Tiffany membawa Xavier ke sebuah kedai mi di dekat kampus.Sebagai seorang pria kaya yang belum pernah mengunjungi Kota Aven, Xavier terlihat sangat penasaran dengan segalanya di sana. Dia memegang menu dan terus-menerus bertanya kepada pemilik kedai."Mi dengan saus daging atau mi dengan kuah, mana yang lebih enak?""Apa bedanya mi dengan saus daging dan mi dengan kuah?""Apa perbedaan mi tarik dan mi goreng?""Kalian ada mi instan nggak di sini?"Melihat tatapan putus asa dari pemilik kedai, Tiffany ingin sekali mencari lubang untuk bersembunyi. Namun, Xavier tetap melanjutkan sesi tanya-jawabnya tanpa merasa bersalah.Dengan pasrah, Tiffany duduk di kursi dan mengirim pesan kepada Sean.[ Jangan lupa makan siang! ]Tak lama kemudian, balasan dari Sean masuk.[ Aku tahu. Kamu juga harus makan teratur. ][ Tiffany: Ya, aku tahu. Jangan terlalu sibuk! ][ Sean: Kamu juga. ]Melihat balasan pesan dari Sean, Tiffany tiba-tiba merasa tenang. Kekesalan yang tadinya hampir meledak karena Xa
Tiffany terdiam. "Jadi, kamu benar-benar bersikeras mau temani aku belajar, ya?""Iya." Xavier mengangguk dengan serius. "Aku harus memastikan kamu mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran di ujian akhir, baru aku bisa melapor ke atasanku."Tiffany merasa bingung. Ucapan Xavier membuat hal ini terkesan seperti tugas penting.Namun, karena Xavier ada di sana, Tiffany jadi tidak bermalas-malasan. Dalam beberapa hari berikutnya, dia mempertahankan kebiasaan bangun jam tujuh pagi untuk pergi ke perpustakaan dan pulang jam sembilan malam. Bahkan Sean memujinya karena terlihat lebih rajin.Semua tampak berjalan sesuai rencana. Dalam waktu tiga hari, Tiffany berhasil mempelajari semua materi yang tertinggal dan meninjau ulang semua catatan pelajaran di setiap mata kuliah. Ujian hanya tinggal tiga hari lagi.Di hari keempat, pagi itu, saat dia bersiap pergi ke perpustakaan, teleponnya berbunyi. Itu panggilan dari Zara."Kak ...." Suara Zara terdengar sedikit ragu dari seberang telepon.
Zara memandang tertegun ke arah Xavier yang turun dari mobil. "Kak, ini siapa, ya ...?""Ini wakil kakak iparmu," ujar Xavier sambil bersandar di pintu mobil dengan senyum usil menatap Zara.Zara dan Tiffany terdiam. Tiffany menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat, dan langsung memukulkan tasnya ke arah Xavier. "Kamu ngomong apa sih?!""Siapa suruh kamu pergi bersenang-senang tanpa aku?" Xavier mengerucutkan bibir dan menatap Tiffany dengan wajah polos.Tiffany nyaris kehilangan akal karena kesal. Dia melotot ke arah Xavier. "Ini urusan pribadi aku dan temanku, nggak ada hubungannya sama kamu! Jangan ikut campur!"Namun, Xavier sudah sampai di sana, mana mungkin dia benar-benar pergi begitu saja?Setelah itu ...."Tiff, Tiff, ini tempat apa sih?""Tiff, Tiff, kita ke sini mau ngapain?"Tiffany hanya bisa memutar matanya dengan kesabaran yang sudah hampir habis.Namun, Zara menjelaskan dengan ramah, "Ini rumahku. Aku berencana mau mutusin hubungan sama keluargaku, lalu pergi ke te
