“Dek, dulu Abang punya angan-angan dipakein dasi sama istri,” lontar Satrio saat mengancingkan kemeja yang sudah disiapkan sang istri saat dia mandi tadi.Isha memandang Satrio. “Aku ‘kan ga bisa, Bang. Malah jelek dan ga rapi nanti kalau aku yang pasangin,” timpalnya.“Ya belajar. Abang ajarin kalau Dek Isha mau. Gapapa ga langsung bisa, namanya juga belajar, pasti ada prosesnya. Nanti lama-lama Dek Isha juga akan bisa karena terbiasa. Gimana?” Satrio balas memandang istrinya.“Tapi nanti kalau jelek gimana, Bang?” Isha tampak ragu.“Gapapa, nanti Abang rapiin kalau belum rapi. Mau ya belajar?” Satrio memberi tatapan memohon.“Ya udah, aku mau belajar biar Bang Satrio senang. Tapi jangan diledek kalau ga bagus ya,” putus Isha.“Iya, Dek. Percaya sama, Bang. Sekarang tolong ambilkan dasinya,” pinta pria berambut ikal itu.“Yang mana, Bang?” Isha menuju lemari yang isinya berbagai macam warna dan motif dasi milik suaminya.“Mana aja yang menurut Dek Isha bagus dipasangkan dengan kemeja
Satrio mengedikkan bahu. “Abang belum tahu, Dek. Mungkin kalau Dek Isha minta Abang berambut pendek, baru dipotong. Mungkin juga kalau kita sudah punya anak. Tapi bisa jadi selamanya begini,” paparnya. “Dek Isha, ga masalah ‘kan?” Isha mengangguk. “Senyamannya Bang Satrio saja. Aku ga masalah Bang Satrio mau berambut panjang atau pendek.” “Alhamdulillah.” Satrio tampak menghela napas lega. Tak salah dia mencintai Isha yang bisa menerimanya apa adanya.“Mau nambah lagi ga, Bang?” tanya Isha saat melihat piring suaminya sudah bersih.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Sudah cukup, Dek. Kalau terlalu kenyang nanti Abang malah ngantuk di kantor,” jawabnya. “Bang Satrio, mau berangkat sekarang?” Isha memandang sang suami yang sedang meneguk minumnya.“Ga, Dek. Ga usah buru-buru makannya biar ga tersedak. Abang mau cek email dulu,” ucap Satrio usai mengelap mulut dengan tisu.“Ya, Bang.” Isha pun meneruskan makannya. “Jangan lupa kunci pintu dan cek siapa pun yang ada di sini lewat CCT
Satrio dan Isha berdiri di depan gerbang kos menanti kedatangan Baskoro dan juga Lina. Karena Satrio yang memesan taksi, jadi dia bisa memantau perjalanan sang mertua. Begitu sudah dekat, pria berambut ikal itu mengajak Isha menunggu di depan.“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Apa kabar, Pak, Bu?” sapa Satrio saat kedua mertuanya sudah turun dari taksi daring. Dia langsung menyalami mereka dengan takzim. Begitu juga dengan Isha.“Alhamdulillah, sehat. Kalau tidak sehat, Bapak tidak mungkin sampai di sini.” Senyum mengembang di wajah Baskoro kala melihat anak dan menantunya menyambut dengan gembira.“Mari masuk, Pak, Bu.” Satrio pun mempersilakan kedua orang itu memasuki area kos. “Berapa harga sewa kos di sini?” tanya Lina sambil melihat-lihat sekeliling kos.“Macam-macam, Bu. Tergantung luas dan fasilitas kamarnya,” jawab Satrio tanpa menyebutkan dengan gamblang biaya sewanya.“Maksud Ibu harga kamar yang kalian sewa. Bukan harga semua kamar di sini,” tukas Lina.“Alhamdulillah
“Maaf, Pak, Bu, kita makan siangnya di luar saja ya karena alat masaknya masih terbatas,” lontar Satrio saat sudah memasuki waktu makan siang.“Tadi katanya Isha masak kalau di rumah, kok sekarang malah ngajak makan di luar?” sindir Lina.“Kalau cuma masak buat berdua cukup, Bu. Kalau masak besar ga ada alatnya.” Isha beralasan. “Tuh, rice cooker-nya aja kecil. Panci juga kecil. Dulu cuma dipakai Bang Satrio buat bikin mi instan di kontrakan,” imbuhnya sambil menunjuk alat dapur yang ada di sana.“Memangnya kalian belum belanja alat masak?” tanya Lina.“Belum sempat, Bu. Kami ‘kan baru pindah. Lagi pula saya juga ga masalah kalau beli makanan jadi karena saya ga mau Dek Isha kecapekan.” Satrio membela sang istri.“Bukannya nanti pengeluaran kalian jadi lebih banyak kalau beli makanan jadi atau makan di luar?” cecar Lina.“Selama saya masih mampu, tidak masalah, Bu,” tukas Satrio.“Bu, sebenarnya mau atau tidak diajak makan di luar?” Isha lama-lama kesal juga pada ibu tirinya yang sejak
"Sat, kamu ga salah ngajak kami masuk ke restoran ini?" Lina menatap lekat Satrio usai melihat-lihat buku menu. Satrio mengulum senyum. "Tidak salah, Bu. Kenapa memangnya? Apa ada masalah? Atau tidak ada menu yang Ibu dan Bapak suka?" Dia balik bertanya setelah menjawab sang mertua. Wanita paruh baya itu menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Sat, tapi harga makanan sama minuman di sini mahal-mahal. Masa harga es teh saja lima puluh ribu, palingan rasa tehnya juga sama saja kaya yang biasa Ibu bikin di rumah," balasnya. "Coba saja pesan es teh di sini, Bu, biar tahu rasanya sama atau tidak dengan yang biasa dibuat di rumah," sahut Satrio seraya menahan senyum. Lina berdecak. "Masa di restoran mahal begini pesannya cuma teh manis, Sat? Ga ada bedanya sama makan di warung dong." "Kalau begitu pesan saja yang tidak ada di warung, Bu, biar tidak sama," timpal pria berambut ikal tersebut. "Tapi kamu beneran bisa bayar harga makanan dan minuman di sini 'kan, Sat? Ibu ga mau ya disuruh
Lina sontak menyembunyikan tas yang berisi boks makanan ke belakang tubuhnya. Dia tidak mau Isha merebut dan mengembalikan makanan itu ke restoran. "Tidak bisa! Enak saja mau dikembalikan. Lagian juga sudah dibayar sama Satrio," ketusnya."Nah itu Ibu tahu sudah dibayar sama Bang Satrio, kenapa masih bisa bilang belum dibayar lunas? Ibu tuh memang ga pernah menghargai aku sama Bang Satrio, cuma Vita dan Surya yang paling baik di mata Ibu padahal apa-apa selalu minta sama aku atau Bang Satrio." Saking kesalnya, Isha sampai mengungkit pemberiannya dan Satrio pada Lina."Ibu tadi cuma bercanda, kenapa kamu menanggapinya serius sekali? Jangan terlalu kaku jadi orang, Is," kilah Lina agar sang suami tak ikut menegur apa yang dilakukannya tadi."Aku juga tahu kali Bu, mana yang bercanda, mana yang sengaja merendahkan. Aku memang tidak pintar, tapi aku cukup tahu mana orang yang tulus, dan mana yang modus." Isha kemudian membuka kunci mobil dengan remote yang tadi diberikan suaminya begitu t
"Ternyata Mbak Isha sama Bang Satrio yang datang, kirain siapa tamunya," celetuk Vita saat masuk ke rumah dan mendapati kakak tiri dan suaminya sedang duduk di ruang tamu bersama Baskoro. "Mereka tadi yang ngantar Bapak sama Ibu pulang. Beri salam sama mereka," tukas Baskoro. Mau tak mau Vita pun menyalami Isha dan Satrio atas perintah sang kepala keluarga. Berbeda dengan Surya yang tampak santai saja menyalami kedua kakak iparnya. Dia memang merasa tak ada masalah dengan mereka. Sebagai adik, sudah jadi kewajibannya menghormati yang lebih tua. "Ibu ke mana, Pak?" tanya Vita pada Baskoro karena tak melihat batang hidung Lina dan tak mendengar suaranya. "Arisan di rumah Bu RT," jawab Baskoro. "Ibu ga masak dong, Pak, padahal aku lapar banget ini," keluh Vita sambil mengelus perutnya. "Kalau lapar kenapa ga mampir makan dulu baru pulang," celetuk Isha. "Makanan rumahan lebih sehat daripada di luar, Mbak," kilah Vita yang sebenarnya ingin menghemat pengeluaran. "Tadi sih Ibu bawa
“Rasa makanan restoran mahal memang beda ya. Bikin pengen makan terus,” ucap Vita sambil terus mengelus perutnya. Dia masih duduk di ruang makan dan malas beranjak dari sana karena kekenyangan.“Jangan nyidam makan di sana ya, Beb. Kita ga kuat bayar makanannya.” Surya berbisik pada sang istri agar tidak didengar oleh Lina yang sedang mencuci alat makan di dapur.“Ya, kita minta traktir Mbak Isha sama Bang Satrio lah. Kan mereka yang pertama beliin, jadi harus tanggung jawab kalau aku sampai ketagihan,” timpal Vita dengan santai.“Itu ‘kan restoran mahal, Beb. Belum tentu mereka punya uang buat makan di sana lagi. Mungkin tadi Bang Satrio baru ada rezeki jadinya bisa mengajak Ibu dan Bapak ke sana.” Surya coba memberi pengertian pada istrinya.“Ya, ga bisa gitu dong, Beb. Nanti kalau anak kita jadi suka ngeces karena ngidamku ga diturutin gimana? Kamu mau punya anak yang suka ngeces setiap saat?” Vita menatap suaminya tak suka.“Itu hanya mitos, Beb. Ga ada korelasi antara ngidam ga d
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t