Isha memandang suaminya. “Sekolah kepribadian? Apa itu, Bang?” tanyanya dengan polos.“Tempat di mana Dek Isha bisa belajar mengembangkan kepribadian agar lebih percaya diri. Biar Dek Isha tahu potensi dalam diri agar tidak selalu merasa rendah diri,” jelas Satrio.“Mama dulu juga sekolah kepribadian setelah menikah dengan papanya anak-anak, Sha. Sebagai istri pengusaha, kita harus punya pribadi dan mental yang tangguh karena akan banyak yang berusaha menjegal atau bahkan menghancurkan rumah tangga kita. Baik itu dilakukan oleh pengusaha lain atau pelakor yang mengincar harta dan kedudukan.” Laksmi ikut menimpali.“Berat ya, Ma, jadi istri pengusaha?” Isha menatap mama mertuanya.Laksmi tersenyum pada sang menantu. “Berat atau tidaknya, tergantung dari cara kita menyikapinya. Awalnya mungkin berat, tapi nanti lama-lama akan enjoy asal kita kuat mental. Kalau kamu ragu atau takut masuk sekolah kepribadian, mama akan temani sampai kamu merasa nyaman menjalaninya. Percayalah, Sha, itu ak
“Mau tahu, apa mau tahu banget?” Satrio sengaja menggoda istrinya. “Ish, Bang Satrio nih ditanya malah gitu.” Isha sontak mengerucutkan bibir.Satrio tertawa kecil lantas mencium pipi sang istri berkali-kali. “Dek Isha, jadi menggemaskan kalau lagi kesal gini. Abang suka,” ucapnya.“Bang, lepas ih!” Isha coba melepaskan tangan Satrio yang melingkar di badannya.“Ga mau! Abang masih mau kaya gini.” Satrio tetap memeluk istrinya, bahkan lebih erat.“Bang, aku sesak kalau begini! Bang Satrio mau aku pingsan?” protes Isha.“Kalau pingsan nanti Abang kasih napas buatan, Dek.” Satrio tersenyum jahil.“Bang, tolong jangan kaya gini. Aku beneran sesak. Nanti kalau aku kehabisan napas gimana?” lontar Isha.“Eh, jangan, Dek!” Satrio langsung mengendurkan pelukannya. Kesempatan itu tak disia-siakan Isha untuk melepaskan diri. Namun gerakannya kalah cepat dengan sang suami. Meskipun lepas sejenak, Satrio bisa kembali memeluknya.“Dek, udah Abang bilang ‘kan kalau Abang masih mau kaya gini. Aban
Satrio seketika membelalakkan mata mendengar pertanyaan Isha yang begitu di luar dugaan. Bagaimana bisa istrinya memikirkan hal-hal seperti itu? Apa tampangnya terlihat seperti seorang kriminal?“Abang bukan orang seperti itu, Dek!” tukas Satrio dengan cepat. “Abang ga pernah melakukan hal yang melanggar hukum seperti yang disebutkan Dek Isha tadi,” sambungnya.“Terus kenapa, Bang?” Isha tampak mengerutkan kening.“Persaingan bisnis, Dek. Ada orang yang ingin menjegal perusahaan dan mengincar posisi Abang. Dunia bisnis itu kejam, ada yang main jujur, tapi tidak sedikit yang berbuat curang,” jelas Satrio. Isha jadi bergidik setelah mendengar penjelasan suaminya. “Ternyata banyak ga enaknya jadi orang kaya ya, Bang,” cetusnya.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Tergantung gimana kita menyikapinya, Dek.”“Tapi lebih enak hidup sederhana, Bang,” tukas Isha.Satrio mengulum senyum. “Itu karena Dek Isha tidak pernah mengalami permasalahan berat selain konflik dengan Ibu dan Vita.”Isha me
“Dek, dulu Abang punya angan-angan dipakein dasi sama istri,” lontar Satrio saat mengancingkan kemeja yang sudah disiapkan sang istri saat dia mandi tadi.Isha memandang Satrio. “Aku ‘kan ga bisa, Bang. Malah jelek dan ga rapi nanti kalau aku yang pasangin,” timpalnya.“Ya belajar. Abang ajarin kalau Dek Isha mau. Gapapa ga langsung bisa, namanya juga belajar, pasti ada prosesnya. Nanti lama-lama Dek Isha juga akan bisa karena terbiasa. Gimana?” Satrio balas memandang istrinya.“Tapi nanti kalau jelek gimana, Bang?” Isha tampak ragu.“Gapapa, nanti Abang rapiin kalau belum rapi. Mau ya belajar?” Satrio memberi tatapan memohon.“Ya udah, aku mau belajar biar Bang Satrio senang. Tapi jangan diledek kalau ga bagus ya,” putus Isha.“Iya, Dek. Percaya sama, Bang. Sekarang tolong ambilkan dasinya,” pinta pria berambut ikal itu.“Yang mana, Bang?” Isha menuju lemari yang isinya berbagai macam warna dan motif dasi milik suaminya.“Mana aja yang menurut Dek Isha bagus dipasangkan dengan kemeja
