“Kapan sih, kamu mau menikah?!” pertanyaan itu sekonyong-konyong datang, saat seorang pria berusia tiga puluh empat tahun, baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah.
Damar yang terlihat sudah lelah setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, dan ingin segera bertemu dengan putri kecilnya. Malah disambut dengan sebuah pertanyaan—yang bahkan ia sendiri sudah terlalu muak untuk menjawabnya.
Pria itu bergeming menatap sang ibu. Tidak ada niatan untuk membalas pertanyaan itu, karena ia sudah tahu jika hal itu tidak akan berakhir dengan satu pertanyaan jika dia menjawabnya.
“Damar …!” Bu Mustika menatap putranya lurus. “Kamu dengar Ibu nggak, sih?!” tanyanya dengan nada frustasi.
“Dengar Bu,” jawab Damar pelan mengalah. Kemudian ia duduk di salah satu sofa single di seberang sisi sang ibu berdiri, sambil melonggarkan dasinya dan melepas kancing lengannya serta menggulung lengan bajunya itu hingga ke siku.
“Ya terus kapan?” Bu Mustika ikut mengambil duduk, di sofa panjang dekat dengan tempat duduk Damar. “Kapan kamu nikah, Damar?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
Menghela napas pelan, Damar menatap ibunya. “Aku kan sudah menikah, Bu? Apa Ibu lupa, kalau aku sudah punya istri?”
“Damar …” Bu Mustika tidak bisa berkata-kata, dia tidak menyangka dengan apa yang dipikirkan oleh anak semata wayangnya itu.
“Bu, aku sudah bukan anak kecil lagi! Aku cuma mau hidup bersama anakku. Aku nggak perlu untuk menikah lagi, karena aku sudah merasa cukup!” Damar mencoba meredam suaranya yang hampir meninggi.
Kini giliran sang ibu yang menghela napas. Rasanya sudah lelah sekali, menyuruh putranya itu untuk menikah. Entah apa yang membuat anaknya itu sulit untuk membuka hati bagi wanita lain.
Damar menyentuh punggung tangan sang ibu. “Sudah ya? Ibu nggak perlu khawatir lagi. Aku sudah bisa urus diri aku sendiri dan anak aku.”
“Kamu benar-benar keras kepala, Damar!” teriak Bu Mustika kesal.
“Bu—,” Damar mencoba menenangkan sang ibu.
“Ibu dan Bapakmu itu sudah tua, Damar. Setiap hari kami selalu memikirkan nasibmu dan juga anakmu. Bagaimana kalau kami sudah nggak ada, siapa yang bakal merawat kamu? Merawat anak kamu?!” ungkap Bu Mustika dengan sepenuh hati.
Damar terdiam, inginnya mengumpat tapi ia tahan. Sudah lelah bekerja seharian penuh, dan masih harus menghadapi ibunya yang lagi-lagi menanyakan hal yang sama—berulang kali.
“Sudah lima tahun berlalu, dan kamu masih betah menyendiri. Apa kamu tidak iri dengan teman-teman kamu?! Mereka semua sudah memiliki pasangan. Sedangkan kamu?”
Damar kembali menghembuskan napas kasar. “Aku juga sudah punya pasangan Bu!” sanggah Damar, yang membuat Bu Mustika menatap nanar ke arah sang anak.
“Astaga,” Bu Mustika menunduk. Kepalanya mendadak pening sekali. “Ini sudah lima tahun Damar. Kamu nggak seharusnya terus menerus berkabung. Istrimu juga di sana pasti akan mengerti, kalau kamu butuh seorang pendamping!”
“Ibu!” pekik Damar yang tidak suka dengan ucapan sang ibu.
“Kenapa? Yang Ibu katakan itu memang benar!” tantang Bu Mustika untuk menyadarkan anaknya.
“Damar lelah, Bu!” ucap Damar berusaha mengakhiri perdebatan itu.
“Ibu jauh lebih lelah, Damar. Apa kamu nggak memikirkan orang tua dan anak kamu? Mau sampai kapan kamu begini terus, Damar?” tanya Bu Mustika dengan suara tercekat.
Damar mengusap wajahnya menggunakan tangan kanannya. Rasa lelahnya kini bertambah menjadi dua kali lipat.
“Damar …,” Bu Mustika memegang lengan putranya. “Kalau kamu memang nggak mau melakukan ini demi Ibu, maka lakukanlah demi anakmu!”
“Bu, kami baik-baik saja. Hidup kami juga berjalan seperti biasanya. Ibu nggak perlu mengkhawatirkan apapun lagi, sekalipun aku memutuskan untuk tidak menikah lagi!” jawab Damar tegas, seakan tidak ada yang bisa merubah keputusannya.
“Tapi—”
“Sudah ya Bu, Damar ke kamar dulu!”
Pria itu memilih untuk beranjak dari duduknya, dan meninggalkan sang ibu. Ia tidak ingin terus menerus memperdebatkan hal yang sama dengan ibunya.
***
Di dalam kamarnya, Damar duduk di tepi ranjang. Ia menatap ranjang berukuran king size itu dengan nanar. Rasanya memang kosong dan hampa.
Hidupnya kini hanya ia pusatkan kepada putrinya saja. Damar merasa tidak ada salahnya hidup menduda, selama tidak merugikan orang lain.
Lagi pula, pintu hati Damar sudah tertutup untuk wanita manapun. Ia tidak ingin menyakiti hati perempuan lain, dengan masih menyimpan perasaan untuk mendiang sang istri.
Pria itu mengambil sebuah bingkai foto yang ada di atas nakas. Foto itu adalah, foto pertama yang ia ambil bersama mendiang istrinya. Saat itu mereka baru saja meresmikan hubungan mereka.
Damar mengusap gambar wanita yang sedang tersenyum cantik ke arah kamera. Dengan senyum getir, Damar menatap ke arah mata yang terlihat penuh cinta itu.
“Aku nggak harus nikah lagi kan, Sayang?” gumamnya lirih. “Aku cuma mau sehidup semati sama kamu. Anak kita juga baik-baik saja selama ini.”
“Kenapa semua orang menyuruhku untuk menikah? Nggak ada yang salah kan, kalau aku tetap seperti ini, sampai Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu lagi? Iya kan, Sayang?”
Mata Damar mulai berkabut. Ada gejolak yang membuatnya semakin mendekap erat bingkai foto itu.
“Apa kamu nggak bisa balik lagi ke sini, Sayang? Temani aku dan anak kita. Kami sangat merindukan kamu. Terutama aku.”
Begitulah seorang Raden Damar Soemitro, yang selalu mengagungkan cintanya hanya untuk mendiang sang istri.
***
Damar baru saja menyelesaikan rapat internal pagi ini. Setelahnya ia berniat untuk pergi ke kampus. Tapi saat hendak beranjak, sang asisten tiba-tiba bersuara. “Bapak sudah mau pergi?” tanyanya hati-hati.“Ya.”Sejenak sang asisten ragu untuk mengatakan, karena bosnya itu terlihat sedang tidak bagus moodnya. “Ada yang mau kamu katakan?” Damar sepertinya paham, jika asistennya itu sedang ingin mengatakan sesuatu. “Anu Pak, tadi … Ibu mengabari jika Bapak harus pulang sekarang,” ucap Aidan—asisten Damar.Kening Damar berkerut. Kemudian pria itu melihat ponselnya, banyak sekali panggilan masuk dari ibunya. Ia kembali menghela napas pelan. “Apa kamu tahu, beliau mau apa?” tanyanya pada sang asisten.“Ini tentang Non—”Belum sempat Aidan menjelaskan, ponsel bosnya itu sudah berdering. “Ya, Bu. Ada masalah?” tanya Damar. “Lebih baik kamu cepat pulang sekarang, Damar. Anakmu demam!”“Ya, aku segera pulang.”Damar langsung menatap sang asisten. “Kamu pastikan pekerjaan mereka selesai ha
Setelah setuju untuk kembali menikah, Damar mengira jika dirinya akan selesai untuk didesak. Nyatanya, tidak. Seperti pagi ini, Damar hendak pergi ke kantor sebelum dirinya pergi ke kampus. Tapi ibunya sudah kembali melayangkan sebuah pertanyaan. “Kamu beneran mau menikah, kan?” tanya sang ibu, yang kini sedang menatap Damar.Damar sampai harus menghela napas pelan. Tangannya terulur mengusap belakang kepala putrinya, yang tengah asyik menikmati roti selai cokelat miliknya. Ia berganti menatap ibunya, yang kini menatapnya penuh harap. “Kan aku sudah bilang kemarin, Bu? Pokoknya Ibu nggak perlu khawatir lagi,” ujarnya.“Tapi Ibu masih penasaran, dengan siapa kamu mau menikah?” tanya Bu Mustika. “Maksud Ibu, kamu nggak kelihatan sedang dekat dengan perempuan manapun. Dan satu-satunya perempuan yang dekat dengan keluarga kita, cuma Mega.”“Dengan siapa aku akan menikah, Ibu nggak perlu khawatir. Yang jelas, aku bakal menikah sesuai dengan kemauan Ibu,” kata Damar. “Tapi—”“Kecuali de
Jika ada orang yang ingin berteriak seperti manusia dengan gangguan mental, maka itu adalah Damar.Damar menghela napas pelan, menatap gadis cantik yang duduk di depan mejanya. “Kembali ke tempat dudukmu!” ujarnya tegas, sembari menyerahkan lembar evaluasi milik gadis itu.“Terimakasih Pak!” kata gadis itu, yang sama sekali tidak ada takut-takutnya dengan sang dosen.Dari tempat duduknya, Damar menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan mahasiswanya.Sementara Kinanti, mendapat tatapan dari beberapa teman sekelasnya. Tapi gadis itu benar-benar tidak peduli.Sambil menyimpan lembar evaluasinya ke dalam tas, Kinanti tetap bersikap tenang seperti biasa.“Buset, berani banget lo ngomong begitu ke Mas Damar!” bisik Adrian, yang duduk di samping Kinanti.Kinanti tersenyum tipis, ia melirik Damar yang tengah memanggil mahasiswa yang kasusnya sama seperti dirinya.Kinanti mengangkat bahu. “Biar nggak kaku banget, Yan. Lagian Kakak sepupu lo itu, apa nggak cepat tua,
Damar menjabat tangan kliennya, ia tersenyum puas dengan hasil meeting kali ini. Mereka pun berjabat tangan, sebelum akhirnya meninggalkan Damar dan sang asisten di sana.“Kamu langsung balik ke kantor saja, aku masih ingin di sini!” ujar Damar. Pria itu menyesap sedikit minumannya, ia ingin sedikit menenangkan dirinya sejenak di kafe ini.“Iya Pak?” tanya sang asisten tidak mencoba memastikan apa yang didengarnya.“Kamu, balik ke kantor dan selesaikan pekerjaan kamu! Aku mau di sini dulu sebentar,” Damar terpaksa mengulang kembali perintahnya kepada sang asisten.“Baik Pak!” jawab Aidan. “Apa nanti perlu saya hubungi Ramdan untuk menjemput Bapak?” tanyanya.“Tidak perlu,” jawab Damar. “Kamu tinggalkan saja mobilnya di sini!”Aidan kembali mengangguk, tanpa perlu dijelaskan lagi ia sudah paham dengan apa yang harus dilakukannya.Dan sepeninggal sang asisten, Damar kembali membuka tablet dan mulai mengerjakan sesuatu di sana, sebelum akhirnya pria itu menangkap sosok yang sangat famili
Kinanti mengerjapkan matanya dengan cepat. Gadis itu berusaha untuk mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh sang dosen. Penawaran? Penawaran seperti apa yang dimaksudkan oleh pria itu? Pertanyaan itu terus berputar dalam benak Kinanti. Hingga lamunan gadis itu buyar, saat mendengar suara Damar.“Bagaimana Kinanti?” tanya Damar, membuyarkan lamunan gadis itu.“Huh!” Kinanti sedikit terkesiap. “Maksud Bapak … penawaran seperti apa?” tanya gadis itu.Damar menghela napas pelan, ia menatap Kinanti lurus. “Saya ingin kita melakukan kerja sama. Kita harus berpura-pura menjadi pasangan.”Hampir saja rahang Kinanti terlepas dari tempatnya, saking ia terkejut mendengar penuturan Damar.Berpura-pura menjadi pasangan?Apa dosennya itu sudah gila?Sementara dari tempat duduknya, Damar memperhatikan Kinanti. Ia mencoba mencari tahu reaksi gadis itu, dan wajar saja jika gadis itu akan merasa terkejut.Mereka memang tidak sedekat itu, meskipun keluarga Kinanti adalah kolega bisnis keluargany
Kinanti masih terdiam, gadis itu bahkan masih mencerna dengan apa yang baru saja Damar bicarakan.Dan lagi, tangannya masih memegang lembaran kertas yang berisi perjanjian yang dibuat oleh pria itu.“Bagaimana?”Suara Damar yang memecah keheningan, membuat Kinanti sedikit terkesiap.Gadis itu menggeleng pelan. “Saya masih tidak mengerti dengan semua ini, Pak.”“Bagian mana yang tidak kamu mengerti?” tanya Damar.“Kenapa Bapak harus sampai begini?” tanya Kinanti. “Bapak bisa menolak perjodohan itu, dan berikan alasan Bapak kepada keluarga Bapak.”Benar kan?Semua hal bisa dibicarakan dengan baik-baik, dan tidak sampai harus mengambil jalan pintas seperti Damar ini.Bukan apa-apa, Kinanti masih ragu lantaran ia sendiri masih tidak percaya dengan apa yang ditawarkan oleh dosennya itu.“Masalahnya tidak sesederhana itu,” jawab Damar pelan. “Dan kamu pikir, saya tidak melakukan hal yang kamu katakan barusan?”“Jika cara itu sudah berhasil, maka saya tidak perlu memanggilmu kemari,” imbuh D
Kinanti bahkan tidak tahu, jika dosen yang terkenal sangat dingin kepada wanita itu, memiliki sisi percaya diri yang tinggi seperti sekarang.Gadis itu masih tidak mengerti, kenapa harus dirinya yang dipilih oleh Damar?“Pak, saya … masih nggak ngerti, kenapa Bapak harus pilih saya untuk melakukan kerjasama ini?”Maksud Kinanti, dari sekian banyak perempuan yang ada di kampus, kenapa harus dirinya?“Saya sudah bilang, kan? Karena kamu yang paling berpotensi untuk bisa diajak kerja sama,” tutur Damar.“Tapi …”“Kinanti, coba kamu pikirkan lagi, sembari kamu baca ulang isi dari perjanjian itu,” Damar menatap lurus gadis itu. “Kamu bisa tunjukkan kepada semua orang—termasuk mantan kamu itu, kalau kamu juga bisa mendapatkan pengganti dia, bahkan lebih.”
Tiba di rumahnya, Damar langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang berukuran king size. Pria itu menatap langit-langit kamarnya, kemudian menghela napas pelan.“Apa aku sudah melakukan hal yang benar? atau jutru malah sebaliknya?” gumam Damar.Kemudian ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, tatapannya kini tertuju kepada bingkai foto yang ia letakkan di atas nakas. Tangannya terulur untuk mengambil benda tersebut.Damar mengusap dengan lembut wajah cantik yang sedang tersenyum ke arah kamera. “Andai kamu masih di sini, Sayang. Mungkin aku nggak perlu melakukan hal gila seperti ini,” pria itu mendekap bingkai foto tersebut.“Aku beneran nggak tahu harus gimana lagi, karena kalau aku nggak lakukan ini, Ibu bakal terus jodohkan aku dengan adik kamu,” Damar mengusap sudut matanya yang mulai berair. Damar terus berbicara seolah mendiang istrinya itu sedang berada di sisinya sekarang. Hingga tanpa sadar pria itu tertidur dengan tangan yang masih mendekap bingkai foto itu.***Sementara itu
Kinanti mengerjap lambat, ia berusaha untuk mencerna apa yang baru saja ia dengar. Sepertinya ada yang salah dengan pendengarannya. “Calon menantu?” teman Bu Mustika melirik Kinanti. “Maksudnya, ini calon istrinya Nak Damar?” tanyanya. Bu Mustika tersenyum tipis. “Betul sekali, Jeng Ayu. Kan anak saya cuma ada Damar?”Dan Kinanti hanya tersenyum canggung, saat teman Bu Mustika kembali menatapnya. Ada perasaan risih, karena wanita itu benar-benar menatapnya dengan tatapan—memindai.“Apa Jeng, yakin?” tanya teman Bu Mustika lagi, dengan mengerling ke arah Kinanti. “Maksud saya—bukankah dia terlihat sangat—muda?”“Maaf, memangnya kenapa kalau saya masih muda ya, Tante?” tanya Kinanti. Sejak tadi gadis itu merasa sedikit kesal dengan tatapan teman Bu Mustika itu. “Ya—nggak apa-apa, sih. Tapi …”“Tapi kenapa, Bu?” sela Kinanti cepat. “Saya sudah masuk usia legal, dan seharusnya tidak ada masalah dengan itu. Yang terpenting, saya tetap menerima semua perbedaan antara saya dan Mas Damar!
“K-Kinanti?”Gadis si pemilik nama itu pun tersenyum, ia kembali berderap mendekat. Kemudian meraih tangan wanita baya di depannya, lalu dicium punggung wanita itu. “Tante …” Kinanti tersenyum menatap Bu Mustika. “Abis belanja ya?” tanyanya. “Iya,” jawab Bu Mustika. “Kamu sendiri? Mau belanja juga?”Kinanti tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Enggak. Kinan niatnya mau antar teman, Tante. Ini kenalin, namanya Anggita.”Mau tidak mau Anggita ikut tersenyum—meskipun terlihat canggung, karena ia sama sekali tidak mengenal perempuan di hadapannya. Bu Mustika menyambut uluran tangan Anggita sambil tersenyum. “Tante sudah mau pulang, atau baru mau belanja?” tanya Kinanti pada akhirnya. “Sudah mau pulang, tapi ini ponsel saya kehabisan daya, jadi nggak bisa hubungi driver,” tutur Bu Mustika. Kinanti mengangguk kecil. “Mau pinjam punya saya, Tante? Boleh telepon Pak—maksud saya Mas Damar.”“Ah, benar juga. Tapi memangnya nggak ngerepotin kamu?”Kinanti tersenyum, lalu menggeleng. “Sama sek
Mama? Damar tidak pernah menyangka, jika kalimat keluar dari mulut mungil putrinya. “Ola, Sayang … kenapa tiba-tiba ngomong begitu?” tanya Bu Mustika dengan lembut. “Memangnya kenapa, Eyang? Nggak boleh, ya?” Ola mengerjapkan matanya lambat, tatapannya begitu polos. Bu Mustika tersenyum, kemudian tangannya mengusap lembut kepala sang cucu. “Bukan nggak boleh, takut Tante Kinan nggak nyaman.”“Nggak kok, Eyang. Tante Kinan malah senang, aku panggil Mama.”Kemudian wanita baya itu menatap putranya, yang hanya mengedikkan bahu. Karena memang Damar tidak mengetahui apapun. “Sekarang Ola masuk ke dalam kamar dulu ya, Nak? Bersih-bersih, minta ditemani sama Sus,” ujar Bu Mustika lembut. Dan gadis cilik itu pun menuruti apa yang dikatakan oleh eyangnya. Kini tinggal lah Damar dan juga ibunya di ruang tamu utama.“Apa gadis itu, yang mempengaruhi cucu Ibu?” tanya Bu Mustika, dengan menatap Damar lurus. “Maksud Ibu?”Bu Mustika berjalan pelan, kemudian ia mengambil duduk di salah satu
Cepat-cepat Damar menggeleng,menyadari apa yang baru ia pikirkan. Tidak mungkin perasaan itu ada untuk perempuan lain. Pasti ada yang tidak beres dengan otaknya. Sementara itu, Kinanti yang tengah asik bercengkrama dengan Ola, sama sekali tidak peduli dengan apa yang kini dirasakan oleh pria itu. Kinanti yang notabene pencinta anak-anak, sangat senang saat bermain bersama Ola. Ia memang sejak dulu sangat menginginkan kehadiran seorang adik. “Tante, Tante!” panggil Ola. “Iya, Sayang?” balas Kinanti dengan tersenyum lembut. Kemudian gadis kecil itu membisikkan sesuatu di telinga Kinanti. Lalu setelahnya kedua perempuan berbeda generasi itu, tertawa bersama setelah Kinanti melakukan hal yang sama pada Ola. Hal itu tentu saja menarik perhatian Damar. Apa kiranya yang tengah dibicarakan oleh mereka? “Ekhem!” Damar berdehem untuk menginterupsi dua perempuan yang ada di sampingnya. “Kalian … sedang bicara apa? Kenapa harus bisik-bisik?” tanyanya—penasaran.Kinanti dan Ola saling bertu
“Wait? jadi lo kemarin malam diajak ke rumahnya Mas Damar?” tanya Adrian saat sedang berada di kantin fakultas bersama dengan Kinanti dan Anggita.Kening Kinanti berkerut. “Tahu dari mana lo?”tanyanya. Gadis itu mengaduk minumannya dengan tidak bersemangat.“Ya elah, nggak usah heran,” balas Adrian. “Lo lupa, kalau gue ini adik sepupu dosen tercinta lo itu?”Dibilang seperti itu, Kinanti mendelik pada temannya itu.“Jadi beneran ya, Ki?” tanya Adrian lagi, ia ingin mendengar jawaban dari Kinanti langsung.Kinanti menyesap minumannya sedikit, kemudian gadis itu menghela napas pelan. “Ya, kayak yang lo dengar aja lah, Yan.”Kedua teman Kinanti itu, tidak bisa untuk tidak terkejut. Meski sudah menyangka hal seperti ini jelas akan terjadi, tapi tetap saja mereka masih terkejut.
“Apa maksud Ibu?” tanya Damar, dengan kening yang berkerut.Bu Mustika menghela napas pelan. “Ibu nggak yakin, kamu bisa menikah sama dia,” ujarnya pelan.“Begini,” Bu Mustika menuntun Damar, untuk ikut duduk bersamanya di salah satu sofa yang ada di ruangan itu. “Dia itu anak bungsunya Mas Djiwo, yang kalau nggak salah juga dia temannya si Adrian.”Damar masih terdiam, menunggu ibunya kembali bersuara.“Kamu tahu apa artinya itu, Damar?” tanya Bu Mustika, dan Damar menggeleng. “Artinya, perbedaan kalian itu sangatlah jauh. Selisih usia kalian saja, 13 tahun. Apa kamu yakin, mau menikahi dia?”“Kenapa tidak, Bu?”Damar sendiri sebetulnya sudah menyangka, penolakan semacam ini akan terjadi. Terlebih lagi, keluarganya dengan keluarga Kinanti itu memang saling m
Kinanti menatap satu per satu anggota keluarga Damar, secara bergantian. Tangannya masih betah mengamit lengan Damar, bahkan gadis itu tidak sadar.Ia melihat tatapan dari semua orang, yang nampak terkejut saat melihat kedatangannya dengan Damar.Mungkin akan berbeda ceritanya jika keluarga mereka tidak saling mengenal dengan baik. Tapi ini kedua orang tua Kinanti saja, mengenal dengan baik keluarga Damar.“Kinanti?”Bu Mustika menjadi orang yang pertama kali bersuara. Dan kalimat itu muncul begitu saja, seolah reflek mengikuti apa yang sedang ada dalam benak wanita itu.Gadis itu tersenyum canggung. “Tante …” lalu gadis itu melepas kemitan lengannya, dan menghampiri ibu Damar.Sementara Bu Mustika masih bigung, dan mencerna apa yang sedang terjadi, Ia melirik ke arah Damar, berharap putranya itu mau memberinya penjelasan.
Kinanti hanya mampu memberikan sebuah senyuman canggung. Gadis itu benar-benar malu. Karena pasti setelah ini ada yang akan mengadukan kejadian ini pada ibunya.Selesai melakukan transaksi, Kinanti keluar bersama dengan Aidan yang berjalan di belakangnya.Begitu keluar dari bangunan itu, Kinanti menoleh ke belakang menghadap Aidan.“Bapak duluan saja, nanti saya pulang sendiri,” ujar gadis itu.Aidan tersenyum tipis. “Saya antar saja,No. Ini perintah Bapak.”Hampir saja Kinanti merotasi bola matanya, karena bosan sekali mendengar jawaban Aidan—yang menurutnya sangat template.Dan Kinanti tidak punya pilihan lain, selain menuruti Aidan.***Keesokan malamnya, Damar sudah siap untuk menjemput Kinanti. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga ke siku.
“Kenapa, Ki?” tanya Anggita, saat melihat perubahan ekspresi dari temannya itu.Kinanti mengeleng pelan, tapi tangannya menyerahkan ponselnya kepada temannya.Anggita menerima ponsel Kinanti, kemudian membaca pesan dari Damar. Dan menurut gadis itu itu, tidak ada yang aneh dengan isi pesan tersebut.“Menurut lo, Pak Damar berlebihan nggak sih, Git?” tanya Kinanti.“Enggak ah,” jawab Anggita. “Ini namanya gentleman. Beliau mau, lo itu proper pas ketemu sama keluarganya nanti.”Masa iya begitu?“Lagian, lo nggak usah mikir aneh-aneh deh, Ki. Yang dilakukan sama Pak Damar itu sangat wajar, as a gentleman,” ujar Anggita.“Masa sih? bukannya ini berlebihan, ya?” tanya Kinanti. “Maksud gue, hubungan kami kan nggak seserius itu, Git?”Anggita