“Aku tidak mau menunggu karena aku berubah pikiran, Bang.” Ucapan Isha itu langsung membuat Satrio terkesiap sekaligus heran. “Berubah pikiran gimana, Dek?” tanya Satrio penuh rasa penasaran.“Walaupun kita hidup sederhana di kampung, Bang Satrio tetap punya banyak kekayaan dan penghasilan ‘kan? Sama aja bohong dong,” sahut Isha.“Memang Abang tetap punya beberapa aset, tapi semua akan dikelola Bayu. Abang tidak ikut campur atau mengambil sedikit pun, dan hanya menerima laporan. Semua aset itu rencananya nanti akan Abang wariskan pada anak-anak kita. Sementara itu, kita akan hidup dari gaji yang Abang dapat dari bekerja. Begitu rencana yang sudah Abang rancang, Dek,” jelas Satrio.Isha menggeleng. “Rencananya tidak usah dijalankan, Bang. Lebih baik melanjutkan hidup kita yang sekarang saja,” tukasnya.“Terus gimana Abang bisa membuktikan kalau Abang benar-benar cinta sama Dek Isha? Bukankah kemarin Dek Isha yang ingin bukti?” Satrio masih tak habis pikir dengan perubahan keinginan s
“Pak, antar kami ke rumah dulu ya,” pinta Satrio pada sopir yang menjemput mereka di bandara.“Ke rumah mana, Mas?” tanya sang sopir.Satrio kemudian menyebutkan alamat rumah yang dibangun untuk sang istri tercinta.“Sekarang tinggal di sana, Mas? Sudah tidak di apartemen lagi?” tanya pria yang sedang memegang kemudi itu.“Baru sekali tidur di sana sebelum ke Jogja kemarin, Pak. Mungkin minggu depan baru benar-benar pindah ke sana,” jawab Satrio.“Tapi Pak Basuki jangan bilang papa sama mama dulu ya, biar saya yang kasih tahu sendiri sekalian ngenalin istri saya. Insya Allah besok atau lusa saya ke rumah,” sambungnya.“Walah, Mbak yang cantik ini ternyata istrinya Mas Bhumi, saya kira masih calon,” lontar pria bernama Basuki itu.“Iya, Pak. Isha ini istri saya. Kalau masih calon, tidak mungkin saya ajak tinggal di rumah,” timpal Satrio.“Mas Bhumi pinter cari istri, sudah cantik, sopan, insya Allah juga salihah,” puji Basuki.“Alhamdulillah, Pak. Allah mengabulkan doa-doa saya. Dapat
Lina melirik tak suka pada anak tirinya. “Maksudmu apa ngomong kaya gitu, Is?” “Sudah, Dek. Jangan diterusin.” Satrio berbisik pada istrinya agar tidak terjadi keributan di rumah itu. Dia merasa tak enak hati pada bapak mertuanya.“Ga ada maksud apa-apa, Bu. Jangan suka suuzan!” timpal Isha dengan santai.“Bapak sama Ibu dapat oleh-oleh, buatku mana, Mbak?” lontar Vita tanpa rasa basa-basi.“Itu ada bakpia sama yangko.” Isha menunjuk dua makanan khas Jogja yang diletakkan di atas meja.Vita mengernyit. “Cuma itu? Ga ada batik buatku sama Mas Surya?” tanyanya tak tahu malu.“Budget buat oleh-oleh udah habis buat beliin batik Bapak sama Ibu. Lagian sama aja dari Jogja ‘kan bakpia sama yangko itu. Kamu ‘kan bisa liburan ke Jogja sendiri kalau mau beli batik,” sahut Isha enteng.“Ck, makanan khas Jogja itu yang bakpia kukus, Mbak. Bukan bakpia kaya gini. Ga gaul banget sih,” ledek Vita dengan pandangan meremehkan kakak tirinya.Isha tertawa kecil. “Kamu itu yang ga gaul, Vit. Yang asli b
“Maksud Mbak Isha ngomong kaya gitu apa? Nyindir aku sama Mas Surya jadi beban di sini?” Vita meradang setelah mendengar ucapan kakak tirinya.“Siapa yang nyindir kamu? Jangan ge er, Vit! Sejak aku nikah sama Bang Satrio, Ibu ‘kan minta uang belanja karena nambah orang yang makan di rumah ini. Kalau kami pergi dari sini, berarti ‘kan beban belanja Ibu jadi berkurang,” kilah Isha.“Aku sama Mas Surya cuma sementara tinggal di sini sampai rumah kami jadi. Setelah rumahnya bisa ditempati, kami akan pindah ke rumah sendiri, bukan di kos atau kontrakan.” Vita balas menyindir Isha.Andai tak ingat permintaan sang suami, Isha sudah membongkar rahasia Satrio. Dia yakin Vita dan ibu tirinya akan syok saat tahu siapa sebenarnya Satrio. Mungkin saja mereka akan berubah baik untuk menjilat Satrio ataupun dirinya.“Alhamdulillah, biarpun aku sama Bang Satrio tinggal di kos tapi kami tidak ada beban utang jadi bisa hidup tenang,” timpal Isha dengan santai.Vita mengepalkan kedua tangan, menahan kes
“Beb, kapan sih rumah kita jadi?” Vita langsung bertanya pada suaminya begitu mereka masuk ke kamar.Surya mengedikkan bahu. “Mungkin sebulan atau dua bulan lagi. Kenapa memangnya?” Dia memandang istrinya.“Kamu ga dengar tadi Mbak Isha nyindir kita? Dia bilang kita beban di rumah ini?” tukas Vita.“Bukannya tadi dia bilang kalau itu bukan buat kita? Aku sih ga ngerasa disindir, Beb,” timpal Surya seraya menata bantal tidurnya.“Itu ‘kan pinternya Mbak Isha ngelak aja. Masa kamu ga paham sih, Beb.” Vita merasa gemas pada suaminya.“Terus maumu gimana, Beb? Apa kita tinggal di rumah orang tuaku saja sampai rumah jadi?” usul Surya sebelum merebahkan diri.“Gitu juga gapapa, Beb, biar Mbak Isha ga nyindir-nyindir lagi kalau kita masih tinggal di sini.” Vita langsung menyetujui usul suaminya.“Ya udah, kalau begitu. Besok aku bilang sama mama kalau kita mau tinggal di sana sampai rumah jadi,” timpal Surya.“Kamu juga harus bilang lho sama Bapak kaya Bang Satrio tadi, Beb,” lontar Vita.Su
“Sudah cantik, Dek,” puji Satrio pada istrinya yang sejak tadi berdiri di depan cermin dan berkali-kali merapikan penampilannya.“Jangan bohong, Bang,” timpal Isha yang tampak belum percaya diri dengan penampilannya malam ini.“Ya Allah, Dek. Buat apa Abang bohong? Dek Isha, beneran sudah cantik.” Satrio meyakinkan istrinya.Isha mencebik. “Kayanya Bang Satrio selalu bilang cantik bagaimana pun keadaanku,” ucapnya.Satrio tersenyum. “Dek Isha memang selalu cantik, masa Abang bilang jelek. Abang bohong dong kalau begitu,” timpalnya.“Tapi pendapat Bang Satrio itu subyektif banget, sama sekali ga obyektif,” tukas Isha seraya melirik suaminya melalui bayangan di cermin.“Kalau Dek Isha ga percaya apa yang Abang katakan, yuk sekarang kita berangkat ke rumah Papa. Kita dengar bagaimana pendapat keluarga Abang setelah melihat Dek Isha.” Satrio menghampiri istrinya.“Aku takut, Bang.” Isha memandang suaminya. Dia terlihat gugup.Satrio meraih tangan Isha lalu menggenggamnya. “Takut apa, Dek?
Satrio sontak bangkit dari duduk lantas menghampiri istrinya dan sang mama. “Maaf, Ma. Sudah kebiasaan di rumah, Dek Isha langsung membereskan meja setelah makan,” ucapnya. “Itu ‘kan di rumah kalian, kalau di sini tidak perlu seperti itu. Mama ga mau menantu mama mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kamu ajak istrimu ke sini ‘kan mau dikenalkan sama kami. Gimana mau kenalan kalau istrimu malah bantu-bantu di belakang,” tukas Laksmi.“Iya, Ma. Maaf, janji ga akan diulangi lagi.” Satrio kemudian beralih pada istrinya.“Yuk, Dek, duduk saja sama Abang dan yang lain. Di sini Dek Isha dilarang kerja karena sudah ada yang mengerjakan.” Dia meraih tangan Isha lalu mengajaknya duduk di sofa yang tadi didudukinya.Isha pun mengangguk dan mengikuti suaminya. Sejoli itu pun duduk bersisian dengan tangan saling menggenggam. “Bhumi, apa mama boleh tahu di mana kamu kenal sama Isha?” Laksmi bertanya pada putra sulungnya setelah duduk di samping sang suami.“Tentu saja boleh. Aku kenal sama Dek Ish
Krisna langsung memandang sang istri tercinta. Mereka seolah bicara lewat tatap mata. “Bagaimana, Ma?” tanyanya.Laksmi menghela napas panjang. “Menurut Papa sendiri gimana?” Wanita paruh baya itu malah balik bertanya tanpa menjawab suaminya.“Pa, Ma, kita ‘kan sudah sepakat kalau aku boleh menikah dengan wanita mana pun asal kami saling mencintai dan dia bisa menerimaku apa adanya. Sekarang aku sudah menemukan orangnya. Harusnya Papa dan Mama merestui kami, bukan seperti ini.” Satrio tampak frustrasi karena Krisna dan Laksmi tak segera menjawab pertanyaannya.“Papa tak mempermasalahkan siapa istrimu. Yang papa tidak suka, kamu bertindak sendiri tanpa memberi tahu kami, orang tuamu. Memang kamu sudah dewasa dan mandiri, tapi masih punya orang tua ‘kan?” Krisna menatap tajam putra sulungnya.“Sekali lagi aku minta maaf soal itu, Pa, Ma. Semua sudah terjadi dan tidak mungkin diulang kembali. Karena itu aku datang ke sini untuk menebus kesalahan dan meminta restu Papa dan Mama.” Satrio m
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t