“Sudah cantik, Dek,” puji Satrio pada istrinya yang sejak tadi berdiri di depan cermin dan berkali-kali merapikan penampilannya.“Jangan bohong, Bang,” timpal Isha yang tampak belum percaya diri dengan penampilannya malam ini.“Ya Allah, Dek. Buat apa Abang bohong? Dek Isha, beneran sudah cantik.” Satrio meyakinkan istrinya.Isha mencebik. “Kayanya Bang Satrio selalu bilang cantik bagaimana pun keadaanku,” ucapnya.Satrio tersenyum. “Dek Isha memang selalu cantik, masa Abang bilang jelek. Abang bohong dong kalau begitu,” timpalnya.“Tapi pendapat Bang Satrio itu subyektif banget, sama sekali ga obyektif,” tukas Isha seraya melirik suaminya melalui bayangan di cermin.“Kalau Dek Isha ga percaya apa yang Abang katakan, yuk sekarang kita berangkat ke rumah Papa. Kita dengar bagaimana pendapat keluarga Abang setelah melihat Dek Isha.” Satrio menghampiri istrinya.“Aku takut, Bang.” Isha memandang suaminya. Dia terlihat gugup.Satrio meraih tangan Isha lalu menggenggamnya. “Takut apa, Dek?
Satrio sontak bangkit dari duduk lantas menghampiri istrinya dan sang mama. “Maaf, Ma. Sudah kebiasaan di rumah, Dek Isha langsung membereskan meja setelah makan,” ucapnya. “Itu ‘kan di rumah kalian, kalau di sini tidak perlu seperti itu. Mama ga mau menantu mama mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kamu ajak istrimu ke sini ‘kan mau dikenalkan sama kami. Gimana mau kenalan kalau istrimu malah bantu-bantu di belakang,” tukas Laksmi.“Iya, Ma. Maaf, janji ga akan diulangi lagi.” Satrio kemudian beralih pada istrinya.“Yuk, Dek, duduk saja sama Abang dan yang lain. Di sini Dek Isha dilarang kerja karena sudah ada yang mengerjakan.” Dia meraih tangan Isha lalu mengajaknya duduk di sofa yang tadi didudukinya.Isha pun mengangguk dan mengikuti suaminya. Sejoli itu pun duduk bersisian dengan tangan saling menggenggam. “Bhumi, apa mama boleh tahu di mana kamu kenal sama Isha?” Laksmi bertanya pada putra sulungnya setelah duduk di samping sang suami.“Tentu saja boleh. Aku kenal sama Dek Ish
Krisna langsung memandang sang istri tercinta. Mereka seolah bicara lewat tatap mata. “Bagaimana, Ma?” tanyanya.Laksmi menghela napas panjang. “Menurut Papa sendiri gimana?” Wanita paruh baya itu malah balik bertanya tanpa menjawab suaminya.“Pa, Ma, kita ‘kan sudah sepakat kalau aku boleh menikah dengan wanita mana pun asal kami saling mencintai dan dia bisa menerimaku apa adanya. Sekarang aku sudah menemukan orangnya. Harusnya Papa dan Mama merestui kami, bukan seperti ini.” Satrio tampak frustrasi karena Krisna dan Laksmi tak segera menjawab pertanyaannya.“Papa tak mempermasalahkan siapa istrimu. Yang papa tidak suka, kamu bertindak sendiri tanpa memberi tahu kami, orang tuamu. Memang kamu sudah dewasa dan mandiri, tapi masih punya orang tua ‘kan?” Krisna menatap tajam putra sulungnya.“Sekali lagi aku minta maaf soal itu, Pa, Ma. Semua sudah terjadi dan tidak mungkin diulang kembali. Karena itu aku datang ke sini untuk menebus kesalahan dan meminta restu Papa dan Mama.” Satrio m
Isha memandang suaminya. “Sekolah kepribadian? Apa itu, Bang?” tanyanya dengan polos.“Tempat di mana Dek Isha bisa belajar mengembangkan kepribadian agar lebih percaya diri. Biar Dek Isha tahu potensi dalam diri agar tidak selalu merasa rendah diri,” jelas Satrio.“Mama dulu juga sekolah kepribadian setelah menikah dengan papanya anak-anak, Sha. Sebagai istri pengusaha, kita harus punya pribadi dan mental yang tangguh karena akan banyak yang berusaha menjegal atau bahkan menghancurkan rumah tangga kita. Baik itu dilakukan oleh pengusaha lain atau pelakor yang mengincar harta dan kedudukan.” Laksmi ikut menimpali.“Berat ya, Ma, jadi istri pengusaha?” Isha menatap mama mertuanya.Laksmi tersenyum pada sang menantu. “Berat atau tidaknya, tergantung dari cara kita menyikapinya. Awalnya mungkin berat, tapi nanti lama-lama akan enjoy asal kita kuat mental. Kalau kamu ragu atau takut masuk sekolah kepribadian, mama akan temani sampai kamu merasa nyaman menjalaninya. Percayalah, Sha, itu ak
“Mau tahu, apa mau tahu banget?” Satrio sengaja menggoda istrinya. “Ish, Bang Satrio nih ditanya malah gitu.” Isha sontak mengerucutkan bibir.Satrio tertawa kecil lantas mencium pipi sang istri berkali-kali. “Dek Isha, jadi menggemaskan kalau lagi kesal gini. Abang suka,” ucapnya.“Bang, lepas ih!” Isha coba melepaskan tangan Satrio yang melingkar di badannya.“Ga mau! Abang masih mau kaya gini.” Satrio tetap memeluk istrinya, bahkan lebih erat.“Bang, aku sesak kalau begini! Bang Satrio mau aku pingsan?” protes Isha.“Kalau pingsan nanti Abang kasih napas buatan, Dek.” Satrio tersenyum jahil.“Bang, tolong jangan kaya gini. Aku beneran sesak. Nanti kalau aku kehabisan napas gimana?” lontar Isha.“Eh, jangan, Dek!” Satrio langsung mengendurkan pelukannya. Kesempatan itu tak disia-siakan Isha untuk melepaskan diri. Namun gerakannya kalah cepat dengan sang suami. Meskipun lepas sejenak, Satrio bisa kembali memeluknya.“Dek, udah Abang bilang ‘kan kalau Abang masih mau kaya gini. Aban
Satrio seketika membelalakkan mata mendengar pertanyaan Isha yang begitu di luar dugaan. Bagaimana bisa istrinya memikirkan hal-hal seperti itu? Apa tampangnya terlihat seperti seorang kriminal?“Abang bukan orang seperti itu, Dek!” tukas Satrio dengan cepat. “Abang ga pernah melakukan hal yang melanggar hukum seperti yang disebutkan Dek Isha tadi,” sambungnya.“Terus kenapa, Bang?” Isha tampak mengerutkan kening.“Persaingan bisnis, Dek. Ada orang yang ingin menjegal perusahaan dan mengincar posisi Abang. Dunia bisnis itu kejam, ada yang main jujur, tapi tidak sedikit yang berbuat curang,” jelas Satrio. Isha jadi bergidik setelah mendengar penjelasan suaminya. “Ternyata banyak ga enaknya jadi orang kaya ya, Bang,” cetusnya.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Tergantung gimana kita menyikapinya, Dek.”“Tapi lebih enak hidup sederhana, Bang,” tukas Isha.Satrio mengulum senyum. “Itu karena Dek Isha tidak pernah mengalami permasalahan berat selain konflik dengan Ibu dan Vita.”Isha me
“Dek, dulu Abang punya angan-angan dipakein dasi sama istri,” lontar Satrio saat mengancingkan kemeja yang sudah disiapkan sang istri saat dia mandi tadi.Isha memandang Satrio. “Aku ‘kan ga bisa, Bang. Malah jelek dan ga rapi nanti kalau aku yang pasangin,” timpalnya.“Ya belajar. Abang ajarin kalau Dek Isha mau. Gapapa ga langsung bisa, namanya juga belajar, pasti ada prosesnya. Nanti lama-lama Dek Isha juga akan bisa karena terbiasa. Gimana?” Satrio balas memandang istrinya.“Tapi nanti kalau jelek gimana, Bang?” Isha tampak ragu.“Gapapa, nanti Abang rapiin kalau belum rapi. Mau ya belajar?” Satrio memberi tatapan memohon.“Ya udah, aku mau belajar biar Bang Satrio senang. Tapi jangan diledek kalau ga bagus ya,” putus Isha.“Iya, Dek. Percaya sama, Bang. Sekarang tolong ambilkan dasinya,” pinta pria berambut ikal itu.“Yang mana, Bang?” Isha menuju lemari yang isinya berbagai macam warna dan motif dasi milik suaminya.“Mana aja yang menurut Dek Isha bagus dipasangkan dengan kemeja
Satrio mengedikkan bahu. “Abang belum tahu, Dek. Mungkin kalau Dek Isha minta Abang berambut pendek, baru dipotong. Mungkin juga kalau kita sudah punya anak. Tapi bisa jadi selamanya begini,” paparnya. “Dek Isha, ga masalah ‘kan?” Isha mengangguk. “Senyamannya Bang Satrio saja. Aku ga masalah Bang Satrio mau berambut panjang atau pendek.” “Alhamdulillah.” Satrio tampak menghela napas lega. Tak salah dia mencintai Isha yang bisa menerimanya apa adanya.“Mau nambah lagi ga, Bang?” tanya Isha saat melihat piring suaminya sudah bersih.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Sudah cukup, Dek. Kalau terlalu kenyang nanti Abang malah ngantuk di kantor,” jawabnya. “Bang Satrio, mau berangkat sekarang?” Isha memandang sang suami yang sedang meneguk minumnya.“Ga, Dek. Ga usah buru-buru makannya biar ga tersedak. Abang mau cek email dulu,” ucap Satrio usai mengelap mulut dengan tisu.“Ya, Bang.” Isha pun meneruskan makannya. “Jangan lupa kunci pintu dan cek siapa pun yang ada di sini lewat CCT
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t