Sepanjang hari selama bekerja Riana tidak berbicara hal lain di luar masalah pekerjaan bersama dnegan Wira, lelaki itu juga terlihat sangat acuh sekali kepada Riana. Yah, Wira sedang merajuk karena Riana terlalu lunak kepada Reynald, dia ingin wanita tersebut memenjarakan mantan suaminya itu. Bukan malah membiarkan kesalahan yang telah Reynald perbuat, toh itu bukan kesalahan yang sepele karena mencemarkan nama baik.Hanya saja, Wira sebenarnya ingin sekali mengajak Riana berbicara, tetapi dia malu dan bingung memulai karena wanita tersebut juga terlihat kesal kepadanya. Apalagi kalau bukan karena dia sendiri yang membuat Riana kesal, wanita tersebut tidak tahu apa salahnya sehingga harus didiamkan oleh lelaki itu.“Riana,” panggil Wira pelan. Saat satu jam lagi jam pulang bekerja, dia ingin berbicara kepada Riana sebentar.“Ada apa, Pak? Apa Bapak memerluan sesuatu?” Riana tersenyum sangat manis kepada sang Bos.“Tidak jadi,” sahut Wira. Entah kenapa dia melihat senyuman yang Riana b
“Memang apa yang akan terjadi?” Riana bertanya karena merasa heran, baru kali ini temannya itu berbicara amat serius kepadanya.Kiki mendekatkan dirinya untuk membisiki Riana. “Aku melihat kalau Lia selalu mondar-mandir di depan ruanganmu dan Pak Wira, aku merasa kalau dia sedang mengawasi sesuatu untuk menunggu waktu yang tepat. Entah itu mau melakukan apa, aku tidak tahu.”“Mungkin kamu hanya salah paham saja, tidak baik verpikiran buruk kepada orang. Bisa saja mungkin dia tengah menatap yang lain, tapi kamu mengira dia menatap ruangan kami berdua,” Riana menolak untuk percaya, dia merasa tidak ada gunanya juga kalau Lia ingin melakukan sesuatu.“Kamu harus percaya, Riana, karena bukan sekali dua kali aku melihatnya,” Kiki berusaha menyakinkan Riana untuk percaya kepadanya. “Kapan kamu melihatnya?” Riana bertanya lagi, dia ingin memastikan sesuatu.“Sekitar dua hari ini aku selalu melihatnya mondar-mandi dan mengawasi kalian berdua,” sahut Kiki.“Nah, kalau memang mau melakukan se
“Pulang bersama dengan Riana dan Bapak?” Kiki bertanya karena merasa sungkan. Kalau dengan Riana tidak masalah, ini dia juga akan satu mobil dengan bosnya sendiri. “Iya. Supaya kamu pulang dengan selamat, kasian nanti Riana akan merasa khawatir denganmu yang pulang seorang diri,” sahut Wira. Dia tidak mau kalau Kiki menolak ajaknnya. “Maukan, Ki?” Riana berharap Kiki mau menerima ajakan Wira, dia tidak mau kalau temannya itu pulang naik angkot seorang diri. Kiki menatap Wira, dia ingin menolak ajakan sang bosnya itu karena merasa sungkan kalau satu mobil dengan CEO muda tersebut, tetapi saat dia menatap Riana, wanita itu malah menatapnya dengan tatapan memelas, berharap dia mau menerima tawaran Pak Wira untuk ikut bersama mereka supaya bisa diantarkan ke rumah dengan selamat. “Baiklah. Tapi di depan gang saja, ya? Takut kalau masuk ke dalam Ayah akan salah paham dan marah,” ucap Kiki terpaksa menerima ajakan mereka. “Iya. Kalau begitu, ayo masuk! Sebelum malam semakin larut.” Wira
“Memangnya kenapa?” Desi menatap lekat ke arah Wira, dia membeikan tatapan sinis kepada sang anak menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut anak lelakinya tersebut. “Bisa sajakan, soalnya aku adalah lelaki dewasa dan Riana adalah wanita dewasa juga.” Wira menjawab pelan dan menggaruk tengkuknya karena merasa gugup dan malu mengatakan hal tidak baik di depan Riana. “Apa kamu akan melakukannya?!”Desi menatap tajam kepada anaknya, sedangkan Riana terkejut mendengar perkataan Wira. “Tidak.” Wira menggelengkan kepalanya pelan. “Riana, apa kamu akan melakukannya dengan Wira?” Kali ini Desi beralih menatap Riana, yang dijawab wanita itu dengan anggukan kepala saja. “Nah, kalau begitu apa yang harus kutakutkan? Tapi Riana, bila kamu tidak yakin kalau tinggal hanya dengan Wira, kamu boleh mengunci pintu kamarmu dengan rapat. Siapa tahukan anak itu malah memasuki kamarmu saat malam hari,” Desi berkata hanya untuk menakuti Riana, sehingga membuat wajah wanita itu menjadi pucat. “tidak usa
Wira berlari menghampiri Riana yang masih terduduk di lantai sambil meringis kesakitan. “Kamu tidak papa, Riana?"“Hanya sedikit nyeri,” sahut Riana masih dengan meringis kesakitan. “Kamu bisa bangun?” Wira mengulurkan tangannya untuk membantu Riana. “Sepertinya masih bisa.” Riana menyambut uluran tangan Wira, walau bisa bangun tetap memerlukan bantuan untuk beranjak. “Siapa yang menaruh ember air pel di sini?!” Wira bertanya dengan berteriak, dia ingin tahu siapa yang ceroboh menaruh ember berisi air pel yang tumpah separuh sembarangan, sehingga membuat Riana terjatuh. Tidak ada orang yang menjawab karena sekarang sedang sepi di depan sini, membuat Wira menjadi semakin kesal karena tidak mengetahui siapa pelakunya. “Tidak usah seperti itu, lagian hanya sakit sedikit saja. Nanti kalau diurut sembuh kok,” ucap Riana berusaha menenangkan bosnya tersebut. “Kamu yakin tidak papa?” Wira bertanya sekedar memastikan. “Tidak papa. Hanya terpeleset sedikit tidak terlalu sakit kok, mungki
“Mm-maaf.” Wira langsung keluar setelah Riana mengusirnya. “Kamu tidak mengunci pintu, Ki?” Riana bertanya dengan wajah memerah, dia sangat malu karena punggungnya harus dilihat oleh Wira. Walau hanya punggung, tetapi kan Riana wanita berhijab dan Wira adalah seorang lelaki yang bukan suaminya, membuat dia sangat malu sekaligus marah lantaran lelaki tersebut tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Bukankah kalau ingin masuk ke ruangan atau tempat seseorang harus mengetuk pintu terlebih dahulu? “Aku lupa, Riana, maaf, ya,” ucap Kiki. Wanita itu memang lupa, karena dia baru pertama kali memasuki ruangan kerja Riana. “Sudah, tidak papa. Tapi kunci dulu pintu itu, nanti malah ada yang masuk lagi ke dalam sini!” perintah Riana, dengan sigap Kiki menuruti untuk mengunci pintu itu. Kiki sudah selesai menempelkan koyo seperti yang diarahkan oleh Riana, memang dia minta pasangkan sampai ke bagian atas punggungnya karena terasa nyeri sedikit bagian sana. “Iya. Terima kasih, Ki,” ucap Riana.
“Selain merayu, Bapak juga lihai dalam berbohong,” ucap Riana masih berusaha menyangkal perkataan Wira. “Berapa kali aku katakan, kalau aku bukanlah seperti yang kamu pikirkan. Apa aku harus bersujud di kakimu di depan banyak orang? Supaya kamu percaya dengan perkataanku, karena hanya kamu wanita yang mampu mengambil hatiku ini,” ucap Wira bersungguh-sungguh. Dia ingin memberikan bukti supaya Riana percaya kepadanya. “Tidak usah! Jangan seperti itu!” Riana tidak mau Wira melakukan itu di depan umum, bisa-bisa dialah yang dituduh mengguna-gunai CEO perusahaan besar, sehingga lelaki itu mau bersujud di depan orang banyak. “Soalnya kamu tidak mempercayai perkatanku, padahal aku berkata jujur dari hatiku yang terdalam,” ucap Wira dengan perasaan kecewa. “Aku masih berat percaya dengan perkataan lelaki. Anda tahu luka saya masih basahkan?” Riana memalingkan wajahnya, dia enggan untuk percaya perkataan lelaki untuk saat ini. “Kalau kamu sendiri tidak ingin mengobati luka itu, bagaimana
“Aku sangat curiga karena sering melihatmu mondar-mandir di sekitar ruangan ini dan sekarang aku malah melihatmu sedang mengintip di ruangan Pak Wira!” ucap Kiki merasa marah dengan tingkah Lia. “Stt, sini.” Lia menarik tangan Kiki untuk menjauh, dia membawanya ke ruangan sepi di mana tidak ada satu pun orang di sana. “Kamu tidak menjawabku, malah mengajakku kemari. Terlihat semakin mencurigakan.” Kiki bersedekap dada, dia menatap Lia dengan sorot mata tajam. Lia menyiapkan jawaban yang pas supaya Kiki tidak semakin mencurigainya, memang seharusnya dia menuruti saran dari Wulan saja supaya menunggu setengah bulan lagi, tetapi memang dasarnya dia bukan orang yang sabaran untuk menunggu dan juga Lia sangat penasaran sekali untuk apa Wulan menginginkan berkas milik Wira. Berkas berwarna map merah, bahkan Riana saja tidak tahu isi berkas tersebut jadi mustahil kalau Wulan pun tahu isinya, mantan sekertaris tersebut hanya melihat sekilas saja bahwa itu adalah berkas yang diinginkan saing