Sambil berkata demikian, Sanny menoleh dan menatap Xavier dengan tajam. "Jangan bilang kamu nggak ingin menjadi kepala keluarga.""Kamu sudah mencari Tiffany setahun lebih, 'kan? Kalau nggak ingin menikahinya, ngapain repot-repot mencarinya? Sekarang kamu sudah menemukannya, tapi kamu nggak berusaha dan ingin dia kembali dengan adikku."Sanny menggeleng dengan tidak berdaya. "Aku belum pernah melihat orang sebodoh kamu. Kita sebenarnya bisa kerja sama.""Aku nggak ingin kerja sama dengan monster sepertimu." Xavier melipat tangan di depan dada sambil bersandar di pintu. Bibirnya tampak menyunggingkan senyuman dingin."Aku bisa mendapat apa yang kuinginkan dengan tanganku sendiri. Aku nggak butuh bantuan dari monster yang terus sembunyi sepertimu."Wajah Sanny seketika menunjukkan kilatan amarah. "Kamu bilang siapa monster?""Kamu. Bukan cuma penampilan, tapi perbuatanmu juga sangat mirip." Xavier menguap. "Omong-omong, aku datang hari ini bukan untuk menonton drama Keluarga Tanuwijaya."
"Sean!" Tiffany menggertakkan giginya. Wajah yang sebelumnya merah karena menangis kini berubah pucat karena tegang. Dia memelotot. "Pelankan mobilnya!""Nggak mau." Sean tertawa dingin dan mempercepat laju mobil seperti anak kecil yang merajuk.Jantung Tiffany berdebar kencang, seolah-olah hampir meledak! Dengan kecepatan mobil yang begitu tinggi, mereka bisa langsung mati jika menabrak sesuatu atau genggaman Sean kurang kuat!"Jangan bercanda!" Tiffany menggertakkan gigi lagi. Air mata hampir menetes karena marah. "Kamu jangan menggila ya!"Melihat Sean masih tidak mendengarkan, Tiffany akhirnya menarik napas panjang. "Siapa yang tadi malam bilang mau punya anak denganku? Gimana kita bisa punya anak kalau kamu begini?"Sean tersenyum tipis dan menurunkan kecepatan mobil sedikit. "Tapi, kamu nangis.""Aku nggak nangis lagi, pelankan mobilnya!"Sean menurunkan kecepatan lagi. Namun, mobil mereka tetap masih lebih cepat daripada mobil lainnya.Tiffany sungguh tak berdaya. Dia menarik na
Bagaimana Tiffany harus menghadapi dirinya sendiri? Dia tidak berhak menyalahkan pamannya, karena pamannya melakukan kesalahan demi dirinya.Dia tidak berhak menghibur Sean, karena dulu pamannya yang telah menyakitinya. Segala hal ini berputar-putar di kepalanya.Tiffany menarik napas panjang. Suaranya bergetar dengan disertai isak tangis, "Sayang ... maksudku, Sean."Tiffany ingin mengatakan kata perpisahan, tetapi kata-kata itu tak kunjung keluar. Begitu dia berpikir akan berpisah dari Sean, hidung dan matanya mulai terasa perih. Air mata terus mengalir tanpa bisa dihentikan.Dia benar-benar tidak ingin berpisah dari Sean. Sean sangat baik. Dia adalah sumber kebahagiaan Tiffany dan motivasi hidupnya. Namun, Tiffany benar-benar tidak punya hak untuk itu ...."Kamu nggak mau panggil aku sayang lagi?" Sean tertawa pelan, lalu mengangkat tangannya untuk menghapus air mata di sudut mata Tiffany. "Nggak apa-apa. Kalau nggak mau panggil aku sayang, ya sudah.""Aku saja yang panggil kamu say
"Bodoh, kalau begitu ya jangan berpisah." Sean memeluk dengan erat dan menciumnya berulang kali. "Hal-hal yang sudah berlalu biarlah berlalu.""Kita memang nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi, di masa depan ... kita masih punya banyak waktu."Sean menyandarkan kepalanya di dada Tiffany, menggosokkannya seperti anak kecil. "Kita hitung begini saja.""Dulu karena kamu sakit, aku harus menanggung penghinaan dan dianggap sebagai orang buta selama 13 tahun.""Sebagai gantinya, seharusnya kamu menemaniku selama 13 tahun, 'kan? Kalau ditambah bunga, totalnya jadi 20 tahun. Temani aku 20 tahun untuk bayar utangmu padaku dulu, gimana?"Tiffany merasa agak bingung, ini cara hitung seperti apa?"Sayang." Sean jarang sekali menunjukkan ekspresi menggemaskan seperti ini kepadanya. "Setuju ya? Hm?"Suara beratnya yang menggoda dipadukan dengan wajah tampannya yang manja, membuat Tiffany tidak bisa menolak sedikit pun. Dengan pasrah, dia hanya bisa menggeleng dan tersenyum. "Ya sudah, aku setuju.""H
Sinar matahari menyinari masuk melalui jendela besar. Wajah Tiffany tampak merah. Dia menggigit bibirnya. "Setidaknya tutup tirainya ....""Nggak ada yang lihat." Sean tertawa kecil. "Kalau kamu benaran malu, katakan saja beberapa kali kalau kamu mencintaiku. Mungkin aku akan tutup tirainya untukmu."Tiffany belum pernah melihat orang yang begitu tidak tahu malu!Pada akhirnya, tirai benar-benar ditutup. Bukan karena Tiffany memintanya, tapi karena Sean kepanasan. Sinar matahari di pantai sangat terik, apalagi dia sedang berolahraga!Setelah waktu yang sangat lama, Tiffany akhirnya makan satu cup mie instan dan langsung tertidur. Dia sungguh lelah.Sean duduk di tepi ranjang, memandang wajah Tiffany yang sedang tidur dengan tenang. Kemudian, dia menghela napas lega. Mata Tiffany masih bengkak karena menangis hebat tadi."Dasar bodoh." Sean menggeleng dengan ringan."Dasar cengeng." Sean menunduk dan menciumnya bibir Tiffany."Sean ...." Tiffany setengah sadar. Dia memeluk leher Sean sa
Tiffany bermimpi panjang sekali. Di dalamnya mimpinya, pamannya meminta maaf padanya. Kemudian, muncul wajah mengerikan Sanny.Wanita itu tersenyum dingin dan terus berteriak kepadanya, "Kamu nggak pantas untuk adikku!""Tiff.""Tiff.""Tiff."Suara rendah pria terus terdengar di telinga Tiffany. Wajah Sanny yang menakutkan perlahan-lahan menghilang.Pada akhirnya, yang ada di depan matanya adalah sosok Sean yang berdiri di tepi laut. Sean yang berdiri di sana tampak sangat gagah.Sean tersenyum lebar dan terus memanggil namanya. Seketika, kesedihan dalam hati Tiffany sirna. Dia pun merentangkan tangannya dan berlari menghampiri Sean. "Sayang!"Tiffany berjanji tidak akan pernah mengatakan ingin berpisah lagi. Sekalipun seluruh dunia memaksanya untuk meninggalkan Sean, dia tidak akan melakukannya ....Namun, sebelum Tiffany sempat jatuh ke pelukan Sean, tiba-tiba muncul seseorang dengan pisau di belakang Sean.Orang itu ingin menyerang Sean, tetapi Sean malah tidak menyadari apa-apa.T
"Kamu butuh garam, 'kan?"Tiffany mengangguk.Sean yang bertubuh tegap pun segera bangkit dan turun ke lantai bawah.Setengah menit kemudian, Sean kembali dengan membawa sebuah botol kaca berisi kristal putih.Tiffany menerimanya dan menaburkan sedikit ke dalam mie. Setelah diaduk ... kenapa rasanya manis?Tiffany mencicipi isi botol itu. Rasanya juga manis. Dia sontak merasa lucu. Ini 'kan gula pasir!Setelah menahan diri untuk tidak tertawa, Tiffany turun dari ranjang. "Aku saja yang pergi ambil."Sean menahannya. "Aku saja, kamu butuh apa?"Tiffany mengernyit. Dia cukup terkejut dengan Sean yang tiba-tiba memasak untuknya hari ini. Namun, kenapa sikap Sean juga begitu lembut?Sebuah firasat buruk muncul di hati Tiffany. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menyingkirkan tangan Sean. "Biar aku saja."Usai berbicara, Tiffany segera memakai sandal kelinci berwarna merah muda dan turun.Begitu turun, Tiffany langsung mencium bau gosong dari dapur. Dia lantas mengernyit dan perlahan-lahan
Setelah membereskan dapur, Tiffany menghela napas dan pergi ke supermarket terdekat untuk membeli beberapa cup mie instan dan meletakkannya di meja."Sayang, lain kali kalau kamu ingin masak untukku, masak ini saja. Ini lebih mudah."TIffany mengambil teko air panas dan menjelaskan dengan tenang kepada Sean. "Buka ini, lalu tuang air panas ke dalam dan tutup rapat. Cukup ditunggu 3 hingga 5 menit.""Ada telur juga." TIffany mengeluarkan beberapa telur yang dibungkus vakum."Kamu bisa pakai ini sebagai pengganti."Tatapan Tiffany tampak tulus dan serius, membuat Sean merasa dirinya ... sangat bodoh.Sean menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum menatap TIffany. "Oke, aku sudah tahu."Dalam hatinya, Sean bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di dapur lagi! Ini pertama kalinya dia dihina seperti ini, bahkan oleh istrinya yang bodoh!"Hm." Tiffany menggigit bibirnya, melihat ekspresi Sean yang agak masam. Dia merangkul lengan Sean dan menggoyangkannya. "Aku bukan menganggapmu bodo
Tiffany terpaku menatap video di ponsel Brandon, lalu menyeka ujung matanya yang basah. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Bisa nggak kamu kirimkan video ini ke aku?""Tentu saja!" Brandon mengangguk dengan cepat, lalu langsung mengirimkan video itu ke e-mail Tiffany."Ngomong-ngomong, Dok Tiff, setelah melihat semua yang sudah dilakukan Kak Sean untukmu, kamu nggak merasa terharu?"Tiffany menerima file video itu dan mengangguk pelan. "Tentu saja aku terharu.""Kalau begitu, apakah kalian akan berdamai?" Brandon masih menatap Tiffany dengan ekspresi penuh harapan. "Kalau kamu merasa terharu, bukankah itu berarti hatimu sudah nggak terlalu menolaknya lagi?"Brandon menatap Tiffany dengan serius. "Kak Sean benar-benar tulus sama kamu, Dok Tiff.""Waktu makan siang tadi, dia menunjukkan video ini ke aku dan menceritakan banyak hal tentang perjalanan panjangnya mencarimu selama bertahun-tahun. Waktu itu, aku tiba-tiba menyadari betapa jauhnya perbedaan antara aku dan dia.""Aku bilang
Mendengar hal itu, Julie melirik Tiffany. "Kalau aku nggak bilang, kamu sendiri nggak kepikiran?"Tiffany menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan. Sebenarnya, dalam hatinya, dia sudah memiliki keputusannya sendiri mengenai Sean. Bahkan tanpa Julie mengatakannya sekalipun, dia tetap bisa mempertimbangkannya.Namun, bagaimanapun juga, masa lalunya dengan Sean masih menjadi luka yang belum sembuh. Dia tidak bisa merelakan masalah itu begitu saja. Kata-kata Julie sebenarnya memberikan dorongan, sekaligus alasan baginya untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri.Ternyata, bukan hanya dia yang berpikir seperti ini. Orang-orang di sekitarnya juga mendukungnya."Kamu ini ...." Julie mengusap kepala Tiffany dengan lembut. "Bi Nancy sudah lama meninggal. Relakanlah hal-hal yang seharusnya dilepaskan. Dia nggak pernah memilih untuk terlahir dari keluarga seperti itu, dengan ayah seperti itu.""Sama seperti dulu, waktu kamu nggak percaya bahwa pamanmu bisa membakar rumah dan membunuh orang,
"Sudah kubilang Sean bukan orang seperti itu."Di dalam kantor, Julie menuangkan secangkir teh untuk Tiffany sambil menggeleng pelan. "Brandon itu memang selalu di luar dugaan. Percaya sama dia lebih baik percaya sama anjing kampung di luar sana."Tiffany terkulai lesu di atas meja kerja. "Aku benar-benar salah paham sama Sean." Dia menutup matanya dan bayangan pria itu di depan hotel kembali terlintas dalam pikirannya. Sean tampak begitu kesepian dan begitu menyedihkan.Sean tidak melakukan apa pun yang membahayakan pasiennya. Namun, Tiffany malah menuduhnya macam-macam.Tiffany menghela napas panjang, lalu menutupi wajahnya dengan tangan. "Lalu, aku harus bagaimana?"Sean pasti menganggapnya keterlaluan, menganggapnya tidak masuk akal, dan terlalu keras kepala. Semua ini gara-gara Brandon!"Kenapa nggak minta maaf saja?"Julie duduk di hadapannya sembari menyeruput kopi dan membalik halaman majalah. "Kalau nggak, mau gimana lagi?""Dia datang jauh-jauh untuk mendekatimu. Ini baru har
Mungkin sejak lima tahun lalu, saat Sean memilih Sanny dan meninggalkannya, Tiffany sudah tidak berani lagi memercayainya ....Julie menghela napas, lalu mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Tiffany. "Tunggu saja sampai Brandon sadar, nanti kita akan tahu semuanya."Tiffany mengangguk.Dua wanita itu menunggu di luar ruang gawat darurat selama lebih dari setengah jam. Setelah setengah jam berlalu, pintu ruang gawat darurat akhirnya terbuka. Seorang perawat mendorong ranjang Brandon menuju kamar perawatan.Dokter yang menangani Brandon keluar dan menepuk bahu Tiffany. "Pasien ingin ketemu kamu."Tiffany segera berdiri dan melangkah cepat menuju kamar perawatan.Di dalam kamar, Brandon yang wajahnya masih pucat bersandar di ujung ranjang. Matanya berkaca-kaca saat menatap Tiffany. "Dokter Tiffany ...."Melihat pria dewasa menangis seperti ini, Tiffany merasa tidak tega. Dia menggigit bibirnya, lalu melangkah mendekat dan menyerahkan selembar tisu kepadanya. "Aku di sini."Brandon ter
Setelah berkata demikian, wanita itu langsung melepaskan tangan Sean dan berlari menuju kamar tempat Brandon berada. Sean tetap berdiri di tempatnya dan matanya menyipit tajam.Tak lama kemudian, ambulans rumah sakit pun tiba. Tiffany bersama staf hotel mengangkat Brandon ke atas tandu dan ikut pergi bersama ambulans.Saat hendak naik ke ambulans di luar hotel, dia melihat Sean berdiri di pintu masuk hotel dan memandangnya dengan tatapan suram. Wanita itu menggertakkan giginya dan langsung menutup pintu ambulans.Sean ... tidak pantas!Jelas-jelas hubungan mereka sudah berbeda dari lima tahun lalu. Meskipun Sean ingin mendekatinya kembali, itu tetap membutuhkan waktu. Sekarang hubungan mereka masih terasa asing, tetapi Sean sudah berani melakukan hal seperti itu terhadap orang yang mendekatinya.Selain itu, Brandon adalah seorang pasien!Tadi Brandon sudah memberi tahu Sean bahwa jantungnya bermasalah. Namun, Sean tetap saja bertarung dengan Brandon hingga membuatnya pingsan.Setelah l
"Pertama, aku nggak enak membicarakan masa lalu di antara kami di depannya secara langsung. Aku takut itu akan membangkitkan kenangan menyakitkan baginya.""Kedua, Dokter Tiffany masih belum kenyang. Nggak mungkin kita mengganggunya bahkan saat dia sedang makan, 'kan?"Brandon berpikir sejenak dan merasa itu masuk akal. Dia pun bangkit dan berucap, "Dokter Tiffany, silakan lanjut makan. Kami akan keluar sebentar untuk mengobrol."Tiffany bahkan belum sempat bereaksi. Kedua pria itu sudah bangkit dan turun dengan lift bersama.Tiffany termangu sesaat. Kemudian, dia berdiri untuk mengejar mereka. Namun, setelah mengambil dua langkah, akhirnya dia berhenti.Sudahlah. Terserah mereka mau melakukan apa. Lagi pula, dia ingin menjauh dari kedua pria ini. Jadi, kalau mereka pergi bersama, itu justru lebih baik.Dengan tenang, Tiffany melanjutkan makannya. Sesudah selesai, dia bahkan membayar tagihan di restoran.Sepuluh menit kemudian, saat turun ke lobi hotel, dia mendengar suara panik dari m
Restoran di Grand Oriental, restoran bintang lima, sunyi senyap.Demi mengundang Tiffany dan Sean makan, Brandon meminta manajer hotel untuk mengosongkan seluruh restoran. Di dalam restoran yang luas itu, hanya ada tiga orang, yaitu Brandon, Tiffany, dan Sean.Di sebuah meja persegi panjang, ketiganya duduk dalam posisi yang aneh. Tiffany duduk di satu sisi, sementara Brandon dan Sean duduk di sisi lainnya.Dari sudut pandang mereka berdua, Tiffany seperti sedang berhadapan langsung dengan masing-masing dari mereka.Tak lama setelah mereka duduk, pelayan mulai menyajikan semua hidangan. Sean duduk di kursi yang empuk, tersenyum tipis sambil menatap meja makan di depannya.Jelas sekali, Brandon benar-benar telah berusaha keras untuk Tiffany. Jika tidak, bagaimana mungkin seluruh meja dipenuhi makanan yang sesuai dengan selera Tiffany?Memikirkan hal ini, Sean mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap Tiffany sambil bertanya kepada Brandon dengan suara datar, "Semua ini makanan favorit Ti
Brandon mengernyit, menatap Tiffany dengan curiga. "Jadi, kalian berdua di dalam itu ...."Tiffany hanya merasa kepalanya semakin pusing. Dia menarik napas dalam-dalam. "Barusan mantan suamiku sakit, aku hanya merawatnya."Brandon memiliki banyak koneksi di rumah sakit. Tiffany tidak ingin semua orang di rumah sakit mengetahui hubungan serta perkembangan antara dirinya dan Sean.Jadi, dia tersenyum tipis ke arah Brandon. "Kamu juga tahu, dokter harus memiliki hati yang penuh belas kasih.""Dia memang mantan suamiku, tapi saat dia sakit dan butuh perawatan, aku nggak mungkin tinggal diam."Brandon langsung menatap Tiffany dengan mata berbinar. "Dokter memang seperti yang aku bayangkan, benar-benar malaikat kecil yang baik hati!"Tiffany terdiam untuk sesaat. Kemudian, dia berdeham pelan. "Bukannya kamu bilang ingin aku memeriksamu? Kemarilah ...."Brandon langsung berlari kecil ke arah Tiffany. "Maaf sudah merepotkanmu."Tiffany berdeham dua kali. "Duduk dulu, aku akan memeriksamu ...."
Usai berbicara, Tiffany mengambil jasnya dan keluar dari kamar.Di luar, Brandon menatapnya dengan penuh kekaguman. "Dokter, sudah setengah bulan kita nggak bertemu, kamu tetap secantik seperti biasanya."Tiffany mengerutkan alisnya, lalu meliriknya sekilas dengan ekspresi datar. "Cari tempat duduk saja. Sebenarnya jantungmu sudah nggak ada masalah lagi. Tapi kalau kamu masih merasa khawatir, aku akan melakukan pemeriksaan sederhana.""Baik! Baik!" Brandon menatapnya dengan terkagum-kagum. "Aku akan pesan kamar sekarang ...."Tiffany langsung mengernyit. "Kita cuma berdua, jangan pesan kamar."Setelah berkata demikian, Tiffany melirik ke arah area duduk di kejauhan yang biasanya digunakan untuk menikmati pemandangan dari atas. "Kita duduk di sana saja."Brandon menggigit bibir dan bergumam, "Justru aku suka kalau cuma berdua denganmu ...."Tiffany mengambil barang-barangnya, lalu berjalan ke tempat duduk itu. Sementara itu, Brandon tampak sedikit enggan, tetapi tetapi mengikuti dari be