“Beb, apa-apaan sih!” Vita mendorong dada Surya kala pria itu mendekat padanya.“Loh katanya mau bulan madu seperti kakakmu dan suaminya. Ini ‘kan aku mau ngajak kamu bulan madu, Beb.” Surya memandang istrinya.“Itu sih bukan bulan madu tapi mencari surga dunia, Beb. Bulan madu itu pergi liburan terus bersenang-senang di sana,” sanggah Vita.“Kalau begitu liburan di rumah kita aja. Kita bebas bersenang-senang di sana. Tidak akan ada yang mengganggu,” ujar Surya.“Ish, jangan bikin aku makin kesal dong, Beb. Mana ada liburan di rumah yang belum jadi kaya gitu. Bulan madu itu menginap di hotel atau vila gitu,” tukas Vita.“Jadi intinya menginap di hotel atau vila gitu?” tanya Surya yang ditanggapi Vita dengan anggukan.Surya mengembuskan napas panjang. “Oke, kalau itu maumu. Kita menginap semalam di BlueDoorz atau Owo yang tarifnya di bawah dua ratus ribu,” putusnya kemudian.Vita membelakkan mata. “Apa? Menginap di sana? Ga elit banget sih, Beb. Aku ga mau.” Dia menolak usulan pria yan
Satrio seketika menoleh pada istrinya. “Itu orang tuanya teman Abang, Dek. Abang sudah akrab sama mereka, jadinya sudah seperti orang tua sendiri,” jawabnya.“Bang Satrio, sudah sering ya ke sini sampai akrab sama Mang Ujang dan Bi Asih?” Isha kembali bertanya.Satrio mengangguk. “Dibilang sering juga tidak, beberapa kali saja. Biasanya Abang tidak cuma sehari menginapnya, jadi akrab karena sering ngobrol kalau di sini,” jelasnya.“Silakan diminum tehnya,” ucap Asih seraya meletakkan dua cangkir teh panas ke atas meja makan.“Den Bhumi sama Neng Isha, sudah makan atau belum?” tanyanya kemudian.“Belum, Bi. Tidak usah disiapkan biar nanti kami beli di luar saja. Sekalian mengajak istri saya jalan-jalan. Menikmati malam di sini,” jawab Satrio.“Bibi tadi sudah masak kok, Den. Tinggal dihangatkan saja kalau mau makan. Tapi kalau ingin makan di luar juga tidak apa-apa. Biar Bibi masukkan ke kulkas,” tukas Asih.“Bang, kita makan di sini saja. Besok saja jalan-jalannya. Bang Satrio juga pa
Satrio keluar dari kamar setelah memastikan istrinya benar-benar tidur. Dia pergi ke ruang televisi untuk mengambil pakaiannya dan Isha yang berserakan di sekitar sofa. Pria itu sekaligus merapikan ruangan-ruangan yang tadi menjadi saksi bisu kemesraannya dengan Isha. Lebih tepatnya menghapus jejak cinta mereka. Satrio kemudian masuk ke sebuah ruangan yang seperti ruang kerja di dekat dapur. Dia menyalakan komputer sebelum mendudukkan diri di kursi. Pria itu langsung memegang tetikus dan menggerakkannya. Tak lama muncul video cctv dari berbagai sudut vila pada layar monitor.Pria berambut ikal itu kemudian mencari rekaman CCTV ruangan yang tadi digunakan untuk bermesraan dengan Isha. Setelah menemukan rekamannya, dia gegas menghapus dan memastikan tidak ada yang terlewat agar tidak ada yang melihat aktivitas panasnya dengan sang istri. Usai melakukan yang harus dilakukan, Satrio kembali ke kamar lalu menyusul Isha ke alam mimpi.“Bang, bangun. Mandi terus salat Subuh dulu.” Isha yang
Surya menyugar rambutnya begitu mengingat Vita sedang mengandung anak mereka. Hubungannya dengan Vita tidak seperti pacaran pada umumnya yang melakukan sentuhan fisik hanya dengan berpegangan tangan atau berpelukan. Mereka mulai melakukan hubungan suami istri sejak Surya menyatakan keseriusannya ingin menikah dengan Vita. Membuat gadis yang sangat mencintai Surya itu pun mau menyerahkan kehormatannya pada sang kekasih padahal belum ada ikatan halal di antara mereka. Keduanya beberapa kali melakukan check-in di hotel sepulang kerja atau saat malam mingguan. Biasanya Surya menggunakan pengaman atau melepaskan di luar. Namun satu hari Surya mengajak Vita berhubungan tanpa pengaman karena sudah tidak tahan lagi. Karena terlalu menikmati, dia lupa menarik diri dan melepaskan benihnya di rahim Vita hingga kini tumbuh janin di sana. Itulah yang mendorong Vita ingin cepat menikah dengan Surya. “Beb, mau ke mana?” tanya Vita saat suaminya beranjak dari tempat tidur.“Mau merokok. Asem mulutk
Bakda Asar, Satrio dan Isha meninggalkan vila. Satrio mengenakan kemeja, blazer, dan celana bahan berwarna krem, sementara Isha mengenakan gamis semi formal berbahan satin yang warnanya senada dengan sang suami. Dress code pesta sore itu memang warna krem sesuai yang tertera di undangan.Meskipun riasan Isha hanya sederhana karena merias sendiri, dia tetap terlihat cantik alami. Isha diam-diam belajar merias wajah agar tidak membuat malu suaminya bila diajak bepergian. Setidaknya dia bisa mengaplikasikan dasar riasan dengan benar dan tidak terlihat berlebihan. Satrio memang tak peduli apa kata orang, tapi Isha peduli.Wajah Isha sekarang jadi lebih cerah dan terawat karena Satrio pernah mengajaknya ke salon kecantikan untuk mengecek kondisi kulit dan melakukan perawatan wajah. Sejak itu, dia jadi rutin menggunakan berbagai macam krim dan serum agar wajahnya terlihat lebih bersinar. Semua itu Isha lakukan demi Satrio. Dia juga ingin secantik Gwen yang kulit wajahnya terlihat kinclong d
Isha tak langsung menjawab pertanyaan Satrio karena memikirkan jawaban yang tepat. “Aku penasaran saja bagaimana Bang Satrio yang orang biasa, bisa kenal sama orang-orang kaya seperti mereka. Biasanya ‘kan orang-orang kaya hanya bergaul dengan yang dari kalangan mereka saja,” cakapnya seraya memandang suaminya yang sedang fokus mengemudi.Satrio mengulum senyum, lantas mengerling sekilas pada Isha. “Tidak semua orang kaya seperti itu, Dek. Kebetulan teman-teman Abang itu low profile semua. Mereka mau berteman dengan berbagai kalangan dan tidak pernah membeda-bedakan dari mana asalnya,” jelas pria berambut ikal itu.“Jangan-jangan Bang Satrio sekolah di sekolahan elit jadi bisa berteman baik sama mereka?” Isha tampak masih belum percaya dengan penjelasan yang diberikan sang suami.Bukannya menjawab, Satrio malah tertawa. “Tidak semua orang kaya sekolahnya di sekolah elit, Dek. Banyak kok yang di sekolah negeri,” timpalnya setelah berhenti tertawa.“Mungkin karena aku sekolahnya tidak d
Isha membalas tatapan sang suami. Entah bagaimana Satrio bisa tahu apa yang ada di hatinya. Apakah Satrio sekarang sudah bisa membaca pikiran?“Jangan sok tahu, Bang. Memangnya Bang Satrio bisa melihat isi hatiku?” kilahnya.“Kalau tahu apa yang jadi ganjalan di hati Dek Isha, Abang tidak akan bertanya, Dek.” Satrio menghela napas panjang. Dia tampak frustrasi karena istrinya tidak mau jujur.“Dek, kita sudah jadi suami istri selama tiga bulan. Sedikit banyak Abang jadi lebih mengenal pribadi Dek Isha. Abang tahu saat Dek Isha bahagia, marah, kesal, jujur, bohong hanya dengan melihat wajah Dek Isha,” papar pria berambut ikal itu.“Karena itu Abang mohon dengan sangat, keluarkan apa yang ada di hati Dek Isha biar Abang tidak merasa bersalah. Abang merasa gagal jadi suami karena tidak bisa membuat Dek Isha bahagia,” imbuhnya dengan wajah sendu.“Bang Satrio tidak salah, aku saja yang overthinking. Maaf karena sudah membuat hubungan kita jadi tidak nyaman, Bang,” lontar Isha yang jadi me
“Apa masih harus aku jawab, Bang?” Isha menatap lekat suaminya.Satrio mengangguk. “Biar Abang merasa lebih tenang, Dek,” jawabnya.Isha tersenyum pada pria yang sudah menghalalkannya itu. “Insya Allah aku sudah lebih percaya sekarang, tapi namanya manusia pasti ada rasa takut dibohongi meskipun persentasenya kecil. Maaf kalau apa yang aku katakan ini mengecewakan Bang Satrio karena aku tidak mau ada yang ditutupi lagi,” tuturnya.Pria berambut ikal itu pun membalas senyum sang wanita. “Abang ngerti, Dek. Abang akan melakukan yang terbaik biar Dek Isha bisa percaya penuh sama Abang,” timpalnya.“Makasih sudah mau mengerti, Bang.” Isha kemudian mencium pipi sang suami. Saat dia akan menjauhkan diri, Satrio menahan lantas menyatukan bibir mereka.Keesokan harinya, sejoli itu kembali turun saat matahari sudah tinggi. Satrio benar-benar memanfaatkan waktu mereka untuk memadu cinta sesuka hati. Tanpa harus menahan diri dan merasa malu karena bangun kesiangan. Asih tidak tampak di dapur, t
“Vit, Bapak dapat kabar dari Satrio kalau Surya sekarang ada di rumah orang tuanya. Kalau mau minta maaf dan baikan, sebaiknya kamu menyusul ke sana.” Baskoro bicara dengan Vita setelah diberi tahu Satrio di mana posisi Surya.“Aku ke sananya sendiri, Pak?” Vita memandang sang bapak dengan mata merah dan bengkak karena terus menangis."Kamu mau ditemani?" tanya Baskoro sambil memandang putri bungsunya dengan tatapan iba.Vita mengangguk sambil mengusap air mata dengan tisu. "Bapak nanti bisa bantu aku ngomong sama Mas Surya dan kedua mertuaku kalau ikut. Kalau aku ke sana sendiri belum tentu Mas Surya mau menemui aku," timpalnya.Baskoro melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 18.30, masih belum terlalu malam untuk bertamu ke rumah orang. "Ya sudah, kamu siap-siap. Bapak antar kamu ke rumah Surya," putusnya kemudian."Ya, Pak. Aku cuci muka dulu." Vita beranjak ke kamar mandi setelah sang bapak meninggalkan kamarnya. Kali ini dia harus mengalah dan minta maaf agar rumah tangganya b
Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi
“Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per
“Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip
“Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah
Satrio sontak menghentikan kegiatannya, lantas balas menatap sang belahan jiwa. “Astaghfirullah. Bukan seperti, Dek. Jangan salah paham,” sanggahnya cepat. “Kayanya Abang pernah cerita kalau Abang naksir Dek Isha sudah lama. Jauh sebelum kita digerebek warga. Abang pindah ke kontrakan yang dekat sama rumah Bapak ‘kan biar bisa sering melihat dan ketemu Dek Isha. Cuma memang Abang ga mau terang-terangan kelihatan lagi pedekate,” beber Satrio. “Alasan Abang mau menikah dengan Dek Isha tentu saja karena cinta. Kalau ga cinta, Abang ga akan mau. Mending Abang diusir dari kontrakan daripada dipaksa menikah sama orang yang ga Abang cintai,” sambung pria berambut ikal itu. Dia meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya erat. “Dan secara kebetulan, kriteria yang disyaratkan Kakek ada dalam diri Dek Isha. Demi Allah, Abang cinta sama Dek Isha sejak pertama kali Abang melihat Dek Isha. Sebenarnya Abang sedang menyusun rencana untuk melamar Dek Isha, eh malah sudah keduluan digerebek wa
Vita sependapat kalau hidup itu tidak hanya butuh cinta karena yang paling penting punya harta. Kalau modal cinta tanpa harta, gimana mau bahagia? Terbukti sekarang, dia harus menahan diri kalau ingin sesuatu karena Surya tak bisa memenuhi keinginannya. Salahnya juga dahulu memaksa Surya membeli rumah biar setelah menikah menikah bisa tinggal di rumah sendiri. Nyatanya sampai sekarang malah rumah yang dibeli belum jadi.Wanita yang sedang hamil muda itu menghela napas. “Belum tentu juga Bang Satrio mau nikah sama aku, Bu,” ucapnya kemudian.“Pasti maulah. Buktinya pas digerebek sama Isha langsung mau dia. Asal warga kompak minta kalian nikah, pasti Satrio mau. Ibu benar-benar menyesal. Harusnya kamu yang datang ke kontrakan Satrio, bukan Isha.” Lina kembali menyesali apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan yang lalu.“Ibu ‘kan yang merencanakan semuanya, aku cuma ikut saja. Waktu itu kita sengaja pergi ke rumah Mas Surya sampai malam biar Mbak Isha tidak bisa masuk rumah. Ibu yang
“Pegal juga berdiri dan salaman sama banyak orang. Belum lagi harus terus tersenyum, bibir ikutan pegal,” keluh Lina begitu bertemu dengan Vita.“Ya, mau gimana lagi, Bu. Tamunya ‘kan jauh lebih banyak dari resepsiku dulu. Setidaknya Ibu ‘kan bisa salaman dan foto sama presiden dan wakilnya,” sahut Vita yang coba membangkitkan semangat sang ibu.Lina seketika tersenyum kala ingat apa yang dikatakan putrinya. “Ibu harus minta foto waktu bareng Pak Presiden dan Wakil Presiden nih sama fotografernya,” cetusnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hall.“Ibu, cari siapa?” kepo Vita.“Cari fotografer. Kamu lihat ga, Vit? Ibu mau cepat-cepat pamer,” aku wanita paruh baya itu.“Mungkin lagi makan, Bu. Coba tanya aja sama timnya yang lagi beresin perlengkapan mereka,” timpal Vita seraya menunjuk seorang pria dengan kemeja yang bagian belakangnya bertuliskan nama sang fotografer.“Ibu ke sana dulu ya.” Lina pun gegas bangkit dan pergi menghampiri pria tersebut.“Ibu mau ke mana itu, Vit?
“Bang, beneran itu tadi Pak Presiden?” Isha berbisik pada Satrio saat sang kepala negara sudah meninggalkan pelaminan.Satrio mengangguk. “Kenapa memangnya, Dek?” “Ga nyangka aja bisa ketemu Pak Presiden. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang bisa salaman, malah didoakan juga tadi,” jawab Isha dengan wajah semringah. Sebagai warga biasa tentu saja dia merasa bangga dan bahagia bisa bertemu langsung dengan presiden.Pria berambut ikal itu tersenyum. “Ke depannya kita akan sering bertemu beliau, wapres, dan menteri-menteri, Dek,” ucapnya.Isha menutup mulut dengan tangan begitu mendengar ucapan suaminya. “Beneran, Bang?” tanyanya kemudian.Satrio mengangguk. “Dek, itu tamu-tamu sudah mulai naik. Ayo, siap-siap salaman lagi.” Dia menunjuk barisan tamu yang mulai berjalan kembali. Mereka tadi dihentikan oleh satuan keamanan untuk memberi waktu pada presiden memberi selamat pada orang tua dan kedua mempelai.Sementara itu di sisi lain hall, Vita dan Surya duduk di kursi yang disediakan khu