Tiffany kelelahan.Sesampainya di gedung olahraga, dia menoleh ke arah pria di belakangnya yang menarik perhatian semua orang, "Setengah jam lagi aku ada kelas olahraga. Aku harus masuk kelas. Kalau ada pekerjaan, kamu kerjakan saja. Kalau nggak, ya pulang saja. Jangan ikuti aku terus!"Setelah berkata demikian, dia langsung berbalik dan masuk ke gedung olahraga. Namun, setelah berjalan beberapa langkah, dia merasa tidak tenang dan menoleh lagi. Pria itu berdiri di depan pintu dengan elegan sambil melipat payung. Tampaknya dia benar-benar tidak berniat mengikuti Tiffany lagi.Tiffany menghela napas lega dan berjalan menuju gedung olahraga dengan tenang. Di lapangan rumput dalam gedung, Julie sudah duduk di sana sejak lama. Melihat Tiffany masuk, dia langsung melambaikan tangan, "Di sini, di sini!"Tiffany yang sudah kelelahan, langsung berlari ke arahnya dan berbaring di samping Julie sembari menikmati aroma segar rumput, "Aku nggak tahu cewek-cewek di kampus kita ternyata seberani itu
Secara refleks, Tiffany mengangkat kepalanya. Benar saja, pria yang sedang berjalan mendekati barisan mereka dengan mengenakan pakaian olahraga abu-abu itu, siapa lagi kalau bukan Sean?Namun ....Tiffany menggigit bibirnya. Selain saat dia memakai baju latihan, mungkin ini adalah pertama kalinya Tiffany melihat Sean mengenakan pakaian olahraga. Ternyata, kalau wajahnya memang sudah tampan, bahkan memakai karung goni pun akan tetap terlihat menawan.Pakaian olahraga yang dia kenakan sama persis dengan milik guru olahraga botak di sebelahnya. Namun, kostum yang terlihat seperti baju rumahan di guru olahraga itu, malah tampak seperti pakaian model kelas dunia saat dipakai oleh Sean."Wow, guru pengganti ini ganteng banget!""Ganteng banget! Tubuhnya juga keren!""Matanya itu tajam banget! Eh, dia lihat aku, dia lihat aku! Aaaah!"Obrolan para mahasiswi di sekitarnya terus terdengar. Tiffany menggigit bibirnya, merasa memiliki suami tampan terkadang bukan hal yang menyenangkan ...."Halo
Sean terlihat lebih seperti kakak senior yang datang membantu daripada seorang guru yang sedang memimpin tes. Jantung Tiffany berdetak kencang. Melihat Tiffany menatapnya, Sean tersenyum lembut ke arahnya, "Bersiaplah."Tiffany tersadar dan segera mengalihkan pandangannya ke depan. Ketika peluit berbunyi, dia dan para peserta lainnya mulai berlari. Namun entah bagaimana, baru setengah putaran mengelilingi lapangan, kecepatan salah satu gadis di depannya mulai melambat.Tiffany yang masih mempertahankan kecepatannya, agak melamun memikirkan Sean. Akibatnya, dia bertabrakan dengan gadis itu. Karena dorongan momentum, tubuh Tiffany langsung jatuh ke tanah.Namun, pada detik terakhir sebelum dia benar-benar terjatuh, sepasang tangan pria yang panjang dan kuat menangkap bahunya. Kalau tidak, wajahnya pasti sudah mencium tanah!Meski wajahnya selamat, lututnya tetap terluka. Lututnya terbentur keras dengan lantai plastik lapangan hingga seluruh tubuhnya kesakitan. Wajah Tiffany meringis kesa
Julie melotot, matanya membesar karena terkejut. Para mahasiswi lain juga sama terkejutnya dan menatap dengan tidak percaya.Perlakuan seperti apa yang diterima Tiffany ini? Tadi dia hampir jatuh karena tidak memperhatikan jalan saat berlari. Namun sekarang, dia malah ditemani guru ganteng untuk lari?!Beberapa mahasiswi mulai bergumam dengan kesal."Kalau tahu begini, aku juga pura-pura jatuh tadi.""Iya, 'kan? Jatuh sekali, terus ditemani lari sama guru ganteng. Siapa juga yang nggak mau jatuh?"Julie mengerutkan alis, lalu menoleh sambil melotot ke arah para mahasiswi itu. "Kalian jatuh sampai patah kaki pun, Guru nggak bakal peduli sama kalian. Percaya, nggak?"Barulah para mahasiswi itu terdiam dengan wajah cemberut dan tidak lagi berkomentar. Tiffany melirik Sean dengan kening berkerut. "Kamu yakin bisa lari?"Meskipun dia tahu kaki Sean sekarang baik-baik saja, pria itu selalu menggunakan kursi roda sejak Tiffany mengenalnya. Bagaimana mungkin pria yang bertahun-tahun duduk di k
"Gimana kalau memang ini keguguran? Ke ruang kesehatan kampus saja nggak cukup ...."Julie belum selesai berbicara ketika Sean sudah menggendong Tiffany dan berlari keluar dari stadion tanpa ragu. Para mahasiswi di sekitar yang suka bergosip mulai bergerombol dan berbisik-bisik."Tiffany keguguran? Dia punya pacar? Sampai keguguran?""Siswi teladan, belum menikah, malah keguguran. Ini berita besar banget, hahaha ...."Julie yang mendengar komentar itu mendelik marah. Dia tidak ingin membuang waktu meladeni mereka. Setelah meletakkan barang-barangnya, dia membawa tas dan jaket Tiffany, lalu berlari mengejar Sean.Sean memeluk Tiffany dengan erat. Pelukan itu terasa hangat dan kuat.Tiffany yang kesakitan, membuka matanya perlahan-lahan. Dengan mata tertutup pun, dia bisa merasakan detak jantung Sean yang berdetak kencang di dadanya saat dia berlari.Angin bertiup kencang di telinganya, disertai napas Sean yang terdengar sedikit berat. Meskipun matanya terpejam, Tiffany bisa merasakan be
Tubuh Sean yang tinggi dan tegap terlihat goyah. Melihat kondisi itu, Tiffany merasa tidak tega. Dia mengangkat tangannya yang lemah dan menggenggam tangan Sean. "Ini bukan salahmu.""Hadap tembok dan renungkan kesalahanmu!" Julie melemparkan tatapan tajam pada Sean. Dia mendorong Sean ke samping dan membantu dokter membawa Tiffany kembali ke kamar perawatan.Tatapan Tiffany tidak pernah lepas dari wajah Sean. Ini adalah pertama kalinya dia melihat ekspresi keputusasaan dan kesedihan yang begitu mendalam di wajahnya. Tubuhnya yang tinggi tegap berdiri di pintu, tampak begitu kesepian dan sunyi.Pintu kamar rumah sakit itu seperti penghalang tak kasat mata yang memisahkan dunia mereka berdua. Melihat wajahnya yang penuh duka, hati Tiffany terasa sakit. Anak ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak mereka duga. Dia tidak menjaga dirinya dengan baik.Sean yang sudah lama hidup sendirian, tidak mungkin tahu banyak soal hal-hal seperti ini. Tiffany bahkan tidak pernah memberitahunya soal t
Setelah berkata demikian, dokter menggelengkan kepala dan meninggalkan mereka. Tiffany merasa seperti tenggelam dalam kebingungan. Keguguran karena obat aborsi ....Dia mencoba mengingat kembali kejadian kemarin. Pagi itu, mereka berangkat dari Desa Maheswari, lalu tiba di Kota Aven sore harinya. Setelah itu, dia hanya tidur di rumah sebelum menerima ajakan dari Garry untuk bertemu ....Tiba-tiba, Tiffany mengerutkan kening.Kemarin, selain sarapan buatan bibinya dan makan malam yang disiapkan oleh Rika, dia hanya minum secangkir kopi yang dipesankan Garry. Kopi itu sudah diletakkan di tempat duduknya sebelum Tiffany tiba. Saat diminum, kopi itu sudah agak dingin.Rasa dingin yang menusuk tiba-tiba menjalar dari kakinya hingga ke kepalanya. Tiffany menggigil. Tidak, tidak mungkin .... Garry tidak mungkin melakukan itu .... Namun, selain Garry, dia tidak bisa memikirkan siapa lagi yang mungkin melakukannya.Bibinya tidak mungkin mencelakainya. Kak Rika juga tidak mungkin. Setelah semua
Pukul lima sore.Waktu jam pulang kerja di lembaga penelitian, Garry berdiri di lorong sambil terus mencoba menghubungi Tiffany melalui ponselnya. Aneh, kenapa panggilan teleponnya tidak bisa terhubung hari ini?Kalaupun ada sesuatu yang membuat Tiffany memblokir salah satu nomornya, dia masih punya nomor lain yang bahkan belum diketahui Tiffany. Tidak mungkin Tiffany sengaja tidak menjawab kedua nomor itu. Kenapa dua nomor sekaligus tidak bisa dihubungi?"Garry!"Saat Garry berusaha mencoba memahami situasinya, suara ramah direktur lembaga penelitian terdengar dari ujung lorong. Garry menoleh ke arah datangnya suara itu.Di ujung lorong, direktur sedang berdiri bersama seorang pria tinggi yang mengenakan kemeja putih. Direktur itu sedang berbicara sesuatu sambil sesekali melirik ke arahnya.Pria itu memiliki tubuh yang ramping, tetapi terlihat jelas bahwa fisiknya kokoh di balik kemeja putihnya. Dia mengenakan kacamata, tetapi alih-alih memancarkan kesan lembut dan intelektual, aurany
Keesokan harinya, setelah mengantar Arlo dan Arlene ke taman kanak-kanak, Tiffany langsung mengemudikan mobilnya menuju kota tempat tinggal Zion sesuai alamat yang diberikan Morgan.Dari pusat kota yang ramai, dia melewati pinggiran kota, masuk ke jalan tol, lalu berbelok ke jalan pedesaan yang semakin sepi.Sepanjang perjalanan, sebuah Land Rover hitam terus mengikutinya dari belakang. Dari kaca spion, Tiffany bisa melihat dengan jelas bahwa mobil itu memiliki pelat nomor dari Kota Aven.Orang dari Kota Aven.Tiffany bahkan tidak perlu berpikir lama untuk tahu siapa yang ada di dalam mobil itu. Akhirnya, dia tidak bisa menahan diri lagi. Tiffany memasang earphone bluetooth dan langsung menelepon Sean. "Kamu ngikutin aku?"Pria di ujung telepon terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Kamu sadar ya?"Tiffany terdiam.Mengikuti seseorang secara terang-terangan dengan Land Rover yang mencolok baik dari segi ukuran maupun model, bukankah itu memang sengaja ingin ketahuan?"Aku cuma mau
Tiffany sangat memahami Sean. Dia tidak mungkin berbicara dengan nada seperti itu kepada seorang pria. Kalau perempuan .... Satu-satunya wanita yang paling dekat dengannya, Sanny, masih dirawat di Rumah Sakit Kintan.Tiffany merasa sedikit jengkel. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Julie meliriknya sekilas, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya memilih diam.Setelah beberapa saat, dia menepuk bahu Tiffany pelan. "Aku sudah cari tahu. Dalam lima tahun terakhir, dia memang nggak pernah dekat sama wanita mana pun.""Tapi ... wanita yang mengincarnya sih nggak sedikit.""Tenang saja."Tiffany mengangguk, tapi beberapa detik kemudian, dia menyadari ada yang janggal. "Kenapa aku harus tenang?" Dia bahkan belum berniat untuk kembali bersama Sean."Cepat atau lambat," sahut Julie.Dia menghela napas panjang sebelum menambahkan, "Lagian, setelah kalian bersama lagi, masih ada satu hal yang harus kalian selesaikan."Tiffany mengernyit. "Apa itu?""Nanti juga kamu akan tahu."
Tiffany kembali ke rumah sakit dan mendapati Julie sudah menunggunya di kantor dengan tangan bersedekap."Aku sudah lihat beritanya," ucap Julie.Dengan jas putih yang membalut tubuh tinggi semampainya, Julie bersandar di kursi sambil menatap Tiffany dengan sorot mata dingin. "Cuma pergi ngajar sebentar saja bisa bikin heboh begini."Tanpa perlu ditanyakan sekalipun, Tiffany sudah bisa memahami apa yang sedang dibicarakan Julie.Tiffany berjalan ke mejanya dengan tenang dan duduk, "Masalah tentang Zion sudah kuselidiki dan kujelaskan semuanya dua tahun lalu. Aku nggak perlu takut."Julie mengangkat alis dan menatapnya dengan sorot mata yang tetap tenang. "Kamu kira aku lagi membicarakan tentang Zion?""Soal itu sudah lama diselesaikan. Tim investigasi rumah sakit melakukan penyelidikan menyeluruh waktu itu. Apa lagi yang bisa dia lakukan sekarang?""Ini yang kubicarakan!" Julie mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.Di dalamnya, Tiffany tampak memeluk sebuket besar mawar m
"Turun dari mobil." Tiffany mengernyit. "Sekarang sudah jam 3 sore. Aku harus ke rumah sakit untuk absen. Nanti sore harus menjemput anak di sekolah."Sean menggigit bibirnya, memasang ekspresi keras kepala. "Aku harus melindungimu. Jadi, ke mana pun kamu pergi, aku akan ikut."Tiffany mendengus. "Melindungiku? Apa kamu juga mempelajarinya dari novel?"Wanita itu menoleh, menatap Sean dengan sorot mata penuh ejekan. "Lemah sekali, yang suka membaca novel romansa itu aku yang lima tahun lalu. Sekarang aku cuma suka membaca jurnal medis."Sean mengangguk. "Kalau begitu, lain kali aku akan meneliti jurnal medis."Tiffany termangu sesaat. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menekan tombol pintu mobil. "Aku nggak peduli apa yang ingin kamu teliti. Tapi, sekarang aku butuh kamu turun dari mobil."Sean mengernyit menatap Tiffany lekat-lekat. "Dok Tiff, kamu harus tahu satu hal, aku ini punya kebiasaan buruk. Aku orangnya cukup pemberontak. Kalau kamu menyuruhku turun, justru aku nggak akan tu
"Aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun."Ketika kalimat itu diucapkan dengan suara rendah oleh Sean, hati Tiffany tak kuasa bergetar. Baik lima tahun yang lalu maupun sekarang, kalimat ini selalu membawa kehangatan aneh setiap kali mendengar Sean mengatakannya.Terutama di saat seperti ini. Mereka telah terpisah selama lima tahun penuh. Lima tahun sudah cukup untuk mengubah banyak hal, cukup lama untuk membuat seseorang menjadi pribadi yang benar-benar berbeda.Namun, setelah bertemu lagi dan di saat dirinya difitnah, Sean masih bisa duduk dengan tenang di kursi belakang mobilnya dan berkata, "Aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun."Perasaan dan ketulusan seperti ini membuatnya tersentuh. Tiffany menarik napas dalam-dalam. Senyuman tipis terukir di sudut bibirnya. "Kalau begitu, terima kasih, Pak Sean.""Sama-sama, Dok Tiff." Sean menyandarkan kedua lengannya di belakang kepala. "Tapi, kulihat tadi ada beberapa mahasiswa yang mengambil foto di kelas. Aku rasa masalah ini nggak ak
"Malam ini aku masih ingin makan pangsit buatanmu."Tiffany memutar matanya. "Nggak mood buat."Dia benar-benar tidak mengerti kenapa tiba-tiba muncul seseorang yang ingin memperjuangkan keadilan untuk Zion, seolah-olah dia adalah orang jahat di sini.Cedera tangan Tiffany sangat parah dulu. Setiap beberapa waktu, dia harus pergi ke Elupa untuk menjalani perawatan.Suatu kali, saat dia sedang dalam perjalanan untuk berobat, rumah sakit menerima pasien dengan kondisi medis yang sangat kompleks.Tanpa mengabari Tiffany, Zion merasa kondisi pasien sangat mirip dengan salah satu kasus yang pernah dia tangani bersama Tiffany sebelumnya.Demi membuktikan kemampuannya, dia nekat mengajukan diri untuk menangani operasi, bahkan berbohong kepada rumah sakit bahwa rencana operasinya adalah hasil arahan Tiffany.Saat itu, kondisi pasien cukup mendesak. Karena pihak rumah sakit tidak dapat menghubungi Tiffany, mereka pun memercayai Zion.Akibatnya, terjadi insiden medis yang cukup besar. Jika bukan
Quinn tertegun sejenak, baru menyadari bahwa Sean sedang menyindirnya dengan kata-katanya sendiri. Wajahnya langsung memerah karena marah. "Aku hanya nggak tahan melihat ini terjadi!""Kalau begitu, ada satu pertanyaan." Sean tersenyum tipis. "Bahkan kamu, seorang mahasiswa biasa, bisa nggak tahan dan tahu soal 'kebenaran' ini. Tapi anehnya, rahasia sebesar ini bisa tersembunyi begitu dalam, sampai-sampai seluruh dunia medis Kota Kintan nggak mengetahuinya dan butuh mahasiswa sepertimu menegakkan keadilan?"Wajah Quinn langsung pucat pasi. Dia menggigit bibirnya, ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi Tiffany sudah melangkah naik ke podium dengan ekspresi tenang. Hanya alisnya yang berkerut sedikit."Tentang insiden malapraktik Zion, aku jarang membicarakannya. Dia adalah murid pertamaku dan dulu adalah rekan terbaikku. Saat insiden itu terjadi, aku benar-benar sedih dan terpukul.""Aku nggak ingin orang lain menghakimi dirinya dan aku juga memahami perasaannya saat itu. Tapi, dia mema
Semakin berbicara, Quinn semakin emosi. Hingga akhirnya, dia langsung menangis tersedu-sedu.Dia menepis tangan satpam yang menahannya, suaranya penuh dengan isak tangis. "Tiffany! Jangan kira aku nggak tahu rahasiamu! Kamu punya dua anak! Kamu juga punya seorang suami!""Tapi, pria yang selalu ada di sisimu ini sudah mengejarmu sejak lama! Kamu bukan hanya tidak menolaknya, tapi bahkan pernah masuk hotel bersamanya!"Setelah berkata demikian, Quinn langsung menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. Di foto itu, terlihat Tiffany sedang membantu Sean masuk ke hotel setelah makan malam di restoran. Saat itu, Sean mengalami sakit perut karena makan makanan yang terlalu pedas.Karena sudut pengambilan gambar, foto itu tampak seperti Tiffany tersenyum bahagia sambil menggandeng lengan Sean dengan mesra.Foto itu ditambah dengan tuduhan yang dilontarkan Quinn, membuat seluruh kelas langsung gempar!Di Kota Kintan, Tiffany adalah ahli bedah jantung nomor satu. Dia adalah sosok yang dihormati da
Menghadapi tuduhan tak berdasar dari Quinn, Tiffany tersenyum dingin. Tak ada lagi kelembutan di matanya seperti sebelumnya.Tiffany tahu bahwa bersikap terlalu baik hanya akan membuat seseorang dimanfaatkan dan dirugikan.Dia menatap Quinn dengan tatapan dingin. "Aku bermain dengan banyak orang? Aku bahkan nggak ingat aku pernah 'bermain' denganmu. Apa aku perlu membuktikan dengan fakta bahwa aku sudah punya anak untuk memberitahumu aku ini bukan lesbian?"Kata-kata Tiffany membuat seluruh ruangan kelas tiba-tiba sunyi. Sesaat kemudian, para mahasiswa mulai tertawa terbahak-bahak.Quinn tertegun, mungkin dia tidak menyangka Tiffany akan menanggapinya dengan kalimat seperti itu.Namun, dia segera tersenyum sinis, menatap Tiffany dengan dingin. "Akhirnya kamu menunjukkan sisi aslimu. Aku sudah berkali-kali bilang pada Kak Zion kalau kamu ini munafik, tapi dia nggak percaya!""Sekarang akhirnya kamu memperlihatkan wajah aslimu, 'kan? Kamu sama sekali nggak baik, nggak manis, dan cuma wan