Satrio mengedikkan bahu. “Abang belum tahu, Dek. Mungkin kalau Dek Isha minta Abang berambut pendek, baru dipotong. Mungkin juga kalau kita sudah punya anak. Tapi bisa jadi selamanya begini,” paparnya. “Dek Isha, ga masalah ‘kan?” Isha mengangguk. “Senyamannya Bang Satrio saja. Aku ga masalah Bang Satrio mau berambut panjang atau pendek.” “Alhamdulillah.” Satrio tampak menghela napas lega. Tak salah dia mencintai Isha yang bisa menerimanya apa adanya.“Mau nambah lagi ga, Bang?” tanya Isha saat melihat piring suaminya sudah bersih.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Sudah cukup, Dek. Kalau terlalu kenyang nanti Abang malah ngantuk di kantor,” jawabnya. “Bang Satrio, mau berangkat sekarang?” Isha memandang sang suami yang sedang meneguk minumnya.“Ga, Dek. Ga usah buru-buru makannya biar ga tersedak. Abang mau cek email dulu,” ucap Satrio usai mengelap mulut dengan tisu.“Ya, Bang.” Isha pun meneruskan makannya. “Jangan lupa kunci pintu dan cek siapa pun yang ada di sini lewat CCT
Satrio dan Isha berdiri di depan gerbang kos menanti kedatangan Baskoro dan juga Lina. Karena Satrio yang memesan taksi, jadi dia bisa memantau perjalanan sang mertua. Begitu sudah dekat, pria berambut ikal itu mengajak Isha menunggu di depan.“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Apa kabar, Pak, Bu?” sapa Satrio saat kedua mertuanya sudah turun dari taksi daring. Dia langsung menyalami mereka dengan takzim. Begitu juga dengan Isha.“Alhamdulillah, sehat. Kalau tidak sehat, Bapak tidak mungkin sampai di sini.” Senyum mengembang di wajah Baskoro kala melihat anak dan menantunya menyambut dengan gembira.“Mari masuk, Pak, Bu.” Satrio pun mempersilakan kedua orang itu memasuki area kos. “Berapa harga sewa kos di sini?” tanya Lina sambil melihat-lihat sekeliling kos.“Macam-macam, Bu. Tergantung luas dan fasilitas kamarnya,” jawab Satrio tanpa menyebutkan dengan gamblang biaya sewanya.“Maksud Ibu harga kamar yang kalian sewa. Bukan harga semua kamar di sini,” tukas Lina.“Alhamdulillah
“Maaf, Pak, Bu, kita makan siangnya di luar saja ya karena alat masaknya masih terbatas,” lontar Satrio saat sudah memasuki waktu makan siang.“Tadi katanya Isha masak kalau di rumah, kok sekarang malah ngajak makan di luar?” sindir Lina.“Kalau cuma masak buat berdua cukup, Bu. Kalau masak besar ga ada alatnya.” Isha beralasan. “Tuh, rice cooker-nya aja kecil. Panci juga kecil. Dulu cuma dipakai Bang Satrio buat bikin mi instan di kontrakan,” imbuhnya sambil menunjuk alat dapur yang ada di sana.“Memangnya kalian belum belanja alat masak?” tanya Lina.“Belum sempat, Bu. Kami ‘kan baru pindah. Lagi pula saya juga ga masalah kalau beli makanan jadi karena saya ga mau Dek Isha kecapekan.” Satrio membela sang istri.“Bukannya nanti pengeluaran kalian jadi lebih banyak kalau beli makanan jadi atau makan di luar?” cecar Lina.“Selama saya masih mampu, tidak masalah, Bu,” tukas Satrio.“Bu, sebenarnya mau atau tidak diajak makan di luar?” Isha lama-lama kesal juga pada ibu tirinya yang sejak
"Sat, kamu ga salah ngajak kami masuk ke restoran ini?" Lina menatap lekat Satrio usai melihat-lihat buku menu. Satrio mengulum senyum. "Tidak salah, Bu. Kenapa memangnya? Apa ada masalah? Atau tidak ada menu yang Ibu dan Bapak suka?" Dia balik bertanya setelah menjawab sang mertua. Wanita paruh baya itu menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Sat, tapi harga makanan sama minuman di sini mahal-mahal. Masa harga es teh saja lima puluh ribu, palingan rasa tehnya juga sama saja kaya yang biasa Ibu bikin di rumah," balasnya. "Coba saja pesan es teh di sini, Bu, biar tahu rasanya sama atau tidak dengan yang biasa dibuat di rumah," sahut Satrio seraya menahan senyum. Lina berdecak. "Masa di restoran mahal begini pesannya cuma teh manis, Sat? Ga ada bedanya sama makan di warung dong." "Kalau begitu pesan saja yang tidak ada di warung, Bu, biar tidak sama," timpal pria berambut ikal tersebut. "Tapi kamu beneran bisa bayar harga makanan dan minuman di sini 'kan, Sat? Ibu ga mau ya disuruh
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci
“Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann
“Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac