“Berani meninggalkan Abang ya. Awas kalau ketangkap, Abang hukum Dek Isha nanti!” Satrio kemudian mengejar istrinya yang berlarian seperti anak kecil. Isha tampak sangat gembira karena suaminya tak mampu mengejar dia. Padahal pria berambut ikal itu sengaja tak mengerahkan semua tenaganya untuk mengejar Isha. Dia ingin wanitanya itu menikmati kebebasan yang selama ini jarang didapatkan.Isha akhirnya berhenti berlari saat dia sudah merasa capek. Dia berdiri sambil berkacak pinggang menunggu sang suami menyusulnya. Saat itu barulah Satrio menghampiri istrinya dan langsung merangkul bahunya. “Abang bisa tangkap ‘kan sekarang. Tunggu hukuman dari Abang nanti malam.” Satrio mengedipkan sebelah mata pada sang belahan jiwa.Isha mencebik. “Ya jelas bisa menangkap soalnya aku berhenti berlari. Coba kalau enggak, pasti Abang ga bisa nangkap aku,” cakapnya dengan pongah.“Mau coba lagi? Ga butuh waktu lama, Abang pasti bisa menangkap Dek Isha. Tadi itu Abang sengaja ngalah, Dek.” Satrio berala
“Assalamu’alaikum.” Satrio mengucap salam begitu membuka pintu vila.“Wa’alaikumussalam,” sahut beberapa orang yang duduk di ruang tamu.“Den Bisma, itu Den Bhumi dan Neng Isha sudah pulang,” lontar Asih yang ikut duduk di ruang tamu. Dia dan suaminya ada di sana karena menemani pria yang tadi dipanggil Bisma.Seorang pemuda yang duduknya membelakangi pintu seketika menoleh. Dia sontak tersenyum lantas berdiri menghampiri Satrio dan memeluknya. “Kak Bhumi, akhirnya kita ketemu lagi. Kenapa ga pernah pulang?” ucapnya.“Bisma, lepas. Ga usah lebai gini.” Satrio mendorong pemuda yang wajahnya mirip dengannya itu.“Kak Bhumi, kenapa nikah ga bilang-bilang? Ini istri Kakak?” Pria bernama Bisma itu lalu beralih pada Isha. “Kakak ipar, kenalkan aku Bisma. Aku adiknya Kak Bhumi.” Dia tersenyum sambil mengulurkan tangan kanan.Isha menoleh pada Satrio sebelum menyambut uluran tangan pria yang mengaku adik suaminya. Sesudah Satrio mengangguk, dia baru menjabat tangan Bisma. “Saya Isha,” ucapnya
“Woi, kalem, Kak.” Bisma menimpali kakaknya dengan tenang. “Oke, aku akan bekerja sama. Jadi aku boleh menginap di sini ‘kan, Kak? Aku juga mau lebih mengenal kakak ipar,” ujarnya.Satrio mendesah. “Yang penting kamu jangan mengacaukan rencanaku,” timpalnya.“Siap, Bos.” Bisma melakukan sikap hormat dengan wajah ceria.“Aku ke kamar dulu.” Satrio kemudian bangkit dan beranjak dari sofa.“Buatkan aku keponakan yang lucu ya, Kak.” Teriakan Bisma itu sama sekali tak dipedulikan Satrio yang terus berjalan ke lantai dua. Menyusul sang istri tercinta.Satrio membuka pintu kamar dengan pelan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Maksudnya ingin mengejutkan sang istri, tapi malah melihat Isha sudah terlelap dengan mengenakan setelan piama panjang. Istrinya pasti sangat lelah karena langsung tidur tanpa menunggunya. Pria berambut ikal itu kemudian menutup dan mengunci pintu. Dia tersenyum saat melihat pakaian tidurnya sudah disiapkan oleh sang istri dan diletakkan di atas tempat tidur. Hal itu memb
“Dek, nanti kalau Bisma ngomong macam-macam, ga usah ditanggepin ya. Dia orangnya suka usil,” pesan Satrio pada Isha sebelum mereka keluar dari kamar.“Memangnya dia menginap di sini, Bang?” Isha tampak terkejut.Satrio mengangguk. “Iya. Dia memang kadang suka menginap di sini kalau lagi suntuk. Pokoknya ingat pesan Abang tadi ya! Kalau bisa menghindar dari dia lebih baik,” tukasnya.“Kenapa harus menghindar, Bang? Adik Bang Satrio itu bukan orang jahat ‘kan?” Isha merasa heran mendengar ucapan suaminya.“Dia memang tidak jahat, tapi suka usil, Dek. Abang tidak mau Dek Isha diusili sama Bisma,” timpal Satrio sambil menatap istrinya.“Ya, udah. Kita turun sekarang, Bang. Aku ga enak sama Bi Asih karena selalu bangun siang selama di sini.” Isha melihat sekali lagi penampilannya di cermin sebelum keluar kamar. “Ga perlu, ga enak, Dek. Bi Asih sama Mang Ujang pasti juga paham.” Satrio kemudian menggandeng tangan Isha begitu keluar dari kamar.“Kaya keponakanku bakal segera launching nih
Satrio dan Isha berpamitan pada Ujang dan Asih setelah semuanya siap. Mereka mengucapkan terima kasih karena telah disambut di sana dengan baik dan selalu disiapkan makanan. Keduanya juga minta maaf bila selama berinteraksi dengan pasangan paruh baya itu ada salah dan khilaf.“Kalian tidak berpamitan sama aku.” Tiba-tiba saja Bisma datang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana renang yang panjangnya di atas lutut. Badannya terlihat basah karena dia baru selesai berenang.Isha langsung memalingkan wajah begitu tak sengaja melihat penampilan adik iparnya. Meskipun sudah berulang kali melihat badan polos sang suami, tapi Isha tetap tak berbiasa melihat badan pria lain. Dia jadi kikuk sendiri.“Bisma, apa-apaan sih kamu ga pakai baju kaya gitu. Ga sopan tahu tidak!” Satrio meradang begitu melihat adiknya apalagi istrinya sampai memalingkan muka.“Iya-iya, aku pakai baju dulu. Lagian aku baru selesai renang, wajar dong ga pakai baju.” Bisma kembali ke kolam renang lalu mengenakan bat
Isha membelalakkan mata begitu melihat apa yang terjadi di hadapannya. Satrio dipeluk seorang wanita muda. Bukannya menolak, suaminya malah balas memeluk dan mengelus punggung wanita tersebut. “Aku juga kangen,” balas Satrio. Tak tahan dengan semua itu, Isha memalingkan wajah. Istri mana yang tahan melihat suaminya berpelukan dengan wanita lain. Selain merasa tak rela, hatinya pun nyeri. Apalagi Satrio seolah tak menganggap keberadaannya. Tak lama kemudian Satrio dan wanita itu mengurai pelukan. Dia meminta wanita muda itu duduk di sampingnya. Tanpa merasa bersalah, Satrio tersenyum pada Isha yang berusaha keras memasang wajah datar, padahal dalam hati dia ingin menangis dengan keras. Di saat Isha sudah percaya dan menyerahkan diri pada Satrio, tapi suaminya malah memeluk wanita lain di depan matanya. “Dek, kenalkan ini Nila, adik bungsu Abang. Nila, kenalkan ini istriku, namanya Isha.” Satrio memperkenalkan dua wanita itu secara bergantian. “Hah! Kak Bhumi sudah menikah?” seru wan
“Aku turun dulu ya, Bang.” Isha melepas sabuk pengaman begitu mobil berhenti di depan rumah Baskoro. Dia membuka pintu mobil lalu turun. “Tolong buka pintu bagasi, Bang,” pintanya.Isha membuka bagasi lantas mengambil tas berisi oleh-oleh. Koper dibiarkan ada di sana karena Satrio melarangnya membawa. Setelah itu Isha berjalan ke pintu rumah. “Assalamu’alaikum,” salamnya saat memasuki rumah yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka.Sementara itu Satrio menghela napas panjang begitu sang istri turun dari mobil. Entah apa yang salah kali ini karena dia belum mendapat jawaban dari Isha. Saat Satrio tadi bertanya, mereka sudah masuk ke jalan kampung dan tak lama tiba di rumah sang mertua. Satrio meminggirkan mobil agar tidak menghalangi jalan sebelum turun dan mengambil koper di bagasi. Dia mengunci pintu mobil setelah itu menyusul istrinya.“Assalamu’alaikum.” Satrio mengucap salam saat keluarga istrinya membongkar oleh-oleh yang mereka bawa. Dia sudah tak melihat Isha ada di sana, pasti
