Julie termangu. Dia tanpa sadar bangkit dan memberikan kursinya kepada Sean.Sean duduk dengan elegan. Sofyan segera memindahkan makanan yang telah dimakan setengah oleh Julie, lalu menyajikan makanan yang baru dibeli.Tiffany meletakkan sendoknya. "Julie, aku sudah selesai makan."Usai berbicara, Tiffany bangkit dan hendak pergi. Namun, Chaplin menghalanginya.Tiffany mengernyit. "Minggir."Chaplin berkata, "Kamu belum kenyang"Tentu saja! Tiffany baru makan sesuap! Bagaimana dia bisa kenyang? Namun, dia tidak ingin makan bersama Sean!Setiap kali melihat Sean, Tiffany akan teringat pada kejadian sebelumnya. Apalagi, Julie mengatakan Sean sebenarnya melihat semua yang dilakukan Tiffany di hadapannya!Tiffany merasa sangat malu sekaligus kesal, karena Sean ternyata tahu dirinya menonton video itu di malam pertama mereka. Belum lagi Tiffany yang mengganti pakaian di hadapan Sean ....Tiffany ingin sekali melemparkan kedua telur ayam yang ada di meja ke kepala Sean! Dulu dia tidak tahu S
"Kalau nggak salah, kamu yang bilang ingin aku menyuapimu di kantin, 'kan?""Aku ...." Wajah Tiffany memerah.Julie yang duduk di samping pun tidak bisa menahan tawanya. Tiffany ini benar-benar bodoh. Masa membuat permintaan seperti itu?Tiffany makin canggung dibuat Julie. "Julie, dengarkan penjelasanku dulu. Aku ...."Tiffany berbicara seperti itu supaya Sean punya motivasi untuk mengobati matanya. Dia ingin Sean mendambakan kehidupan setelah penglihatannya pulih.Namun, sekarang ucapannya itu malah menjadi senjata Sean untuk mengejeknya. Tiffany merasa jengkel. Dia hanya bisa menunduk dan menggerogoti paha ayam.Setelah paha ayam habis, Tiffany mengangkat tangannya untuk mengambil tisu. Tiba-tiba, sebuah tangan besar dijulurkan ke depannya. "Angkat kepalamu."Tiffany spontan mengangkat kepalanya. Sean langsung menyeka bibir Tiffany dengan tisu."Mana tanganmu?"Tiffany menjulurkan tangannya. Sean membantunya menyeka tangannya.Sean sangat tampan kalau serius begini. Tiffany termangu
Sebelum Tiffany sempat menghentikannya, Chaplin juga sudah pergi bersama Julie. Tiffany hanya bisa terdiam. Begitu Chaplin pergi, di tempat itu hanya tersisa Tiffany dan Sean berduaan. Tiffany berjalan di depan dengan sedikit kesal, sementara Sean mengikuti di belakang sambil memayunginya."Tiff!" Dari kejauhan, terlihat seorang kakak senior di fakultas yang memanggilnya. "Lagi jalan-jalan sama pacar ya?"Wajah Tiffany langsung memerah. "Bukan ...."Kakak senior itu sama sekali tidak mendengar suaranya. Pandangannya terus tertuju pada Sean. "Wah pacarmu ini lumayan ganteng juga. Ketemu dari mana?"Wajah Tiffany kini telah merah padam. "Kak ...." Tiffany benar-benar tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya!Sebelum Sean datang ke kampus, semua orang di kampus mengira dia masih lajang. Hanya segelintir orang yang mengetahui tentang pernikahannya dengan Sean. Kini begitu Sean datang, semua orang yang melihatnya akan melemparkan tatapan ambigu."Ya sudah, aku nggak godain kamu lagi." Kare
Tiffany kelelahan.Sesampainya di gedung olahraga, dia menoleh ke arah pria di belakangnya yang menarik perhatian semua orang, "Setengah jam lagi aku ada kelas olahraga. Aku harus masuk kelas. Kalau ada pekerjaan, kamu kerjakan saja. Kalau nggak, ya pulang saja. Jangan ikuti aku terus!"Setelah berkata demikian, dia langsung berbalik dan masuk ke gedung olahraga. Namun, setelah berjalan beberapa langkah, dia merasa tidak tenang dan menoleh lagi. Pria itu berdiri di depan pintu dengan elegan sambil melipat payung. Tampaknya dia benar-benar tidak berniat mengikuti Tiffany lagi.Tiffany menghela napas lega dan berjalan menuju gedung olahraga dengan tenang. Di lapangan rumput dalam gedung, Julie sudah duduk di sana sejak lama. Melihat Tiffany masuk, dia langsung melambaikan tangan, "Di sini, di sini!"Tiffany yang sudah kelelahan, langsung berlari ke arahnya dan berbaring di samping Julie sembari menikmati aroma segar rumput, "Aku nggak tahu cewek-cewek di kampus kita ternyata seberani itu
Secara refleks, Tiffany mengangkat kepalanya. Benar saja, pria yang sedang berjalan mendekati barisan mereka dengan mengenakan pakaian olahraga abu-abu itu, siapa lagi kalau bukan Sean?Namun ....Tiffany menggigit bibirnya. Selain saat dia memakai baju latihan, mungkin ini adalah pertama kalinya Tiffany melihat Sean mengenakan pakaian olahraga. Ternyata, kalau wajahnya memang sudah tampan, bahkan memakai karung goni pun akan tetap terlihat menawan.Pakaian olahraga yang dia kenakan sama persis dengan milik guru olahraga botak di sebelahnya. Namun, kostum yang terlihat seperti baju rumahan di guru olahraga itu, malah tampak seperti pakaian model kelas dunia saat dipakai oleh Sean."Wow, guru pengganti ini ganteng banget!""Ganteng banget! Tubuhnya juga keren!""Matanya itu tajam banget! Eh, dia lihat aku, dia lihat aku! Aaaah!"Obrolan para mahasiswi di sekitarnya terus terdengar. Tiffany menggigit bibirnya, merasa memiliki suami tampan terkadang bukan hal yang menyenangkan ...."Halo
Sean terlihat lebih seperti kakak senior yang datang membantu daripada seorang guru yang sedang memimpin tes. Jantung Tiffany berdetak kencang. Melihat Tiffany menatapnya, Sean tersenyum lembut ke arahnya, "Bersiaplah."Tiffany tersadar dan segera mengalihkan pandangannya ke depan. Ketika peluit berbunyi, dia dan para peserta lainnya mulai berlari. Namun entah bagaimana, baru setengah putaran mengelilingi lapangan, kecepatan salah satu gadis di depannya mulai melambat.Tiffany yang masih mempertahankan kecepatannya, agak melamun memikirkan Sean. Akibatnya, dia bertabrakan dengan gadis itu. Karena dorongan momentum, tubuh Tiffany langsung jatuh ke tanah.Namun, pada detik terakhir sebelum dia benar-benar terjatuh, sepasang tangan pria yang panjang dan kuat menangkap bahunya. Kalau tidak, wajahnya pasti sudah mencium tanah!Meski wajahnya selamat, lututnya tetap terluka. Lututnya terbentur keras dengan lantai plastik lapangan hingga seluruh tubuhnya kesakitan. Wajah Tiffany meringis kesa
Julie melotot, matanya membesar karena terkejut. Para mahasiswi lain juga sama terkejutnya dan menatap dengan tidak percaya.Perlakuan seperti apa yang diterima Tiffany ini? Tadi dia hampir jatuh karena tidak memperhatikan jalan saat berlari. Namun sekarang, dia malah ditemani guru ganteng untuk lari?!Beberapa mahasiswi mulai bergumam dengan kesal."Kalau tahu begini, aku juga pura-pura jatuh tadi.""Iya, 'kan? Jatuh sekali, terus ditemani lari sama guru ganteng. Siapa juga yang nggak mau jatuh?"Julie mengerutkan alis, lalu menoleh sambil melotot ke arah para mahasiswi itu. "Kalian jatuh sampai patah kaki pun, Guru nggak bakal peduli sama kalian. Percaya, nggak?"Barulah para mahasiswi itu terdiam dengan wajah cemberut dan tidak lagi berkomentar. Tiffany melirik Sean dengan kening berkerut. "Kamu yakin bisa lari?"Meskipun dia tahu kaki Sean sekarang baik-baik saja, pria itu selalu menggunakan kursi roda sejak Tiffany mengenalnya. Bagaimana mungkin pria yang bertahun-tahun duduk di k
"Gimana kalau memang ini keguguran? Ke ruang kesehatan kampus saja nggak cukup ...."Julie belum selesai berbicara ketika Sean sudah menggendong Tiffany dan berlari keluar dari stadion tanpa ragu. Para mahasiswi di sekitar yang suka bergosip mulai bergerombol dan berbisik-bisik."Tiffany keguguran? Dia punya pacar? Sampai keguguran?""Siswi teladan, belum menikah, malah keguguran. Ini berita besar banget, hahaha ...."Julie yang mendengar komentar itu mendelik marah. Dia tidak ingin membuang waktu meladeni mereka. Setelah meletakkan barang-barangnya, dia membawa tas dan jaket Tiffany, lalu berlari mengejar Sean.Sean memeluk Tiffany dengan erat. Pelukan itu terasa hangat dan kuat.Tiffany yang kesakitan, membuka matanya perlahan-lahan. Dengan mata tertutup pun, dia bisa merasakan detak jantung Sean yang berdetak kencang di dadanya saat dia berlari.Angin bertiup kencang di telinganya, disertai napas Sean yang terdengar sedikit berat. Meskipun matanya terpejam, Tiffany bisa merasakan be
Julie melirik Samuel dengan dingin, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Mark yang berusaha menahan tawanya pun menatap Zara. Dia bertanya dengan santai, "Nona Zara, kamu nggak bisa makan sendiri ya?"Zara tetap bersandar lemah di sofa. Dia membalas dengan nada lembut, "Tubuhku nggak kuat. Bukannya kamu tahu kalau aku baru saja mengalami kebakaran tadi malam?"Usai berkata demikian, Zara melirik Samuel dengan ekspresi manis. Dia memuji, "Samuel, kamu benar-benar baik. Lihatlah, orang lain cuma bisa mengejekku. Tapi, kamu benar-benar peduli padaku."Tiffany kehabisan kata-kata. Kalau saja dia tidak tahu bahwa semua ini hanyalah kepura-puraan Zara, dia mungkin sudah muntah di tempat.Samuel malah terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah saat dia menggeleng sambil menimpali, "Zara, jangan memujiku seperti itu. Ini memang kewajibanku."Julie langsung berdiri dengan raut wajah dingin. Dia pergi sambil membanting pintu dengan keras. Zara tersenyum puas dan bahkan sempat mengedipkan mata ke arah
"Jadi ...." Sean menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya memegang wajah Tiffany dengan lembut. Dia menatapnya penuh kesungguhan, lalu bertanya, "Kalau aku bilang, ke depannya aku akan kasih Zara lebih banyak perlindungan, apa kamu akan marah?"Tiffany tertegun sebelum bertanya, "Perlindungan yang kamu maksud itu apa?""Aku mau ... memperlakukannya seperti adik sendiri," jawab Sean.Sepasang mata Sean yang dalam menatap Tiffany dengan tulus dan serius. Dia melanjutkan, "Aku nggak bisa memikirkan cara lain yang lebih baik untuk menebusnya. Jadi aku berpikir, gimana kalau kita menganggapnya sebagai adik kita? Kita akan menjaga dan melindunginya sampai dia nikah.""Kerugian yang ditimbulkan kakakku padanya, memang seharusnya ditebus oleh diriku yang adalah adiknya," tambah Sean.Tiffany menggigit bibir dan tidak bisa langsung menjawab apa-apa. Sebenarnya dia bisa memahami keinginan Sean. Namun ... dia tidak bisa melupakan bagaimana dulu Zara sangat ingin mendekati Sean, bahkan berusaha
Tiffany duduk di ruang tamu. Dia menyaksikan Charles melakukan akupunktur pada Zara selama beberapa waktu sebelum akhirnya menguap kecil dan naik ke lantai atas.Saat itu sudah lewat pukul 1 dini hari. Berhubung siang tadi Tiffany tidur cukup lama di dalam bus, di waktu seperti ini barulah dia mulai merasa sedikit mengantuk.Pada jam seperti ini, Sean pasti sudah tertidur. Dengan perasaan sedikit bersalah, Tiffany membuka pintu kamar perlahan. Saat ini, dia sebenarnya tidak tahu bagaimana cara menghibur Sean atau membuatnya berhenti memikirkan banyak hal.Setelah menyelesaikan rutinitas malam dengan cepat, Tiffany berjalan menuju ranjang dengan langkah hati-hati dan memeluk pinggang pria itu yang kokoh dan berotot."Sayang ...," bisik Tiffany pelan sambil memejamkan mata, diikuti dengan sebuah helaan napas kecil.Selama ini, Sean selalu membantu Tiffany dan menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya, baik yang besar maupun kecil. Sementara itu, bagian yang bisa dibantunya untuk Sean
Zara tersenyum manis dengan mata yang melengkung. Dia menambahkan, "Gimana kalau besok aku biarkan kamu menciumku di depan semua orang? Biar harga dirimu kembali deh."Sebenarnya, ini ide yang cukup bagus. Samuel masih ingat betapa memalukannya dia saat dihajar oleh Mark terakhir kali. Akhirnya dia hanya mendengus kesal, tanpa coba mendekat lagi.Charles sedang duduk di sofa. Dia menyilangkan kakinya sambil berkomentar, "Dasar penakut dan hidung belang." Setelah itu, Charles melirik Tiffany dan bertanya sambil mengangkat alis, "Selera temanmu cuma begini?"Tiffany hanya bisa terdiam. Dia tahu, Julie menjalin hubungan dengan Samuel mungkin hanya karena kesal atau ingin balas dendam.Namun, Tiffany baru menyadari bahwa Samuel ternyata orang yang begitu tidak bisa diandalkan .... Hanya dengan beberapa kata dari Zara, dia langsung luluh."Sudahlah, jangan marah lagi," ujar Zara sambil tersenyum lembut pada Samuel. Dia melanjutkan, "Kamu pulanglah dan istirahat. Aku jamin dia nggak akan mel
Seisi vila jatuh dalam keheningan. Tiffany, Zara, dan Charles yang menyaksikan kehebohan ini hanya bisa melongo. Di sisi lain, wajah Samuel sudah terlihat sangat masam.Julie menepis tangan Mark dan berseru, "Gila kamu! Aku hanya pacaran normal, apa maksudmu dengan merusak diri? Kamu sudah menolakku, kenapa aku nggak boleh ...."Mark menggertakkan gigi. Matanya terlihat berapi-api.Julie menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat putus asa dan sedih saat berkata, "Mark, aku benar-benar nggak tahu apa maumu! Selama 19 tahun aku hidup, ada berbagai pemuda yang mengejarku. Tapi, aku nggak pernah meladeni mereka. Aku mengakukan cinta padamu karena ingin berada di sisimu dan menjagamu ...."Julie menarik ingusnya. Pada akhirnya, dia tidak menceritakan masalah ginjalnya.Air mata jatuh berderai di pipinya. Julie menggertakkan gigi dan melanjutkan, "Kamu menolakku. Kamu menyuruhku untuk menghargai orang yang ada di depanku."Julie melirik ke arah Samuel dan berucap lagi, "Jadi, aku men
Charles tertawa kecil dan berkata, "Aku bisa merias wajahmu. Kemampuanku lumayan oke, lho. Fitur wajahmu sekarang sudah lumayan bagus. Wajah seperti apa yang kamu inginkan? Aku bisa meriasnya untukmu."Charles memiliki banyak hobi. Belakangan ini, dia tertarik pada seni riasan, tetapi dia belum menemukan wanita yang pas untuk menjadi pasangan berlatihnya. Zara kebetulan bisa membantunya."Oke, sekarang sudah larut. Kalian semua istirahat dulu. Tiffany, aku tidur duluan," ucap Sean sambil berdiri.Sebelum Tiffany sempat menjawab, Sean sudah berbalik dan melangkah ke lantai atas. Punggung pria itu terlihat kesepian.Tiffany hendak menyusul Sean, tetapi Charles menahannya dan berkata, "Biarkan dia sendiri dulu. Dia butuh waktu untuk mencerna semua informasi yang diterimanya. Bagaimanapun, dia baru mendengar kalau kakak yang disayanginya itu sudah menyakiti Zara."Tiffany menghela napas dan memutuskan untuk tinggal sebentar di ruang tamu.Sekarang sudah lewat tengah malam. Samuel yang tadi
Saat Zara berusia tujuh tahun, keluarganya bertanya apakah dia ingin menjadi gadis yang lebih cantik dan hebat. Dia tentu saja mengiakan dengan gembira.Kala itu, Keluarga Winata hanyalah keluarga yang terpuruk dan tanpa pendukung. Ketika ayahnya bertanya apakah Zara ingin keluarganya hidup lebih baik, dia mengangguk. Ketika ayahnya bertanya lagi, apakah Zara rela menderita supaya semua orang bisa hidup lebih baik, dia tetap mengangguk.Lantaran wajahnya mirip dengan Sanny semasa kecil, sejak itu Zara "beruntung" terpilih sebagai pengganti S di masa depan.Masa kecil Zara dihabiskan dengan dikurung di sebuah ruangan bersama seorang wanita yang wajahnya sudah rusak. Dia dicambuk dan dicaci tanpa belas kasihan.Mereka menanamkan cip di tubuh Zara agar dia menurut dan berada dalam kendali penuh wanita itu. Mereka juga mengoperasi Zara hingga dia terlihat hampir identik dengan wanita itu sebelum wajahnya cacat.Semua orang berkata bahwa dirinya terlahir untuk menjadi Sanny yang kedua. Namu
"Kenapa kamu datang malam ini?" tanya Tiffany."Ada seseorang yang kelewat khawatir. Aku juga mencemaskanmu," sahut Sean sambil mengusap kepala istrinya.Tidak lama kemudian, api berhasil dipadamkan. Berhubung Tiffany masuk menerobos api dan menyelamatkan peralatan fotografi, kerugian mereka tidak terlalu besar.Namun, koper Tiffany, Julie, dan Samuel sudah hangus dimakan api. Mereka juga tidak punya tempat untuk tidur malam ini.Tiffany mengusulkan agar mereka tidur di vila yang disewa oleh Sean dan Mark. Mereka juga bisa membawa Zara yang pingsan ke sana.Setelah memeriksa Zara untuk beberapa saat di kamar, dokter desa keluar dengan membawa sebuah benda kecil berwarna putih. Dia berkata, "Kondisi gadis ini sedikit spesial."Dokter menaruh benda itu di atas meja kopi dan melanjutkan, "Aku menemukan benda ini di bawah kulit lehernya."Mark mengernyit dan mengangkat benda itu untuk mengamatinya. Dia bertanya, "Benda apa ini?""Alat penyadap," gumam Sean dengan alis berkerut."Alat penya
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba