“Dek, nanti kalau Bisma ngomong macam-macam, ga usah ditanggepin ya. Dia orangnya suka usil,” pesan Satrio pada Isha sebelum mereka keluar dari kamar.“Memangnya dia menginap di sini, Bang?” Isha tampak terkejut.Satrio mengangguk. “Iya. Dia memang kadang suka menginap di sini kalau lagi suntuk. Pokoknya ingat pesan Abang tadi ya! Kalau bisa menghindar dari dia lebih baik,” tukasnya.“Kenapa harus menghindar, Bang? Adik Bang Satrio itu bukan orang jahat ‘kan?” Isha merasa heran mendengar ucapan suaminya.“Dia memang tidak jahat, tapi suka usil, Dek. Abang tidak mau Dek Isha diusili sama Bisma,” timpal Satrio sambil menatap istrinya.“Ya, udah. Kita turun sekarang, Bang. Aku ga enak sama Bi Asih karena selalu bangun siang selama di sini.” Isha melihat sekali lagi penampilannya di cermin sebelum keluar kamar. “Ga perlu, ga enak, Dek. Bi Asih sama Mang Ujang pasti juga paham.” Satrio kemudian menggandeng tangan Isha begitu keluar dari kamar.“Kaya keponakanku bakal segera launching nih
Satrio dan Isha berpamitan pada Ujang dan Asih setelah semuanya siap. Mereka mengucapkan terima kasih karena telah disambut di sana dengan baik dan selalu disiapkan makanan. Keduanya juga minta maaf bila selama berinteraksi dengan pasangan paruh baya itu ada salah dan khilaf.“Kalian tidak berpamitan sama aku.” Tiba-tiba saja Bisma datang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana renang yang panjangnya di atas lutut. Badannya terlihat basah karena dia baru selesai berenang.Isha langsung memalingkan wajah begitu tak sengaja melihat penampilan adik iparnya. Meskipun sudah berulang kali melihat badan polos sang suami, tapi Isha tetap tak berbiasa melihat badan pria lain. Dia jadi kikuk sendiri.“Bisma, apa-apaan sih kamu ga pakai baju kaya gitu. Ga sopan tahu tidak!” Satrio meradang begitu melihat adiknya apalagi istrinya sampai memalingkan muka.“Iya-iya, aku pakai baju dulu. Lagian aku baru selesai renang, wajar dong ga pakai baju.” Bisma kembali ke kolam renang lalu mengenakan bat
Isha membelalakkan mata begitu melihat apa yang terjadi di hadapannya. Satrio dipeluk seorang wanita muda. Bukannya menolak, suaminya malah balas memeluk dan mengelus punggung wanita tersebut. “Aku juga kangen,” balas Satrio. Tak tahan dengan semua itu, Isha memalingkan wajah. Istri mana yang tahan melihat suaminya berpelukan dengan wanita lain. Selain merasa tak rela, hatinya pun nyeri. Apalagi Satrio seolah tak menganggap keberadaannya. Tak lama kemudian Satrio dan wanita itu mengurai pelukan. Dia meminta wanita muda itu duduk di sampingnya. Tanpa merasa bersalah, Satrio tersenyum pada Isha yang berusaha keras memasang wajah datar, padahal dalam hati dia ingin menangis dengan keras. Di saat Isha sudah percaya dan menyerahkan diri pada Satrio, tapi suaminya malah memeluk wanita lain di depan matanya. “Dek, kenalkan ini Nila, adik bungsu Abang. Nila, kenalkan ini istriku, namanya Isha.” Satrio memperkenalkan dua wanita itu secara bergantian. “Hah! Kak Bhumi sudah menikah?” seru wan
“Aku turun dulu ya, Bang.” Isha melepas sabuk pengaman begitu mobil berhenti di depan rumah Baskoro. Dia membuka pintu mobil lalu turun. “Tolong buka pintu bagasi, Bang,” pintanya.Isha membuka bagasi lantas mengambil tas berisi oleh-oleh. Koper dibiarkan ada di sana karena Satrio melarangnya membawa. Setelah itu Isha berjalan ke pintu rumah. “Assalamu’alaikum,” salamnya saat memasuki rumah yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka.Sementara itu Satrio menghela napas panjang begitu sang istri turun dari mobil. Entah apa yang salah kali ini karena dia belum mendapat jawaban dari Isha. Saat Satrio tadi bertanya, mereka sudah masuk ke jalan kampung dan tak lama tiba di rumah sang mertua. Satrio meminggirkan mobil agar tidak menghalangi jalan sebelum turun dan mengambil koper di bagasi. Dia mengunci pintu mobil setelah itu menyusul istrinya.“Assalamu’alaikum.” Satrio mengucap salam saat keluarga istrinya membongkar oleh-oleh yang mereka bawa. Dia sudah tak melihat Isha ada di sana, pasti
“Dek, mungkin nanti Abang ga bisa ngantar Dek Isha masuk kerja. Nanti Abang orderin ojol ya. Kalau pulangnya, insya Allah Abang jemput.” Satrio bicara pada istrinya saat dia berganti baju di kamar. “Gapapa, Bang. Dulu aku juga biasa berangkat dan pulang kerja sendiri,” sahut Isha sembari melipat baju.“Dek Isha, ga marah ‘kan?” Satrio memandang istrinya.Isha menggeleng. “Buat apa marah, Bang?”“Siapa tahu Dek Isha marah karena Abang ga bisa nganter. Abang tuh paling takut Dek Isha marah,” sahut Satrio.“Masa cuma karena hal sepele gitu marah, Bang? Kaya anak kecil saja.” Isha tersenyum.“Walaupun Dek Isha ga marah, Abang tetap minta maaf ya. Karena ga masuk kerja beberapa hari, kerjaan Abang numpuk. Selain itu Abang mau balikin mobil,” lontar pria berambut ikal itu. “Bang Satrio ga perlu minta maaf karena ga salah. Lakukan yang memang harus dilakukan. Sebaiknya mobil memang segera dikembalikan, ga enak sama bos Bang Satrio kalau kelamaan pinjam,” timpal Isha.“Iya, Dek, makanya nan
“Beb, ayo siap-siap berangkat, keburu kena macet nanti.” Surya menarik tangan Vita yang mau membalas ucapan Isha. Selain merasa tak enak pada mertuanya, dia juga malu pada Isha. Apalagi setelah mendengar kalau Satrio ikut membiayai pernikahannya. “Apaan sih pakai tarik aku segala, Beb,” protes Vita setelah masuk ke kamarnya.“Kamu mau kerja apa mau bertengkar sama kakakmu? Ga lihat sekarang jam berapa?” Surya menunjuk jam yang menempel di dinding kamar.“Ya ampun!” Vita pun gegas merapikan penampilannya dan mengambil tas kerjanya begitu melihat jam dinding. “Yuk, Beb. Aku sudah siap.” Vita mengajak suaminya ke luar dari kamar. Dia sudah tidak melihat lagi sosok kakak tirinya ada di ruang depan. Mungkin saja Isha ada di kamar atau di belakang, Vita tak mau ambil pusing. Setelah berpamitan dengan sang ibu, mereka pun berangkat ke kantor menggunakan mobil Surya.“Beb, memangnya Mas Satrio beneran kerja serabutan ya?” tanya Surya saat mereka dalam perjalanan ke kantor.Vita mengedikkan
“Dek, sudah Abang pesankan ojol ya. Maaf Abang ga bisa nganter hari ini.” Isha tersenyum kala mendapat pesan dari suaminya. Meskipun sedang sibuk kerja, pria itu tetap memikirkannya. Bahkan memesankan ojek untuknya.“Ya, Bang. Makasih,” balas Isha dalam pesannya. Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, dia ke luar dari kamar lalu duduk di teras menunggu pengemudi ojol yang akan mengantarnya ke toko. “Pak, Bu, aku kerja dulu.” Isha masuk rumah lagi, berpamitan pada Baskoro dan Lina yang duduk di ruang depan. Tak lupa menyalami keduanya dengan takzim.“Kamu berangkat sama siapa, Is?” tanya Baskoro saat Isha menyalaminya.“Sama ojek, Pak,” jawab Isha.“Memangnya Satrio ke mana?” Gantian Lina yang bertanya.“Baru ada kerjaan, Bu. Aku berangkat ya, ojolnya sudah nunggu di depan,” timpal Isha.“Ya, hati-hati,” pesan Baskoro.Isha pun gegas menghampiri pengemudi ojol. Setelah mengenakan helm, dia naik ke atas motor. Baru setelah itu sang pengemudi menjalankan motornya.“Bang, aku sudah
“Dek Isha, ingin Abang kerja kantoran seperti Surya dan Vita?” Satrio tidak menjawab, tapi malah balik bertanya pada istrinya.Isha menggeleng meskipun Satrio tidak bisa melihatnya. “Aku cuma nanya aja, Bang. Aku ga masalah Bang Satrio kerja di mana saja, yang penting halal,” timpalnya.“Terus terang saja Abang ga berminat kerja di sana, Dek. Apalagi jadi bawahan Surya dan Vita. Mending Abang kerja di tempat lain,” tukas Satrio.“Sebenarnya aku juga ga mau Bang Satrio kerja di kantor mereka. Makin sok aja nanti mereka karena merasa udah berjasa sama Bang Satrio.” Isha akhirnya mengungkapkan apa yang ada di hatinya.“Alhamdulillah kalau Dek Isha sependapat sama Abang.” Satrio pun menghela napas lega.Tak lama kemudian kedua sejoli itu pun tiba di rumah. “Assalamu’alaikum,” salam Isha begitu masuk ke rumah. Satrio nanti menyusul setelah memasukkan motor ke ruangan di samping rumah.“Wa’alaikumussalam. Kok baru pulang jam segini, Is?” balas Lina.“Tadi mampir makan dulu, Bu,” sahut Isha
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t