Share

Bab 117

Penulis: Kokoro No Tomo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 23:22:58

“Dek, dulu Abang punya angan-angan dipakein dasi sama istri,” lontar Satrio saat mengancingkan kemeja yang sudah disiapkan sang istri saat dia mandi tadi.

Isha memandang Satrio. “Aku ‘kan ga bisa, Bang. Malah jelek dan ga rapi nanti kalau aku yang pasangin,” timpalnya.

“Ya belajar. Abang ajarin kalau Dek Isha mau. Gapapa ga langsung bisa, namanya juga belajar, pasti ada prosesnya. Nanti lama-lama Dek Isha juga akan bisa karena terbiasa. Gimana?” Satrio balas memandang istrinya.

“Tapi nanti kalau jelek gimana, Bang?” Isha tampak ragu.

“Gapapa, nanti Abang rapiin kalau belum rapi. Mau ya belajar?” Satrio memberi tatapan memohon.

“Ya udah, aku mau belajar biar Bang Satrio senang. Tapi jangan diledek kalau ga bagus ya,” putus Isha.

“Iya, Dek. Percaya sama, Bang. Sekarang tolong ambilkan dasinya,” pinta pria berambut ikal itu.

“Yang mana, Bang?” Isha menuju lemari yang isinya berbagai macam warna dan motif dasi milik suaminya.

“Mana aja yang menurut Dek Isha bagus dipasangkan dengan kemeja
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 118

    Satrio mengedikkan bahu. “Abang belum tahu, Dek. Mungkin kalau Dek Isha minta Abang berambut pendek, baru dipotong. Mungkin juga kalau kita sudah punya anak. Tapi bisa jadi selamanya begini,” paparnya. “Dek Isha, ga masalah ‘kan?” Isha mengangguk. “Senyamannya Bang Satrio saja. Aku ga masalah Bang Satrio mau berambut panjang atau pendek.” “Alhamdulillah.” Satrio tampak menghela napas lega. Tak salah dia mencintai Isha yang bisa menerimanya apa adanya.“Mau nambah lagi ga, Bang?” tanya Isha saat melihat piring suaminya sudah bersih.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Sudah cukup, Dek. Kalau terlalu kenyang nanti Abang malah ngantuk di kantor,” jawabnya. “Bang Satrio, mau berangkat sekarang?” Isha memandang sang suami yang sedang meneguk minumnya.“Ga, Dek. Ga usah buru-buru makannya biar ga tersedak. Abang mau cek email dulu,” ucap Satrio usai mengelap mulut dengan tisu.“Ya, Bang.” Isha pun meneruskan makannya. “Jangan lupa kunci pintu dan cek siapa pun yang ada di sini lewat CCT

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 119

    Satrio dan Isha berdiri di depan gerbang kos menanti kedatangan Baskoro dan juga Lina. Karena Satrio yang memesan taksi, jadi dia bisa memantau perjalanan sang mertua. Begitu sudah dekat, pria berambut ikal itu mengajak Isha menunggu di depan.“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Apa kabar, Pak, Bu?” sapa Satrio saat kedua mertuanya sudah turun dari taksi daring. Dia langsung menyalami mereka dengan takzim. Begitu juga dengan Isha.“Alhamdulillah, sehat. Kalau tidak sehat, Bapak tidak mungkin sampai di sini.” Senyum mengembang di wajah Baskoro kala melihat anak dan menantunya menyambut dengan gembira.“Mari masuk, Pak, Bu.” Satrio pun mempersilakan kedua orang itu memasuki area kos. “Berapa harga sewa kos di sini?” tanya Lina sambil melihat-lihat sekeliling kos.“Macam-macam, Bu. Tergantung luas dan fasilitas kamarnya,” jawab Satrio tanpa menyebutkan dengan gamblang biaya sewanya.“Maksud Ibu harga kamar yang kalian sewa. Bukan harga semua kamar di sini,” tukas Lina.“Alhamdulillah

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 120

    “Maaf, Pak, Bu, kita makan siangnya di luar saja ya karena alat masaknya masih terbatas,” lontar Satrio saat sudah memasuki waktu makan siang.“Tadi katanya Isha masak kalau di rumah, kok sekarang malah ngajak makan di luar?” sindir Lina.“Kalau cuma masak buat berdua cukup, Bu. Kalau masak besar ga ada alatnya.” Isha beralasan. “Tuh, rice cooker-nya aja kecil. Panci juga kecil. Dulu cuma dipakai Bang Satrio buat bikin mi instan di kontrakan,” imbuhnya sambil menunjuk alat dapur yang ada di sana.“Memangnya kalian belum belanja alat masak?” tanya Lina.“Belum sempat, Bu. Kami ‘kan baru pindah. Lagi pula saya juga ga masalah kalau beli makanan jadi karena saya ga mau Dek Isha kecapekan.” Satrio membela sang istri.“Bukannya nanti pengeluaran kalian jadi lebih banyak kalau beli makanan jadi atau makan di luar?” cecar Lina.“Selama saya masih mampu, tidak masalah, Bu,” tukas Satrio.“Bu, sebenarnya mau atau tidak diajak makan di luar?” Isha lama-lama kesal juga pada ibu tirinya yang sejak

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 121

    "Sat, kamu ga salah ngajak kami masuk ke restoran ini?" Lina menatap lekat Satrio usai melihat-lihat buku menu. Satrio mengulum senyum. "Tidak salah, Bu. Kenapa memangnya? Apa ada masalah? Atau tidak ada menu yang Ibu dan Bapak suka?" Dia balik bertanya setelah menjawab sang mertua. Wanita paruh baya itu menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Sat, tapi harga makanan sama minuman di sini mahal-mahal. Masa harga es teh saja lima puluh ribu, palingan rasa tehnya juga sama saja kaya yang biasa Ibu bikin di rumah," balasnya. "Coba saja pesan es teh di sini, Bu, biar tahu rasanya sama atau tidak dengan yang biasa dibuat di rumah," sahut Satrio seraya menahan senyum. Lina berdecak. "Masa di restoran mahal begini pesannya cuma teh manis, Sat? Ga ada bedanya sama makan di warung dong." "Kalau begitu pesan saja yang tidak ada di warung, Bu, biar tidak sama," timpal pria berambut ikal tersebut. "Tapi kamu beneran bisa bayar harga makanan dan minuman di sini 'kan, Sat? Ibu ga mau ya disuruh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 122

    Lina sontak menyembunyikan tas yang berisi boks makanan ke belakang tubuhnya. Dia tidak mau Isha merebut dan mengembalikan makanan itu ke restoran. "Tidak bisa! Enak saja mau dikembalikan. Lagian juga sudah dibayar sama Satrio," ketusnya."Nah itu Ibu tahu sudah dibayar sama Bang Satrio, kenapa masih bisa bilang belum dibayar lunas? Ibu tuh memang ga pernah menghargai aku sama Bang Satrio, cuma Vita dan Surya yang paling baik di mata Ibu padahal apa-apa selalu minta sama aku atau Bang Satrio." Saking kesalnya, Isha sampai mengungkit pemberiannya dan Satrio pada Lina."Ibu tadi cuma bercanda, kenapa kamu menanggapinya serius sekali? Jangan terlalu kaku jadi orang, Is," kilah Lina agar sang suami tak ikut menegur apa yang dilakukannya tadi."Aku juga tahu kali Bu, mana yang bercanda, mana yang sengaja merendahkan. Aku memang tidak pintar, tapi aku cukup tahu mana orang yang tulus, dan mana yang modus." Isha kemudian membuka kunci mobil dengan remote yang tadi diberikan suaminya begitu t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 123

    "Ternyata Mbak Isha sama Bang Satrio yang datang, kirain siapa tamunya," celetuk Vita saat masuk ke rumah dan mendapati kakak tiri dan suaminya sedang duduk di ruang tamu bersama Baskoro. "Mereka tadi yang ngantar Bapak sama Ibu pulang. Beri salam sama mereka," tukas Baskoro. Mau tak mau Vita pun menyalami Isha dan Satrio atas perintah sang kepala keluarga. Berbeda dengan Surya yang tampak santai saja menyalami kedua kakak iparnya. Dia memang merasa tak ada masalah dengan mereka. Sebagai adik, sudah jadi kewajibannya menghormati yang lebih tua. "Ibu ke mana, Pak?" tanya Vita pada Baskoro karena tak melihat batang hidung Lina dan tak mendengar suaranya. "Arisan di rumah Bu RT," jawab Baskoro. "Ibu ga masak dong, Pak, padahal aku lapar banget ini," keluh Vita sambil mengelus perutnya. "Kalau lapar kenapa ga mampir makan dulu baru pulang," celetuk Isha. "Makanan rumahan lebih sehat daripada di luar, Mbak," kilah Vita yang sebenarnya ingin menghemat pengeluaran. "Tadi sih Ibu bawa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 124

    “Rasa makanan restoran mahal memang beda ya. Bikin pengen makan terus,” ucap Vita sambil terus mengelus perutnya. Dia masih duduk di ruang makan dan malas beranjak dari sana karena kekenyangan.“Jangan nyidam makan di sana ya, Beb. Kita ga kuat bayar makanannya.” Surya berbisik pada sang istri agar tidak didengar oleh Lina yang sedang mencuci alat makan di dapur.“Ya, kita minta traktir Mbak Isha sama Bang Satrio lah. Kan mereka yang pertama beliin, jadi harus tanggung jawab kalau aku sampai ketagihan,” timpal Vita dengan santai.“Itu ‘kan restoran mahal, Beb. Belum tentu mereka punya uang buat makan di sana lagi. Mungkin tadi Bang Satrio baru ada rezeki jadinya bisa mengajak Ibu dan Bapak ke sana.” Surya coba memberi pengertian pada istrinya.“Ya, ga bisa gitu dong, Beb. Nanti kalau anak kita jadi suka ngeces karena ngidamku ga diturutin gimana? Kamu mau punya anak yang suka ngeces setiap saat?” Vita menatap suaminya tak suka.“Itu hanya mitos, Beb. Ga ada korelasi antara ngidam ga d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 125

    “Bang, sudah lihat story Ibu belum?” Isha bertanya pada Satrio saat mereka baru saja berbaring di atas peraduan.Satrio menggeleng. “Belum, Dek. Abang mana sempat buka hape. Memangnya Ibu bikin story apa?” tanyanya seraya menoleh pada sang belahan jiwa.“Vita hamil, Bang,” jawab Isha dengan wajah sendu. Tentu saja Isha merasa sedih karena adiknya yang nikah belakangan sudah hamil, sedangkan dia yang nikah terlebih dahulu sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda kalau sedang hamil.Melihat wajah sang istri, Satrio sontak mendekat dan memeluk erat kekasih hatinya itu. “Dek Isha, ga usah sedih karena belum hamil. Allah pasti punya rencana yang indah buat kita, Dek. Bisa jadi kita disuruh pacaran dan bulan madu dulu, kalau sudah puas berduaan baru dikasih rezeki anak,” ucapnya seraya mengelus punggung Isha yang tertutup gaun tidur berbahan sutra halus.Isha memukul lengan suaminya sambil tertawa kecil. “Kalau bulan madu terus itu ‘kan keinginannya Bang Satrio.”Pria berambut ikal itu iku

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18

Bab terbaru

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Ban 195

    “Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 194

    Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 193

    Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 192

    "Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 191

    “Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 190

    "Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 189

    "Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 188

    “Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 187

    “Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status