Kinanti masih terdiam, gadis itu bahkan masih mencerna dengan apa yang baru saja Damar bicarakan.
Dan lagi, tangannya masih memegang lembaran kertas yang berisi perjanjian yang dibuat oleh pria itu.
“Bagaimana?”
Suara Damar yang memecah keheningan, membuat Kinanti sedikit terkesiap.
Gadis itu menggeleng pelan. “Saya masih tidak mengerti dengan semua ini, Pak.”
“Bagian mana yang tidak kamu mengerti?” tanya Damar.
“Kenapa Bapak harus sampai begini?” tanya Kinanti. “Bapak bisa menolak perjodohan itu, dan berikan alasan Bapak kepada keluarga Bapak.”
Benar kan?
Semua hal bisa dibicarakan dengan baik-baik, dan tidak sampai harus mengambil jalan pintas seperti Damar ini.
Bukan apa-apa, Kinanti masih ragu lantaran ia sendiri masih tidak percaya dengan apa yang ditawarkan oleh dosennya itu.
“Masalahnya tidak sesederhana itu,” jawab Damar pelan. “Dan kamu pikir, saya tidak melakukan hal yang kamu katakan barusan?”
“Jika cara itu sudah berhasil, maka saya tidak perlu memanggilmu kemari,” imbuh Damar.
“Tapi kenapa harus saya?” tanya Kinanti lagi. “Maksud saya, Bapak pasti punya teman wanita, kan? tapi kenapa malah memilih saya?”
“Karena kamu yang paling berpotensi,” jawab Damar.
Kinanti sampai melongo mendengar jawaban itu. Apa maksudnya?
Damar menghela napas pelan. “Begini Kinanti, sebenarnya saya butuh untuk mencari calon istri dalam waktu kurang dari seminggu.”
“Saya tahu ini sangat tidak masuk akal buat kamu, tapi saya berpikir ini adalah hal yang paling menguntungkan untuk kita,” imbuh Damar.
“Menguntungkan?” ulang Kinanti.
“Hm,” Damar mengangguk kecil. “Bukannya kamu juga ingin membalas perbuatan mantan pacar kamu? kamu juga sedang mencari pria untuk dijadikan pacar, kan?”
Kinanti melipat bibirnya ke dalam. Benar juga apa yang dikatakan oleh dosennya itu. Tapi entah kenapa masih ada yang mengganjal di hati gadis itu.
Sementara Damar menatap gadis di depannya dengan perasaan gusar. Karena jika Kinanti sampai menolak, habis suda dirinya akan dijodohkan oleh sang ibu.
Atau mungkin ini sudah takdirnya?
“Tapi Pak, ini sangat beresiko. Bapak tahu, status kita ini dosen dan mahasiswa, apa kata orang nanti? terus gimana nanti, kalau ada yang mau dekati saya beneran?”
Kinanti hanya tidak ingin mendapat omongan buruk dari teman-temannya.
“Kamu baca lagi surat itu,” kata Damar.
Kinanti menurut. Pandangannya tertuju pada lembaran kertas yang sejak tadi ia pegang.
Dalam surat itu jelas tertulis, jika mereka akan menjadi pasangan pura-pura selama enam bulan. Dan juga tertulis, bahwa selama kontrak berlangsung mereka tidak boleh mnecampuri privasi masing-masing.
“Sudah?”
Suara Damar kembali membuat Kinanti terkesiap. Gadis itu mengangkat pandangan, dan netranya bertemu tatap dengan milik sang dosen.
“Kalau sudah, seharusnya kamu sudah bisa memutuskan sekarang,” ucap Damar.
“Saya sudah membaca ini semua, tapi saya tidak menemukan satu hal yang menguntungkan untuk saya?” satu alis Kinanti terangkat. “Maksud saya, sebelumnya saya bilang bahwa kerja sama kita ini akan sama-sama menguntungkan. Bukan begitu?”
Damar menghela napas pelan. Pantas saja, gadis itu masuk ke dalam salah satu mahasiswa bermasalah. Damar kini tahu jawabannya.
“Bukannya di situ sudah tertulis, kita akan menjadi pasangan pura-pura? dan itu akan berlangsung selama enam bulan, artinya apa? orang-orang akan mengetahui status kamu sebagai pasangan saya, begitu pula dengan mantan pacar kamu itu.”
Kinanti semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Damar. Bagian mana ia akan diuntungkan?
“Masih belum paham juga?” Damar berusaha untuk menekan nada bicaranya, Ternyata berbicara dengan gadis ini benar-benar membuat energinya sedikit terkuras. “Kamu serius belum paham, Kinanti?” tanya Damar lagi.
Kinanti mengangguk pelan. Ia memang tidak mengerti keuntungan apa yang akan didapatkannya.
Damar menghela napas pelan, kali ini tatapannya berubah menjadi serius saat menatap Kinanti.
“Bukannya kamu sedang butuh seseorang untuk dijadikan pacar?” Kinanti mengangguk. “Ya sudah, bukankah dengan kita menjadi pasangan pura-pura, mantan kamu juga kan tahu kalau kamu juga sudah punya pacar?”
“Sebentar Pak,” Kinanti berdehem pelan. “Kita akan berpura-pura di depan semua orang?” tanyanya.
“Juga di hadapan keluarga saya tentunya,” jawab Damar.
“Iya saya tahu itu, tapi Pak maksud saya itu, bagian mana saya akan diuntungkan?”
“Status,” jawab Damar cepat. “Kamu akan mendapatkan status sebagai pasangan saya. Apa itu masih tidak menguntungkan untuk kamu? siapa yang tidak mengenal saya?”
Kinanti ternganga mendengar jawaban Damar. Jadi maksudnya, hanya status itu yang akan menguntungkannya?
Percaya diri sekali pria itu?
***
Kinanti bahkan tidak tahu, jika dosen yang terkenal sangat dingin kepada wanita itu, memiliki sisi percaya diri yang tinggi seperti sekarang.Gadis itu masih tidak mengerti, kenapa harus dirinya yang dipilih oleh Damar?“Pak, saya … masih nggak ngerti, kenapa Bapak harus pilih saya untuk melakukan kerjasama ini?”Maksud Kinanti, dari sekian banyak perempuan yang ada di kampus, kenapa harus dirinya?“Saya sudah bilang, kan? Karena kamu yang paling berpotensi untuk bisa diajak kerja sama,” tutur Damar.“Tapi …”“Kinanti, coba kamu pikirkan lagi, sembari kamu baca ulang isi dari perjanjian itu,” Damar menatap lurus gadis itu. “Kamu bisa tunjukkan kepada semua orang—termasuk mantan kamu itu, kalau kamu juga bisa mendapatkan pengganti dia, bahkan lebih.”
Tiba di rumahnya, Damar langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang berukuran king size. Pria itu menatap langit-langit kamarnya, kemudian menghela napas pelan.“Apa aku sudah melakukan hal yang benar? atau jutru malah sebaliknya?” gumam Damar.Kemudian ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, tatapannya kini tertuju kepada bingkai foto yang ia letakkan di atas nakas. Tangannya terulur untuk mengambil benda tersebut.Damar mengusap dengan lembut wajah cantik yang sedang tersenyum ke arah kamera. “Andai kamu masih di sini, Sayang. Mungkin aku nggak perlu melakukan hal gila seperti ini,” pria itu mendekap bingkai foto tersebut.“Aku beneran nggak tahu harus gimana lagi, karena kalau aku nggak lakukan ini, Ibu bakal terus jodohkan aku dengan adik kamu,” Damar mengusap sudut matanya yang mulai berair. Damar terus berbicara seolah mendiang istrinya itu sedang berada di sisinya sekarang. Hingga tanpa sadar pria itu tertidur dengan tangan yang masih mendekap bingkai foto itu.***Sementara itu
“Kamu sedang memanfaatkan saya?” Damar menatap lurus Kinanti.Satu alis Kinanti terangkat. “Bukannya Bapak juga begitu?”SialDamar benar-benar tidak menyangka jika Kinanti akan memanfaatkan status mereka. Ternyata gadis itu sama seperti perempuan di luar sana.“Apa tidak cukup, jika hanya teman-teman kam yang mengetahui status kita nanti?’ tanya Damar. “Bukanya nanti sama saja, mantan kamu juga kan tahu berita ini?”Damar berpikir jika Kinanti ini terlalu berlebihan, kenapa juga mereka harus bersandiwara di depan keluarga gadis itu?Dan juga, bukankah perjanjian ini adalah Damar yang buat? kenapa sekarang seolah semua ada pada kendali gadis itu?Kinanti mengangkat bahunya. “Ya, itu sih yang paling fair menurut saya,” ujarnya pelan. “Emangnya Bapak pikir, mantan saya itu bakal percaya gitu aja? semua orang di kampus ini juga tahu, Bapak o
“Kapan?”Pertanyaan itu kembali Damar dengar, setelah beberapa hari ini ibunya tidak kembali menyinggung soal statusnya.“Kapan Damar?” tanya Bu Mustika lagi. “Kamu pasti hanya lagi cari alasan saja, kan? sebenarnya kamu pasti belum ada calonnya. Iya kan?”“Enggak, Bu. Damar nggak bohong,” jawa Damar.“Ya, terus kapan?!” tanya Bu Mustika lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.“Nanti, Bu. Aku juga sedang sibuk urusan kantor dan juga kampus. Dan dia juga sedang sibuk,” jawab Damar pelan.“Memangnya calon istrimu itu kerja di mana?” tanya Bu Mustika.“Ada pokoknya Bu,” Damar enggan untuk menjawab. “Sudah ya, nggak ada yang perlu Ibu khawatirkan lagi. Nanti kalau kami sudah nggak sibuk, pasti akan aku kenalkan sama Ibu.”
Kinanti mengerjap cepat, gadis itu seperti orang linglung sekarang. Hingga Anggita yang berdiri di sampingnya, sedikit menyenggol lengannya.“I-iya Pak?”Damar tersenyum tipis, kemudian menggeleng pelan. Tatapannya kini beralih pada Anggita. “Kamu boleh keluar dulu. Ada yang mau saya bicarakan dengan Kinanti.”“B-baik Pak!” Anggita langsung buru-buru keluar dari ruangan Damar, tanpa peduli dengan tatapan memohon dari Kinanti.Sementara Kinanti menatap kepergian temannya hingga gadis itu tiba di pintu, Anggita seperti tengah mengatakan sesuatu.“Semangat!” kata Anggita, yang hanya menggerakkan bibirnya saja, tanpa suara.Dan Kinanti merasa benar-benar seperti sedang dijebak sekarang.“Apa kamu akan terus berdiri?”Pertanyaan itu langsung membuyarkan lamunan Ki
Damar terdiam saat mendengar pertanyaan dari gadis kecil itu. Ia menatap putrinya yang juga menatapnya dengan mata berbinar.Rasanya Damar benar-benar berdosa sekali kepada putrinya. Apakah anaknya itu benar-benar menginginkan seorang ibu sungguhan?“Papa? kok diam aja?” gadis kecil itu meletakkan telapak tangannya di salah satu sisi wajah sang ayah.“Hm?” Damar tersenyum. “Ola tadi tanya apa sama Papa, Nak?”“Eyang bilang, sebentar lagi aku bakal punya Mama. Apa itu benar, Pa?”“Eyang bilang begitu?” tanya Damar, dan putrinya itu mengangguk cepat. “Memangnya Ola pengen punya Mama baru?”“Mau!” gadis kecil itu berseru. “Biar kayak teman-teman aku, Pa. Mereka semuanya ada Mama dan Papa. Cuma Ola aja yang nggak punya Mama,” raut wajahnya langsung berubah menjadi send
Tolong siapapun ingatkan Kinanti untuk mengatupkan bibirnya. Karena yang terjadi saat ini adalah, gadis itu ternganga lantaran mendengar ajakan sang dosen.Kinanti tidak salah dengar, kan?Atau ia sedang berhalusinasi sekarang?“Aduh!” gadis itu mengaduh karena mencubit pergelangan tangannya sendiri.Sementara Damar yang melihat tingkah Kinanti, merasa heran. Apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu?“Kenapa kamu?” tanya Damar.“Bapak … barusan ngajak saya pulang bareng, kan?” bukannya menjawab pertanyaan dosennya, gadis itu malah kembali bertanya.“Iya,” jawab Damar pendek.“Ini serius, Pak? jadi, saya nggak salah degar kan?”“Iya, Kinanti.”“Wah!” gadis itu kembali terkejut, karena ter
“Siapa Kinanti?”Damar terkejut dengan pertanyaan sang ibu. Pria itu langsung menutupi ponselnya dan kembali mengatur ekspresinya.“Damar? kenapa nggak dijawab? siapa Kinanti?” cecar sang ibu.“Mahasiswi Damar di kampus, Bu.”Kening Bu Mustika semakin berkerut. “Kamu antar mahasiswa kamu pulang? kenapa?” tanyanya heran.Kenapa?Pertanyaan itu juga baru saja masuk ke dalam benak Damar. Sebelumnya ia tidak memikirkan apapun, dan baru tersadar saat ibunya bertanya.Apa yang ia lakukan tadi?Kenapa harus melakukan hal itu?Ini sama sekali bukan gaya Damar. Karena ia adalah salah satu orang tidak ingin direpotkan oleh orang lain—yang tidak ada hubungan apapun dalam hidupnya.“Damar?”Lamuna
“K-Kinanti?”Gadis si pemilik nama itu pun tersenyum, ia kembali berderap mendekat. Kemudian meraih tangan wanita baya di depannya, lalu dicium punggung wanita itu. “Tante …” Kinanti tersenyum menatap Bu Mustika. “Abis belanja ya?” tanyanya. “Iya,” jawab Bu Mustika. “Kamu sendiri? Mau belanja juga?”Kinanti tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Enggak. Kinan niatnya mau antar teman, Tante. Ini kenalin, namanya Anggita.”Mau tidak mau Anggita ikut tersenyum—meskipun terlihat canggung, karena ia sama sekali tidak mengenal perempuan di hadapannya. Bu Mustika menyambut uluran tangan Anggita sambil tersenyum. “Tante sudah mau pulang, atau baru mau belanja?” tanya Kinanti pada akhirnya. “Sudah mau pulang, tapi ini ponsel saya kehabisan daya, jadi nggak bisa hubungi driver,” tutur Bu Mustika. Kinanti mengangguk kecil. “Mau pinjam punya saya, Tante? Boleh telepon Pak—maksud saya Mas Damar.”“Ah, benar juga. Tapi memangnya nggak ngerepotin kamu?”Kinanti tersenyum, lalu menggeleng. “Sama sek
Mama? Damar tidak pernah menyangka, jika kalimat keluar dari mulut mungil putrinya. “Ola, Sayang … kenapa tiba-tiba ngomong begitu?” tanya Bu Mustika dengan lembut. “Memangnya kenapa, Eyang? Nggak boleh, ya?” Ola mengerjapkan matanya lambat, tatapannya begitu polos. Bu Mustika tersenyum, kemudian tangannya mengusap lembut kepala sang cucu. “Bukan nggak boleh, takut Tante Kinan nggak nyaman.”“Nggak kok, Eyang. Tante Kinan malah senang, aku panggil Mama.”Kemudian wanita baya itu menatap putranya, yang hanya mengedikkan bahu. Karena memang Damar tidak mengetahui apapun. “Sekarang Ola masuk ke dalam kamar dulu ya, Nak? Bersih-bersih, minta ditemani sama Sus,” ujar Bu Mustika lembut. Dan gadis cilik itu pun menuruti apa yang dikatakan oleh eyangnya. Kini tinggal lah Damar dan juga ibunya di ruang tamu utama.“Apa gadis itu, yang mempengaruhi cucu Ibu?” tanya Bu Mustika, dengan menatap Damar lurus. “Maksud Ibu?”Bu Mustika berjalan pelan, kemudian ia mengambil duduk di salah satu
Cepat-cepat Damar menggeleng,menyadari apa yang baru ia pikirkan. Tidak mungkin perasaan itu ada untuk perempuan lain. Pasti ada yang tidak beres dengan otaknya. Sementara itu, Kinanti yang tengah asik bercengkrama dengan Ola, sama sekali tidak peduli dengan apa yang kini dirasakan oleh pria itu. Kinanti yang notabene pencinta anak-anak, sangat senang saat bermain bersama Ola. Ia memang sejak dulu sangat menginginkan kehadiran seorang adik. “Tante, Tante!” panggil Ola. “Iya, Sayang?” balas Kinanti dengan tersenyum lembut. Kemudian gadis kecil itu membisikkan sesuatu di telinga Kinanti. Lalu setelahnya kedua perempuan berbeda generasi itu, tertawa bersama setelah Kinanti melakukan hal yang sama pada Ola. Hal itu tentu saja menarik perhatian Damar. Apa kiranya yang tengah dibicarakan oleh mereka? “Ekhem!” Damar berdehem untuk menginterupsi dua perempuan yang ada di sampingnya. “Kalian … sedang bicara apa? Kenapa harus bisik-bisik?” tanyanya—penasaran.Kinanti dan Ola saling bertu
“Wait? jadi lo kemarin malam diajak ke rumahnya Mas Damar?” tanya Adrian saat sedang berada di kantin fakultas bersama dengan Kinanti dan Anggita.Kening Kinanti berkerut. “Tahu dari mana lo?”tanyanya. Gadis itu mengaduk minumannya dengan tidak bersemangat.“Ya elah, nggak usah heran,” balas Adrian. “Lo lupa, kalau gue ini adik sepupu dosen tercinta lo itu?”Dibilang seperti itu, Kinanti mendelik pada temannya itu.“Jadi beneran ya, Ki?” tanya Adrian lagi, ia ingin mendengar jawaban dari Kinanti langsung.Kinanti menyesap minumannya sedikit, kemudian gadis itu menghela napas pelan. “Ya, kayak yang lo dengar aja lah, Yan.”Kedua teman Kinanti itu, tidak bisa untuk tidak terkejut. Meski sudah menyangka hal seperti ini jelas akan terjadi, tapi tetap saja mereka masih terkejut.
“Apa maksud Ibu?” tanya Damar, dengan kening yang berkerut.Bu Mustika menghela napas pelan. “Ibu nggak yakin, kamu bisa menikah sama dia,” ujarnya pelan.“Begini,” Bu Mustika menuntun Damar, untuk ikut duduk bersamanya di salah satu sofa yang ada di ruangan itu. “Dia itu anak bungsunya Mas Djiwo, yang kalau nggak salah juga dia temannya si Adrian.”Damar masih terdiam, menunggu ibunya kembali bersuara.“Kamu tahu apa artinya itu, Damar?” tanya Bu Mustika, dan Damar menggeleng. “Artinya, perbedaan kalian itu sangatlah jauh. Selisih usia kalian saja, 13 tahun. Apa kamu yakin, mau menikahi dia?”“Kenapa tidak, Bu?”Damar sendiri sebetulnya sudah menyangka, penolakan semacam ini akan terjadi. Terlebih lagi, keluarganya dengan keluarga Kinanti itu memang saling m
Kinanti menatap satu per satu anggota keluarga Damar, secara bergantian. Tangannya masih betah mengamit lengan Damar, bahkan gadis itu tidak sadar.Ia melihat tatapan dari semua orang, yang nampak terkejut saat melihat kedatangannya dengan Damar.Mungkin akan berbeda ceritanya jika keluarga mereka tidak saling mengenal dengan baik. Tapi ini kedua orang tua Kinanti saja, mengenal dengan baik keluarga Damar.“Kinanti?”Bu Mustika menjadi orang yang pertama kali bersuara. Dan kalimat itu muncul begitu saja, seolah reflek mengikuti apa yang sedang ada dalam benak wanita itu.Gadis itu tersenyum canggung. “Tante …” lalu gadis itu melepas kemitan lengannya, dan menghampiri ibu Damar.Sementara Bu Mustika masih bigung, dan mencerna apa yang sedang terjadi, Ia melirik ke arah Damar, berharap putranya itu mau memberinya penjelasan.
Kinanti hanya mampu memberikan sebuah senyuman canggung. Gadis itu benar-benar malu. Karena pasti setelah ini ada yang akan mengadukan kejadian ini pada ibunya.Selesai melakukan transaksi, Kinanti keluar bersama dengan Aidan yang berjalan di belakangnya.Begitu keluar dari bangunan itu, Kinanti menoleh ke belakang menghadap Aidan.“Bapak duluan saja, nanti saya pulang sendiri,” ujar gadis itu.Aidan tersenyum tipis. “Saya antar saja,No. Ini perintah Bapak.”Hampir saja Kinanti merotasi bola matanya, karena bosan sekali mendengar jawaban Aidan—yang menurutnya sangat template.Dan Kinanti tidak punya pilihan lain, selain menuruti Aidan.***Keesokan malamnya, Damar sudah siap untuk menjemput Kinanti. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga ke siku.
“Kenapa, Ki?” tanya Anggita, saat melihat perubahan ekspresi dari temannya itu.Kinanti mengeleng pelan, tapi tangannya menyerahkan ponselnya kepada temannya.Anggita menerima ponsel Kinanti, kemudian membaca pesan dari Damar. Dan menurut gadis itu itu, tidak ada yang aneh dengan isi pesan tersebut.“Menurut lo, Pak Damar berlebihan nggak sih, Git?” tanya Kinanti.“Enggak ah,” jawab Anggita. “Ini namanya gentleman. Beliau mau, lo itu proper pas ketemu sama keluarganya nanti.”Masa iya begitu?“Lagian, lo nggak usah mikir aneh-aneh deh, Ki. Yang dilakukan sama Pak Damar itu sangat wajar, as a gentleman,” ujar Anggita.“Masa sih? bukannya ini berlebihan, ya?” tanya Kinanti. “Maksud gue, hubungan kami kan nggak seserius itu, Git?”Anggita
“Bagaimana Kinanti?”Kinanti masih terdiam. Begitu banyak pertanyaan yang bersarang dalam benaknya. Terutama ketakutannya jika nanti keluarga Damar justru malah semakin mendesak mereka, untuk benar-benar segera menikah.“H-hari Minggu besok banget ya, Pak?” tanya Kinanti.“Ya,” jawab Damar. “Apa kamu keberatan?” tanyanya, karena melihat Kinanti yang nampak ragu.“Gimana ya, Pak? sebenarnya saya agak takut, sih …” aku Kinanti.Satu alis Damar terangkat. “Takut? apa yang kamu takutkan?”Kinanti menghela napas pelan, ia sendiri bingung dengan perasaannya yang mendadak ragu seperti sekarang.“Nanti kalau orang tua Bapak malah nyuruh kita nikah kita nikah beneran, gimana?” tanya Kinanti.Damar mengusap wajahnya menggunakan tangan kan