"Ternyata Mbak Isha sama Bang Satrio yang datang, kirain siapa tamunya," celetuk Vita saat masuk ke rumah dan mendapati kakak tiri dan suaminya sedang duduk di ruang tamu bersama Baskoro. "Mereka tadi yang ngantar Bapak sama Ibu pulang. Beri salam sama mereka," tukas Baskoro. Mau tak mau Vita pun menyalami Isha dan Satrio atas perintah sang kepala keluarga. Berbeda dengan Surya yang tampak santai saja menyalami kedua kakak iparnya. Dia memang merasa tak ada masalah dengan mereka. Sebagai adik, sudah jadi kewajibannya menghormati yang lebih tua. "Ibu ke mana, Pak?" tanya Vita pada Baskoro karena tak melihat batang hidung Lina dan tak mendengar suaranya. "Arisan di rumah Bu RT," jawab Baskoro. "Ibu ga masak dong, Pak, padahal aku lapar banget ini," keluh Vita sambil mengelus perutnya. "Kalau lapar kenapa ga mampir makan dulu baru pulang," celetuk Isha. "Makanan rumahan lebih sehat daripada di luar, Mbak," kilah Vita yang sebenarnya ingin menghemat pengeluaran. "Tadi sih Ibu bawa
“Rasa makanan restoran mahal memang beda ya. Bikin pengen makan terus,” ucap Vita sambil terus mengelus perutnya. Dia masih duduk di ruang makan dan malas beranjak dari sana karena kekenyangan.“Jangan nyidam makan di sana ya, Beb. Kita ga kuat bayar makanannya.” Surya berbisik pada sang istri agar tidak didengar oleh Lina yang sedang mencuci alat makan di dapur.“Ya, kita minta traktir Mbak Isha sama Bang Satrio lah. Kan mereka yang pertama beliin, jadi harus tanggung jawab kalau aku sampai ketagihan,” timpal Vita dengan santai.“Itu ‘kan restoran mahal, Beb. Belum tentu mereka punya uang buat makan di sana lagi. Mungkin tadi Bang Satrio baru ada rezeki jadinya bisa mengajak Ibu dan Bapak ke sana.” Surya coba memberi pengertian pada istrinya.“Ya, ga bisa gitu dong, Beb. Nanti kalau anak kita jadi suka ngeces karena ngidamku ga diturutin gimana? Kamu mau punya anak yang suka ngeces setiap saat?” Vita menatap suaminya tak suka.“Itu hanya mitos, Beb. Ga ada korelasi antara ngidam ga d
“Bang, sudah lihat story Ibu belum?” Isha bertanya pada Satrio saat mereka baru saja berbaring di atas peraduan.Satrio menggeleng. “Belum, Dek. Abang mana sempat buka hape. Memangnya Ibu bikin story apa?” tanyanya seraya menoleh pada sang belahan jiwa.“Vita hamil, Bang,” jawab Isha dengan wajah sendu. Tentu saja Isha merasa sedih karena adiknya yang nikah belakangan sudah hamil, sedangkan dia yang nikah terlebih dahulu sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda kalau sedang hamil.Melihat wajah sang istri, Satrio sontak mendekat dan memeluk erat kekasih hatinya itu. “Dek Isha, ga usah sedih karena belum hamil. Allah pasti punya rencana yang indah buat kita, Dek. Bisa jadi kita disuruh pacaran dan bulan madu dulu, kalau sudah puas berduaan baru dikasih rezeki anak,” ucapnya seraya mengelus punggung Isha yang tertutup gaun tidur berbahan sutra halus.Isha memukul lengan suaminya sambil tertawa kecil. “Kalau bulan madu terus itu ‘kan keinginannya Bang Satrio.”Pria berambut ikal itu iku
"Bang, bagaimana penampilanku? Sudah bagus apa belum?" Isha meminta pendapat suaminya setelah mengenakan baju dan hijab yang dia pilih dari lemari.Satrio mengacungkan dua jempol pada istrinya. "Cantik sekali istri Abang, bikin pangling aja," pujinya dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya."Bang, jangan bercanda! Aku tanya serius ini!" Isha tak mau percaya begitu saja pada ucapan suaminya."Abang jawabnya serius loh, Dek. Mana ada Abang bercanda. Memang Dek Isha jadi tambah cantik dan anggun pakai baju dan hijab itu." Satrio berdiri seraya memandang sang istri dari ujung kaki sampai kepala. "Pakaiannya sudah sempurna. Dandannya yang natural aja, Dek, biar ga banyak yang melirik. Abang takut banyak pria yang naksir Dek Isha. Nanti abang jadi ga tenang kerjanya kalau begitu," sambung pria berambut ikal itu."Bang Satrio, bisa aja ngomongnya. Siapa juga yang mau naksir gadis kampung kaya aku gini?" kilah Isha."Ada Abang loh yang ga cuma naksir, tapi juga jatuh cinta setengah mati
“Assalamu’alaikum.” Suara seorang wanita sontak membuat Satrio dan Isha menoleh ke arah datangnya suara.“Wa’alaikumussalam,” balas Satrio dan Isha bersamaan. Mereka berdua seketika berdiri begitu melihat sosok yang datang.“Sudah, duduk saja! Teruskan makan kalian.” Wanita paruh baya dengan penampilan anggun tersebut menghampiri Satrio dan Isha. Pasangan pengantin baru itu pun bergantian menyalaminya dari tempat duduk mereka.“Makan dulu, Ma.” Satrio mengajak sang mama makan pagi bersama.“Mama sudah makan di rumah tadi.” Laksmi duduk di hadapan anak dan menantunya.“Mama, ke sini sendiri apa diantar sopir?" tanya Satrio kemudian."Bareng sama Papa tadi ke sininya, tapi Papa keburu meeting, jadi ga mampir dulu," jelas Laksmi."Mama, mau teh, kopi, atau yang lain?" tawar Isha. Dia merasa tak enak hati karena mama mertuanya hanya duduk tanpa makan atau minum apa pun.Wanita paruh baya itu menggeleng. "Tidak usah. Mama sudah banyak minum tadi waktu sarapan, nanti malah beser di jalan ka
“Selamat datang, Bu Laksmi. Suatu kehormatan bagi kami, Ibu, berkenan datang ke kantor.” Seorang wanita berambut cepak menghampiri Laksmi dan Isha yang duduk di sofa. Dia lantas menyalami keduanya.“Kamu ini berlebihan kaya aku jarang datang saja, Jeng. Tapi sekarang aku ke sini memang karena ada perlu,” sahut Laksmi.“Apa yang bisa kami bantu untuk Bu Laksmi.” Wanita yang mengenakan setelan blazer hitam itu mulai tampak serius.“Sebelumnya kenalkan dulu ini Isha, menantuku. Istrinya Bhumi.” Laksmi mengenalkan sang menantu dengan wanita kenalannya tersebut.“Hai, Isha. Kenalkan saya, Dyah. Saya salah satu pengajar di sini.” Wanita bernama Dyah itu mengulurkan tangan terlebih dahulu pada Isha.“Saya Isha,” sahut Isha dengan malu-malu. Dia jadi minder melihat penampilan dan cara bicara Dyah.“Bu Laksmi, kok saya tidak tahu kalau Bhumi sudah nikah? Apa saya terlewat beritanya ya?” tanya Dyah.“Memang belum diumumkan, Jeng. Mereka baru akad, belum resepsi. Insya Allah dua atau tiga bulan
Sesudah menyelesaikan pembayaran administrasi, Laksmi mengajak menantunya pergi ke salah satu salon kecantikan yang menjadi langganan para artis. Rencananya untuk bertemu dengan salah satu fashion stylist ditunda karena orangnya sedang tidak ada di tempat. Mereka janji bertemu esok hari sesudah Isha mengikuti kelas di sekolah kepribadian. “Mama, mau perawatan di sini?” tanya Isha saat mengikuti mertuanya masuk ke salon.“Kita berdualah. Masa Mama saja. Kamu juga harus perawatan. Pasti Bhumi tidak pernah ‘kan ngajak kamu ke salon kecantikan?” timpal Laksmi.“Pernah, Ma. Kan saya juga punya krim perawatan wajah dari salon,” jelas Isha.“Oya? Mama kok ga lihat tadi. Apa kelewat ya?” Laksmi tampak berpikir.“Mungkin kelewat, soalnya tadi Mama fokus sama baju dan aksesori saja,” terang Isha.Laksmi mengangguk-angguk. “Benar juga. Produk apa yang kamu pakai?” Isha pun menyebut merek yang biasa dia pakai.“Baguslah Bhumi sudah tahu mana merek yang bagus. Sekarang kita perawatan wajah saja
“Sini, Dek. Abang kangen.” Satrio menepuk kursi malas di sampingnya saat Isha menyusul ke ruang tengah.“Kangen? Masa sih, Bang?” Isha sengaja mengoda suaminya. Dia tak langsung duduk di samping pria yang sudah menghalalkannya itu.“Dek, duduk sini! Atau Abang gendong ke kamar nih!” ancam Satrio yang tak sabar ingin segera memeluk istrinya. Beberapa jam tak bersama membuat pria berambut ikal itu merasa sangat rindu pada sang belahan jiwa.“Ih takut!” Isha berpura-pura ketakutan hingga membuat Satrio merasa gemas. Dia mengangkat tubuh sang istri lalu membawanya ke kamar. “Loh, Bang! Kita mau ke mana? Katanya mau duduk santai di kursi malas!” protes Isha begitu Satrio naik ke kamar mereka.“Kita di kamar saja biar Abang bisa langsung eksekusi. Salah siapa tadi kelamaan berdiri? Abang sudah bilang ‘kan duduk atau Abang gendong ke kamar,” jawab Satrio dengan tegas.“Bang Satrio, ga bisa diajak bercanda ah.” Isha pura-pura cemberut.“Abang pulang kerja capek, Dek. Abang cuma pingin dekat
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci
“Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann
“Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac