Saat Tiffany dan Sean tiba di kantor polisi Kota Aven, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang lewat.Ketika turun dari mobil, Tiffany memeriksa penampilannya dengan cermat, memastikan pamannya tidak akan tahu dia baru saja menangis. Setelah itu, dia tersenyum dan merangkul lengan Sean untuk berjalan masuk."Kalian mau mengunjungi Kendra?" Polisi mengernyit dan tampak agak bingung. "Kalian nggak tahu ya?""Tahu apa?" tanya Tiffany dengan heran."Kendra sudah dibebaskan." Polisi meletakkan berkas di depan Sean dan TIffany. "Ini karena Sanny telah mencabut gugatannya.""Kejadian 13 tahun lalu memang sulit untuk diselidiki, apalagi nggak ada bukti yang substansial. Satu-satunya saksi juga mencabut gugatan, jadi pemimpin kami memutuskan untuk membebaskannya."Polisi melihat jam. "Dia keluar sekitar jam 8 pagi. Sekarang seharusnya sudah sampai rumah."Tiffany termangu. Tebersit keterkejutan pada tatapannya. Pamannya sudah bebas! Dia menggenggam tangan Sean dengan gembira. "Ayo, kita ke desa!"
Tiffany mengangkat kepalanya. Pandangannya tidak fokus. "Kak Ethan, kamu bilang pamanku nggak menginginkanku lagi?""Bukan begitu!" Ethan menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh melirik Sean. "Pak Sean, cukup dia yang menggila. Kamu mau membiarkannya menggila?"Sean mengernyit, lalu menghampiri dan mendekapkan Tiffany ke pelukannya. Kemudian, mereka mengikuti Ethan ke rumahnya."Bibi Indira, Jonas, Jones, dan Nenek Bertha sudah pindah beberapa hari lalu." Ethan duduk di ambang pintu sambil menatap Tiffany yang bengong. "Aku juga nggak tahu alasannya. Paman Kendra bilang dia harus sembunyi.""Aku sudah berusaha membujuk. Aku bilang desa kita bisa melindungi mereka dan bilang orang-orang di sini sangat menghormati mereka. Tapi, Paman Kendra bilang nggak ingin melibatkan penduduk desa, jadi mereka harus pergi."Tiffany duduk di kursi, membiarkan istri Ethan menyeka air hujan di kepalanya. "Apa lagi yang dibilang Paman?""Dia suruh kamu jaga diri baik-baik." Ethan menyalakan rokok dan meng
Hujan masih sangat lebat. Tiffany berlari keluar dari rumah Ethan, menuju rumah keluarganya.Gadis itu meraih gembok besar di gerbang dan memeluknya. Tatapannya tampak hampa."Paman, Bibi, Nenek, Jonas, Jones, Maxi. Aku ingin pulang ...."Di depan matanya seolah-olah ada film yang diputar tanpa henti, memperlihatkan kenangan masa lalu.Saat Tiffany berusia 5 tahun, dia menggandeng tangan Jonas dan Jones sambil berkeliling di halaman.Neneknya akan mengayunkan kipas sambil tertawa ringan. "Kamu masih anak-anak, tapi sudah bergaya seperti orang dewasa yang bawa anak jalan-jalan. Dasar kamu ini.""Makanya." Bibinya akan tersenyum menyipitkan mata sambil mencuci aprikot dan memasukkannya ke keranjang di samping. "Dia seperti pamannya, sejak kecil sudah berpura-pura dewasa."Kendra yang bertelanjang dada pun mengambil sebuah aprikot dan menggigitnya. "Memangnya aku seperti itu?"Indira sontak menepuknya. "Ini untuk anak-anak, kamu nggak boleh makan!"Bertha tertawa melihatnya. "Indira pilih
Tiffany pun terkejut setelah ditampar. Dia mendongak, menatap Indira yang berdiri di depannya. Jika dibandingkan dengan terakhir kali mereka bertemu, Indira yang sekarang tampak lebih kurus dan lesu.Indira menatap Tiffany dari atas dan berkata, "Kalau Pak Sean nggak mencariku, aku nggak akan tahu kamu bisa segila ini."Tiffany termangu sejenak. Air mata mulai berderai. "Bibi ...."Gadis yang basah kuyup itu langsung melemparkan diri dan memeluk kaki Indira. Indira memalingkan wajahnya, tetapi terlihat tidak tega. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya, "Siapa bibimu?""Tiffany, kamu punya orang tua kandung. Kamu punya paman dan bibi kandung. Aku dan Kendra nggak punya hubungan darah denganmu."Tiffany lagi-lagi tertegun. Kemudian, dia mendongak, memperlihatkan matanya yang merah dan bingung. "Bibi ... kamu nggak mau aku lagi?""Kenapa aku harus menginginkanmu?" Indira tersenyum dingin. "Aku punya anak, anakku dua. Kamu cuma anak yang kubesarkan seperti hewan peliharaan."Indira
Di luar Desa Maheswari, di dalam sebuah mobil. Indira membuka pintu mobil dan masuk. "Pak Charles, aku sudah mengatakan semua yang perlu kukatakan. Apa kamu bisa mengantarku kembali?""Ya." Charles bersandar di kursi pengemudi dan melirik Indira dengan tatapan datar. "Bibi, aku nggak ngerti kenapa kamu harus bicara sekasar itu."Charles bisa melihat Tiffany yang menangis karena dimarahi.Indira bersandar di jendela mobil, lalu memejamkan matanya. "Kalau nggak kasar, gimana dia bisa dengar? Masa aku harus memberitahunya kalau aku nggak menikah lagi dan hidup susah dengan anak-anak dan ibu mertuaku?""Dengan sifatnya itu, dia pasti akan membawa kami tinggal bersamanya." Indira tersenyum tidak berdaya. "Aku nggak ingin menjadi bebannya. Dia punya kehidupan sendiri dan akan punya anak ke depannya."Charles menyalakan mobilnya. "Keluarga kalian memang sangat menarik. Seingatku, orang desa sering bilang punya anak supaya ada yang menjaga di masa tua. Itu artinya, kalian membesarkan anak supa
"Baiklah." Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu merangkul leher Sean. Dia masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi pandangannya tiba-tiba menggelap. Seketika, dia jatuh pingsan di pelukan Sean.Di kamar Sean, Charles sedang memasang infus untuk Tiffany. Dia menghela napas, lalu melirik Sean. "Dia diguyur hujan selama berjam-jam, wajar kalau jatuh pingsan. Sebenarnya gadis ini cukup beruntung.""Kalau Kendra dan Indira punya niat jahat sedikit saja, dia nggak mungkin dilindungi oleh mereka dengan begitu baik.""Kamu benar." Sean menggeleng dengan pasrah. "Sayangnya, anak sepolos ini malah harus bertemu dengan orang tua seperti itu."Di layar komputer di depan Sean, terlihat rekaman CCTV yang baru saja diambil oleh Sofyan dari bandara. Rekaman menunjukkan bahwa Kendra yang memakai seragam pengawal, mengikuti Xavier dan Jayla untuk naik pesawat pribadi yang disiapkan oleh Sean untuk Zara.Sean sama sekali tidak menyangka Zara tidak akan mengenali Kendra. Zara pasti mengira orang yang men
Tiffany demam selama sehari penuh.Ketika dia bangun keesokan harinya, waktu yang tersisa untuk ujian akhir hanya tinggal satu hari. Namun, pikirannya penuh dengan pamannya, sehingga dia sama sekali tidak punya waktu untuk memikirkan ujian. Dia bahkan berpikir untuk tidak ikut ujian."Aku nggak mau belajar lagi."Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong tumpukan buku teks setinggi gunung di depannya ke lantai.Seiring dengan suara gebrakan, semua materi belajarnya berserakan di lantai. Dia memandangi buku-buku yang berserakan itu, untuk pertama kalinya dia tidak ingin memungutnya kembali.Dulu, dia selalu menganggap belajar sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebab dia tahu, hanya dengan mendapatkan nilai terbaik, dia bisa membuktikan bahwa dia benar-benar berusaha dan benar-benar bisa membuat keluarganya tenang.Tiffany selalu ingin keluarganya bisa menjalani kehidupan yang baik.Saat pertama kali masuk sekolah, gurunya pernah mengatakan bahwa jika dia ingin keluar dari de
"Dia melakukannya dengan sengaja.""Sengaja membuat kita tahu bahwa dia datang ke Kota Aven, dan sengaja memastikan kita tahu bahwa Kendra dibawa olehnya," ujar Sean dengan nada dingin.Tiffany menggigit bibirnya. "Lalu sebenarnya ...." Apa yang ingin dia lakukan?"Aku belum sepenuhnya tahu."Sean tertawa dingin. "Tapi, Tiffany, jelas ini adalah jebakan. Kamu tetap mau pergi?"Tiffany menoleh menatap layar komputer yang menampilkan Kendra sedang menarik koper Xavier dan Jayla. Setelah beberapa saat, gadis itu mengangguk tegas dan serius. "Aku ingin pergi.""Aku nggak tahu apa yang Xavier rencanakan, tapi Paman ada bersamanya. Meski itu jebakan, aku tetap harus pergi."Setelah berkata demikian, Tiffany bahkan menatap Sean dengan sungguh-sungguh. "Sayang, kalau ini terlalu berbahaya, kamu nggak perlu ikut. Biar Chaplin yang temani aku saja."Namun, setelah berkata demikian, dia menggelengkan kepala. "Sebenarnya, aku juga bisa pergi sendiri. Xavier memang orang yang aneh, tapi dia nggak m
Setelah berkata demikian, wanita itu langsung melepaskan tangan Sean dan berlari menuju kamar tempat Brandon berada. Sean tetap berdiri di tempatnya dan matanya menyipit tajam.Tak lama kemudian, ambulans rumah sakit pun tiba. Tiffany bersama staf hotel mengangkat Brandon ke atas tandu dan ikut pergi bersama ambulans.Saat hendak naik ke ambulans di luar hotel, dia melihat Sean berdiri di pintu masuk hotel dan memandangnya dengan tatapan suram. Wanita itu menggertakkan giginya dan langsung menutup pintu ambulans.Sean ... tidak pantas!Jelas-jelas hubungan mereka sudah berbeda dari lima tahun lalu. Meskipun Sean ingin mendekatinya kembali, itu tetap membutuhkan waktu. Sekarang hubungan mereka masih terasa asing, tetapi Sean sudah berani melakukan hal seperti itu terhadap orang yang mendekatinya.Selain itu, Brandon adalah seorang pasien!Tadi Brandon sudah memberi tahu Sean bahwa jantungnya bermasalah. Namun, Sean tetap saja bertarung dengan Brandon hingga membuatnya pingsan.Setelah l
"Pertama, aku nggak enak membicarakan masa lalu di antara kami di depannya secara langsung. Aku takut itu akan membangkitkan kenangan menyakitkan baginya.""Kedua, Dokter Tiffany masih belum kenyang. Nggak mungkin kita mengganggunya bahkan saat dia sedang makan, 'kan?"Brandon berpikir sejenak dan merasa itu masuk akal. Dia pun bangkit dan berucap, "Dokter Tiffany, silakan lanjut makan. Kami akan keluar sebentar untuk mengobrol."Tiffany bahkan belum sempat bereaksi. Kedua pria itu sudah bangkit dan turun dengan lift bersama.Tiffany termangu sesaat. Kemudian, dia berdiri untuk mengejar mereka. Namun, setelah mengambil dua langkah, akhirnya dia berhenti.Sudahlah. Terserah mereka mau melakukan apa. Lagi pula, dia ingin menjauh dari kedua pria ini. Jadi, kalau mereka pergi bersama, itu justru lebih baik.Dengan tenang, Tiffany melanjutkan makannya. Sesudah selesai, dia bahkan membayar tagihan di restoran.Sepuluh menit kemudian, saat turun ke lobi hotel, dia mendengar suara panik dari m
Restoran di Grand Oriental, restoran bintang lima, sunyi senyap.Demi mengundang Tiffany dan Sean makan, Brandon meminta manajer hotel untuk mengosongkan seluruh restoran. Di dalam restoran yang luas itu, hanya ada tiga orang, yaitu Brandon, Tiffany, dan Sean.Di sebuah meja persegi panjang, ketiganya duduk dalam posisi yang aneh. Tiffany duduk di satu sisi, sementara Brandon dan Sean duduk di sisi lainnya.Dari sudut pandang mereka berdua, Tiffany seperti sedang berhadapan langsung dengan masing-masing dari mereka.Tak lama setelah mereka duduk, pelayan mulai menyajikan semua hidangan. Sean duduk di kursi yang empuk, tersenyum tipis sambil menatap meja makan di depannya.Jelas sekali, Brandon benar-benar telah berusaha keras untuk Tiffany. Jika tidak, bagaimana mungkin seluruh meja dipenuhi makanan yang sesuai dengan selera Tiffany?Memikirkan hal ini, Sean mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap Tiffany sambil bertanya kepada Brandon dengan suara datar, "Semua ini makanan favorit Ti
Brandon mengernyit, menatap Tiffany dengan curiga. "Jadi, kalian berdua di dalam itu ...."Tiffany hanya merasa kepalanya semakin pusing. Dia menarik napas dalam-dalam. "Barusan mantan suamiku sakit, aku hanya merawatnya."Brandon memiliki banyak koneksi di rumah sakit. Tiffany tidak ingin semua orang di rumah sakit mengetahui hubungan serta perkembangan antara dirinya dan Sean.Jadi, dia tersenyum tipis ke arah Brandon. "Kamu juga tahu, dokter harus memiliki hati yang penuh belas kasih.""Dia memang mantan suamiku, tapi saat dia sakit dan butuh perawatan, aku nggak mungkin tinggal diam."Brandon langsung menatap Tiffany dengan mata berbinar. "Dokter memang seperti yang aku bayangkan, benar-benar malaikat kecil yang baik hati!"Tiffany terdiam untuk sesaat. Kemudian, dia berdeham pelan. "Bukannya kamu bilang ingin aku memeriksamu? Kemarilah ...."Brandon langsung berlari kecil ke arah Tiffany. "Maaf sudah merepotkanmu."Tiffany berdeham dua kali. "Duduk dulu, aku akan memeriksamu ...."
Usai berbicara, Tiffany mengambil jasnya dan keluar dari kamar.Di luar, Brandon menatapnya dengan penuh kekaguman. "Dokter, sudah setengah bulan kita nggak bertemu, kamu tetap secantik seperti biasanya."Tiffany mengerutkan alisnya, lalu meliriknya sekilas dengan ekspresi datar. "Cari tempat duduk saja. Sebenarnya jantungmu sudah nggak ada masalah lagi. Tapi kalau kamu masih merasa khawatir, aku akan melakukan pemeriksaan sederhana.""Baik! Baik!" Brandon menatapnya dengan terkagum-kagum. "Aku akan pesan kamar sekarang ...."Tiffany langsung mengernyit. "Kita cuma berdua, jangan pesan kamar."Setelah berkata demikian, Tiffany melirik ke arah area duduk di kejauhan yang biasanya digunakan untuk menikmati pemandangan dari atas. "Kita duduk di sana saja."Brandon menggigit bibir dan bergumam, "Justru aku suka kalau cuma berdua denganmu ...."Tiffany mengambil barang-barangnya, lalu berjalan ke tempat duduk itu. Sementara itu, Brandon tampak sedikit enggan, tetapi tetapi mengikuti dari be
Makanya, selama 5 tahun ini, Tiffany menjalani hidupnya sendirian.Kini, dia akhirnya bertemu kembali dengan Sean. Namun, dia tidak tahu apakah dia seharusnya kembali bersama Sean atau tetap memegang kebencian masa lalu dan melanjutkan semuanya seperti sebelumnya ....Namun, saat ini dalam pelukan ini, Tiffany bisa merasa tenang tanpa rasa bersalah sedikit pun."Tiff." Suara rendah pria itu terdengar.Tiffany menggigit bibir, lalu bergumam pelan, "Apa?""Apa ada cara ...." Sean memejamkan matanya, suaranya rendah dan serius. "Supaya aku bisa terbiasa makan makanan pedas?""Aku nggak ingin melihatmu mengorbankan kesukaanmu demi aku, juga nggak ingin hanya bisa melihatmu menikmati makanan favoritmu tanpa bisa ikut menikmatinya. Aku ingin ....""Jangan pikir yang aneh-aneh!" Tiffany menggigit bibirnya. "Pencernaanmu nggak kuat. Tubuhmu memang nggak tahan terhadap kapsaisin. Itu sudah bawaan lahir, jadi jangan dipikirkan lagi!""Tapi ....""Nggak ada tapi-tapian." Seperti 5 tahun lalu, ket
Ketika Tiffany kembali ke kamar, bubur putih di nakas masih belum disentuh. Tiffany meletakkan obat yang baru dibelinya dari apotek, lalu menoleh ke arah Sean. "Nggak sesuai selera ya? Kenapa nggak dimakan?"Pria yang bersandar di ujung ranjang itu sudah melepas jaketnya, hanya mengenakan kemeja tipis dengan dua kancing atas terbuka. Ada sedikit noda keringat di kemejanya, membuatnya terlihat sangat seksi.Saat ini, Sean sedang bersandar dan menatap Tiffany dengan tatapan menggoda sekaligus lemah. "Nggak bisa makan."Tiffany merasa hatinya agak bergetar karena sikap Sean ini. Dia memalingkan wajah dan berdeham pelan. "Kalaupun nggak selera makan, kamu tetap harus makan. Pencernaanmu sedang buruk ...."Melihat keadaan Sean yang lemah, Tiffany mulai menyesali keputusannya. Saat diundang makan, seharusnya dia tidak membawa pria ini ke restoran dengan hidangan pedas hanya karena kesal.Dia tahu betul bahwa Sean tidak bisa makan pedas, tetapi tetap saja memesan berbagai macam hidangan pedas
Tiba-tiba, masuk pesan dari Sanny yang dipenuhi antusiasme.[ Dik, gimana? Tadi aku dengar dari suster, Tiffany pergi dengan seorang pria tampan dan wajahnya merah. Ke mana kamu membawanya? ]Sean tersenyum getir, lalu mengambil ponselnya untuk membalas.[ Sejak kapan kamu begitu peduli dengan urusanku dan Tiffany? ][ Seharusnya aku sudah peduli sejak lama. ]Di seberang telepon, wajah Sanny dipenuhi penyesalan.[ Sayangnya, dulu aku nggak ngerti perasaan antara pria dan wanita. Kalau aku ngerti, aku pasti nggak akan .... ][ Tapi, semua itu sudah berlalu. Sekarang tugasmu adalah merebut kembali Tiffany dan membawa kembali dua anak itu! ]Sean tersenyum tipis.[ Aku juga ingin begitu. ]Saat mengetik kalimat itu di ponselnya, Sean mengangkat kepalanya dan memandang ke arah dapur. Bibirnya membentuk senyuman tipis.[ Hanya saja ... jalannya masih panjang dan berliku. ]Di ujung telepon, Sanny mengernyit.[ Kalau begitu, kamu harus terus semangat. Kalau kamu bisa merebut kembali Tiffany
"Tiff." Sean mengangkat pandangannya dan menatapnya. "Dulu aku memang salah. Aku ... nggak pernah benar-benar berusaha memahami dirimu. Aku pikir, apa yang kamu tunjukkan di depanku adalah perasaan yang sesungguhnya."Tatapan Sean yang dalam kini dipenuhi penyesalan. "Seharusnya aku menyadarinya sejak awal. Dengan sifatmu yang begitu lembut, tentu saja ... kamu bersedia berpura-pura hanya demi membuatku bahagia."Sambil berkata begitu, Sean tersenyum. "Sekarang, biarkan aku yang membahagiakanmu. Apa lagi yang kamu suka, tapi belum kamu katakan padaku? Katakan saja."Tiffany menatap wajahnya yang semakin pucat. Wajahnya sendiri menjadi merah karena panik. "Jangan bicara lagi! Ikut aku kembali ke rumah sakit!"Namun, Sean malah berusaha menenangkannya. "Aku baik-baik saja.""Baik-baik saja apanya?" Suara Tiffany mulai bergetar. Dia nyaris menangis. "Kamu sendiri tahu perutmu lemah, 'kan?""Makanan pedas bisa melukai lambungmu! Dua tahun lalu kamu sakit maag, sekarang kamu malah ceroboh s