Isha membelalakkan mata tak percaya. Saat dia akan salat tadi, uang itu tidak ada di sana. Bagaimana mungkin setelah salat, tiba-tiba bundelan uang tersebut ada di dalam tasnya. Pasti ada yang memfitnahnya, tapi dia tidak tahu siapa orangnya.“Ini fitnah. Ada yang sengaja memasukkannya ke tasku. Uang itu tadi tidak ada di sana.” Isha membela diri.“Masih saja mengelak padahal bukti sudah di depan mata. Memang ada yang sengaja memasukkan, tidak mungkin uang itu masuk sendiri ke tasmu. Dan yang memasukkan itu kamu sendiri!” Karyawan wanita itu menuding Isha.Istri Satrio itu menggeleng berulang kali, menolak apa yang dikatakan salah satu rekan kerjanya tersebut. “Demi Allah, aku tidak memasukkan uang itu ke dalam tasku. Aku berani bersumpah dengan Al-Qur’an kalau aku tidak mencuri,” ucapnya dengan penuh keyakinan.“Tidak perlu bersumpah menyebut nama Allah dan Al-Qur’an karena sekarang banyak yang bersumpah palsu. Lagian mana ada pencuri yang mau ngaku. Kalau semua ngaku, penjara akan p
“Sudah menghubungi suaminya?” Polisi tadi kembali mendekat begitu melihat Isha tidak lagi mendekatkan ponsel ke telinga.Isha mengangguk. “Sudah, tapi suami saya tidak mengangkat telepon, Pak,” jawabnya dengan wajah sendu.“Mungkin suaminya sedang sibuk atau lagi di jalan. Coba kirim pesan saja,” saran sang polisi.“Ya, Pak. Terima kasih sarannya.” Isha kemudian mengetik pesan untuk suaminya.“Bang, aku dituduh mencuri. Sekarang aku di Polsek.” Pesan itu terkirim tapi tidak langsung dibaca oleh Satrio.“Kami akan mulai interogasinya sekarang. Mari ikut saya,” cakap sang polisi.“Saya mau menunggu suami saya, Pak. Saya tidak akan memberi keterangan tanpa suami saya,” tegas Isha.“Sekarang saja, biar lebih cepat selesai. Lagian Anda belum tahu kapan suaminya akan datang ke sini,” desak sang polisi.Isha menggeleng. “Meskipun bukan orang kuliahan, tapi saya tahu kalau saat memberi keterangan saya berhak didampingi pengacara. Saya juga punya hak memberi keterangan secara bebas, tanpa teka
Isha yang ada di sebuah ruangan, langsung berdiri begitu mendengar suara sang suami. Dia mengucap syukur karena orang yang sejak tadi ditunggu akhirnya datang juga. Rasanya sudah tak sabar berada di pelukan Satrio yang selalu menenangkan jiwanya.Tak lama kemudian, Satrio muncul di ruangan tersebut diantar seorang polisi yang berpakaian preman. Isha tersenyum begitu melihat sosok sang suami. Mereka sama-sama berjalan mendekat lalu berpelukan dengan erat. “Maaf ya, Abang baru datang,” ucap Satrio setelah mengecup puncak kepala sang wanita.“Gapapa, Bang,” sahut Isha yang merasa sangat tenang berada dalam pelukan suaminya. Polisi yang tadi mengantar Satrio tiba-tiba berdeham. “Maaf menginterupsi. Sesuai permintaan dari Saudari Isha tadi, dia bersedia memberi keterangan setelah suaminya datang. Sekarang suaminya sudah datang, jadi tidak ada alasan lagi untuk menundanya,” tandasnya.Mau tak mau sejoli tadi mengurai pelukan. Namun Satrio tak mau berjauhan dari sang belahan jiwa. Dia berdi
Satrio mengernyit. “Menghilangkan apa, Bang? Nyawa?” Dia memandang pengacara kondang itu.Herman mengangguk. Hal itu sontak membuat mata Isha membola. Bagaimana bisa kedua pria itu berbicara dengan santai soal menghilangkan nyawa orang? Siapa sebenarnya suaminya? Apakah dia pemimpin mafia seperti di film-film yang sifatnya kejam dan tidak kenal ampun? Membayangkannya saja membuat Isha jadi bergidik.Satrio menggeleng. “Ga, Bang. Keenakan mereka kalau begitu. Penderitaannya hanya sebentar.”“Terus apa yang mau kamu lakukan?” Pengacara itu terus saja bertanya.“Sedikit memberi penderitaan di hidup mereka. Mungkin dengan membuat mereka merasakan dinginnya lantai penjara atau menghilangkan sumber penghasilannya. Aku masih belum memutuskan, Bang,” sahut Satrio dengan santai.“Bang, beneran mau melakukan itu?” Isha langsung bertanya pada suaminya. Dia memandang Satrio dengan tatapan tak percaya. Benarkah pria yang menggenggam tangannya itu bisa begitu tega pada orang lain?Satrio menoleh p
“Naik itu.” Satrio membuka kunci mobil dengan remote dari jarak beberapa meter hingga Isha tahu mobil mana yang dimaksud oleh suaminya. Mobil merek terkenal yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang kaya.“I—itu mobil siapa, Bang?” tanya Isha seraya menunjuk mobil yang asalnya dari Jerman tersebut. Satrio hanya menjawab dengan senyuman. Dia langsung membuka pintu untuk Isha begitu berada di sisi kiri mobil. Pria itu baru menutupnya setelah memastikan sang istri duduk dengan nyaman. Setelah itu Satrio baru berjalan ke sisi kanan kemudian masuk ke mobil dan duduk di belakang kemudi.Begitu masuk ke dalam mobil, Isha mengagumi interior yang lebih mewah dari mobil yang tempo hari Satrio bawa. Kursinya pun terasa lebih nyaman.“Pakai sabuk pengaman dulu, Dek.” Satrio mendekat pada sang istri lalu memasangkan sabuk pengaman. Baru sesudah itu memasang untuk dirinya sendiri. Dia kemudian menyalakan mesin dan mulai menjalankan kendaraan beroda empat itu.“Bang, kenapa tidak menjawab perta
Rahang Satrio sontak mengeras begitu mendengar ada yang mengusik istrinya. Seketika itu juga Satrio menoleh dan menatap tajam wanita tadi. Andai matanya bisa mengeluarkan laser, bisa dipastikan wanita tersebut sudah hangus terbakar.“Hei! Jaga omonganmu! Isha ada di sini karena dia bukan pencuri,” tukas Satrio sambil menuding wanita tadi dengan telunjuknya. “Kenapa kamu tidak suka melihat kami di sini? Jangan-jangan kamu yang sudah memfitnah istriku?” Wanita tadi langsung gelagapan dan tak berkutik lagi setelah Satrio menyatakan kecurigaannya. “Kenapa diam? Apa benar apa yang aku katakan tadi?” Pria berambut ikal itu tersenyum menyeringai pada wanita tersebut.“Ada apa ini ribut-ribut?” Sepasang pria dan wanita berkacamata mendatangi mereka. Kedua orang itu kaget saat melihat Isha ada di sana.“Bagaimana kamu bisa ada di sini? Bukankah kamu tadi sudah dibawa ke Polsek?” tanya pria berkacamata pada Isha dengan kening mengerut.“Apa Anda pemilik toko ini?” Satrio tidak menjawab, tapi
“Apa?” Pemilik toko dan istrinya sontak berseru begitu mendengar apa yang Satrio katakan.Isha juga tak kalah terkejut mendengar hal itu Dia langsung menutup mulut dengan tangannya yang bebas.Sementara Herman dan sang Kapolsek terlihat tenang dan tidak terkejut karena hal seperti itu sudah biasa mereka hadapi bila bertemu orang-orang kaya yang bisa melakukan apa saja dengan kekayaannya.“Tanah ini tidak mungkin dijual. Pemiliknya tidak mau menjual waktu saya ingin membeli tanah ini. Anda pasti berbohong.” Pemilik toko itu menggeleng berulang kali karena tak percaya dengan ucapan Satrio.“Bay, tunjukkan buktinya!” titah Satrio pada asisten pribadinya.Bayu pun dengan sigap menunjukkan video saat pemilik tanah dan bangunan menandatangani surat perjanjian jual beli. Satrio memang tidak bertemu langsung, tapi tim dari Herman dan Bayu yang mewakili dirinya membeli properti tersebut.“Kalian pasti memaksa pemilik tanah ini agar mau menjualnya,” seru pemilik toko setelah melihat video yang d
“Isha, apa yang harus kami lakukan agar kamu memaafkan kami?” Pemilik toko kembali memohon pada Isha karena wanita itu tidak juga menanggapi permintaan maaf mereka.Isha menarik napas panjang sebelum berbicara. “Insya Allah saya sudah memaafkan Bapak dan Ibu. Saya juga minta maaf bila selama bekerja sebagai karyawan Bapak dan Ibu pernah melakukan kesalahan dan kekhilafan,” ucapnya seraya tersenyum.“Sedangkan untuk urusan tempat ini, saya serahkan pada suami saya. Maaf, saya tidak akan ikut campur,” imbuh satu-satunya wanita berhijab yang ada di ruangan itu.Satrio tersenyum lebar mendengar ucapan istrinya. Sedangkan wajah pemilik toko dan istrinya tampak semakin keruh meskipun sudah mendapat kata maaf dari Isha. Bagaimana tidak keruh kalau mereka harus mencari tempat baru dan memindahkan semua barang dari sana dalam waktu satu minggu. Padahal mencari tempat baru dan menyiapkannya sampai bisa dipakai, butuh waktu yang tidak sedikit. Ini hanya diberi waktu satu minggu.Ya, kalau langs
“Beb, benar ini alamat perumahannya Mbak Isha?” tanya Vita pada suaminya waktu mereka tiba di depan gerbang perumahan elite.Surya mengangguk. “Iya. Sesuai alamat dan map yang dikasih sama Bang Satrio.”“Coba deh tanya dulu sama yang jaga, Beb,” pinta Vita.“Kamu aja sana yang tanya. Kan kamu yang ragu,” timpal Surya yang enggan keluar dari mobil.Vita akhirnya turun dari mobil dan bertanya pada petugas yang berjaga di gerbang. “Selamat pagi, Pak. Apa benar Mbak Isha dan Bang Satrio tinggal di komplek ini?” tanyanya.“Tinggal di blok apa dan nomor rumahnya berapa ya, Bu? Mohon maaf kami tidak hafal nama panggilan setiap pemilik rumah,” timpal sang penjaga.Vita membuka gawai lantas menunjukkan undangan digital yang dikirim oleh Isha beberapa hari yang lalu pada penjaga tersebut. “Ini alamatnya, Pak. Hari ini mereka ngadain acara syukuran di rumahnya,” ucapnya.“Oh, rumahnya Pak Bhumi. Benar di sini rumahnya,” sahut penjaga itu.“Kalau begitu bisa minta tolong dibukakan gerbangnya, Pak
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m