Isha berulang kali menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya pun terus bergerak di atas pahanya sejak keluar dari komplek rumah mereka. Hal itu tak luput dari perhatian suaminya.“Dari tadi Abang lihat kok seperti sedang gelisah, Dek? Kenapa? Gugup?” lontar Satrio seraya menoleh ke samping kirinya.Isha pun menoleh ke sebelah kanannya lalu mengangguk. “Iya, Bang,” jawabnya dengan senyum canggung.“Gugup kenapa, Dek?” tanya Satrio dengan lembut.“Aku takut mempermalukan Abang di kantor,” aku Isha.“Memangnya Dek Isha melakukan apa kok bisa memperlakukan Abang?” pancing pria yang rambut ikalnya ditata rapi dan klimis pagi ini.“Aku takut penampilanku tidak bisa mengimbangi Bang Satrio yang terlihat semakin tampan dan gagah dengan jas dan tatanan rambut seperti itu.” Isha mengatakannya sambil menunduk.Bibir Satrio seketika melengkung membentuk bulan sabit mendapat pujian dari sang istri walaupun di sisi lain dia merasa gemas karena Isha kembali tidak percaya diri. Sepertinya belahan jiw
Satrio memeluk pinggang Isha saat berjalan masuk ke lobi kantor. Dua petugas keamanan yang berjaga di depan lobi terkejut kala melihat pimpinan tertinggi perusahaan bersama wanita. Baru kali ini mereka melihat Satrio datang dengan seorang wanita apalagi dipeluk dengan begitu mesra.Tak hanya petugas keamanan, dua resepsionis yang berjaga di lobi pun tak kalah terkejut. Mereka hanya saling pandang usai sejoli itu melewati keduanya. Begitu Satrio dan Isha masuk ke lift khusus, mereka baru berani berkomentar. Untung saja tak ada karyawan lain yang ada di lobi karena sudah masuk jam kerja. Satrio memang sengaja berangkat agak siang agar semakin sedikit karyawan yang melihat kebersamaannya dengan Isha. Bukan niatnya menyembunyikan pernikahan, tapi belum waktunya membuka hal itu pada publik.“Siapa yang sama Pak Bhumi tadi?” lontar salah satu resepsionis.“Pacarnya mungkin atau istrinya,” sahut yang satunya.“Tidak mungkin itu istrinya!” sanggah resepsionis yang pertama.“Kenapa tidak mungk
“Alhamdulillah selesai juga.” Satrio meletakkan pena kemudian meregangkan kedua tangan. Setelah itu menoleh ke sebelah kanannya. Saking seriusnya bekerja, Satrio sampai tidak menyadari kalau Isha tertidur di sampingnya. Pria berambut ikal itu tersenyum melihat wajah sang istri yang tampak damai dalam tidurnya. Dia mengambil gawai lantas mengirim pesan pada Bayu agar mengambil berkas yang sudah ditandatangani dan memintanya langsung masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu.Satrio sontak meletakkan telunjuk di depan bibir begitu Bayu ingin berbicara. Memberi kode agar asisten pribadinya itu tidak bicara keras. Dia tidak ingin tidur Isha terganggu. Kedua pria itu kemudian bicara dengan berbisik atau melalui kode.“Pak, satu jam lagi jadwal penerbangan Pak Bhumi ke Jogja.” Bayu mengingatkan sang pimpinan dengan berbisik.“Tunda dulu. Kamu tidak lihat istriku sedang tidur,” bisik Satrio sambil menunjuk Isha yang tidur dalam posisi duduk di sofa.“Ditunda sampai jam berapa biar saya jadwalkan
Isha lagi-lagi terkejut mendengar pengakuan Satrio hingga membuatnya bertanya-tanya sebenarnya seberapa kaya keluarga suaminya sampai bisa punya pesawat pribadi. Apa mungkin mereka salah satu keluarga terkaya di Indonesia? “Kenapa kaget begitu, Dek?” tanya Satrio dengan polosnya.“Ga nyangka aja keluarga Bang Satrio punya pesawat pribadi. Aku kira nyewa kaya artis-artis itu,” aku Isha.Satrio tersenyum. “Kami beli untuk memudahkan transportasi, Dek. Bukan untuk gaya-gayaan. Ribet soalnya kalau naik pesawat komersil. Selain itu, bisa disewakan kalau tidak ada yang memakai jadi mengurangi biaya pemeliharaan tiap bulan,” timpalnya. “Keren, Bang. Selain dipakai buat pribadi juga bisa dipakai untuk mendapatkan penghasilan.” Isha mengacungkan jempol kanannya.“Namanya orang bisnis, Dek. Selama bisa menghasilkan dan halal, kenapa tidak dimanfaatkan,” lontar Satrio.“Aku masih ga nyangka sekalinya naik pesawat langsung naik pesawat pribadi. Rasanya seperti mimpi,” celetuk Isha. Tiba-tiba sa
“Dek, mau ikut Abang ke ballroom atau nunggu di kamar saja?” Satrio bertanya pada istrinya saat dia sedang bersiap pergi untuk bertemu dengan para pengusaha dan pejabat daerah yang mengundangnya menjadi pembicara pada seminar kewirausahaan. “Nunggu di kamar saja, Bang. Aku malah bingung nanti kalau ikut,” jawab Isha.“Apa jalan-jalan saja ke mal atau nonton film, biar nanti Abang minta panitia buat nemenin Dek Isha. Abang nanti agak lama perginya, sekitar dua atau tiga jam. Daripada Dek Isha bosan nunggu di kamar, mending jalan-jalan ‘kan?” Satrio menawarkan alternatif lain pada sang istri.Isha menggeleng. “Gapapa, Bang. Aku bisa nonton film di kamar kalau bosan. Atau lihat pemandangan dari balkon,” tolaknya. Bukannya tidak mau jalan-jalan, tapi dia kurang percaya diri kalau pergi tanpa suaminya. Lagian selama ini juga Isha adalah anak rumaha yang sangat jarang pergi ke luar selain untuk sekolah atau bekerja.“Ya sudah kalau Dek Isha maunya gitu. Nanti kalau lapar, tinggal telepon l
"Dek, setelah pulang ke Jakarta, kita mau tinggal di mana? Di rumah kita atau rumah Bapak?" tanya Satrio saat mereka duduk-duduk di Malioboro. Menikmati malam terakhir di kota yang terkenal dengan julukan Kota Pelajar itu."Aku sih pengennya tinggal di rumah sendiri, Bang. Aku capek dibanding-bandingkan terus sama Vita apalagi sekarang aku sudah ga kerja," jawab Isha."Kalau Dek Isha maunya begitu, berarti kita pulang dulu ke rumah Bapak. Pamit baik-baik sama Bapak kalau kita mau mencoba hidup mandiri," timpal Satrio."Beneran, Bang?" Isha menoleh pada suaminya dengan mata berbinar-binar.Satrio tersenyum. “Tentu saja, tapi Abang punya syarat, Dek.”Isha sontak mengernyit. “Hah! Syarat?”Pria berambut ikal itu mengangguk. “Iya.”“Kenapa pakai syarat? Bang Satrio, ga ikhlas ya?” protes Isha.Satrio menggeleng. “Ikhlas, Dek. Malah sebenarnya sejak nikah, Abang ingin mengajak Dek Isha tinggal di rumah sendiri, tapi ada hal yang membuat Abang harus menunda,” ungkapnya.“Kalau ikhlas kenap
“Aku tidak mau menunggu karena aku berubah pikiran, Bang.” Ucapan Isha itu langsung membuat Satrio terkesiap sekaligus heran. “Berubah pikiran gimana, Dek?” tanya Satrio penuh rasa penasaran.“Walaupun kita hidup sederhana di kampung, Bang Satrio tetap punya banyak kekayaan dan penghasilan ‘kan? Sama aja bohong dong,” sahut Isha.“Memang Abang tetap punya beberapa aset, tapi semua akan dikelola Bayu. Abang tidak ikut campur atau mengambil sedikit pun, dan hanya menerima laporan. Semua aset itu rencananya nanti akan Abang wariskan pada anak-anak kita. Sementara itu, kita akan hidup dari gaji yang Abang dapat dari bekerja. Begitu rencana yang sudah Abang rancang, Dek,” jelas Satrio.Isha menggeleng. “Rencananya tidak usah dijalankan, Bang. Lebih baik melanjutkan hidup kita yang sekarang saja,” tukasnya.“Terus gimana Abang bisa membuktikan kalau Abang benar-benar cinta sama Dek Isha? Bukankah kemarin Dek Isha yang ingin bukti?” Satrio masih tak habis pikir dengan perubahan keinginan s
“Pak, antar kami ke rumah dulu ya,” pinta Satrio pada sopir yang menjemput mereka di bandara.“Ke rumah mana, Mas?” tanya sang sopir.Satrio kemudian menyebutkan alamat rumah yang dibangun untuk sang istri tercinta.“Sekarang tinggal di sana, Mas? Sudah tidak di apartemen lagi?” tanya pria yang sedang memegang kemudi itu.“Baru sekali tidur di sana sebelum ke Jogja kemarin, Pak. Mungkin minggu depan baru benar-benar pindah ke sana,” jawab Satrio.“Tapi Pak Basuki jangan bilang papa sama mama dulu ya, biar saya yang kasih tahu sendiri sekalian ngenalin istri saya. Insya Allah besok atau lusa saya ke rumah,” sambungnya.“Walah, Mbak yang cantik ini ternyata istrinya Mas Bhumi, saya kira masih calon,” lontar pria bernama Basuki itu.“Iya, Pak. Isha ini istri saya. Kalau masih calon, tidak mungkin saya ajak tinggal di rumah,” timpal Satrio.“Mas Bhumi pinter cari istri, sudah cantik, sopan, insya Allah juga salihah,” puji Basuki.“Alhamdulillah, Pak. Allah mengabulkan doa-doa saya. Dapat
Sesudah semua tamu pulang, tak lama kemudian keluarga Satrio juga pulang. Sementara keluarga Isha yang baru pertama kali datang ke rumah mewah itu masih betah di sana. Lina berkeliling sambil mengambil foto dan video di hampir setiap sudut rumah, termasuk di kolam renang yang ada di belakang rumah. Sementara itu Baskoro, Vita, Isha, dan Satrio duduk bersama di ruang tengah karena ruang tamu masih dibereskan. “Apa sebenarnya yang mau kamu bicarakan sama Bang Satrio, Vit?” lontar Isha setelah beberapa saat mereka duduk tapi Vita tak juga berbicara.Baskoro menoleh pada putri bungsunya dengan kening mengerut. Dia sama sekali tidak tahu kalau Vita ingin bicara dengan Satrio. Pria paruh baya itu duduk di sana karena diminta Satrio sembari menunggu istrinya yang masih sibuk mengambil foto dan video.“Kamu ada perlu apa sama Satrio, Vit?” Pria yang mengenakan kopiah warna hitam itu ikut bertanya pada sang putri bungsu.Vita tampak gugup. Kepalanya menunduk dan kedua tangannya saling terkait
“Beb, benar ini alamat perumahannya Mbak Isha?” tanya Vita pada suaminya waktu mereka tiba di depan gerbang perumahan elite.Surya mengangguk. “Iya. Sesuai alamat dan map yang dikasih sama Bang Satrio.”“Coba deh tanya dulu sama yang jaga, Beb,” pinta Vita.“Kamu aja sana yang tanya. Kan kamu yang ragu,” timpal Surya yang enggan keluar dari mobil.Vita akhirnya turun dari mobil dan bertanya pada petugas yang berjaga di gerbang. “Selamat pagi, Pak. Apa benar Mbak Isha dan Bang Satrio tinggal di komplek ini?” tanyanya.“Tinggal di blok apa dan nomor rumahnya berapa ya, Bu? Mohon maaf kami tidak hafal nama panggilan setiap pemilik rumah,” timpal sang penjaga.Vita membuka gawai lantas menunjukkan undangan digital yang dikirim oleh Isha beberapa hari yang lalu pada penjaga tersebut. “Ini alamatnya, Pak. Hari ini mereka ngadain acara syukuran di rumahnya,” ucapnya.“Oh, rumahnya Pak Bhumi. Benar di sini rumahnya,” sahut penjaga itu.“Kalau begitu bisa minta tolong dibukakan gerbangnya, Pak
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada