Siapa kira-kira wanita itu? Ada yang bisa menebak?
Isha membelalakkan mata begitu melihat apa yang terjadi di hadapannya. Satrio dipeluk seorang wanita muda. Bukannya menolak, suaminya malah balas memeluk dan mengelus punggung wanita tersebut. “Aku juga kangen,” balas Satrio. Tak tahan dengan semua itu, Isha memalingkan wajah. Istri mana yang tahan melihat suaminya berpelukan dengan wanita lain. Selain merasa tak rela, hatinya pun nyeri. Apalagi Satrio seolah tak menganggap keberadaannya. Tak lama kemudian Satrio dan wanita itu mengurai pelukan. Dia meminta wanita muda itu duduk di sampingnya. Tanpa merasa bersalah, Satrio tersenyum pada Isha yang berusaha keras memasang wajah datar, padahal dalam hati dia ingin menangis dengan keras. Di saat Isha sudah percaya dan menyerahkan diri pada Satrio, tapi suaminya malah memeluk wanita lain di depan matanya. “Dek, kenalkan ini Nila, adik bungsu Abang. Nila, kenalkan ini istriku, namanya Isha.” Satrio memperkenalkan dua wanita itu secara bergantian. “Hah! Kak Bhumi sudah menikah?” seru wan
“Aku turun dulu ya, Bang.” Isha melepas sabuk pengaman begitu mobil berhenti di depan rumah Baskoro. Dia membuka pintu mobil lalu turun. “Tolong buka pintu bagasi, Bang,” pintanya.Isha membuka bagasi lantas mengambil tas berisi oleh-oleh. Koper dibiarkan ada di sana karena Satrio melarangnya membawa. Setelah itu Isha berjalan ke pintu rumah. “Assalamu’alaikum,” salamnya saat memasuki rumah yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka.Sementara itu Satrio menghela napas panjang begitu sang istri turun dari mobil. Entah apa yang salah kali ini karena dia belum mendapat jawaban dari Isha. Saat Satrio tadi bertanya, mereka sudah masuk ke jalan kampung dan tak lama tiba di rumah sang mertua. Satrio meminggirkan mobil agar tidak menghalangi jalan sebelum turun dan mengambil koper di bagasi. Dia mengunci pintu mobil setelah itu menyusul istrinya.“Assalamu’alaikum.” Satrio mengucap salam saat keluarga istrinya membongkar oleh-oleh yang mereka bawa. Dia sudah tak melihat Isha ada di sana, pasti
“Dek, mungkin nanti Abang ga bisa ngantar Dek Isha masuk kerja. Nanti Abang orderin ojol ya. Kalau pulangnya, insya Allah Abang jemput.” Satrio bicara pada istrinya saat dia berganti baju di kamar. “Gapapa, Bang. Dulu aku juga biasa berangkat dan pulang kerja sendiri,” sahut Isha sembari melipat baju.“Dek Isha, ga marah ‘kan?” Satrio memandang istrinya.Isha menggeleng. “Buat apa marah, Bang?”“Siapa tahu Dek Isha marah karena Abang ga bisa nganter. Abang tuh paling takut Dek Isha marah,” sahut Satrio.“Masa cuma karena hal sepele gitu marah, Bang? Kaya anak kecil saja.” Isha tersenyum.“Walaupun Dek Isha ga marah, Abang tetap minta maaf ya. Karena ga masuk kerja beberapa hari, kerjaan Abang numpuk. Selain itu Abang mau balikin mobil,” lontar pria berambut ikal itu. “Bang Satrio ga perlu minta maaf karena ga salah. Lakukan yang memang harus dilakukan. Sebaiknya mobil memang segera dikembalikan, ga enak sama bos Bang Satrio kalau kelamaan pinjam,” timpal Isha.“Iya, Dek, makanya nan
“Beb, ayo siap-siap berangkat, keburu kena macet nanti.” Surya menarik tangan Vita yang mau membalas ucapan Isha. Selain merasa tak enak pada mertuanya, dia juga malu pada Isha. Apalagi setelah mendengar kalau Satrio ikut membiayai pernikahannya. “Apaan sih pakai tarik aku segala, Beb,” protes Vita setelah masuk ke kamarnya.“Kamu mau kerja apa mau bertengkar sama kakakmu? Ga lihat sekarang jam berapa?” Surya menunjuk jam yang menempel di dinding kamar.“Ya ampun!” Vita pun gegas merapikan penampilannya dan mengambil tas kerjanya begitu melihat jam dinding. “Yuk, Beb. Aku sudah siap.” Vita mengajak suaminya ke luar dari kamar. Dia sudah tidak melihat lagi sosok kakak tirinya ada di ruang depan. Mungkin saja Isha ada di kamar atau di belakang, Vita tak mau ambil pusing. Setelah berpamitan dengan sang ibu, mereka pun berangkat ke kantor menggunakan mobil Surya.“Beb, memangnya Mas Satrio beneran kerja serabutan ya?” tanya Surya saat mereka dalam perjalanan ke kantor.Vita mengedikkan
“Dek, sudah Abang pesankan ojol ya. Maaf Abang ga bisa nganter hari ini.” Isha tersenyum kala mendapat pesan dari suaminya. Meskipun sedang sibuk kerja, pria itu tetap memikirkannya. Bahkan memesankan ojek untuknya.“Ya, Bang. Makasih,” balas Isha dalam pesannya. Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, dia ke luar dari kamar lalu duduk di teras menunggu pengemudi ojol yang akan mengantarnya ke toko. “Pak, Bu, aku kerja dulu.” Isha masuk rumah lagi, berpamitan pada Baskoro dan Lina yang duduk di ruang depan. Tak lupa menyalami keduanya dengan takzim.“Kamu berangkat sama siapa, Is?” tanya Baskoro saat Isha menyalaminya.“Sama ojek, Pak,” jawab Isha.“Memangnya Satrio ke mana?” Gantian Lina yang bertanya.“Baru ada kerjaan, Bu. Aku berangkat ya, ojolnya sudah nunggu di depan,” timpal Isha.“Ya, hati-hati,” pesan Baskoro.Isha pun gegas menghampiri pengemudi ojol. Setelah mengenakan helm, dia naik ke atas motor. Baru setelah itu sang pengemudi menjalankan motornya.“Bang, aku sudah
“Dek Isha, ingin Abang kerja kantoran seperti Surya dan Vita?” Satrio tidak menjawab, tapi malah balik bertanya pada istrinya.Isha menggeleng meskipun Satrio tidak bisa melihatnya. “Aku cuma nanya aja, Bang. Aku ga masalah Bang Satrio kerja di mana saja, yang penting halal,” timpalnya.“Terus terang saja Abang ga berminat kerja di sana, Dek. Apalagi jadi bawahan Surya dan Vita. Mending Abang kerja di tempat lain,” tukas Satrio.“Sebenarnya aku juga ga mau Bang Satrio kerja di kantor mereka. Makin sok aja nanti mereka karena merasa udah berjasa sama Bang Satrio.” Isha akhirnya mengungkapkan apa yang ada di hatinya.“Alhamdulillah kalau Dek Isha sependapat sama Abang.” Satrio pun menghela napas lega.Tak lama kemudian kedua sejoli itu pun tiba di rumah. “Assalamu’alaikum,” salam Isha begitu masuk ke rumah. Satrio nanti menyusul setelah memasukkan motor ke ruangan di samping rumah.“Wa’alaikumussalam. Kok baru pulang jam segini, Is?” balas Lina.“Tadi mampir makan dulu, Bu,” sahut Isha
Isha membelalakkan mata tak percaya. Saat dia akan salat tadi, uang itu tidak ada di sana. Bagaimana mungkin setelah salat, tiba-tiba bundelan uang tersebut ada di dalam tasnya. Pasti ada yang memfitnahnya, tapi dia tidak tahu siapa orangnya.“Ini fitnah. Ada yang sengaja memasukkannya ke tasku. Uang itu tadi tidak ada di sana.” Isha membela diri.“Masih saja mengelak padahal bukti sudah di depan mata. Memang ada yang sengaja memasukkan, tidak mungkin uang itu masuk sendiri ke tasmu. Dan yang memasukkan itu kamu sendiri!” Karyawan wanita itu menuding Isha.Istri Satrio itu menggeleng berulang kali, menolak apa yang dikatakan salah satu rekan kerjanya tersebut. “Demi Allah, aku tidak memasukkan uang itu ke dalam tasku. Aku berani bersumpah dengan Al-Qur’an kalau aku tidak mencuri,” ucapnya dengan penuh keyakinan.“Tidak perlu bersumpah menyebut nama Allah dan Al-Qur’an karena sekarang banyak yang bersumpah palsu. Lagian mana ada pencuri yang mau ngaku. Kalau semua ngaku, penjara akan p
“Sudah menghubungi suaminya?” Polisi tadi kembali mendekat begitu melihat Isha tidak lagi mendekatkan ponsel ke telinga.Isha mengangguk. “Sudah, tapi suami saya tidak mengangkat telepon, Pak,” jawabnya dengan wajah sendu.“Mungkin suaminya sedang sibuk atau lagi di jalan. Coba kirim pesan saja,” saran sang polisi.“Ya, Pak. Terima kasih sarannya.” Isha kemudian mengetik pesan untuk suaminya.“Bang, aku dituduh mencuri. Sekarang aku di Polsek.” Pesan itu terkirim tapi tidak langsung dibaca oleh Satrio.“Kami akan mulai interogasinya sekarang. Mari ikut saya,” cakap sang polisi.“Saya mau menunggu suami saya, Pak. Saya tidak akan memberi keterangan tanpa suami saya,” tegas Isha.“Sekarang saja, biar lebih cepat selesai. Lagian Anda belum tahu kapan suaminya akan datang ke sini,” desak sang polisi.Isha menggeleng. “Meskipun bukan orang kuliahan, tapi saya tahu kalau saat memberi keterangan saya berhak didampingi pengacara. Saya juga punya hak memberi keterangan secara bebas, tanpa teka
“Vit, Bapak dapat kabar dari Satrio kalau Surya sekarang ada di rumah orang tuanya. Kalau mau minta maaf dan baikan, sebaiknya kamu menyusul ke sana.” Baskoro bicara dengan Vita setelah diberi tahu Satrio di mana posisi Surya.“Aku ke sananya sendiri, Pak?” Vita memandang sang bapak dengan mata merah dan bengkak karena terus menangis."Kamu mau ditemani?" tanya Baskoro sambil memandang putri bungsunya dengan tatapan iba.Vita mengangguk sambil mengusap air mata dengan tisu. "Bapak nanti bisa bantu aku ngomong sama Mas Surya dan kedua mertuaku kalau ikut. Kalau aku ke sana sendiri belum tentu Mas Surya mau menemui aku," timpalnya.Baskoro melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 18.30, masih belum terlalu malam untuk bertamu ke rumah orang. "Ya sudah, kamu siap-siap. Bapak antar kamu ke rumah Surya," putusnya kemudian."Ya, Pak. Aku cuci muka dulu." Vita beranjak ke kamar mandi setelah sang bapak meninggalkan kamarnya. Kali ini dia harus mengalah dan minta maaf agar rumah tangganya b
Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi
“Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per
“Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip
“Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah
Satrio sontak menghentikan kegiatannya, lantas balas menatap sang belahan jiwa. “Astaghfirullah. Bukan seperti, Dek. Jangan salah paham,” sanggahnya cepat. “Kayanya Abang pernah cerita kalau Abang naksir Dek Isha sudah lama. Jauh sebelum kita digerebek warga. Abang pindah ke kontrakan yang dekat sama rumah Bapak ‘kan biar bisa sering melihat dan ketemu Dek Isha. Cuma memang Abang ga mau terang-terangan kelihatan lagi pedekate,” beber Satrio. “Alasan Abang mau menikah dengan Dek Isha tentu saja karena cinta. Kalau ga cinta, Abang ga akan mau. Mending Abang diusir dari kontrakan daripada dipaksa menikah sama orang yang ga Abang cintai,” sambung pria berambut ikal itu. Dia meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya erat. “Dan secara kebetulan, kriteria yang disyaratkan Kakek ada dalam diri Dek Isha. Demi Allah, Abang cinta sama Dek Isha sejak pertama kali Abang melihat Dek Isha. Sebenarnya Abang sedang menyusun rencana untuk melamar Dek Isha, eh malah sudah keduluan digerebek wa
Vita sependapat kalau hidup itu tidak hanya butuh cinta karena yang paling penting punya harta. Kalau modal cinta tanpa harta, gimana mau bahagia? Terbukti sekarang, dia harus menahan diri kalau ingin sesuatu karena Surya tak bisa memenuhi keinginannya. Salahnya juga dahulu memaksa Surya membeli rumah biar setelah menikah menikah bisa tinggal di rumah sendiri. Nyatanya sampai sekarang malah rumah yang dibeli belum jadi.Wanita yang sedang hamil muda itu menghela napas. “Belum tentu juga Bang Satrio mau nikah sama aku, Bu,” ucapnya kemudian.“Pasti maulah. Buktinya pas digerebek sama Isha langsung mau dia. Asal warga kompak minta kalian nikah, pasti Satrio mau. Ibu benar-benar menyesal. Harusnya kamu yang datang ke kontrakan Satrio, bukan Isha.” Lina kembali menyesali apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan yang lalu.“Ibu ‘kan yang merencanakan semuanya, aku cuma ikut saja. Waktu itu kita sengaja pergi ke rumah Mas Surya sampai malam biar Mbak Isha tidak bisa masuk rumah. Ibu yang
“Pegal juga berdiri dan salaman sama banyak orang. Belum lagi harus terus tersenyum, bibir ikutan pegal,” keluh Lina begitu bertemu dengan Vita.“Ya, mau gimana lagi, Bu. Tamunya ‘kan jauh lebih banyak dari resepsiku dulu. Setidaknya Ibu ‘kan bisa salaman dan foto sama presiden dan wakilnya,” sahut Vita yang coba membangkitkan semangat sang ibu.Lina seketika tersenyum kala ingat apa yang dikatakan putrinya. “Ibu harus minta foto waktu bareng Pak Presiden dan Wakil Presiden nih sama fotografernya,” cetusnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hall.“Ibu, cari siapa?” kepo Vita.“Cari fotografer. Kamu lihat ga, Vit? Ibu mau cepat-cepat pamer,” aku wanita paruh baya itu.“Mungkin lagi makan, Bu. Coba tanya aja sama timnya yang lagi beresin perlengkapan mereka,” timpal Vita seraya menunjuk seorang pria dengan kemeja yang bagian belakangnya bertuliskan nama sang fotografer.“Ibu ke sana dulu ya.” Lina pun gegas bangkit dan pergi menghampiri pria tersebut.“Ibu mau ke mana itu, Vit?
“Bang, beneran itu tadi Pak Presiden?” Isha berbisik pada Satrio saat sang kepala negara sudah meninggalkan pelaminan.Satrio mengangguk. “Kenapa memangnya, Dek?” “Ga nyangka aja bisa ketemu Pak Presiden. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang bisa salaman, malah didoakan juga tadi,” jawab Isha dengan wajah semringah. Sebagai warga biasa tentu saja dia merasa bangga dan bahagia bisa bertemu langsung dengan presiden.Pria berambut ikal itu tersenyum. “Ke depannya kita akan sering bertemu beliau, wapres, dan menteri-menteri, Dek,” ucapnya.Isha menutup mulut dengan tangan begitu mendengar ucapan suaminya. “Beneran, Bang?” tanyanya kemudian.Satrio mengangguk. “Dek, itu tamu-tamu sudah mulai naik. Ayo, siap-siap salaman lagi.” Dia menunjuk barisan tamu yang mulai berjalan kembali. Mereka tadi dihentikan oleh satuan keamanan untuk memberi waktu pada presiden memberi selamat pada orang tua dan kedua mempelai.Sementara itu di sisi lain hall, Vita dan Surya duduk di kursi yang disediakan khu