Menurut teman-teman, Isha harus bagaimana?
“Isha, apa yang harus kami lakukan agar kamu memaafkan kami?” Pemilik toko kembali memohon pada Isha karena wanita itu tidak juga menanggapi permintaan maaf mereka.Isha menarik napas panjang sebelum berbicara. “Insya Allah saya sudah memaafkan Bapak dan Ibu. Saya juga minta maaf bila selama bekerja sebagai karyawan Bapak dan Ibu pernah melakukan kesalahan dan kekhilafan,” ucapnya seraya tersenyum.“Sedangkan untuk urusan tempat ini, saya serahkan pada suami saya. Maaf, saya tidak akan ikut campur,” imbuh satu-satunya wanita berhijab yang ada di ruangan itu.Satrio tersenyum lebar mendengar ucapan istrinya. Sedangkan wajah pemilik toko dan istrinya tampak semakin keruh meskipun sudah mendapat kata maaf dari Isha. Bagaimana tidak keruh kalau mereka harus mencari tempat baru dan memindahkan semua barang dari sana dalam waktu satu minggu. Padahal mencari tempat baru dan menyiapkannya sampai bisa dipakai, butuh waktu yang tidak sedikit. Ini hanya diberi waktu satu minggu.Ya, kalau langs
“Pak, bawa mereka pergi dari sini dan tolong segera diproses!” Satrio sudah malas berbicara dan melihat kedua wanita yang sudah memfitnah istrinya. Karena itu dia meminta pada polisi agar segera membawa mereka ke Polsek.Kedua teman kerja Isha itu kemudian digelandang ke Polsek terdekat. Kalau tadi Isha yang jadi bulan-bulanan, kini mereka yang jadi sasaran. Sesudah keadaan lebih kondusif, Satrio berbicara pada pemilik toko. “Saya ingin Anda membuat surat pernyataan kalau akan memindahkan semua barang di sini dalam jangka sebulan. Bila ternyata dalam waktu tersebut Anda tidak melakukannya, saya boleh melakukan apa pun pada barang-barang itu,” tegasnya.“Anda tidak percaya sama saya?” Pemilik toko itu menatap Satrio.“Zaman sekarang kalau hanya sekadar omongan, tidak bisa jadi pegangan. Saya butuh hitam di atas putih. Kalau Anda tidak mau membuat juga tidak apa-apa, tapi saya minta hari ini juga harus dikosongkan!” Satrio tidak mau bernegosiasi lagi. Dia sudah memberi keringanan, tapi
“Bang, aku malu.” Isha berbisik pada suaminya saat mereka duduk bersisian setelah mendapat pesanannya.Satrio seketika memandang sang kekasih hati. Keningnya tampak mengerut. “Malu kenapa, Dek?”“Malu karena dilihat sama orang-orang sejak masuk tadi,” ungkap Isha. “Pasti mereka merasa aneh melihat penampilanku sama Bang Satrio yang kontras,” imbuhnya.“Makan dulu biar ga sakit perut, Dek. Ngobrolnya nanti.” Satrio menyuapkan sesendok nasi dan beef teriyaki pada istrinya. Hal itu dia lakukan selain agar Isha tidak sakit, juga untuk mengalihkan pikiran sang istri yang mulai merasa rendah diri lagi.“Aku bisa makan sendiri, Bang.” Isha tidak mau menerima suapan dari sang suami.“Ayolah, Dek. Apa Dek Isha mau membuat Abang malu karena ditolak?” Satrio terus membujuk belahan jiwanya itu untuk menerima suapannya.Tak mau membuat suaminya malu, Isha akhirnya membuka mulut dan menerima suapan Satrio. Pria berambut ikal itu kemudian tersenyum lebar. Dia lantas menyantap makanan yang ada di had
Satrio tersenyum lebar. “Gimana? Dek Isha, suka ga sama rumah ini?” Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya pada sang istri yang sedang menatapnya.“Jadi benar ini rumah kita? Em, maksudku rumah yang dibeli Bang Satrio.” Isha mengoreksi ucapannya.“Abang membeli dan membangunnya buat Dek Isha. Sertifikat rumah ini juga sudah atas nama Dek Isha. Jadi ini rumah Dek Isha, bukan rumah Abang,” terang Satrio.Isha membelalakkan mata mendengar ucapan sang suami. “Kok bisa, Bang? Tadi mobil, sekarang rumah?”“Ya, bisa, Dek. Abang ‘kan pernah bilang apa pun yang Abang punya, itu juga milik Dek Isha. Anggap saja mobil dan rumah sebagai hadiah pernikahan untuk Dek Isha. Selama ini Dek Isha ingin kita tinggal terpisah dari Bapak dan Ibu, tapi Abang baru bisa mengabulkan sekarang karena rumah ini baru selesai. Tolong maafin, Abang ya.” Satrio menangkup wajah sang istri dengan kedua tangan.Isha balas menangkup wajah sang suami dengan kedua tangan. “Ya Allah, Bang. Kenapa mesti minta maaf segal
“Sini, Dek.” Satrio menepuk sisi tempat tidur di sampingnya begitu Isha keluar dari walk-in closet usai melakukan perawatan wajah malam.Isha mendekat ke tempat tidur yang lebarnya dua kali lipat dari yang ada di rumah Baskoro. Dia lantas naik ke atasnya, kemudian duduk di samping sang suami yang menyambutnya dengan senyuman.“Mau tidur sekarang apa nanti, Dek?” tanya Satrio sambil memadamkan lampu utama dengan remote hingga kamar tersebut hanya diterangi lampu tidur yang remang-remang.“Kenapa memangnya, Bang?” Isha menoleh pada suaminya.“Kalau belum ngantuk, Dek Isha bisa tanya apa pun yang ingin Dek Isha tahu,” jawab pria berambut ikal itu.“Aku sebenarnya sudah ngantuk, tapi juga penasaran, Bang,” aku Isha.“Ya udah, tidur dulu aja. Besok baru pagi baru dipuas-puasin nanyanya,” putus Satrio.“Memangnya Bang Satrio besok ga kerja?” tanya Isha.“Gampang itu. Bisa diatur, Dek. Ada Bayu yang bisa Abang andalkan di kantor,” jawab Satrio. Dia kemudian mengajak istrinya merebahkan diri.
“Selama hampir setahun ini Abang sudah meninggalkan kemewahan dan hidup sederhana di kontrakan, Dek. Jadi itu ga masalah buat Abang,” sahut Satrio dengan penuh percaya diri.“Tapi tidak meninggalkan pekerjaan ‘kan?” tukas Isha.“Itu karena Abang punya tanggung jawab pekerjaan, Dek. Walaupun sejak menyepi Abang jarang ke kantor dan lebih banyak ada di kontrakan sampai Abang dianggap pengangguran sama warga,” jelas pria berambut ikal itu seraya tersenyum simpul.“Berarti Bang Satrio tidak bisa meninggalkan pekerjaan ‘kan?” Isha menatap mata suaminya dengan intens.“Kalau Dek Isha ingin Abang berhenti dari pekerjaan sekarang, akan Abang lakukan. Tapi Abang tidak bisa begitu saja berhenti kerja. Ada prosesnya, Dek. Harus ada yang menggantikan posisi Abang dulu karena itu menyangkut hidup banyak orang. Abang minta waktu satu sampai dua bulan. Abang harap Dek Isha mau menunggu sampai Abang benar-benar jadi pengangguran dan bekerja seperti yang Dek Isha inginkan,” timpal Satrio.Isha tersent
“Bang, aset itu apa?” Isha bertanya dengan tatapan polosnya.Satu alis tebal Satrio naik. “Beneran Dek Isha ga tahu apa itu aset?” tanyanya tak percaya.Isha mengangguk. “Kalau tahu, aku ga bakalan nanya, Bang,” timpalnya.“Aset itu bisa dibilang kekayaan atau harta yang dimiliki, Dek. Tadi ‘kan Dek Isha tanya Abang sekaya apa? Abang sendiri ga tahu apa saja dan seberapa aset yang Abang punya. Abang cuma tahu mobil, apartemen, sama rumah ini. Besok Abang tanyakan sama Bayu ya,” papar Satrio.Isha sontak menggeleng. “Tidak usah, Bang. Buat apa aku tahu? Ntar aku dianggap cewek matre lagi,” cakapnya.“Gapapalah matre, ‘kan sama suami sendiri, Dek. Toh apa pun yang Abang punya, itu juga punya Dek Isha. Kalau perlu semua aset Abang dibalik nama Dek Isha semua biar ga ada wanita yang mendekati karena Abang sudah tidak punya apa-apa lagi,” lontar pria berwajah tampan itu.“Yakin ga ada wanita yang akan mendekati Bang Satrio?” Isha rasanya tak percaya mengingat wajah tampan suaminya yang ban
Isha berulang kali menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya pun terus bergerak di atas pahanya sejak keluar dari komplek rumah mereka. Hal itu tak luput dari perhatian suaminya.“Dari tadi Abang lihat kok seperti sedang gelisah, Dek? Kenapa? Gugup?” lontar Satrio seraya menoleh ke samping kirinya.Isha pun menoleh ke sebelah kanannya lalu mengangguk. “Iya, Bang,” jawabnya dengan senyum canggung.“Gugup kenapa, Dek?” tanya Satrio dengan lembut.“Aku takut mempermalukan Abang di kantor,” aku Isha.“Memangnya Dek Isha melakukan apa kok bisa memperlakukan Abang?” pancing pria yang rambut ikalnya ditata rapi dan klimis pagi ini.“Aku takut penampilanku tidak bisa mengimbangi Bang Satrio yang terlihat semakin tampan dan gagah dengan jas dan tatanan rambut seperti itu.” Isha mengatakannya sambil menunduk.Bibir Satrio seketika melengkung membentuk bulan sabit mendapat pujian dari sang istri walaupun di sisi lain dia merasa gemas karena Isha kembali tidak percaya diri. Sepertinya belahan jiw
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t