"Aku hanya mengatakan hal-hal yang seharusnya dia ketahui," ujar Sanny sambil tersenyum tipis. Dia memalingkan wajahnya membelakangi Tiffany. "Aku sudah mengatakan semua yang ingin kusampaikan.""Kamu bilang setiap orang berhak membuat pilihannya sendiri. Jadi, aku menyerahkan hak memilih itu padamu. Kalau kamu tetap ingin keras kepala bersama Sean, aku nggak bisa berbuat apa-apa."Tubuh Tiffany bergetar hebat dalam pelukan Xavier. Semua yang dikatakan Sanny terasa jauh dan tidak nyata baginya.Namun ... setiap kata yang diucapkannya cocok dengan potongan-potongan kenangan dari masa lalu Tiffany. Dia tidak tahu ... apakah ini kebohongan yang dirangkai dengan sangat teliti, atau memang ... kenyataan?Tiffany menutup mulutnya dengan erat. Dia berusaha menahan tangis dan berusaha untuk tidak berpikir terlalu jauh. Namun, siapa yang bisa tetap tenang setelah mendengar kata-kata seperti itu?Dia menggigit bibirnya dengan keras, mencoba agar dirinya tidak terpengaruh. Namun, itu mustahil! Be
Sambil berkata demikian, Sanny menoleh dan menatap Xavier dengan tajam. "Jangan bilang kamu nggak ingin menjadi kepala keluarga.""Kamu sudah mencari Tiffany setahun lebih, 'kan? Kalau nggak ingin menikahinya, ngapain repot-repot mencarinya? Sekarang kamu sudah menemukannya, tapi kamu nggak berusaha dan ingin dia kembali dengan adikku."Sanny menggeleng dengan tidak berdaya. "Aku belum pernah melihat orang sebodoh kamu. Kita sebenarnya bisa kerja sama.""Aku nggak ingin kerja sama dengan monster sepertimu." Xavier melipat tangan di depan dada sambil bersandar di pintu. Bibirnya tampak menyunggingkan senyuman dingin."Aku bisa mendapat apa yang kuinginkan dengan tanganku sendiri. Aku nggak butuh bantuan dari monster yang terus sembunyi sepertimu."Wajah Sanny seketika menunjukkan kilatan amarah. "Kamu bilang siapa monster?""Kamu. Bukan cuma penampilan, tapi perbuatanmu juga sangat mirip." Xavier menguap. "Omong-omong, aku datang hari ini bukan untuk menonton drama Keluarga Tanuwijaya."
"Sean!" Tiffany menggertakkan giginya. Wajah yang sebelumnya merah karena menangis kini berubah pucat karena tegang. Dia memelotot. "Pelankan mobilnya!""Nggak mau." Sean tertawa dingin dan mempercepat laju mobil seperti anak kecil yang merajuk.Jantung Tiffany berdebar kencang, seolah-olah hampir meledak! Dengan kecepatan mobil yang begitu tinggi, mereka bisa langsung mati jika menabrak sesuatu atau genggaman Sean kurang kuat!"Jangan bercanda!" Tiffany menggertakkan gigi lagi. Air mata hampir menetes karena marah. "Kamu jangan menggila ya!"Melihat Sean masih tidak mendengarkan, Tiffany akhirnya menarik napas panjang. "Siapa yang tadi malam bilang mau punya anak denganku? Gimana kita bisa punya anak kalau kamu begini?"Sean tersenyum tipis dan menurunkan kecepatan mobil sedikit. "Tapi, kamu nangis.""Aku nggak nangis lagi, pelankan mobilnya!"Sean menurunkan kecepatan lagi. Namun, mobil mereka tetap masih lebih cepat daripada mobil lainnya.Tiffany sungguh tak berdaya. Dia menarik na
Bagaimana Tiffany harus menghadapi dirinya sendiri? Dia tidak berhak menyalahkan pamannya, karena pamannya melakukan kesalahan demi dirinya.Dia tidak berhak menghibur Sean, karena dulu pamannya yang telah menyakitinya. Segala hal ini berputar-putar di kepalanya.Tiffany menarik napas panjang. Suaranya bergetar dengan disertai isak tangis, "Sayang ... maksudku, Sean."Tiffany ingin mengatakan kata perpisahan, tetapi kata-kata itu tak kunjung keluar. Begitu dia berpikir akan berpisah dari Sean, hidung dan matanya mulai terasa perih. Air mata terus mengalir tanpa bisa dihentikan.Dia benar-benar tidak ingin berpisah dari Sean. Sean sangat baik. Dia adalah sumber kebahagiaan Tiffany dan motivasi hidupnya. Namun, Tiffany benar-benar tidak punya hak untuk itu ...."Kamu nggak mau panggil aku sayang lagi?" Sean tertawa pelan, lalu mengangkat tangannya untuk menghapus air mata di sudut mata Tiffany. "Nggak apa-apa. Kalau nggak mau panggil aku sayang, ya sudah.""Aku saja yang panggil kamu say
"Bodoh, kalau begitu ya jangan berpisah." Sean memeluk dengan erat dan menciumnya berulang kali. "Hal-hal yang sudah berlalu biarlah berlalu.""Kita memang nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi, di masa depan ... kita masih punya banyak waktu."Sean menyandarkan kepalanya di dada Tiffany, menggosokkannya seperti anak kecil. "Kita hitung begini saja.""Dulu karena kamu sakit, aku harus menanggung penghinaan dan dianggap sebagai orang buta selama 13 tahun.""Sebagai gantinya, seharusnya kamu menemaniku selama 13 tahun, 'kan? Kalau ditambah bunga, totalnya jadi 20 tahun. Temani aku 20 tahun untuk bayar utangmu padaku dulu, gimana?"Tiffany merasa agak bingung, ini cara hitung seperti apa?"Sayang." Sean jarang sekali menunjukkan ekspresi menggemaskan seperti ini kepadanya. "Setuju ya? Hm?"Suara beratnya yang menggoda dipadukan dengan wajah tampannya yang manja, membuat Tiffany tidak bisa menolak sedikit pun. Dengan pasrah, dia hanya bisa menggeleng dan tersenyum. "Ya sudah, aku setuju.""H
Sinar matahari menyinari masuk melalui jendela besar. Wajah Tiffany tampak merah. Dia menggigit bibirnya. "Setidaknya tutup tirainya ....""Nggak ada yang lihat." Sean tertawa kecil. "Kalau kamu benaran malu, katakan saja beberapa kali kalau kamu mencintaiku. Mungkin aku akan tutup tirainya untukmu."Tiffany belum pernah melihat orang yang begitu tidak tahu malu!Pada akhirnya, tirai benar-benar ditutup. Bukan karena Tiffany memintanya, tapi karena Sean kepanasan. Sinar matahari di pantai sangat terik, apalagi dia sedang berolahraga!Setelah waktu yang sangat lama, Tiffany akhirnya makan satu cup mie instan dan langsung tertidur. Dia sungguh lelah.Sean duduk di tepi ranjang, memandang wajah Tiffany yang sedang tidur dengan tenang. Kemudian, dia menghela napas lega. Mata Tiffany masih bengkak karena menangis hebat tadi."Dasar bodoh." Sean menggeleng dengan ringan."Dasar cengeng." Sean menunduk dan menciumnya bibir Tiffany."Sean ...." Tiffany setengah sadar. Dia memeluk leher Sean sa
Tiffany bermimpi panjang sekali. Di dalamnya mimpinya, pamannya meminta maaf padanya. Kemudian, muncul wajah mengerikan Sanny.Wanita itu tersenyum dingin dan terus berteriak kepadanya, "Kamu nggak pantas untuk adikku!""Tiff.""Tiff.""Tiff."Suara rendah pria terus terdengar di telinga Tiffany. Wajah Sanny yang menakutkan perlahan-lahan menghilang.Pada akhirnya, yang ada di depan matanya adalah sosok Sean yang berdiri di tepi laut. Sean yang berdiri di sana tampak sangat gagah.Sean tersenyum lebar dan terus memanggil namanya. Seketika, kesedihan dalam hati Tiffany sirna. Dia pun merentangkan tangannya dan berlari menghampiri Sean. "Sayang!"Tiffany berjanji tidak akan pernah mengatakan ingin berpisah lagi. Sekalipun seluruh dunia memaksanya untuk meninggalkan Sean, dia tidak akan melakukannya ....Namun, sebelum Tiffany sempat jatuh ke pelukan Sean, tiba-tiba muncul seseorang dengan pisau di belakang Sean.Orang itu ingin menyerang Sean, tetapi Sean malah tidak menyadari apa-apa.T
"Kamu butuh garam, 'kan?"Tiffany mengangguk.Sean yang bertubuh tegap pun segera bangkit dan turun ke lantai bawah.Setengah menit kemudian, Sean kembali dengan membawa sebuah botol kaca berisi kristal putih.Tiffany menerimanya dan menaburkan sedikit ke dalam mie. Setelah diaduk ... kenapa rasanya manis?Tiffany mencicipi isi botol itu. Rasanya juga manis. Dia sontak merasa lucu. Ini 'kan gula pasir!Setelah menahan diri untuk tidak tertawa, Tiffany turun dari ranjang. "Aku saja yang pergi ambil."Sean menahannya. "Aku saja, kamu butuh apa?"Tiffany mengernyit. Dia cukup terkejut dengan Sean yang tiba-tiba memasak untuknya hari ini. Namun, kenapa sikap Sean juga begitu lembut?Sebuah firasat buruk muncul di hati Tiffany. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menyingkirkan tangan Sean. "Biar aku saja."Usai berbicara, Tiffany segera memakai sandal kelinci berwarna merah muda dan turun.Begitu turun, Tiffany langsung mencium bau gosong dari dapur. Dia lantas mengernyit dan perlahan-lahan
"Sean!" Air mata Tiffany mulai jatuh tanpa bisa dihentikan, bahkan tangisannya terdengar sangat menyedihkan."Jangan nangis." Tubuh Sean semakin berat. Suaranya rendah dan serak dengan sedikit penyesalan dan sedikit rasa bersalah. "Aku nggak bisa memelukmu lagi."Begitu Sean selesai berbicara, tubuhnya yang lemas langsung jatuh setengah berlutut di lantai. Tiffany tahu ini adalah efek dari obat tidur dan anestesi. Hatinya terasa cemas dan marah.Mereka benar-benar tega melakukan hal seperti ini kepada Sean! Meskipun tubuhnya tidak terluka parah, obat-obatan seperti ini bisa merusak saraf Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya untuk menopang tubuh Sean. "Sayang, nggak apa-apa. Kamu nggak bisa memelukku, tapi aku bisa memelukmu! Aku sangat kuat, kamu harus percaya padaku!"Tiffany memeluknya, berusaha sekuat tenaga agar tubuhnya dapat menopang berat tubuh Sean."Dasar bodoh." Sean tersenyum pahit. Tubuhnya akhirnya tidak kuat lagi. Dia benar-benar terjatuh di
Tiffany bergidik. Saat Tiffany tersadar, polisi sudah datang. Tiffany mengerahkan tenaganya ketika tangannya diborgol.Tiffany berteriak ke arah kamar Sean, "Sean! Cepat bangun! Aku tahu obat tidur nggak bisa sepenuhnya mengendalikan saraf seseorang! Kalau kamu bisa dengar, cepat bangun! Kalau kamu nggak bangun sekarang, kamu nggak akan bisa melihatku lagi!"Energi Tiffany terkuras setelah melontarkan semua ucapan itu. Air matanya juga terus mengalir. Begitu tahu dendam di antara pamannya dan Keluarga Tanuwijaya, Tiffany pernah memikirkan berbagai macam cara dirinya dan Sean berpisah.Tidak disangka, mereka akan berpisah dengan cara seperti ini. Selama bertahun-tahun, Sean tidak memiliki teman dekat. Orang-orang yang bisa dipercayainya hanya Sofyan, Genta, Chaplin, dan beberapa orang lainnya. Namun, Sean malah dikhianati.Tiffany merasa sedih. Carla memelototi Tiffany dan berujar dengan geram, "Nggak ada gunanya kamu teriak! Pak Polisi, cepat bawa dia pergi!"Polisi membawa Tiffany ke
Tiffany berujar seraya memelotot, "Kalian ...."Kemudian, Tiffany menenangkan dirinya dan menambahkan, "Ternyata kalian yang rencanakan serangan kali ini."Jika semua ini tidak direncanakan mereka, Sanny tidak mungkin begitu yakin bisa memfitnah Tiffany. Sanny melihat kukunya dan menyahut, "Benar. Mungkin Sean nggak menyangka orang yang kuutus untuk menjaganya dulu akan mematuhiku begitu aku kembali."Genta menghampiri Sanny dan berucap dengan sopan, "Nona Sanny, aku sudah meminta dokter untuk menambah dosis obatnya. Tuan Sean nggak akan bisa sadar untuk sementara waktu.""Oke," ujar Sanny. Dia menatap Tiffany seraya tersenyum bangga dan bertanya, "Sudah jelas, 'kan?"Tiffany mengernyit. Dia baru paham sebenarnya Sean tidak diserang. Sean hanya diberi obat agar tidak sadarkan diri.Akhirnya, Tiffany merasa tenang. Ternyata Sean tidak benar-benar terluka, melainkan dikhianati keluarganya.Carla tersenyum lebar sembari menggenggam pegangan kursi roda Sanny dan berkata, "Kak, kita jalanka
Tiba-tiba, Sanny menampar Tiffany. Alhasil, Tiffany yang lemas hampir terjatuh ke lantai."Tiffany!" seru Julie. Dia bergegas menghampiri Tiffany dan memapahnya. Julie memelototi Sanny seraya memarahi, "Atas dasar apa kamu memukul Tiffany?"Sanny mencibir, lalu menyahut, "Karena dia nggak tahu diri."Tatapan Sanny sangat dingin. Dia menatap Tiffany seraya melanjutkan, "Kemarin aku sudah bilang dengan jelas. Tapi, kamu masih bersikeras ingin bersama adikku. Tiffany, aku nggak pernah lihat wanita yang begitu nggak tahu malu sepertimu!"Tiffany menggertakkan giginya. Dia memandangi Sanny dan menegaskan, "Bukan aku yang membakarmu. Seharusnya dendam di generasi sebelumnya nggak memengaruhi hubunganku dengan Sean."Tiffany menambahkan, "Aku mencintai Sean, jadi aku nggak bisa meninggalkannya. Aku nggak merasa tindakanku salah."Sebelumnya, Tiffany hanya bisa menangis di depan Sanny. Sekarang, dia bisa berbicara dengan tegas. Sikapnya membuat Sanny terlihat seperti orang yang keterlaluan.Na
Zara sudah memberi tahu Julie apa yang terjadi saat Tiffany bertemu Sanny terakhir kali. Julie tidak ingin Tiffany berhadapan dengan Sanny. Namun, dia tidak bisa menghalangi Tiffany yang ingin melihat kondisi Sean.Julie yang memapah Tiffany mencebik dan mengingatkan, "Nanti kalau kamu bertemu Sanny, jangan anggap serius omongannya."Tiffany menyahut sembari mengangguk, "Iya, aku tahu."Sanny memang tidak menyukai Tiffany. Julie mendesah, lalu memapah Tiffany keluar. Kamar Sean terletak di lantai paling atas. Belasan pria kekar yang berpakaian hitam berdiri di depan pintu kamar Sean.Tiffany yang dipapah Julie berucap dengan lirih, "Sofyan, aku mau lihat Sean."Wajah Tiffany sangat pucat. Sofyan yang dilema memandang Tiffany sambil menjelaskan, "Nyonya, tapi Nona Sanny memerintahkan siapa pun nggak boleh masuk tanpa persetujuannya."Tiffany membalas, "Tapi, aku ini istri Sean."Julie menimpali seraya mengernyit, "Benar, Tiffany ini istri sah Sean. Kenapa kalian halangi dia lihat suami
Julie membantah, "Nggak! Jangan bicara sembarangan!"Tiffany menanggapi dengan ekspresi girang, "Kamu ini memang keras kepala. Kamu menjaganya semalaman, tapi bilang nggak suka dia lagi. Julie, kamu nggak jujur."Julie terdiam. Tiffany tersenyum. Tiba-tiba, dia merasa ada yang tidak beres. Tiffany bertanya, "Kamu bilang Mark pergi ke perusahaan?"Namun, Rika mengatakan Sean pergi pagi-pagi karena hendak membereskan urusan pekerjaan. Julie menyahut seraya mengernyit, "Iya, ada apa?"Tiffany bertanya lagi, "Kamu yakin Mark ditolak setelah mencari Sean, lalu Mark pergi ke perusahaan?""Iya," jawab Julie. Dia juga merasa ada yang tidak beres. Juli bertanya, "Ada apa, Tiff?"Jantung Tiffany berdegup kencang. Jika Sean tidak pergi ke perusahaan, kenapa dia membohonginya dan Rika?Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu memberi tahu Julie ucapan Rika. Dia berujar, "Aku mau tanya Kak Rika dulu."Rika memandang Tiffany dengan ekspresi panik sambil berkata, "Tuan Sean memang nggak langsung membe
Tiffany tidak tahu kapan tepatnya dia tertidur. Yang dia ingat hanyalah Sean memeluknya dengan erat, berbicara pelan di dekat telinganya untuk menyampaikan banyak kata-kata yang hangat dan menenangkan.Pada akhirnya, dia mencium lembut telinga Tiffany sambil berkata, "Terima kasih telah datang ke sisiku."Setelah itu, Tiffany pun terlelap. Dalam tidurnya, Tiffany bermimpi. Sebuah mimpi yang asing dan membuatnya merasa tidak nyaman.Di mimpinya, sekelompok pria menyeret seorang wanita ke sebuah ruangan. Tiffany tidak bisa bergerak dan bicara. Dia hanya terbaring di tempat tidur, tubuhnya kaku seperti batu.Dari ruangan di sebelah, terdengar suara tawa pria dan jeritan memilukan dari seorang wanita. Suara itu begitu menyayat hati dan membuat air matanya hampir mengalir tanpa sadar.Tiffany ingin bangkit dan berbicara, tetapi tubuhnya terasa seperti lumpuh total. Dia tidak mampu meminta tolong atau melakukan apa pun. Yang bisa dia lakukan hanyalah mendengar suara wanita itu berteriak deng
Sean berjalan mendekat dan menarik Tiffany ke dalam pelukannya. "Hatimu masih nggak nyaman?"Saat tangannya menyentuh Tiffany, tubuh gadis itu refleks menegang dan mencoba menghindar. Butuh beberapa detik sebelum dia menyadari bahwa yang menyentuhnya adalah Sean. Hatinya berdebar sejenak dan akhirnya dia merangkak masuk ke pelukan pria itu."Sayang ....""Aku tahu, apa yang terjadi hari ini sulit untuk kamu terima." Sean memejamkan matanya, suaranya penuh dengan ketulusan. "Kamu takut nggak? Darah yang mengalir dalam tubuhku adalah darah yang sama dengan mereka."Tubuh Tiffany membeku sesaat, semua sendinya terasa kaku. Namun, dia segera menggelengkan kepala dengan mantap. "Aku tahu, kamu nggak seperti mereka."Sean menghela napas panjang, lalu memeluk Tiffany lebih erat. Dia tersenyum sinis terhadap dirinya sendiri. "Dulu, aku memang seperti mereka. Aku nggak peduli pada apa pun, nggak punya beban, dan siap mati bersama siapa saja. Tapi sekarang ...."Sean mengulurkan tangan untuk men
Mark tersentak saat wajahnya terhempas ke samping akibat pukulan Sean.Dengan tenang, dia mengangkat tangan untuk menyeka darah di sudut bibirnya. "Tiffany nggak mengalami sesuatu yang serius. Apa kamu harus marah sebesar ini?"Hari ini, Sean telah berhadapan dengan Sanny sepanjang hari di perusahaan.Sanny bersikeras ingin menghancurkan Grup Tanuwijaya, sementara Sean hanya ingin memastikan Ronny menerima hukuman atas perbuatannya. Namun, pertengkaran saudara itu tidak menghasilkan apa-apa.Oleh karena itu, Mark memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia menggunakan Tiffany sebagai umpan untuk menjebak Michael dan mencoba memecahkan konflik Keluarga Tanuwijaya yang kacau ini.Tentu saja, dia tidak pernah memberi tahu Sean tentang rencana itu. Namun, bahkan dengan caranya ini, Mark telah mengikuti Tiffany sejak dia keluar dari sekolah untuk memastikan dia tidak mengalami hal buruk."Apa yang akan kamu lakukan kalau yang ditekan Michael hari ini adalah Julie? Gimana kalau orang yang dita