“Pak, bawa mereka pergi dari sini dan tolong segera diproses!” Satrio sudah malas berbicara dan melihat kedua wanita yang sudah memfitnah istrinya. Karena itu dia meminta pada polisi agar segera membawa mereka ke Polsek.Kedua teman kerja Isha itu kemudian digelandang ke Polsek terdekat. Kalau tadi Isha yang jadi bulan-bulanan, kini mereka yang jadi sasaran. Sesudah keadaan lebih kondusif, Satrio berbicara pada pemilik toko. “Saya ingin Anda membuat surat pernyataan kalau akan memindahkan semua barang di sini dalam jangka sebulan. Bila ternyata dalam waktu tersebut Anda tidak melakukannya, saya boleh melakukan apa pun pada barang-barang itu,” tegasnya.“Anda tidak percaya sama saya?” Pemilik toko itu menatap Satrio.“Zaman sekarang kalau hanya sekadar omongan, tidak bisa jadi pegangan. Saya butuh hitam di atas putih. Kalau Anda tidak mau membuat juga tidak apa-apa, tapi saya minta hari ini juga harus dikosongkan!” Satrio tidak mau bernegosiasi lagi. Dia sudah memberi keringanan, tapi
“Bang, aku malu.” Isha berbisik pada suaminya saat mereka duduk bersisian setelah mendapat pesanannya.Satrio seketika memandang sang kekasih hati. Keningnya tampak mengerut. “Malu kenapa, Dek?”“Malu karena dilihat sama orang-orang sejak masuk tadi,” ungkap Isha. “Pasti mereka merasa aneh melihat penampilanku sama Bang Satrio yang kontras,” imbuhnya.“Makan dulu biar ga sakit perut, Dek. Ngobrolnya nanti.” Satrio menyuapkan sesendok nasi dan beef teriyaki pada istrinya. Hal itu dia lakukan selain agar Isha tidak sakit, juga untuk mengalihkan pikiran sang istri yang mulai merasa rendah diri lagi.“Aku bisa makan sendiri, Bang.” Isha tidak mau menerima suapan dari sang suami.“Ayolah, Dek. Apa Dek Isha mau membuat Abang malu karena ditolak?” Satrio terus membujuk belahan jiwanya itu untuk menerima suapannya.Tak mau membuat suaminya malu, Isha akhirnya membuka mulut dan menerima suapan Satrio. Pria berambut ikal itu kemudian tersenyum lebar. Dia lantas menyantap makanan yang ada di had
Satrio tersenyum lebar. “Gimana? Dek Isha, suka ga sama rumah ini?” Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya pada sang istri yang sedang menatapnya.“Jadi benar ini rumah kita? Em, maksudku rumah yang dibeli Bang Satrio.” Isha mengoreksi ucapannya.“Abang membeli dan membangunnya buat Dek Isha. Sertifikat rumah ini juga sudah atas nama Dek Isha. Jadi ini rumah Dek Isha, bukan rumah Abang,” terang Satrio.Isha membelalakkan mata mendengar ucapan sang suami. “Kok bisa, Bang? Tadi mobil, sekarang rumah?”“Ya, bisa, Dek. Abang ‘kan pernah bilang apa pun yang Abang punya, itu juga milik Dek Isha. Anggap saja mobil dan rumah sebagai hadiah pernikahan untuk Dek Isha. Selama ini Dek Isha ingin kita tinggal terpisah dari Bapak dan Ibu, tapi Abang baru bisa mengabulkan sekarang karena rumah ini baru selesai. Tolong maafin, Abang ya.” Satrio menangkup wajah sang istri dengan kedua tangan.Isha balas menangkup wajah sang suami dengan kedua tangan. “Ya Allah, Bang. Kenapa mesti minta maaf segal
“Sini, Dek.” Satrio menepuk sisi tempat tidur di sampingnya begitu Isha keluar dari walk-in closet usai melakukan perawatan wajah malam.Isha mendekat ke tempat tidur yang lebarnya dua kali lipat dari yang ada di rumah Baskoro. Dia lantas naik ke atasnya, kemudian duduk di samping sang suami yang menyambutnya dengan senyuman.“Mau tidur sekarang apa nanti, Dek?” tanya Satrio sambil memadamkan lampu utama dengan remote hingga kamar tersebut hanya diterangi lampu tidur yang remang-remang.“Kenapa memangnya, Bang?” Isha menoleh pada suaminya.“Kalau belum ngantuk, Dek Isha bisa tanya apa pun yang ingin Dek Isha tahu,” jawab pria berambut ikal itu.“Aku sebenarnya sudah ngantuk, tapi juga penasaran, Bang,” aku Isha.“Ya udah, tidur dulu aja. Besok baru pagi baru dipuas-puasin nanyanya,” putus Satrio.“Memangnya Bang Satrio besok ga kerja?” tanya Isha.“Gampang itu. Bisa diatur, Dek. Ada Bayu yang bisa Abang andalkan di kantor,” jawab Satrio. Dia kemudian mengajak istrinya merebahkan diri.
“Selama hampir setahun ini Abang sudah meninggalkan kemewahan dan hidup sederhana di kontrakan, Dek. Jadi itu ga masalah buat Abang,” sahut Satrio dengan penuh percaya diri.“Tapi tidak meninggalkan pekerjaan ‘kan?” tukas Isha.“Itu karena Abang punya tanggung jawab pekerjaan, Dek. Walaupun sejak menyepi Abang jarang ke kantor dan lebih banyak ada di kontrakan sampai Abang dianggap pengangguran sama warga,” jelas pria berambut ikal itu seraya tersenyum simpul.“Berarti Bang Satrio tidak bisa meninggalkan pekerjaan ‘kan?” Isha menatap mata suaminya dengan intens.“Kalau Dek Isha ingin Abang berhenti dari pekerjaan sekarang, akan Abang lakukan. Tapi Abang tidak bisa begitu saja berhenti kerja. Ada prosesnya, Dek. Harus ada yang menggantikan posisi Abang dulu karena itu menyangkut hidup banyak orang. Abang minta waktu satu sampai dua bulan. Abang harap Dek Isha mau menunggu sampai Abang benar-benar jadi pengangguran dan bekerja seperti yang Dek Isha inginkan,” timpal Satrio.Isha tersent
“Bang, aset itu apa?” Isha bertanya dengan tatapan polosnya.Satu alis tebal Satrio naik. “Beneran Dek Isha ga tahu apa itu aset?” tanyanya tak percaya.Isha mengangguk. “Kalau tahu, aku ga bakalan nanya, Bang,” timpalnya.“Aset itu bisa dibilang kekayaan atau harta yang dimiliki, Dek. Tadi ‘kan Dek Isha tanya Abang sekaya apa? Abang sendiri ga tahu apa saja dan seberapa aset yang Abang punya. Abang cuma tahu mobil, apartemen, sama rumah ini. Besok Abang tanyakan sama Bayu ya,” papar Satrio.Isha sontak menggeleng. “Tidak usah, Bang. Buat apa aku tahu? Ntar aku dianggap cewek matre lagi,” cakapnya.“Gapapalah matre, ‘kan sama suami sendiri, Dek. Toh apa pun yang Abang punya, itu juga punya Dek Isha. Kalau perlu semua aset Abang dibalik nama Dek Isha semua biar ga ada wanita yang mendekati karena Abang sudah tidak punya apa-apa lagi,” lontar pria berwajah tampan itu.“Yakin ga ada wanita yang akan mendekati Bang Satrio?” Isha rasanya tak percaya mengingat wajah tampan suaminya yang ban
Isha berulang kali menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya pun terus bergerak di atas pahanya sejak keluar dari komplek rumah mereka. Hal itu tak luput dari perhatian suaminya.“Dari tadi Abang lihat kok seperti sedang gelisah, Dek? Kenapa? Gugup?” lontar Satrio seraya menoleh ke samping kirinya.Isha pun menoleh ke sebelah kanannya lalu mengangguk. “Iya, Bang,” jawabnya dengan senyum canggung.“Gugup kenapa, Dek?” tanya Satrio dengan lembut.“Aku takut mempermalukan Abang di kantor,” aku Isha.“Memangnya Dek Isha melakukan apa kok bisa memperlakukan Abang?” pancing pria yang rambut ikalnya ditata rapi dan klimis pagi ini.“Aku takut penampilanku tidak bisa mengimbangi Bang Satrio yang terlihat semakin tampan dan gagah dengan jas dan tatanan rambut seperti itu.” Isha mengatakannya sambil menunduk.Bibir Satrio seketika melengkung membentuk bulan sabit mendapat pujian dari sang istri walaupun di sisi lain dia merasa gemas karena Isha kembali tidak percaya diri. Sepertinya belahan jiw
Satrio memeluk pinggang Isha saat berjalan masuk ke lobi kantor. Dua petugas keamanan yang berjaga di depan lobi terkejut kala melihat pimpinan tertinggi perusahaan bersama wanita. Baru kali ini mereka melihat Satrio datang dengan seorang wanita apalagi dipeluk dengan begitu mesra.Tak hanya petugas keamanan, dua resepsionis yang berjaga di lobi pun tak kalah terkejut. Mereka hanya saling pandang usai sejoli itu melewati keduanya. Begitu Satrio dan Isha masuk ke lift khusus, mereka baru berani berkomentar. Untung saja tak ada karyawan lain yang ada di lobi karena sudah masuk jam kerja. Satrio memang sengaja berangkat agak siang agar semakin sedikit karyawan yang melihat kebersamaannya dengan Isha. Bukan niatnya menyembunyikan pernikahan, tapi belum waktunya membuka hal itu pada publik.“Siapa yang sama Pak Bhumi tadi?” lontar salah satu resepsionis.“Pacarnya mungkin atau istrinya,” sahut yang satunya.“Tidak mungkin itu istrinya!” sanggah resepsionis yang pertama.“Kenapa tidak mungk
“Beb, benar ini alamat perumahannya Mbak Isha?” tanya Vita pada suaminya waktu mereka tiba di depan gerbang perumahan elite.Surya mengangguk. “Iya. Sesuai alamat dan map yang dikasih sama Bang Satrio.”“Coba deh tanya dulu sama yang jaga, Beb,” pinta Vita.“Kamu aja sana yang tanya. Kan kamu yang ragu,” timpal Surya yang enggan keluar dari mobil.Vita akhirnya turun dari mobil dan bertanya pada petugas yang berjaga di gerbang. “Selamat pagi, Pak. Apa benar Mbak Isha dan Bang Satrio tinggal di komplek ini?” tanyanya.“Tinggal di blok apa dan nomor rumahnya berapa ya, Bu? Mohon maaf kami tidak hafal nama panggilan setiap pemilik rumah,” timpal sang penjaga.Vita membuka gawai lantas menunjukkan undangan digital yang dikirim oleh Isha beberapa hari yang lalu pada penjaga tersebut. “Ini alamatnya, Pak. Hari ini mereka ngadain acara syukuran di rumahnya,” ucapnya.“Oh, rumahnya Pak Bhumi. Benar di sini rumahnya,” sahut penjaga itu.“Kalau begitu bisa minta tolong dibukakan gerbangnya, Pak
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m