Pria itu membuka pintu ruang kerja dengan keras dan berjalan cepat ke arah Zara.Plak!Di saat semua orang belum sempat bereaksi, sebuah tamparan keras mendarat di wajah Zara."Ayah ...." Zara menggigit bibirnya. Kepalanya terdorong ke samping karena tamparan itu, sementara air mata mulai menggenang di matanya.Pria itu menggertakkan giginya. "Jangan panggil aku Ayah!" Setelah berkata demikian, dia mengangkat tangannya lagi, bersiap untuk memberikan tamparan kedua.Chaplin yang berdiri di belakang sudah hendak bergerak untuk menghentikannya, tapi Xavier lebih cepat. Dengan gerakan yang terlihat santai, dia mencengkeram pergelangan tangan pria itu dengan kuat dan menghentikan tamparan yang kedua."Kamu!" Slamet melotot ke arah Xavier. "Aku menghukum anakku sendiri, apa urusannya sama kamu?""Menghukum anak sendiri, apa perlu dengan tamparan di wajah?" Xavier tersenyum tipis. "Kalau kamu memukul pantatnya, aku mungkin percaya kalau itu hanya hukuman biasa untuk anakmu.""Kamu!""Apa aku
Tiffany duduk di ruang kerja vila Keluarga Pradipta, tubuhnya sedikit gemetar.Di hadapannya, duduk seorang wanita dengan wajah yang tampak seperti efek khusus dari film horor. Fitur wajahnya tidak jelas dan penuh dengan bekas luka yang tampak mengerikan.Dia teringat foto Sean dan Sanny yang pernah dilihatnya. Dia juga teringat wajah Zara yang hampir identik dengan wajah Sanny di masa lalu.Hatinya terasa campur aduk. Sebenarnya ... Sanny juga termasuk orang yang malang, bukan? Dia kehilangan wajah yang begitu dibanggakannya dulu, sehingga berubah menjadi seseorang yang begitu obsesif dan ingin menjadikan Zara sebagai bonekanya."Minumlah."Sanny mendorong secangkir teh yang telah diseduh ke arah Tiffany. Di balik luka yang tersembunyi, mata wanita itu menatap Tiffany. "Nggak ada racun."Tiffany menggigit bibir, mengangkat cangkir teh itu, dan meminumnya dengan hati-hati. Karena terlalu gugup, dia lupa mengecek suhu teh, sehingga langsung kepanasan dan meringis.Sanny tersenyum tipis.
"Kendra yang membesarkanmu itu." Sanny tertawa dingin, wajahnya yang sudah menakutkan semakin terlihat menyeramkan saat dia tertawa. "Kamu masih ingat 13 tahun lalu, waktu kamu sakit parah dan hampir mati?""Kamu ingat Kendra membawa pulang 400 juta untuk mengobatimu?"Tatapan Sanny semakin terlihat tidak stabil. "Kamu pikir uang 400 juta itu dari mana? Itu didapat dari membakar rumahku dan Sean. Itu hasil dari api yang menghancurkan hidup kami!"Suara Sanny yang serak dan rendah terdengar begitu menakutkan, setiap kata yang diucapkannya seperti pisau yang menghujam hati Tiffany."Hari itu adalah hari ulang tahun Sean. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa periksa catatan medis di kotamu. Hari kamu sakit itu bertepatan dengan hari ulang tahun Sean.""Mereka sudah menghitung semuanya. Mereka tahu aku akan kembali untuk merayakan ulang tahun Sean. Mereka tahu sebelum aku tiba, Sean akan duduk sendirian di rumah tanpa menyalakan lampu dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.""Jadi, pamanmu
"Aku hanya mengatakan hal-hal yang seharusnya dia ketahui," ujar Sanny sambil tersenyum tipis. Dia memalingkan wajahnya membelakangi Tiffany. "Aku sudah mengatakan semua yang ingin kusampaikan.""Kamu bilang setiap orang berhak membuat pilihannya sendiri. Jadi, aku menyerahkan hak memilih itu padamu. Kalau kamu tetap ingin keras kepala bersama Sean, aku nggak bisa berbuat apa-apa."Tubuh Tiffany bergetar hebat dalam pelukan Xavier. Semua yang dikatakan Sanny terasa jauh dan tidak nyata baginya.Namun ... setiap kata yang diucapkannya cocok dengan potongan-potongan kenangan dari masa lalu Tiffany. Dia tidak tahu ... apakah ini kebohongan yang dirangkai dengan sangat teliti, atau memang ... kenyataan?Tiffany menutup mulutnya dengan erat. Dia berusaha menahan tangis dan berusaha untuk tidak berpikir terlalu jauh. Namun, siapa yang bisa tetap tenang setelah mendengar kata-kata seperti itu?Dia menggigit bibirnya dengan keras, mencoba agar dirinya tidak terpengaruh. Namun, itu mustahil! Be
Sambil berkata demikian, Sanny menoleh dan menatap Xavier dengan tajam. "Jangan bilang kamu nggak ingin menjadi kepala keluarga.""Kamu sudah mencari Tiffany setahun lebih, 'kan? Kalau nggak ingin menikahinya, ngapain repot-repot mencarinya? Sekarang kamu sudah menemukannya, tapi kamu nggak berusaha dan ingin dia kembali dengan adikku."Sanny menggeleng dengan tidak berdaya. "Aku belum pernah melihat orang sebodoh kamu. Kita sebenarnya bisa kerja sama.""Aku nggak ingin kerja sama dengan monster sepertimu." Xavier melipat tangan di depan dada sambil bersandar di pintu. Bibirnya tampak menyunggingkan senyuman dingin."Aku bisa mendapat apa yang kuinginkan dengan tanganku sendiri. Aku nggak butuh bantuan dari monster yang terus sembunyi sepertimu."Wajah Sanny seketika menunjukkan kilatan amarah. "Kamu bilang siapa monster?""Kamu. Bukan cuma penampilan, tapi perbuatanmu juga sangat mirip." Xavier menguap. "Omong-omong, aku datang hari ini bukan untuk menonton drama Keluarga Tanuwijaya."
"Sean!" Air mata Tiffany mulai jatuh tanpa bisa dihentikan, bahkan tangisannya terdengar sangat menyedihkan."Jangan nangis." Tubuh Sean semakin berat. Suaranya rendah dan serak dengan sedikit penyesalan dan sedikit rasa bersalah. "Aku nggak bisa memelukmu lagi."Begitu Sean selesai berbicara, tubuhnya yang lemas langsung jatuh setengah berlutut di lantai. Tiffany tahu ini adalah efek dari obat tidur dan anestesi. Hatinya terasa cemas dan marah.Mereka benar-benar tega melakukan hal seperti ini kepada Sean! Meskipun tubuhnya tidak terluka parah, obat-obatan seperti ini bisa merusak saraf Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya untuk menopang tubuh Sean. "Sayang, nggak apa-apa. Kamu nggak bisa memelukku, tapi aku bisa memelukmu! Aku sangat kuat, kamu harus percaya padaku!"Tiffany memeluknya, berusaha sekuat tenaga agar tubuhnya dapat menopang berat tubuh Sean."Dasar bodoh." Sean tersenyum pahit. Tubuhnya akhirnya tidak kuat lagi. Dia benar-benar terjatuh di
Tiffany bergidik. Saat Tiffany tersadar, polisi sudah datang. Tiffany mengerahkan tenaganya ketika tangannya diborgol.Tiffany berteriak ke arah kamar Sean, "Sean! Cepat bangun! Aku tahu obat tidur nggak bisa sepenuhnya mengendalikan saraf seseorang! Kalau kamu bisa dengar, cepat bangun! Kalau kamu nggak bangun sekarang, kamu nggak akan bisa melihatku lagi!"Energi Tiffany terkuras setelah melontarkan semua ucapan itu. Air matanya juga terus mengalir. Begitu tahu dendam di antara pamannya dan Keluarga Tanuwijaya, Tiffany pernah memikirkan berbagai macam cara dirinya dan Sean berpisah.Tidak disangka, mereka akan berpisah dengan cara seperti ini. Selama bertahun-tahun, Sean tidak memiliki teman dekat. Orang-orang yang bisa dipercayainya hanya Sofyan, Genta, Chaplin, dan beberapa orang lainnya. Namun, Sean malah dikhianati.Tiffany merasa sedih. Carla memelototi Tiffany dan berujar dengan geram, "Nggak ada gunanya kamu teriak! Pak Polisi, cepat bawa dia pergi!"Polisi membawa Tiffany ke
Tiffany berujar seraya memelotot, "Kalian ...."Kemudian, Tiffany menenangkan dirinya dan menambahkan, "Ternyata kalian yang rencanakan serangan kali ini."Jika semua ini tidak direncanakan mereka, Sanny tidak mungkin begitu yakin bisa memfitnah Tiffany. Sanny melihat kukunya dan menyahut, "Benar. Mungkin Sean nggak menyangka orang yang kuutus untuk menjaganya dulu akan mematuhiku begitu aku kembali."Genta menghampiri Sanny dan berucap dengan sopan, "Nona Sanny, aku sudah meminta dokter untuk menambah dosis obatnya. Tuan Sean nggak akan bisa sadar untuk sementara waktu.""Oke," ujar Sanny. Dia menatap Tiffany seraya tersenyum bangga dan bertanya, "Sudah jelas, 'kan?"Tiffany mengernyit. Dia baru paham sebenarnya Sean tidak diserang. Sean hanya diberi obat agar tidak sadarkan diri.Akhirnya, Tiffany merasa tenang. Ternyata Sean tidak benar-benar terluka, melainkan dikhianati keluarganya.Carla tersenyum lebar sembari menggenggam pegangan kursi roda Sanny dan berkata, "Kak, kita jalanka
Tiba-tiba, Sanny menampar Tiffany. Alhasil, Tiffany yang lemas hampir terjatuh ke lantai."Tiffany!" seru Julie. Dia bergegas menghampiri Tiffany dan memapahnya. Julie memelototi Sanny seraya memarahi, "Atas dasar apa kamu memukul Tiffany?"Sanny mencibir, lalu menyahut, "Karena dia nggak tahu diri."Tatapan Sanny sangat dingin. Dia menatap Tiffany seraya melanjutkan, "Kemarin aku sudah bilang dengan jelas. Tapi, kamu masih bersikeras ingin bersama adikku. Tiffany, aku nggak pernah lihat wanita yang begitu nggak tahu malu sepertimu!"Tiffany menggertakkan giginya. Dia memandangi Sanny dan menegaskan, "Bukan aku yang membakarmu. Seharusnya dendam di generasi sebelumnya nggak memengaruhi hubunganku dengan Sean."Tiffany menambahkan, "Aku mencintai Sean, jadi aku nggak bisa meninggalkannya. Aku nggak merasa tindakanku salah."Sebelumnya, Tiffany hanya bisa menangis di depan Sanny. Sekarang, dia bisa berbicara dengan tegas. Sikapnya membuat Sanny terlihat seperti orang yang keterlaluan.Na
Zara sudah memberi tahu Julie apa yang terjadi saat Tiffany bertemu Sanny terakhir kali. Julie tidak ingin Tiffany berhadapan dengan Sanny. Namun, dia tidak bisa menghalangi Tiffany yang ingin melihat kondisi Sean.Julie yang memapah Tiffany mencebik dan mengingatkan, "Nanti kalau kamu bertemu Sanny, jangan anggap serius omongannya."Tiffany menyahut sembari mengangguk, "Iya, aku tahu."Sanny memang tidak menyukai Tiffany. Julie mendesah, lalu memapah Tiffany keluar. Kamar Sean terletak di lantai paling atas. Belasan pria kekar yang berpakaian hitam berdiri di depan pintu kamar Sean.Tiffany yang dipapah Julie berucap dengan lirih, "Sofyan, aku mau lihat Sean."Wajah Tiffany sangat pucat. Sofyan yang dilema memandang Tiffany sambil menjelaskan, "Nyonya, tapi Nona Sanny memerintahkan siapa pun nggak boleh masuk tanpa persetujuannya."Tiffany membalas, "Tapi, aku ini istri Sean."Julie menimpali seraya mengernyit, "Benar, Tiffany ini istri sah Sean. Kenapa kalian halangi dia lihat suami
Julie membantah, "Nggak! Jangan bicara sembarangan!"Tiffany menanggapi dengan ekspresi girang, "Kamu ini memang keras kepala. Kamu menjaganya semalaman, tapi bilang nggak suka dia lagi. Julie, kamu nggak jujur."Julie terdiam. Tiffany tersenyum. Tiba-tiba, dia merasa ada yang tidak beres. Tiffany bertanya, "Kamu bilang Mark pergi ke perusahaan?"Namun, Rika mengatakan Sean pergi pagi-pagi karena hendak membereskan urusan pekerjaan. Julie menyahut seraya mengernyit, "Iya, ada apa?"Tiffany bertanya lagi, "Kamu yakin Mark ditolak setelah mencari Sean, lalu Mark pergi ke perusahaan?""Iya," jawab Julie. Dia juga merasa ada yang tidak beres. Juli bertanya, "Ada apa, Tiff?"Jantung Tiffany berdegup kencang. Jika Sean tidak pergi ke perusahaan, kenapa dia membohonginya dan Rika?Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu memberi tahu Julie ucapan Rika. Dia berujar, "Aku mau tanya Kak Rika dulu."Rika memandang Tiffany dengan ekspresi panik sambil berkata, "Tuan Sean memang nggak langsung membe
Tiffany tidak tahu kapan tepatnya dia tertidur. Yang dia ingat hanyalah Sean memeluknya dengan erat, berbicara pelan di dekat telinganya untuk menyampaikan banyak kata-kata yang hangat dan menenangkan.Pada akhirnya, dia mencium lembut telinga Tiffany sambil berkata, "Terima kasih telah datang ke sisiku."Setelah itu, Tiffany pun terlelap. Dalam tidurnya, Tiffany bermimpi. Sebuah mimpi yang asing dan membuatnya merasa tidak nyaman.Di mimpinya, sekelompok pria menyeret seorang wanita ke sebuah ruangan. Tiffany tidak bisa bergerak dan bicara. Dia hanya terbaring di tempat tidur, tubuhnya kaku seperti batu.Dari ruangan di sebelah, terdengar suara tawa pria dan jeritan memilukan dari seorang wanita. Suara itu begitu menyayat hati dan membuat air matanya hampir mengalir tanpa sadar.Tiffany ingin bangkit dan berbicara, tetapi tubuhnya terasa seperti lumpuh total. Dia tidak mampu meminta tolong atau melakukan apa pun. Yang bisa dia lakukan hanyalah mendengar suara wanita itu berteriak deng
Sean berjalan mendekat dan menarik Tiffany ke dalam pelukannya. "Hatimu masih nggak nyaman?"Saat tangannya menyentuh Tiffany, tubuh gadis itu refleks menegang dan mencoba menghindar. Butuh beberapa detik sebelum dia menyadari bahwa yang menyentuhnya adalah Sean. Hatinya berdebar sejenak dan akhirnya dia merangkak masuk ke pelukan pria itu."Sayang ....""Aku tahu, apa yang terjadi hari ini sulit untuk kamu terima." Sean memejamkan matanya, suaranya penuh dengan ketulusan. "Kamu takut nggak? Darah yang mengalir dalam tubuhku adalah darah yang sama dengan mereka."Tubuh Tiffany membeku sesaat, semua sendinya terasa kaku. Namun, dia segera menggelengkan kepala dengan mantap. "Aku tahu, kamu nggak seperti mereka."Sean menghela napas panjang, lalu memeluk Tiffany lebih erat. Dia tersenyum sinis terhadap dirinya sendiri. "Dulu, aku memang seperti mereka. Aku nggak peduli pada apa pun, nggak punya beban, dan siap mati bersama siapa saja. Tapi sekarang ...."Sean mengulurkan tangan untuk men
Mark tersentak saat wajahnya terhempas ke samping akibat pukulan Sean.Dengan tenang, dia mengangkat tangan untuk menyeka darah di sudut bibirnya. "Tiffany nggak mengalami sesuatu yang serius. Apa kamu harus marah sebesar ini?"Hari ini, Sean telah berhadapan dengan Sanny sepanjang hari di perusahaan.Sanny bersikeras ingin menghancurkan Grup Tanuwijaya, sementara Sean hanya ingin memastikan Ronny menerima hukuman atas perbuatannya. Namun, pertengkaran saudara itu tidak menghasilkan apa-apa.Oleh karena itu, Mark memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia menggunakan Tiffany sebagai umpan untuk menjebak Michael dan mencoba memecahkan konflik Keluarga Tanuwijaya yang kacau ini.Tentu saja, dia tidak pernah memberi tahu Sean tentang rencana itu. Namun, bahkan dengan caranya ini, Mark telah mengikuti Tiffany sejak dia keluar dari sekolah untuk memastikan dia tidak mengalami hal buruk."Apa yang akan kamu lakukan kalau yang ditekan Michael hari ini adalah Julie? Gimana kalau orang yang dita