“Dek, mungkin nanti Abang ga bisa ngantar Dek Isha masuk kerja. Nanti Abang orderin ojol ya. Kalau pulangnya, insya Allah Abang jemput.” Satrio bicara pada istrinya saat dia berganti baju di kamar. “Gapapa, Bang. Dulu aku juga biasa berangkat dan pulang kerja sendiri,” sahut Isha sembari melipat baju.“Dek Isha, ga marah ‘kan?” Satrio memandang istrinya.Isha menggeleng. “Buat apa marah, Bang?”“Siapa tahu Dek Isha marah karena Abang ga bisa nganter. Abang tuh paling takut Dek Isha marah,” sahut Satrio.“Masa cuma karena hal sepele gitu marah, Bang? Kaya anak kecil saja.” Isha tersenyum.“Walaupun Dek Isha ga marah, Abang tetap minta maaf ya. Karena ga masuk kerja beberapa hari, kerjaan Abang numpuk. Selain itu Abang mau balikin mobil,” lontar pria berambut ikal itu. “Bang Satrio ga perlu minta maaf karena ga salah. Lakukan yang memang harus dilakukan. Sebaiknya mobil memang segera dikembalikan, ga enak sama bos Bang Satrio kalau kelamaan pinjam,” timpal Isha.“Iya, Dek, makanya nan
“Vit, Bapak dapat kabar dari Satrio kalau Surya sekarang ada di rumah orang tuanya. Kalau mau minta maaf dan baikan, sebaiknya kamu menyusul ke sana.” Baskoro bicara dengan Vita setelah diberi tahu Satrio di mana posisi Surya.“Aku ke sananya sendiri, Pak?” Vita memandang sang bapak dengan mata merah dan bengkak karena terus menangis."Kamu mau ditemani?" tanya Baskoro sambil memandang putri bungsunya dengan tatapan iba.Vita mengangguk sambil mengusap air mata dengan tisu. "Bapak nanti bisa bantu aku ngomong sama Mas Surya dan kedua mertuaku kalau ikut. Kalau aku ke sana sendiri belum tentu Mas Surya mau menemui aku," timpalnya.Baskoro melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 18.30, masih belum terlalu malam untuk bertamu ke rumah orang. "Ya sudah, kamu siap-siap. Bapak antar kamu ke rumah Surya," putusnya kemudian."Ya, Pak. Aku cuci muka dulu." Vita beranjak ke kamar mandi setelah sang bapak meninggalkan kamarnya. Kali ini dia harus mengalah dan minta maaf agar rumah tangganya b
Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi
“Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per
“Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip
“Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah
Satrio sontak menghentikan kegiatannya, lantas balas menatap sang belahan jiwa. “Astaghfirullah. Bukan seperti, Dek. Jangan salah paham,” sanggahnya cepat. “Kayanya Abang pernah cerita kalau Abang naksir Dek Isha sudah lama. Jauh sebelum kita digerebek warga. Abang pindah ke kontrakan yang dekat sama rumah Bapak ‘kan biar bisa sering melihat dan ketemu Dek Isha. Cuma memang Abang ga mau terang-terangan kelihatan lagi pedekate,” beber Satrio. “Alasan Abang mau menikah dengan Dek Isha tentu saja karena cinta. Kalau ga cinta, Abang ga akan mau. Mending Abang diusir dari kontrakan daripada dipaksa menikah sama orang yang ga Abang cintai,” sambung pria berambut ikal itu. Dia meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya erat. “Dan secara kebetulan, kriteria yang disyaratkan Kakek ada dalam diri Dek Isha. Demi Allah, Abang cinta sama Dek Isha sejak pertama kali Abang melihat Dek Isha. Sebenarnya Abang sedang menyusun rencana untuk melamar Dek Isha, eh malah sudah keduluan digerebek wa
Vita sependapat kalau hidup itu tidak hanya butuh cinta karena yang paling penting punya harta. Kalau modal cinta tanpa harta, gimana mau bahagia? Terbukti sekarang, dia harus menahan diri kalau ingin sesuatu karena Surya tak bisa memenuhi keinginannya. Salahnya juga dahulu memaksa Surya membeli rumah biar setelah menikah menikah bisa tinggal di rumah sendiri. Nyatanya sampai sekarang malah rumah yang dibeli belum jadi.Wanita yang sedang hamil muda itu menghela napas. “Belum tentu juga Bang Satrio mau nikah sama aku, Bu,” ucapnya kemudian.“Pasti maulah. Buktinya pas digerebek sama Isha langsung mau dia. Asal warga kompak minta kalian nikah, pasti Satrio mau. Ibu benar-benar menyesal. Harusnya kamu yang datang ke kontrakan Satrio, bukan Isha.” Lina kembali menyesali apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan yang lalu.“Ibu ‘kan yang merencanakan semuanya, aku cuma ikut saja. Waktu itu kita sengaja pergi ke rumah Mas Surya sampai malam biar Mbak Isha tidak bisa masuk rumah. Ibu yang
“Pegal juga berdiri dan salaman sama banyak orang. Belum lagi harus terus tersenyum, bibir ikutan pegal,” keluh Lina begitu bertemu dengan Vita.“Ya, mau gimana lagi, Bu. Tamunya ‘kan jauh lebih banyak dari resepsiku dulu. Setidaknya Ibu ‘kan bisa salaman dan foto sama presiden dan wakilnya,” sahut Vita yang coba membangkitkan semangat sang ibu.Lina seketika tersenyum kala ingat apa yang dikatakan putrinya. “Ibu harus minta foto waktu bareng Pak Presiden dan Wakil Presiden nih sama fotografernya,” cetusnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hall.“Ibu, cari siapa?” kepo Vita.“Cari fotografer. Kamu lihat ga, Vit? Ibu mau cepat-cepat pamer,” aku wanita paruh baya itu.“Mungkin lagi makan, Bu. Coba tanya aja sama timnya yang lagi beresin perlengkapan mereka,” timpal Vita seraya menunjuk seorang pria dengan kemeja yang bagian belakangnya bertuliskan nama sang fotografer.“Ibu ke sana dulu ya.” Lina pun gegas bangkit dan pergi menghampiri pria tersebut.“Ibu mau ke mana itu, Vit?
“Bang, beneran itu tadi Pak Presiden?” Isha berbisik pada Satrio saat sang kepala negara sudah meninggalkan pelaminan.Satrio mengangguk. “Kenapa memangnya, Dek?” “Ga nyangka aja bisa ketemu Pak Presiden. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang bisa salaman, malah didoakan juga tadi,” jawab Isha dengan wajah semringah. Sebagai warga biasa tentu saja dia merasa bangga dan bahagia bisa bertemu langsung dengan presiden.Pria berambut ikal itu tersenyum. “Ke depannya kita akan sering bertemu beliau, wapres, dan menteri-menteri, Dek,” ucapnya.Isha menutup mulut dengan tangan begitu mendengar ucapan suaminya. “Beneran, Bang?” tanyanya kemudian.Satrio mengangguk. “Dek, itu tamu-tamu sudah mulai naik. Ayo, siap-siap salaman lagi.” Dia menunjuk barisan tamu yang mulai berjalan kembali. Mereka tadi dihentikan oleh satuan keamanan untuk memberi waktu pada presiden memberi selamat pada orang tua dan kedua mempelai.Sementara itu di sisi lain hall, Vita dan Surya duduk di kursi yang disediakan khu