Sebelum Tiffany sempat menghentikannya, Chaplin juga sudah pergi bersama Julie. Tiffany hanya bisa terdiam. Begitu Chaplin pergi, di tempat itu hanya tersisa Tiffany dan Sean berduaan. Tiffany berjalan di depan dengan sedikit kesal, sementara Sean mengikuti di belakang sambil memayunginya."Tiff!" Dari kejauhan, terlihat seorang kakak senior di fakultas yang memanggilnya. "Lagi jalan-jalan sama pacar ya?"Wajah Tiffany langsung memerah. "Bukan ...."Kakak senior itu sama sekali tidak mendengar suaranya. Pandangannya terus tertuju pada Sean. "Wah pacarmu ini lumayan ganteng juga. Ketemu dari mana?"Wajah Tiffany kini telah merah padam. "Kak ...." Tiffany benar-benar tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya!Sebelum Sean datang ke kampus, semua orang di kampus mengira dia masih lajang. Hanya segelintir orang yang mengetahui tentang pernikahannya dengan Sean. Kini begitu Sean datang, semua orang yang melihatnya akan melemparkan tatapan ambigu."Ya sudah, aku nggak godain kamu lagi." Kare
Tiffany kelelahan.Sesampainya di gedung olahraga, dia menoleh ke arah pria di belakangnya yang menarik perhatian semua orang, "Setengah jam lagi aku ada kelas olahraga. Aku harus masuk kelas. Kalau ada pekerjaan, kamu kerjakan saja. Kalau nggak, ya pulang saja. Jangan ikuti aku terus!"Setelah berkata demikian, dia langsung berbalik dan masuk ke gedung olahraga. Namun, setelah berjalan beberapa langkah, dia merasa tidak tenang dan menoleh lagi. Pria itu berdiri di depan pintu dengan elegan sambil melipat payung. Tampaknya dia benar-benar tidak berniat mengikuti Tiffany lagi.Tiffany menghela napas lega dan berjalan menuju gedung olahraga dengan tenang. Di lapangan rumput dalam gedung, Julie sudah duduk di sana sejak lama. Melihat Tiffany masuk, dia langsung melambaikan tangan, "Di sini, di sini!"Tiffany yang sudah kelelahan, langsung berlari ke arahnya dan berbaring di samping Julie sembari menikmati aroma segar rumput, "Aku nggak tahu cewek-cewek di kampus kita ternyata seberani itu
Secara refleks, Tiffany mengangkat kepalanya. Benar saja, pria yang sedang berjalan mendekati barisan mereka dengan mengenakan pakaian olahraga abu-abu itu, siapa lagi kalau bukan Sean?Namun ....Tiffany menggigit bibirnya. Selain saat dia memakai baju latihan, mungkin ini adalah pertama kalinya Tiffany melihat Sean mengenakan pakaian olahraga. Ternyata, kalau wajahnya memang sudah tampan, bahkan memakai karung goni pun akan tetap terlihat menawan.Pakaian olahraga yang dia kenakan sama persis dengan milik guru olahraga botak di sebelahnya. Namun, kostum yang terlihat seperti baju rumahan di guru olahraga itu, malah tampak seperti pakaian model kelas dunia saat dipakai oleh Sean."Wow, guru pengganti ini ganteng banget!""Ganteng banget! Tubuhnya juga keren!""Matanya itu tajam banget! Eh, dia lihat aku, dia lihat aku! Aaaah!"Obrolan para mahasiswi di sekitarnya terus terdengar. Tiffany menggigit bibirnya, merasa memiliki suami tampan terkadang bukan hal yang menyenangkan ...."Halo
Sean terlihat lebih seperti kakak senior yang datang membantu daripada seorang guru yang sedang memimpin tes. Jantung Tiffany berdetak kencang. Melihat Tiffany menatapnya, Sean tersenyum lembut ke arahnya, "Bersiaplah."Tiffany tersadar dan segera mengalihkan pandangannya ke depan. Ketika peluit berbunyi, dia dan para peserta lainnya mulai berlari. Namun entah bagaimana, baru setengah putaran mengelilingi lapangan, kecepatan salah satu gadis di depannya mulai melambat.Tiffany yang masih mempertahankan kecepatannya, agak melamun memikirkan Sean. Akibatnya, dia bertabrakan dengan gadis itu. Karena dorongan momentum, tubuh Tiffany langsung jatuh ke tanah.Namun, pada detik terakhir sebelum dia benar-benar terjatuh, sepasang tangan pria yang panjang dan kuat menangkap bahunya. Kalau tidak, wajahnya pasti sudah mencium tanah!Meski wajahnya selamat, lututnya tetap terluka. Lututnya terbentur keras dengan lantai plastik lapangan hingga seluruh tubuhnya kesakitan. Wajah Tiffany meringis kesa
Julie melotot, matanya membesar karena terkejut. Para mahasiswi lain juga sama terkejutnya dan menatap dengan tidak percaya.Perlakuan seperti apa yang diterima Tiffany ini? Tadi dia hampir jatuh karena tidak memperhatikan jalan saat berlari. Namun sekarang, dia malah ditemani guru ganteng untuk lari?!Beberapa mahasiswi mulai bergumam dengan kesal."Kalau tahu begini, aku juga pura-pura jatuh tadi.""Iya, 'kan? Jatuh sekali, terus ditemani lari sama guru ganteng. Siapa juga yang nggak mau jatuh?"Julie mengerutkan alis, lalu menoleh sambil melotot ke arah para mahasiswi itu. "Kalian jatuh sampai patah kaki pun, Guru nggak bakal peduli sama kalian. Percaya, nggak?"Barulah para mahasiswi itu terdiam dengan wajah cemberut dan tidak lagi berkomentar. Tiffany melirik Sean dengan kening berkerut. "Kamu yakin bisa lari?"Meskipun dia tahu kaki Sean sekarang baik-baik saja, pria itu selalu menggunakan kursi roda sejak Tiffany mengenalnya. Bagaimana mungkin pria yang bertahun-tahun duduk di k
"Gimana kalau memang ini keguguran? Ke ruang kesehatan kampus saja nggak cukup ...."Julie belum selesai berbicara ketika Sean sudah menggendong Tiffany dan berlari keluar dari stadion tanpa ragu. Para mahasiswi di sekitar yang suka bergosip mulai bergerombol dan berbisik-bisik."Tiffany keguguran? Dia punya pacar? Sampai keguguran?""Siswi teladan, belum menikah, malah keguguran. Ini berita besar banget, hahaha ...."Julie yang mendengar komentar itu mendelik marah. Dia tidak ingin membuang waktu meladeni mereka. Setelah meletakkan barang-barangnya, dia membawa tas dan jaket Tiffany, lalu berlari mengejar Sean.Sean memeluk Tiffany dengan erat. Pelukan itu terasa hangat dan kuat.Tiffany yang kesakitan, membuka matanya perlahan-lahan. Dengan mata tertutup pun, dia bisa merasakan detak jantung Sean yang berdetak kencang di dadanya saat dia berlari.Angin bertiup kencang di telinganya, disertai napas Sean yang terdengar sedikit berat. Meskipun matanya terpejam, Tiffany bisa merasakan be
Tubuh Sean yang tinggi dan tegap terlihat goyah. Melihat kondisi itu, Tiffany merasa tidak tega. Dia mengangkat tangannya yang lemah dan menggenggam tangan Sean. "Ini bukan salahmu.""Hadap tembok dan renungkan kesalahanmu!" Julie melemparkan tatapan tajam pada Sean. Dia mendorong Sean ke samping dan membantu dokter membawa Tiffany kembali ke kamar perawatan.Tatapan Tiffany tidak pernah lepas dari wajah Sean. Ini adalah pertama kalinya dia melihat ekspresi keputusasaan dan kesedihan yang begitu mendalam di wajahnya. Tubuhnya yang tinggi tegap berdiri di pintu, tampak begitu kesepian dan sunyi.Pintu kamar rumah sakit itu seperti penghalang tak kasat mata yang memisahkan dunia mereka berdua. Melihat wajahnya yang penuh duka, hati Tiffany terasa sakit. Anak ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak mereka duga. Dia tidak menjaga dirinya dengan baik.Sean yang sudah lama hidup sendirian, tidak mungkin tahu banyak soal hal-hal seperti ini. Tiffany bahkan tidak pernah memberitahunya soal t
Setelah berkata demikian, dokter menggelengkan kepala dan meninggalkan mereka. Tiffany merasa seperti tenggelam dalam kebingungan. Keguguran karena obat aborsi ....Dia mencoba mengingat kembali kejadian kemarin. Pagi itu, mereka berangkat dari Desa Maheswari, lalu tiba di Kota Aven sore harinya. Setelah itu, dia hanya tidur di rumah sebelum menerima ajakan dari Garry untuk bertemu ....Tiba-tiba, Tiffany mengerutkan kening.Kemarin, selain sarapan buatan bibinya dan makan malam yang disiapkan oleh Rika, dia hanya minum secangkir kopi yang dipesankan Garry. Kopi itu sudah diletakkan di tempat duduknya sebelum Tiffany tiba. Saat diminum, kopi itu sudah agak dingin.Rasa dingin yang menusuk tiba-tiba menjalar dari kakinya hingga ke kepalanya. Tiffany menggigil. Tidak, tidak mungkin .... Garry tidak mungkin melakukan itu .... Namun, selain Garry, dia tidak bisa memikirkan siapa lagi yang mungkin melakukannya.Bibinya tidak mungkin mencelakainya. Kak Rika juga tidak mungkin. Setelah semua
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli