Di sebuah cafe yang berjarak 5 km dari rumah sakit tempat Pak Abbas dirawat, Alfa Zen menemui seorang gadis.
Alfa Zen berpisah dengan Chan kala ia mendapat telepon dari gadis tersebut. Ia memutar balik kendaraan dan berakhir di cafe greendi.
"Kak, silakan duduk." Ujar gadis itu.
"Waktuku tidak banyak, cepat katakan apa tujuanmu memanggilku." Ketus Alfa Zen yang menolak duduk.
"Minum dulu, Kak. Aku sudah pesankan minuman untukmu."
"Aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi denganmu."
"Baiklah," Akhirnya gadis tersebut mengalah.
"Aku tahu alasan Papi memutus semua kerjasama dengan BPC."
"Lalu?!"
Gadis itu geleng-geleng, ia berharap informasi itu akan memperbaiki hubungannya dengan Alfa Zen yang merenggang akibat ulah sang papi. Namun, ekspektasi tidak seindah kenyataan. Sikap Alfa Zen tak ubahnya saat pertama ia tahu kalau Hiro melepas semua kerjasama dengan perusahaan pria itu.
Alfa Zen seperti tida
Barra bangkit, ingin sekali ia mencari Hiro dan menghabisinya saat itu juga. Akan tetapi itu tidak mungkin, Alby dan Ervi lebih butuh bantuannya. Barra meremas abu bekas rumah makannya. Ia menyumpahi Hiro akan menyesali segala kesalahannya di akhir hidupnya.Barra sangat marah. Hiro memang salah satu manusia berhati iblis. Tidak berperikemanusiaan, Bahkan ia dengan bangga mengungkapkan bahwa dirinyalah penyebab rumah makan habis di lahap si jago merah.Barra usap air matanya dengan punggung tangan. Meninggalkan warna kehitaman bekas arang yang melekat di tangan tadi.Barra kacau, ia terpukul. Berlari kembali menuju klinik Flamboyan."Er ... apa yang terjadi?! Bagaimana kondisi Alby?! Kenapa tidak menelepon Uda sejak pagi?" Barra Farzan memberondong Ervi dengan pertanyaan saat sampai di klinik.Ervi tengah duduk dan menangis tanpa suara. Gadis itu masih saja sesenggukan, tidak menjawab pertanyaan sang kakak."Katakan pada Uda, apa yang sebena
Warning ❗ "Terima kasih, Annisa. Nanti aku akan ganti uangmu," kata Barra Farzan setelah Annisa berbaik hati membayar kerugian yang harus Barra Farzan tanggung. "Nggak perlu, aku kira kamu pergi ke mana, sudah beberapa hari sulit dihubungi. Hampir seminggu kamu nggak dateng ke rumah.Ternyata bekerja di sini? Kenapa harus jadi kuli?" Barra mengangguk. "Aku nggak punya pilihan lain. Ngomong-ngomong, kamu kemari dengan siapa?" "Dengan Ken dan Bi Sumi. Mereka lagi belanja di dalam. Aku ingin makan rawon yang ada di pasar ini, tapi aku mau makannya di rumah. Jadi Ken nunggu pesanan selesai dibungkus, dan Bi Sumi sedang belanja daging di dalam." "Ooh ... begitu." Barra Farzan bahagia, Annisa tampak seperti orang normal. Artinya ia bisa segera melepaskan diri dari perempuan tersebut. Untuk segala risiko yang akan dihadapi, Barra Farzan pikirkan nanti saja. Yang memberatkan ia bertahan dengan Annisa adalah, karena perempuan tersebut sangat membutuhkan orang-orang yang peduli dengannya.
Annisa tersenyum sambil menyisir rambutnya yang basah. Perempuan tersebut memerhatikan Barra Farzan yang baru bangun dengan ekspresi bingung. Segala sesuatu yang datang dari Barra Farzan, selalu saja membuat Annisa bahagia.Barra masuk ke dalam kamar mandi, tidak sampai sepuluh menit sudah keluar dengan rambut basah dan dua handuk ia tutupkan ke seluruh tubuh. Takut jika sampai Annisa akan kembali mengajaknya bergulat."Apa masih ada pakaianku di sini?" Tanya Barra Farzan.Annisa berdiri, membuang handuk yang menutup dada bidang Barra Farzan. Alarm bahaya langsung berdering di otak Barra Farzan."Annisa, adikku membutuhkan aku, apa kau bisa mencarikan pakaian untukku? Aku harus segera ke rumah sakit." Ucap Barra,"Sebentar sayang, aku hanya ingin memelukmu sebentar saja."Annisa mulai mengecupi dada sampai leher, juga sekilas mengecup bibir Barra. Tidak puas begitu saja, Annisa berhenti di bagian leher, mengecup lama bagian itu. Lalu, Annisa
Hari telah berganti dengan Minggu, Alby sudah kembali dari rumah sakit, begitu juga dengan Astrata Bustomi yang ikut berkumpul setelah sekian hari ia habiskan untuk menunggui Abbas Bustomi sang ayah di rumah sakit. Seluruh keluarga Farzan berkumpul di ruang tamu, kecuali Neini sang Ibu. Beliau tidak boleh dibiarkan mendengar kabar apapun tentang hancurnya usaha sang anak.Barra Farzan memijat pangkal hidungnya sebelum mengeluhkan uneg-uneg yang sangat mengganggu pikiran. "Sepertinya Alfa Zen sudah memblack list namaku dan menyebarkan ke seluruh perusahaan yang ada kota ini, sampai toko kecil pun menolak tenagaku."Ervi dan Alby menatap miris sang kakak, tidak tahu bagaimana nasib keluarganya nanti kalau sampai sang pemimpin kehabisan bahan bakar untuk berlayar.Astrata merangkul bahu Barra Farzan, mengusapnya penuh kasih sayang. Entah terbuat dari apa hati seorang Astrata Bustomi, ia memiliki ketegaran dan kasih sayang yang luar biasa. Bahkan ia menerima Barra Farzan dengan semua masa
Saat semua pekerjaan rumah sudah diselesaikan, sekitar pukul delapan, Barra Farzan beserta Alby dan Astrata pergi keluar rumah guna mencari tempat untuk mereka membuka usaha baru. Astrata berseru sebelum kakinya melangkah naik ke vespa tua milik sang suami."Alby, kau pesan ojek online dengan tujuan dealer Honda yang ada di jalan Kenangan. Kami tunggu di sana."Barra menoleh dengan ekspresi tidak datar, "Tidak perlu, kita langsung saja ke pertokoan yang ada di jalan Kaki Lima."Astrata menghentakkan kaki yang sudah akan melangkah naik, ia tampak kecewa dengan penolakan Barra. Hingga beberapa menit, Alby memandangi sepasang suami istri yang berseteru hanya karena masalah pembelian kendaraan. Walau, tetap Barra Farzan yang mengalah.Ketika sampai di dealer Honda, Alby diminta oleh Astrata memilih sebuah motor dengan keinginannya. Tanpa banyak memilih, Alby langsung menunjuk satu motor Honda yang memiliki desain mirip dengan vespa namun lebih girly dan tentunya jauh dari kata antik jikal
Begitu sampai di kampus, Ervi langsung menuju loker akademik, menanyakan hal-hal yang disebutkan di telepon tadi. Matanya terbelalak ketika pihak kampus sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Ervi, lalu ia menghubungi Barra Farzan. "Ada apa, Er?" "Maafkan aku, Uda. Aku pergi ke kampus meninggalkan Ibu sendiri di rumah. Tadi ada seseorang yang menghubungi nomor ponselku, dia mengatakan ada hal yang perlu aku urus di akademik. Ternyata, saat aku menanyakan pada pihak kampus, pihak kampus justru terlihat bingung dan tidak paham dengan ... ." Barra Farzan memutus sambungan telepon begitu saja, ia sudah bisa menebak siapa gerangan yang meneror Ervi. Barra berbalik arah, mengurung niatnya untuk mencari tempat usaha baru. "Kita mau kemana? Bukannya kita akan pergi ke jalan Kaki Lima?" Pikiran Barra sudah dirundung seringai licik Hiro dan kemalangan Neini. Barra melaju penuh kecemasan. Sampai-sampai tidak kuasa menjawab pertanyaan Astrata. Gadis itu segera memukulkan telapak tangannya k
Sehari kemudian, Neini baru sadarkan diri. Sorot mata sayu dan tua mengabsen satu per satu. Semua tampak di pandangan. Anak dan menantunya masih setia menunggu dengan raut wajah lelah juga lesu. Neini menarik napas panjang untuk memberi sedikit ruang di dada yang terasa agak sesak. "Alby, Ibu mau minum." Mintanya, menyentuh tangan Alby yang paling dekat dengan ranjang. Suara itu bagai toa yang mengejutkan. Mereka kompak berdiri dan mendekat. Menanyakan kondisi sang Ibu yang masih tampak jelas lemahnya. "Ibu sudah sadar, syukurlah. Biar Barra panggilkan dokter dulu." Barra berbalik, Alby mengambil minum. Lalu Ervi dan Astrata memijat Neini. Neini menggeleng, lalu berkata, "Tidak perlu. Ibu hanya ingin minum." Barra berhenti dan kembali duduk. Menunggu Alby membantu Neini untuk minum. "Ibu ingin bicara dengan Barra. Hanya dengan Barra." Neini menatap Barra Farzan. Setelah semua keluar, Neini mulai melempar tanya pada anak sulungnya itu. "Siapa Hiro?" Dua kata yang membuat Barra
(Mohon skip untuk anak di bawah umur) Barra mengangkat telepon masuk. "Ada apa, Sayang?" "Kakak di mana? Kalo nggak sibuk, jemput aku di rumah.” “Loh, kamu sudah pulang?” “Bukan pulang sebenarnya, Kak. Tadi pas dokter bilang kondisi Ibu sudah stabil, aku pamit mengurus administrasi. Terus aku pergi ngambil uang. Pas keluar dari ATM, eh, malah hujan. Bajuku basah kuyup, Kak. Ini barusan selesai mandi.” “Aku pulang sekarang.” Entah terbuat dari apa hati seorang Astrata Bustomi. Kebaikannya seolah semakin bercahaya. Selalu saja menjadi jalan keluar untuk keluarga Barra yang berada di titik bawah. Selain merasa sakit sendiri, Barra juga malu karena ia belum bisa memberi apa pun untuk Astrata. “Aku mulai semua dari sini, Sayang. Aku janji nggak akan salah langkah lagi.” Barra melajukan Vespa menuju rumah. Di tengah jalan, hujan kembali turun. Mengguyur tubuh Barra yang berlumur dosa. Barra menangis, menyesali semua perbuatan konyol yang ia lakukan. Menyakiti empat perempuan sekaligu
“Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta
Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S
Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr
Barra Farzan melangkah gontai meninggalkan ruang UGD. Seluruh sisa tenaga yang ia miliki seakan lenyap oleh penolakan. Kini, ia berencana pulang, menengok dua adik yang lama ditinggal. Tak ada lagi keluarga yang dipunya selain Alby dan Ervi.Barra meninggalkan rumah sakit tanpa berpamitan pada Nayumi dan Laksmi. Ia menaiki kendaraan umum untuk membawa ke alamat tinggalnya.Tak habis pikir kalau Pak Abbas sang mertua ternyata sudah meninggal dunia. Sungguh sesak menatap aura letih Astrata. Ia sangat Bu ingin mendekap dan saling bertukar kabar dengan perempuan yang dicintai tersebut. Namun, apa mau dikata, dokter sudah mengatakan bahwa Astrata tidak boleh terlampau stres agar kandungannya tetap sehat.Dari gerbang masuk perumahan daerah tinggalnya, Barra berjalan. Ia agak ragu untuk pulang, pasalnya ia sendiri yakin kalau kehidupan Alby dan Ervi baik-baik saja tanpa ada dirinya.“Maafkan Papa, Nak ... Papa tidak bisa menemani kamu dan ibumu. Namun, doa Papa tetap bersama kalian dan
Brankar didorong kencang. Pasien yang terbaring di atasnya meringis kesakitan sambil terus melafalkan doa-doa agar ia tetap sadar. Wanita tua yang mendampingi sampai terseok-seok akibat langkahnya lambat.“Jangan telepon Kak Zen dulu ya, Mbok, aku nggak apa-apa.”“Tapi, Neng ... .”“Sudah, nggak apa-apa. Mbok Yami jangan khawatir.” Astrata berusaha menarik kedua ujung bibir.Ia merasa selama kembali ke rumah hanya menjadi beban sang Kakak. Oleh karena itu, saat ia tiba-tiba jatuh sakit, ia masih berusaha kuat. Astrata sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kenapa dan apa sebabnya ia sampai pendarahan, sama sekali ia tidak paham.Ruangan ICU menyatu dengan ruang gawat darurat. Ketika brankar hampir masuk ke ruang penanganan, seorang pria berlari – menahan brankar dan menatap pasien yang tengah kesakitan.“Berli ... Sayang ... apa yang terjadi?”Astrata menepis tangan Barra dari keningnya. “Tolong usir pria ini, Sus, saya tidak mengenalnya.”“Maaf, Pak, Ibu harus
Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A
Beberapa sekon setelah kepergian Hiro, seorang pengawal datang dan menyeret tubuh Barra dengan kasar. Antara sadar dan tidak, Barra jalan terseok-seok. Namun, ketika cahaya mulai menyilaukan mata, Barra berusaha berdiri seimbang.Sebelum membuka pintu, kepala Barra ditutup menggunakan kain. Seakan ia adalah terdakwa kematian. Jantung Barra mulai berdegup, pikirannya kacau mengingat kesalahan besar pada sang istri. Ia belum ingin meregang nyawa sia-sia. Harapannya besar untuk bisa meminta pengampunan Astrata secara tulus – perempuan yang amat Barra cintai.Barra dibawa naik – keluar dari ruang pengap yang berada di bawah tanah rumah megah nan mewah milik Annisa. Ya, ruang rahasia itu sebenarnya ada di dalam rumah megah.Usai Nayumi di kurung di salah satu kamar tamu lantai bawah, Barra diseret naik ke kamar Annisa. Ketika berada di luar pintu kamar, satu per satu pakaian Barra Farzan dilucuti hingga menyisakan celana bagian dalam saja. Barra dilempar oleh pengawal, bersamaan dengan kai
Dua Minggu berlalu Barra lewati di sebuah ruang pengap tanpa cahaya. Selama itu pula, ia tak pernah tahu dunia luar. Wajah tampannya tertutup jambang dan lebam hampir di seluruh sisi. Barra disandera oleh Hiro. Tubuh gagah Barra tidak lagi sekuat dulu. Kini untuk berdiri saja Barra kesulitan. Beberapa kali mencoba kabur dari tempat laknat itu, tetapi selalu gagal dan mendapat hukuman yang membikin ia semakin tak berdaya.Ia bahkan tidak pernah tahu di mana ia berdiri saat ini. Sebab, ketika Hiro membawa Barra ke dalam ruangan pengap itu, Barra dibuat tak sadarkan diri. Ia baru menyadari dirinya diambang kematian kala membuka mata. Entah lah, ia tak pernah tahu lagi siang dan malam. Rasanya setiap detik dan menit yang dilalui tetap sama, yaitu gelap dan mencekam. Setiap hari ia hanya mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menyerah, tenaganya sudah tak memungkinkan untuk lari dari orang-orang berhati iblis itu.Ya Tuhan ... kalau memang aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama, tolon
Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh