tiffany menerimanya dan menaburkan sedikit ke dalam mie. Setelah diaduk ... kenapa rasanya manis?Tiffany mencicipi isi botol itu. Rasanya juga manis. Dia sontak merasa lucu. Ini 'kan gula pasir!Setelah menahan diri untuk tidak tertawa, Tiffany turun dari ranjang. "Aku saja yang pergi ambil."Sean menahannya. "Aku saja, kamu butuh apa?"Tiffany mengernyit. Dia cukup terkejut dengan Sean yang tiba-tiba memasak untuknya hari ini. Namun, kenapa sikap Sean juga begitu lembut?Sebuah firasat buruk muncul di hati Tiffany. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menyingkirkan tangan Sean. "Biar aku saja."Usai berbicara, Tiffany segera memakai sandal kelinci berwarna merah muda dan turun.Begitu turun, Tiffany langsung mencium bau gosong dari dapur. Dia lantas mengernyit dan perlahan-lahan
Setelah membereskan dapur, Tiffany menghela napas dan pergi ke supermarket terdekat untuk membeli beberapa cup mie instan dan meletakkannya di meja."Sayang, lain kali kalau kamu ingin masak untukku, masak ini saja. Ini lebih mudah."TIffany mengambil teko air panas dan menjelaskan dengan tenang kepada Sean. "Buka ini, lalu tuang air panas ke dalam dan tutup rapat. Cukup ditunggu 3 hingga 5 menit.""Ada telur juga." TIffany mengeluarkan beberapa telur yang dibungkus vakum."Kamu bisa pakai ini sebagai pengganti."Tatapan Tiffany tampak tulus dan serius, membuat Sean merasa dirinya ... sangat bodoh.Sean menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum menatap TIffany. "Oke, aku sudah tahu."Dalam hatinya, Sean bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di dapur lagi! Ini pertama kalinya dia dihina seperti ini, bahkan oleh istrinya yang bodoh!"Hm." Tiffany menggigit bibirnya, melihat ekspresi Sean yang agak masam. Dia merangkul lengan Sean dan menggoyangkannya. "Aku bukan menganggapmu bodo
Xavier terus mengulangi betapa intimnya hubungan Tiffany dengan Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya dengan suara agak melengking, "Kenapa meneleponku di saat seperti ini?"Sebelumnya saat Xavier terus mengganggunya, Tiffany merasa sebal dan mengira Xavier punya niat lain terhadapnya. Bagaimanapun, pria ini selalu memanggilnya dengan mesra.Namun, sekarang Tiffany merasa pemikirannya terlalu sempit. Xavier tidak senakal yang terlihat. Setidaknya, dia punya kemampuan saat menghadapi masalah."Aku ingin berpamitan denganmu." Suara Xavier terdengar tenang. "Dari suaramu, sepertinya kamu sangat bahagia? Seharusnya nggak ada masalah lagi, 'kan? Kamu ini memang kelinci kecil yang gampang terpengaruh!"Tiffany terkekeh-kekeh dengan agak malu. "Kamu sudah mau pergi?""Ya." Xavier tersenyum tipis. "Aku sudah di bandara. Kali ini kepala keluarga minta aku bawa seseorang pulang. Aku sudah menemukannya, jadi nggak bisa menemanimu belajar lagi.""Tapi, kalau kamu ingin bertemu den
Saat Tiffany dan Sean tiba di kantor polisi Kota Aven, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang lewat.Ketika turun dari mobil, Tiffany memeriksa penampilannya dengan cermat, memastikan pamannya tidak akan tahu dia baru saja menangis. Setelah itu, dia tersenyum dan merangkul lengan Sean untuk berjalan masuk."Kalian mau mengunjungi Kendra?" Polisi mengernyit dan tampak agak bingung. "Kalian nggak tahu ya?""Tahu apa?" tanya Tiffany dengan heran."Kendra sudah dibebaskan." Polisi meletakkan berkas di depan Sean dan TIffany. "Ini karena Sanny telah mencabut gugatannya.""Kejadian 13 tahun lalu memang sulit untuk diselidiki, apalagi nggak ada bukti yang substansial. Satu-satunya saksi juga mencabut gugatan, jadi pemimpin kami memutuskan untuk membebaskannya."Polisi melihat jam. "Dia keluar sekitar jam 8 pagi. Sekarang seharusnya sudah sampai rumah."Tiffany termangu. Tebersit keterkejutan pada tatapannya. Pamannya sudah bebas! Dia menggenggam tangan Sean dengan gembira. "Ayo, kita ke desa!"
Tiffany mengangkat kepalanya. Pandangannya tidak fokus. "Kak Ethan, kamu bilang pamanku nggak menginginkanku lagi?""Bukan begitu!" Ethan menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh melirik Sean. "Pak Sean, cukup dia yang menggila. Kamu mau membiarkannya menggila?"Sean mengernyit, lalu menghampiri dan mendekapkan Tiffany ke pelukannya. Kemudian, mereka mengikuti Ethan ke rumahnya."Bibi Indira, Jonas, Jones, dan Nenek Bertha sudah pindah beberapa hari lalu." Ethan duduk di ambang pintu sambil menatap Tiffany yang bengong. "Aku juga nggak tahu alasannya. Paman Kendra bilang dia harus sembunyi.""Aku sudah berusaha membujuk. Aku bilang desa kita bisa melindungi mereka dan bilang orang-orang di sini sangat menghormati mereka. Tapi, Paman Kendra bilang nggak ingin melibatkan penduduk desa, jadi mereka harus pergi."Tiffany duduk di kursi, membiarkan istri Ethan menyeka air hujan di kepalanya. "Apa lagi yang dibilang Paman?""Dia suruh kamu jaga diri baik-baik." Ethan menyalakan rokok dan meng
Hujan masih sangat lebat. Tiffany berlari keluar dari rumah Ethan, menuju rumah keluarganya.Gadis itu meraih gembok besar di gerbang dan memeluknya. Tatapannya tampak hampa."Paman, Bibi, Nenek, Jonas, Jones, Maxi. Aku ingin pulang ...."Di depan matanya seolah-olah ada film yang diputar tanpa henti, memperlihatkan kenangan masa lalu.Saat Tiffany berusia 5 tahun, dia menggandeng tangan Jonas dan Jones sambil berkeliling di halaman.Neneknya akan mengayunkan kipas sambil tertawa ringan. "Kamu masih anak-anak, tapi sudah bergaya seperti orang dewasa yang bawa anak jalan-jalan. Dasar kamu ini.""Makanya." Bibinya akan tersenyum menyipitkan mata sambil mencuci aprikot dan memasukkannya ke keranjang di samping. "Dia seperti pamannya, sejak kecil sudah berpura-pura dewasa."Kendra yang bertelanjang dada pun mengambil sebuah aprikot dan menggigitnya. "Memangnya aku seperti itu?"Indira sontak menepuknya. "Ini untuk anak-anak, kamu nggak boleh makan!"Bertha tertawa melihatnya. "Indira pilih
Tiffany pun terkejut setelah ditampar. Dia mendongak, menatap Indira yang berdiri di depannya. Jika dibandingkan dengan terakhir kali mereka bertemu, Indira yang sekarang tampak lebih kurus dan lesu.Indira menatap Tiffany dari atas dan berkata, "Kalau Pak Sean nggak mencariku, aku nggak akan tahu kamu bisa segila ini."Tiffany termangu sejenak. Air mata mulai berderai. "Bibi ...."Gadis yang basah kuyup itu langsung melemparkan diri dan memeluk kaki Indira. Indira memalingkan wajahnya, tetapi terlihat tidak tega. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya, "Siapa bibimu?""Tiffany, kamu punya orang tua kandung. Kamu punya paman dan bibi kandung. Aku dan Kendra nggak punya hubungan darah denganmu."Tiffany lagi-lagi tertegun. Kemudian, dia mendongak, memperlihatkan matanya yang merah dan bingung. "Bibi ... kamu nggak mau aku lagi?""Kenapa aku harus menginginkanmu?" Indira tersenyum dingin. "Aku punya anak, anakku dua. Kamu cuma anak yang kubesarkan seperti hewan peliharaan."Indira
Di luar Desa Maheswari, di dalam sebuah mobil. Indira membuka pintu mobil dan masuk. "Pak Charles, aku sudah mengatakan semua yang perlu kukatakan. Apa kamu bisa mengantarku kembali?""Ya." Charles bersandar di kursi pengemudi dan melirik Indira dengan tatapan datar. "Bibi, aku nggak ngerti kenapa kamu harus bicara sekasar itu."Charles bisa melihat Tiffany yang menangis karena dimarahi.Indira bersandar di jendela mobil, lalu memejamkan matanya. "Kalau nggak kasar, gimana dia bisa dengar? Masa aku harus memberitahunya kalau aku nggak menikah lagi dan hidup susah dengan anak-anak dan ibu mertuaku?""Dengan sifatnya itu, dia pasti akan membawa kami tinggal bersamanya." Indira tersenyum tidak berdaya. "Aku nggak ingin menjadi bebannya. Dia punya kehidupan sendiri dan akan punya anak ke depannya."Charles menyalakan mobilnya. "Keluarga kalian memang sangat menarik. Seingatku, orang desa sering bilang punya anak supaya ada yang menjaga di masa tua. Itu artinya, kalian membesarkan anak supa
Sean menggenggam setir mobilnya, tangannya sedikit membeku.Dia menatap kaca spion tengah dengan ekspresi geli, melihat wanita yang tampak terkejut sekaligus tersentuh itu. "Aku cuma nyatakan perasaan ke kamu, perlu mikir sejauh itu?"Wajah Tiffany memerah. Dia mengintip ke arah Sean dengan hati-hati melalui kaca spion. "Aku cuma merasa aneh saja ...."Suara wanita itu lembut dan agak manja. "Ngapain kamu tiba-tiba ngomong kayak gitu? Nggak ada angin, nggak ada hujan."Genggaman Sean di setir semakin kencang. Dia mengatakan itu bukan tanpa alasan! Semuanya ada alasannya!Sean menatap wanita yang duduk di kursi belakang, hatinya penuh dengan emosi. Selama 5 tahun, dia terus mencari Tiffany.Bahkan saat Sean belum menemukannya, Tiffany tetap nekat menyelamatkannya dalam kebakaran besar yang terjadi 3 tahun lalu.Setelah menyelamatkannya, Tiffany malah tidak mengatakan sepatah kata pun. Kalau dibandingkan dengan Vivi yang selama 3 tahun ini terus mengklaim dirinya sebagai penyelamat dan m
Awalnya, Sean masih begitu yakin orang yang menyelamatkannya di tengah kebakaran saat itu adalah Tiffany. Namun, Mark dan Charles terus menjelaskan padanya bahwa orang yang berada di ambang kematian pasti akan berhalusinasi. Lama-kelamaan, dia juga merasa semua itu hanya halusinasi. Setelah kemunculan Vivi, dia benar-benar percaya Tiffany tidak pernah menyelamatkannya.Namun kini, perasaan Sean benar-benar bergejolak saat teringat kembali dengan perkataan Zion dan melihat buku kenangan di tangannya. Yang berarti orang yang menyelamatkannya saat kebakaran tiga tahun yang lalu adalah Tiffany.Satu menit kemudian.Rika yang baru saja turun tangga dan hendak mulai membersihkan rumah pun mengambil pel lantai. Saat Sean tiba-tiba turun dari lantai atas sambil memegang buku kenangan dan melangkah menuju pintu keluar, dia kebingungan. Tadi Sean berkata ingin mengantar jaket untuk anak-anak, sekarang malah hanya membawa sebuah buku.Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, Jason berhenti s
Sean mengantar kedua anaknya ke TK."Kamu ayahnya Arlo dan Arlene?" tanya bibi di TK itu dengan ramah.Sean menggandeng tangan kedua anaknya, lalu menganggukkan kepalanya dan menjawab dengan tenang, "Ya.""Serahkan saja anak-anak padaku."Bibi itu menarik tangan Arlo dan Arlene sambil tersenyum, lalu mengingatkan Sean, "Belakangan ini cuacanya mulai dingin dan ramalan cuaca juga bilang hari ini akan turun hujan. Sepertinya pakaian Arlo dan Arlene terlalu tipis. Bisakah kamu pulang dan mengambil jaket untuk mereka? Sistem imun anak kecil masih lemah. Kalau nggak menjaga mereka tetap hangat, mereka akan mudah masuk angin."Setelah ragu sejenak, Sean menganggukkan kepala. "Baik."Sean langsung mencari jaket di dalam lemari setelah kembali ke rumah, tetapi tidak menemukan yang cocok. Saat hendak menelepon Tiffany, pandangannya tiba-tiba tertuju pada koper yang terletak di bawah tempat tidur Arlo.Dia pun menepuk keningnya. Saat Tiffany ikut dengannya ke Kota Aven, Tiffany pasti sudah menyi
Vivi berkata dengan tatapan penuh dengan tekad dan nafsu, "Bagaimana kalau kita berdamai saja? Aku janji mulai sekarang aku nggak akan berpikiran yang macam-macam terhadap Sean, asalkan kamu nggak memberitahunya kebenarannya dan mengusirku."Setelah mengatakan itu, Vivi mengangkat empat jarinya dan melanjutkan, "Tenang saja, aku bersumpah kelak aku benar-benar nggak akan mengganggu Sean lagi. Aku sebenarnya nggak begitu mencintainya juga, aku hanya tertarik pada status dan kedudukannya saja. Masih ada banyak pria baik di dunia ini, aku bukannya nggak bisa hidup tanpa dia. Jadi ...."Tiffany menguap, lalu menatap Vivi dengan tatapan meremehkan. "Vivi, kamu nggak merasa sekarang kamu ini benar-benar lucu? Aku dan Sean adalah pasangan yang akan bersama-sama seumur hidup, jadi aku pasti akan memberitahunya hal ini. Aku sudah membuat masalah yang begitu besar karena sebelumnya aku menyembunyikan hal ini, jadi aku nggak akan menyembunyikan apa pun lagi dari dia.""Soal kamu .... Aku nggak pu
Melihat Vivi yang begitu ahli melempar semua tanggung jawab pada Lena, Tiffany tertawa. Dia menatap Vivi dengan ekspresi cuek dan berkata, "Bagaimanapun juga, Lena sudah menjadi adikmu selama puluhan tahun ini, tapi kamu malah memanfaatkannya seperti ini. Apa kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?"Vivi mendengus. "Kenapa aku harus merasa bersalah? Sejak kecil, dia selalu merebut barangku di rumah. Orang tuaku juga bilang nilainya lebih bagus, jadi mereka nggak mengizinkanku untuk terus bersekolah lagi. Malah dia yang boleh bersekolah. Kalau bukan karena orang tua kami meninggal dalam kecelakaan saat dia SMP, aku pasti harus bekerja untuk membiayai sekolahnya ke SMA.""Apa haknya? Aku ini anak kandung orang tuaku, semua ini seharusnya milikku."Seolah-olah teringat dengan berbagai kejadian masa lalu, tatapan Vivi menjadi ganas dan nada bicaranya terdengar liar. "Lena itu bukan adikku dan aku juga nggak pernah menganggapnya sebagai adikku. Kalau bukan karena dia masih berguna, aku suda
Saat ini, Vivi sedang bersandar di tempat tidur sambil menonton drama dan matanya sudah berkaca-kaca karena terbawa suasana. Dia mengira itu adalah perawat yang mengantar sarapannya saat mendengar ada yang mengetuk pintu, sehingga dia merespons dengan santai. "Masuk saja."Setelah mengatakan itu, Vivi bahkan sempat mengomel, "Bukankah aku sudah bilang jangan begitu pagi antar sarapannya? Kalau terlalu pagi sarapan, nanti aku sudah lapar lagi sebelum waktunya makan siang."Tiffany yang mendengar perkataan Vivi begitu masuk ke dalam kamar pun tersenyum dan berkata dengan tenang, "Sepertinya aku memang nggak sopan ya. Apa aku seharusnya datang menjenguk sambil membawa sarapan?"Vivi terkejut sejenak saat mendengar suara wanita dengan nada dingin dan menyindir, lalu mengangkat kepalanya dan melihat Tiffany yang sudah berpakaian rapi sedang berdiri di depan pintu. Dia mengernyitkan alis, lalu mengambil remot dan mematikan dramanya. "Nona Tiffany, kenapa kamu bisa datang ke sini?"Tiffany me
Saat Tiffany tersadar kembali, itu sudah keesokan paginya dan Julie menjaganya di samping dengan mata yang masih merah.Melihat Tiffany yang sudah bangun, Julie segera membantu Tiffany untuk duduk. "Bagaimana? Apa ada yang sakit?"Tiffany memijat pelipisnya yang sakit. "Kenapa aku di sini?"Julie menuangkan segelas air dan menyerahkannya pada Tiffany, lalu menghela napas. "Kamu sudah sibuk menyelesaikan tugas akhir selama beberapa hari ini, jadi nggak istirahat dengan baik. Kejadian di pintu lembaga riset kemarin membuatmu terlalu kaget dan kamu juga terlalu sedih saat dengar kondisi Xavier, jadi kamu pingsan. Tapi, sekarang kamu sudah baik-baik saja.""Hanya saja, tunangan dari Xavier sudah semalaman nggak tidur. Dia terus duduk di samping tempat tidur dan memegang tangan Xavier. Dia bilang dia yakin satu jam lagi Xavier pasti akan bangun. Tapi, waktu terus berlalu, Xavier masih tetap begitu. Dia masih terus yakin Xavier pasti akan sadar, jadi dia mau tunggu sampai Xavier bangun."Set
Lena merangkak mendekat dan menggenggam ujung celana Tiffany, lalu berkata, "Aku bersedia mengakui kesalahanku dan dihukum sesuai hukum, tapi tolong jangan sakiti kakakku. Jangan melibatkan dia dalam masalah ini. Aku mohon padamu."Tiffany mendengus, lalu langsung mengangkat kakinya dan menyingkirkan tangan Lena. "Karena kamu memohonku, jadi aku harus menurut padamu? Kalau tahu hari ini akan begini, kenapa kamu harus melakukannya? Kamu pikir kamu bisa lolos dari hukum setelah melakukan semua ini?"Wajah Lena langsung menjadi pucat. Sebenarnya, dia sudah memperkirakan semua yang terjadi sekarang, tetapi kakaknya terus murung selama beberapa hari ini. Kakaknya bilang Tiffany sudah kembali, berarti dia harus meninggalkan Sean dan Kota Aven.Selama tiga tahun ini, Lena melihat dengan jelas betapa baiknya kehidupan kakaknya di sisi Sean. Jika meninggalkan Sean, kakaknya akan kehilangan pengobatan yang terbaik dan standar hidup kakaknya juga akan memburuk. Dia mengakui dirinya bukan orang ya
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi